Anda di halaman 1dari 16

MAKALAH ANTROPOLI TENTANG

“SUKU BADUY LUAR DAN SUKU BADUY DALAM”

DOSEN :

SOLTEN RAJAGUKGUK, Drs. M.M.

Disusun Oleh :

Tole Stia Graha

190900075

UNIVERSITAS SATYA NEGARA

FAKULTAS ILMU SOSIAL DAN ILMU POLITIK

JURUSAN ILMU KOMUNIKASI


2019
KATA PENGANTAR

Puji syukur kehadirat Allah SWT yang telah memberikan rahmat dan
hidayah-Nya sehingga saya dapat menyelesaikan tugas makalah yang berjudul
MAKALAH TENTANG “SUKU BADUY LUAR DAN SUKU BADUY
DALAM” ini tepat pada waktunya.

Adapun tujuan dari penulisan dari makalah ini adalah untuk memenuhi
tugas. Selain itu, makalah ini juga bertujuan untuk menambah wawasan tentang
SUKU BADUY bagi para pembaca dan juga bagi penulis.

Saya juga menguvcapkan terima kasih kepada semua pihak yang telah
membagi sebagin pengetahuannya sehingga saya dapat menyelesaikan makalah
ini. Saya menyadari, makalah yang saya tulis masih jauh dari kata sempurna. Oleh
karena itu kritik dan saran yang membagun akan saya nantikan demi
kesempurnaan makalah ini.

Penulis

Jakarta,7 oktober 2020


DAFTAR ISI

KATA PENGANTAR

DAFTAR ISI

BAB I PENDAHULUAN

1.1 LATAR BELAKANG


1.2 RUMUSAN MASALAH
1.3 TUJUAN

BAB II PEMBAHASAN

A. ASAL USUL SUKU BADUY


B. BAHASA DAN KEPERCAYAAN SUKU BADUY
C. KELOMPOK MASYARAKAT, MATA PENCAHARIAN, DAN
PEMERINTAHAN SUKU BADUY
D. LETAK WILAYAH SUKU BADUY
E. SUKU BADUY BERINTERAKSI DENGAN MASYARAKAT LUAR

BAB III PENUTUP

3.1 KESIMPULAN

DAFTAR PUSTAKA
BAB I

PENDAHULUAN

1.1 LATAR BELAKANG

Berbicara tentang Budaya Indonesia memang tidak ada habisnya. Kebudayaan


Indonesia memang beragam, hal ini dikarenakan Indonesia memiliki lebih dari
seribu suku bangsa. Suku-suku tersebut tersebar dari Sabang hingga Marauke.
Salah satu suku yang terkenal adalah suku baduy dalam yang terletak di daerah
banten, tepatnya kabupaten lebak banten.

Sebutan "Baduy" merupakan sebutan yang diberikan oleh penduduk luar


kepada kelompok masyarakat tersebut, berawal dari sebutan para peneliti Belanda
yang agaknya mempersamakan mereka dengan kelompok Arab Badawi yang
merupakan masyarakat yang berpindah-pindah (nomaden). Kemungkinan lain
adalah karena adanya Sungai Baduy dan Gunung Baduy yang ada di bagian utara
dari wilayah tersebut. Mereka sendiri lebih suka menyebut diri sebagai urang
Kanekes atau "orang Kanekes" sesuai dengan nama wilayah mereka, atau sebutan
yang mengacu kepada nama kampung mereka seperti Urang Cibe.

1.2 RUMUSAN MASALAH


a. Bagaimana asal usul suku baduy
b. Bagaimana bahasa dan kepercayaan suku baduy
c. Bagaimana kelompok masyarakat, mata pencaharian, dan pemerintahan suku
baduy
d. Bagaimana letak wilayah suku baduy
e. Bagaimana suku baduy berinteraksi dengan masyarakat luar

1.3 TUJUAN
a. Menjelaskan asal usul suku baduy
b. Menjelaskan bahasa dan kepercayaan suku baduy
c. Mejelaskan kelompok masyarakat, mata pencaharian, dan pemerintahan suku
baduy
d. Menjelaskan letak wilayah suku baduy
e. Menjelaskan suku baduy berinteraksi dengan masyarakat luar
BAB II

PEMBAHASAN
A. ASAL USUL SUKU BADUY

Menurut kepercayaan yang mereka anut, masyarakat Suku Baduy mengaku


keturunan dari Batara Cikal, salah satu dari tujuh dewa atau batara yang diutus ke
bumi. Asal usul tersebut sering pula dihubungkan dengan Nabi Adam sebagai
nenek moyang pertama. Menurut kepercayaan mereka, Adam dan keturunannya,
termasuk warga Suku Baduy mempunyai tugas bertapa atau asketik (mandita)
untuk menjaga harmoni dunia.

Pendapat mengenai asal usul masyarakat Suku Baduy berbeda dengan


pendapat para ahli sejarah, yang mendasarkan pendapatnya dengan cara sintesis
dari beberapa bukti sejarah berupa prasasti, catatan perjalanan pelaut Portugis dan
Tiongkok, serta cerita rakyat mengenai 'Tatar Sunda' yang cukup minim
keberadaannya. Masyarakat Suku Baduy dikaitkan dengan Kerajaan Sunda yang
sebelum keruntuhannya pada abad ke-16 berpusat di Pakuan Pajajaran (sekitar
Bogor sekarang). Sebelum berdirinya Kesultanan Banten, wilayah ujung barat
pulau Jawa ini merupakan bagian penting dari Kerajaan Sunda. Banten merupakan
pelabuhan dagang yang cukup besar. Sungai Ciujung dapat dilayari berbagai jenis
perahu, dan ramai digunakan untuk pengangkutan hasil bumi dari wilayah
pedalaman.
Dengan demikian penguasa wilayah tersebut, yang disebut sebagai Pangeran
Pucuk Umun menganggap bahwa kelestarian sungai perlu dipertahankan. Untuk
itu diperintahkanlah sepasukan tentara kerajaan yang sangat terlatih untuk
menjaga dan mengelola kawasan berhutan lebat dan berbukit di wilayah Gunung
Kendeng tersebut. Keberadaan pasukan dengan tugasnya yang khusus tersebut
tampaknya menjadi cikal bakal Masyarakat Kanekes yang sampai sekarang masih
mendiami wilayah hulu Sungai Ciujung di Gunung Kendeng tersebut
(Adimihardja, 2000). Perbedaan pendapat tersebut membawa kepada dugaan
bahwa pada masa yang lalu, identitas dan kesejarahan mereka sengaja ditutup,
yang mungkin adalah untuk melindungi komunitas Suku Baduy sendiri dari
serangan musuh-musuh Pajajaran.
Van Tricht, seorang dokter yang pernah melakukan riset kesehatan pada tahun
1928, menyangkal teori tersebut. Menurut dia, masyarakat Suku Baduy adalah
penduduk asli daerah tersebut yang mempunyai daya tolak kuat terhadap
pengaruh luar (Garna, 1993b: 146).
Masyarakat Suku Baduy sendiri pun menolak jika dikatakan bahwa mereka
berasal dari orang-orang pelarian dari Pajajaran, ibu kota Kerajaan Sunda.
Menurut Danasasmita dan Djatisunda (1986: 4-5) Masyarakat Baduy merupakan
penduduk setempat yang dijadikan mandala' (kawasan suci) secara resmi oleh
raja, karena penduduknya berkewajiban memelihara kabuyutan (tempat pemujaan
leluhur atau nenek moyang), bukan agama Hindu atau Budha. Kebuyutan di
daerah ini dikenal dengan kabuyutan Jati Sunda atau 'Sunda Asli' atau Sunda
Wiwitan (wiwitan=asli, asal, pokok, jati). Oleh karena itulah agama asli mereka
pun diberi nama Sunda Wiwitan.

B. BAHASA DAN KEPERCAYAAN SUKU BADUY


 BAHASA

Bahasa yang mereka gunakan adalah Bahasa Sunda. Untuk berkomunikasi


dengan penduduk luar mereka lancar menggunakan Bahasa Indonesia, walaupun
mereka tidak mendapatkan pengetahuan tersebut dari sekolah. Suku Baduy Dalam
tidak mengenal budaya tulis, sehingga adat-istiadat, kepercayaan/agama, dan
cerita nenek moyang hanya tersimpan di dalam tuturan lisan saja.

Orang-orang Suku Baduy tidak mengenal sekolah, karena pendidikan formal


berlawanan dengan adat-istiadat mereka. Mereka menolak usulan pemerintah
untuk membangun fasilitas sekolah di desa-desa mereka. Bahkan hingga hari ini,
walaupun sejak era Soeharto pemerintah telah berusaha memaksa mereka untuk
mengubah cara hidup mereka dan membangun fasilitas sekolah modern di
wilayah mereka, masyarakat Suku Baduy masih menolak usaha pemerintah
tersebut. Akibatnya, mayoritas masyarakat Suku Baduy tidak dapat membaca atau
menulis.
 KEPERCAYAAN
Kepercayaan masyarakat Suku Baduy yang disebut sebagai ajaran Sunda
Wiwitan, ajaran leluhur turun temurun yang berakar pada penghormatan kepada
karuhun atau arwah leluhur dan pemujaan kepada roh kekuatan alam (animisme).
Meskipun sebagian besar aspek ajaran ini adalah asli tradisi turun-temurun, pada
perkembangan selanjutnya ajaran leluhur ini juga sedikit dipengaruhi oleh
beberapa aspek ajaran Hindu, Buddha, dan di kemudian hari ajaran Islam.
Bentuk penghormatan kepada roh kekuatan alam ini diwujudkan melalui
sikap menjaga dan melestarikan alam; yaitu merawat alam sekitar (gunung, bukit,
lembah, hutan, kebun, mata air, sungai, dan segala ekosistem di dalamnya), serta
memberikan penghargaan setinggi-tingginya kepada alam, dengan cara merawat
dan menjaga hutan larangan sebagai bagian dalam upaya menjaga keseimbangan
alam semesta. Inti kepercayaan tersebut ditunjukkan dengan adanya pikukuh atau
ketentuan adat mutlak yang dianut dalam kehidupan sehari-hari masyarakat Suku
Baduy(Garna, 1993). Isi terpenting dari 'pikukuh' (kepatuhan) Kanekes tersebut
adalah konsep "tanpa perubahan apa pun", atau perubahan sesedikit mungkin:
Lojor heunteu beunang dipotong, pèndèk heunteu beunang disambung.(Panjang
tidak bisa/tidak boleh dipotong, pendek tidak bisa/tidak boleh disambung)
Tabu tersebut dalam kehidupan sehari-hari diinterpretasikan secara
harafiah. Di bidang pertanian, bentuk pikukuh tersebut adalah dengan tidak
mengubah kontur lahan bagi ladang, sehingga cara berladangnya sangat
sederhana, tidak mengolah lahan dengan bajak, tidak membuat terasering, hanya
menanam dengan tugal, yaitu sepotong bambu yang diruncingkan. Pada
pembangunan rumah juga kontur permukaan tanah dibiarkan apa adanya,
sehingga tiang penyangga rumah Kanekes seringkali tidak sama panjang.
Perkataan dan tindakan mereka pun jujur, polos, tanpa basa-basi, bahkan dalam
berdagang mereka tidak melakukan tawar-menawar.
Objek kepercayaan terpenting bagi masyarakat Suku Baduy adalah Arca
Domas, yang lokasinya dirahasiakan dan dianggap paling sakral. Orang-orang
Suku Baduy mengunjungi lokasi tersebut untuk melakukan pemujaan setahun
sekali pada bulan Kalima, yang pada tahun 2003 bertepatan dengan bulan Juli.
Hanya Pu'un atau ketua adat tertinggi dan beberapa anggota masyarakat terpilih
saja yang mengikuti rombongan pemujaan tersebut. Di kompleks Arca Domas
tersebut terdapat batu lumpang yang menyimpan air hujan. Apabila pada saat
pemujaan ditemukan batu lumpang tersebut ada dalam keadaan penuh air yang
jernih, maka bagi masyarakat Suku Baduy itu merupakan pertanda bahwa hujan
pada tahun tersebut akan banyak turun, dan panen akan berhasil baik. Sebaliknya,
apabila batu lumpang kering atau berair keruh, maka merupakan pertanda
kegagalan panen (Permana, 2003a). Bagi sebagian kalangan, berkaitan dengan
keteguhan masyarakatnya, kepercayaan yang dianut masyarakat adat Suku Baduy
ini mencerminkan kepercayaan keagamaan masyarakat Sunda secara umum
sebelum masuknya Islam.

C. KELOMPOK MASYARAKAT, MATA PENCAHARIAN, DAN


PEMERINTAHAN SUKU BADUY
 KELOMPOK MASYARAKAT

Masyarakat Suku Baduy memiliki hubungan sejarah dengan orang Sunda.


Penampilan fisik dan bahasa mereka mirip dengan orang-orang Sunda pada
umumnya. Satu-satunya perbedaan adalah kepercayaan dan cara hidup mereka.
Masyarakat Suku Baduy menutup diri dari pengaruh dunia luar dan secara ketat
menjaga cara hidup mereka yang tradisional, sedangkan orang Sunda lebih
terbuka kepada pengaruh asing dan mayoritas memeluk Islam.

Masyarakat Suku Baduy secara umum terbagi menjadi tiga kelompok


yaitu tangtu, panamping, dan dangka (Permana, 2001). Kelompok tangtu adalah
kelompok yang dikenal sebagai Suku Baduy Dalam (Baduy Dalam), yang paling
ketat mengikuti adat, yaitu warga yang tinggal di tiga kampung: Cibeo,
Cikertawana, dan Cikeusik. Ciri khas Masyarakat Suku Baduy Dalam adalah
pakaiannya berwarna putih alami dan biru tua (warna tarum) serta memakai ikat
kepala putih. Mereka dilarang secara adat untuk bertemu dengan orang asing.
Masyarakat Suku Baduy Dalam adalah bagian dari keseluruhan Masyarakat Suku
Baduy. Tidak seperti Masyarakat Suku Baduy Luar, warga Suku Baduy Dalam
masih memegang teguh adat-istiadat nenek moyang mereka.
Sebagian peraturan yang dianut oleh Suku Baduy Dalam antara lain:

 Tidak diperkenankan menggunakan kendaraan untuk sarana transportasi


 Tidak diperkenankan menggunakan alas kaki
 Pintu rumah harus menghadap ke utara/selatan (kecuali rumah sang Pu'un
atau ketua adat)
 Larangan menggunakan alat elektronik (teknologi)
 Menggunakan kain berwarna hitam/putih sebagai pakaian yang ditenun
dan dijahit sendiri serta tidak diperbolehkan menggunakan pakaian
modern.

Kelompok masyarakat kedua yang disebut panamping adalah mereka yang


dikenal sebagai Baduy Luar yang tinggal di berbagai kampung yang tersebar
mengelilingi wilayah Suku Baduy Dalam, seperti Cikadu, Kaduketuk, Kadukolot,
Gajeboh, Cisagu, dan lain sebagainya. Masyarakat Masyarakat Suku Baduy Luar
berciri khas mengenakan pakaian dan ikat kepala berwarna biru gelap (warna
tarum).

Masyarakat Suku Baduy merupakan orang-orang yang telah keluar dari adat
dan wilayah Masyarakat Suku Baduy Dalam. Ada beberapa hal yang
menyebabkan dikeluarkannya warga Suku Baduy Dalam ke Masyarakat Suku
Baduy Luar:

 Mereka telah melanggar adat masyarakat Suku Baduy Dalam.


 Berkeinginan untuk keluar dari Suku Baduy Dalam
 Menikah dengan anggota Suku Baduy Luar

Ciri-ciri masyarakat Suku Baduy Luar

 Mereka telah mengenal teknologi, seperti peralatan elektronik.


 Proses pembangunan rumah penduduk Suku Baduy Luar telah
menggunakan alat-alat bantu, seperti gergaji, palu, paku, dll, yang
sebelumnya dilarang oleh adat Suku Baduy Dalam
 Menggunakan pakaian adat dengan warna hitam atau biru tua (untuk laki-
laki), yang menandakan bahwa mereka tidak suci. Kadang menggunakan
pakaian modern seperti kaos oblong dan celana jeans.
 Menggunakan peralatan rumah tangga modern, seperti kasur, bantal, piring
& gelas kaca & plastik.
 Mereka tinggal di luar wilayah Suku Baduy Dalam.
 Sebagian di antara mereka telah terpengaruh dan berpindah agama menjadi
seorang muslim dalam jumlah cukup signifikan.

Apabila Suku Baduy Dalam dan Suku Badu Luar tinggal di wilayah Suku
Baduy, maka " Suku Baduy Dangka" tinggal di luar wilayah Suku Baduy, dan
pada saat ini tinggal 2 kampung yang tersisa, yaitu Padawaras (Cibengkung) dan
Sirahdayeuh (Cihandam). Kampung Dangka tersebut berfungsi sebagai semacam
buffer zone atas pengaruh dari luar (Permana, 2001).

 MATA PENCAHARIAN
Sebagaimana yang telah terjadi selama ratusan tahun, maka mata
pencaharian utama masyarakat Kanekes adalah bertani padi huma. Selain itu
mereka juga mendapatkan penghasilan tambahan dari menjual buah-buahan yang
mereka dapatkan di hutan seperti durian dan asam keranji, serta madu hutan.

 PEMERINTAHAN SUKU BADUY


Masyarakat Kanekes mengenal dua sistem pemerintahan, yaitu sistem
nasional, yang mengikuti aturan negara Indonesia, dan sistem adat yang mengikuti
adat istiadat yang dipercaya masyarakat. Kedua sistem tersebut digabung atau
diakulturasikan sedemikian rupa sehingga tidak terjadi benturan. Secara nasional,
penduduk Kanekes dipimpin oleh kepala desa yang disebut sebagai jaro
pamarentah, yang ada di bawah camat, sedangkan secara adat tunduk pada
pimpinan adat Kanekes yang tertinggi, yaitu "Pu'un".
Struktur pemerintahan Suku Baduy

Pemimpin adat tertinggi dalam masyarakat Suku Baduy adalah "Pu'un" yang
ada di tiga kampung tangtu. Jabatan tersebut berlangsung turun-temurun, namun
tidak otomatis dari bapak ke anak, melainkan dapat juga kerabat lainnya. Jangka
waktu jabatan Pu'un tidak ditentukan, hanya berdasarkan pada kemampuan
seseorang memegang jabatan tersebut.

D. LETAK WILAYAH SUKU BADUY


Wilayah Kanekes secara geografis terletak pada koordinat 6°27’27” –
6°30’0” LS dan 108°3’9” – 106°4’55” BT (Permana, 2001). Mereka bermukim
tepat di kaki pegunungan Kendeng di desa Kanekes, Kecamatan Leuwidamar,
Kabupaten Lebak, Rangkasbitung, Banten, berjarak sekitar 40 km dari kota
Rangkasbitung. Wilayah yang merupakan bagian dari Pegunungan Kendeng
dengan ketinggian 300 – 600 m di atas permukaan laut (DPL) tersebut
mempunyai topografi berbukit dan bergelombang dengan kemiringan tanah rata-
rata mencapai 45%, yang merupakan tanah vulkanik (di bagian utara), tanah
endapan (di bagian tengah), dan tanah campuran (di bagian selatan). suhu rata-rata
20 °C. Tiga desa utama masyarakat Suku Baduy Dalam adalah Cikeusik,
Cikertawana, dan Cibeo.

E. SUKU BADUY BERINTERAKSI DENGAN MASYARAKAT LUAR


Masyarakat Suku Baduy yang sampai sekarang ini ketat mengikuti adat-
istiadat bukan merupakan masyarakat terasing, terpencil, ataupun masyarakat
yang terisolasi dari perkembangan dunia luar. Berdirinya Kesultanan Banten yang
secara otomatis memasukkan Suku Baduy ke dalam wilayah kekuasaannya pun
tidak lepas dari kesadaran mereka. Sebagai tanda kepatuhan/pengakuan kepada
penguasa, masyarakat Suku Baduy secara rutin melaksanakan seba ke Kesultanan
Banten (Garna, 1993). Sampai sekarang, upacara seba tersebut terus
dilangsungkan setahun sekali, berupa menghantar hasil bumi (padi, palawija,
buah-buahan) kepada Gubernur Banten (sebelumnya ke Gubernur Jawa Barat),
melalui bupati Kabupaten Lebak. Di bidang pertanian, penduduk Suku Baduy
Luar berinteraksi erat dengan masyarakat luar, misalnya dalam sewa-menyewa
tanah, dan tenaga buruh.
Perdagangan yang pada waktu yang lampau dilakukan secara barter, sekarang
ini telah mempergunakan mata uang rupiah biasa. Masyarakat Suku Baduy
menjual hasil buah-buahan, madu, dan gula kawung/aren melalui para tengkulak.
Mereka juga membeli kebutuhan hidup yang tidak diproduksi sendiri di pasar.
Pasar bagi Masyarakat Suku Baduy terletak di luar wilayah Kanekes seperti pasar
Kroya, Cibengkung, dan Ciboleger.
Pada saat ini orang luar yang mengunjungi wilayah Suku Baduy semakin
meningkat sampai dengan ratusan orang per kali kunjungan, biasanya merupakan
remaja dari sekolah, mahasiswa, dan juga para pengunjung dewasa lainnya.
Mereka menerima para pengunjung tersebut, bahkan untuk menginap satu malam,
dengan ketentuan bahwa pengunjung menuruti adat-istiadat yang berlaku di sana.
Aturan adat tersebut antara lain tidak boleh berfoto di wilayah Suku Baduy
Dalam, tidak menggunakan sabun atau odol di sungai. Namun, wilayah Kanekes
tetap terlarang bagi orang asing (non-WNI). Beberapa wartawan asing yang
mencoba masuk sampai sekarang selalu ditolak masuk.
Pada saat pekerjaan di ladang tidak terlalu banyak, Masyarakat Suku Baduy
juga senang berkelana ke kota besar sekitar wilayah mereka dengan syarat harus
berjalan kaki. Pada umumnya mereka pergi dalam rombongan kecil yang terdiri
dari 3 sampai 5 orang, berkunjung ke rumah kenalan yang pernah datang ke Suku
Baduy sambil menjual madu dan hasil kerajinan tangan. Dalam kunjungan
tersebut biasanya mereka mendapatkan tambahan uang untuk mencukupi
kebutuhan hidup.
BAB III
PENUTUP

3.1 KESIMPULAN

 Suku Baduy dalam masih memegang teguh aturan adat dan menjalankan
dengan baik, suku baduy dalam memakai ikat kepala berwarna putih,
sementara Suku Baduy Luar sudah terpengaruh pola hidup masyarakat
Modern jaman sekarang, dan Baduy Luar memakai baju berwarna hitam .
 Suku Baduy Luar, suku Baduy dalam dengan pikukuh yang masih ketat
melarang menggunakan Handphone dan elektronik lainnya, secara
keseluruhan masyarakat Baduy dalam masih memilih hidup tanpa listrik,
alas kaki dan juga tetap berjalan kaki.
DAFTAR PUSTAKA

Adimihardja, K. (2000). Orang Baduy di Banten Selatan: Manusia air pemelihara


sungai, Jurnal Antropologi Indonesia, Th. XXIV, No. 61, Jan-Apr 2000, hal 47 –
59.

Garna, Y. (1993). Masyarakat Baduy di Banten, dalam Masyarakat Terasing di


Indonesia, Editor: Koentjaraningrat & Simorangkir, Seri Etnografi Indonesia
No.4. Jakarta: Departemen Sosial dan Dewan Nasional Indonesia untuk
Kesejahteraan Sosial dengan Gramedia Pustaka Utama.

Iskandar, J. (1991). An evaluation of the shifting cultivation systems of the Baduy


society in West Java using system modelling, Thesis Abstract of AGS Students.

Makmur, A. (2001). Pamarentahan Baduy di Desa Kanekes: Perspektif


kekerabatan.

Nugraheni, E. & Winata, A. (2003). Konservasi lingkungan dan plasma Nutfah


menurut kearifan tradisional masyarakat kasepuhan Gunung Halimun, Jurnal
Studi Indonesia, Volume 13, Nomor 2, September 2003, halaman 126-143.

Permana, C.E. (2003). Religi dalam tradisi bercocok tanam sederhana, Indonesian
Arheology on the Net.

Ascher, Robert, 1971 Analogy in Archaeological Interpretation, dalam James


Deetz (ed.) Mans Imprint from the Past. Boston: Little Brown. Hal: 262271.

Danasasmita, Saleh dan Anis Djatisunda,., 1986 Kehidupan Masyarakat Kanekes.


Bandung: Sundanologi.

Ekadjati, Edi S., 1995 Kebudayaan Sunda (Suatu Pendekatan Sejarah). Jakarta:
Pustaka Jaya.

Garna, Judhistira, 1988 Perubahan Sosial Budaya Baduy dalam Nurhadi Rangkuti
(Peny.). Orang Baduy dari Inti Jagat. Bentara Budaya, KOMPAS, Yogyakarta:
Etnodata Prosindo.

1993 Masyarakat Baduy di Banten, dalam Koentjaraningrat (ed.) Masyarakat


Terasing di Indonesia. Jakarta: Gramedia . Hal. 120-152)

Hoevell, W.R. van, 1845 Bijdrage tot de kennis der Badoeinen in het zuiden der
residentie Bantam. TNI, VII: 335-430.

https://id.wikipedia.org/wiki/Urang_Kanekes

Anda mungkin juga menyukai