Anda di halaman 1dari 10

See discussions, stats, and author profiles for this publication at: https://www.researchgate.

net/publication/339209375

KEBUDAYAAN MELAYU BANJAR (Catatan Pengantar Diskusi Musyawarah


Budaya Banjar)

Article · October 2015

CITATIONS READS

0 7,654

1 author:

Setia Budhi
Universitas Lambung Mangkurat
55 PUBLICATIONS 61 CITATIONS

SEE PROFILE

Some of the authors of this publication are also working on these related projects:

Community Development Project View project

Farmer Education Program View project

All content following this page was uploaded by Setia Budhi on 12 February 2020.

The user has requested enhancement of the downloaded file.


KEBUDAYAAN MELAYU BANJAR
(Catatan Pengantar Diskusi Musyawarah Budaya Banjar)
Tabalong 29 Oktober 2015

Setia Budhi.PhD

Indigenous Studies – Pusat Studi Masyarakat Adat


Universitas Lambung Mangkurat Banjarmasin

Pendahuluan

Budaya sebagai pola pikir (kognitif), rasa (afektif) dan pola kepercayaan (spiritual), ia
dimiliki bersama satu kelompok sosial, yang memandu perilaku dalam menanggapi
perkembangan masyarakatnya.
Budaya bersifat abstrak dan dimiliki bersama. Budaya disebut personality atau
kepribadian. Budaya atau personality terwujud dlm perilaku nyata (behavior), ucapan (lisan
dan tertulis), atribut serta material.
Pembahasan kebudayaan khususnya warisan budaya pada dasarnya sebagai tema
yang luas, kebudayaan bersifat holistik. Para ahli membuat klasifikasi untuk mempermudah
memahami kebudayaan dengan tiga varian yaitu pengertian kebudayaan, unsur kebudayaan
dan wujud kebudayaan. Dari sudut pandang kebudayaan, ia merupakan blue-print yang
telah menjadi dalam perjalanan hidup manusia, ia menjadi perilaku. Pandangan semacam ini
telahpun menyebkan para peneliti bertanya perihal keberlanjutan kebudayaan pada ekspresi
simbolik individu dan kelompok dengan melihat proses pewarisan nilai-nilainya (Nasrullah,
Abdullah, 2006).
Dalam konteknya, unsur kebudayaan sangat berkaitan dengan warisan kebudayaan,
seperti bahasa, teknologi, ekonomi, organisasi sosial, pengetahuan, kesenian dan sistem
religi. Unsur kebudayaan sebagai pembentuk tatan nilai, lokal wisdom dan implementasinya
dalam kontek kehiduppan bermasyarakat dan berkebudayaan
Kebudayaan berupa pikiran, perbuatan atau tingkah laku, serta artifak. Unsur
kebudayaan dan wujud kebudayaan, dapat dilihat dua hal penting terkandung dalam warisan
budaya: (1) adanya suatu kolektivitas yang lebih luas, yakni „masyarakat‟, yang memiliki
warisan tersebut; (2) sifat „budaya‟ (cultural ideational) pada warisan tersebut, sehingga
Page 2 of 9

kata „warisan‟ juga dapat berarti hal-hal yang abstrak, seperti filosofi, pandangan hidup
kearifan-lokal, dan sebagainya. Jadi warisan budaya, peninggalan budaya, pusaka budaya,
atau „cultural heritage‟ tidak lain adalah perangkat simbol kolektif yang diwarisan dari
generasi ke generasi sebelumnya dan dari kolektivitas pemilik simbol tersebut (Artha dan
Ahimsa-Putra, 2004:34-35).
Dengan begitu, kebudayaan Banjar adalah pikiran, perbuatan atau tingkah laku, serta
artifak-artifak terkait dengan orang Banjar dalam konsek sejarah maupun peninggalannya,
dari masa lalu hingga kekinian yang terangkum dalam alam Melayu beserta unsur
pembentukannya.

Siapakah Melayu Banjar

Sejalan dengan tema diskusi ini, sepertinya ingin mencari tahu bagaimana Urang Banjar dan
kebudayaannya. Apakah yang dapat dilakukan dan dikembangkan dalam kontek masyarakat
Banjar. Bagaimana strategi pengembangan dalam kaitan dengan pembangunan masysrakat
di daerah ini.
Urang Banjar menurut pandangan beberapa peneliti seperti Daud (2000) Salim
(1996) da Potter, (1998) termasuk masyarakat yang dekat dengan kegiatan perdagangan.
Selain dikenal sebagai pedagang, mereka juga dikenal dengan ke-Islamannya” (Salim,
1996). Pola usaha yang dominan dilakukan oleh Urang Banjar (indiidu) maupun masyarakat
Banjar (community) dalam memenuhi kebutuhan hidup sehari-hari adalah berniaga,
berdagang, badagang, bajualan (Daud, 2002). Orang Dayak Bukit bahkan menyebut orang
Banjar sebagai Urang Dagang (Radam). Pilihan usaha ini sejalan dengan karakter
masyarakat Banjar yang bermukim di kawasan pesisir dan muara sungai.
Pembahasan dan diskusi tentang asal mula Urang Banjar, dalam makalah ini tidak
akan menyentuh mengenai asal mula dan identitasnya. Tetapi cukup dengan pandangan
yang sudah umum Urang Banjar sebagai entitas grup (kelompok besar) berdasarkan
teritorialnya dan unsur pembentuk suku berdasarkan persfektif kultural dan genetis yang
menggambarkan percampuran penduduk pendatang dengan penduduk setempat.
Banjarese Studies, Noerid Haloei Radam (1996, 2001) dan Alfani Daud (1997, 2002)
bahwa orang Banjar modern itu terbentuk dari adanya pertemuan dan percampuran antar
Page 3 of 9

kelompok Ngaju, Ma‟anyan, dan Bukit yang menghasilkan tiga kelompok subetnis, yaitu
Banjar Kuala, Banjar Batang Banyu, dan Banjar Pahuluan.
Oleh sebab itu nampaknya kesepakatan pembagian sub suku Banjar berdasarkan tiga
teritorial berikut : 1.Banjar Pahuluan adalah Orang Melayu dan Orang Meratus, berbahasa
Melayu. Meratus sebagai ciri kelompoknya. 2.Banjar Batang Banyu adalah campuran Orang
Pahuluan, Orang Melayu, Dayak Maanyan, Dayak Lawangan. Maanyan sebagai ciri
kelompok. 3.Banjar Kuala adalah campuran Orang Kuin, Orang Batang Banyu, Dayak
Ngaju (Berangas, Bakumpai), sebagaian Orang Kampung Melayu Banjarmasin. Ngaju
sebagai ciri kelompok.
Proses amalgamasi masih berjalan hingga sekarang di dalam grup Banjar Kuala
yang tinggal di kawasan Banjar Kuala - kawasan yang dalam perkembangannya menuju
sebuah kota metropolitan yang menyatu yang kemudian dikenal sebagai Banjarmas Bakula.
Dalam kaitan dengan penggunaan bahasa Melayu yang dipergunakan, secara konsisten,
konteks antropologi masyarakat Banjar sebagai Melayu Banjar dan kontek Banjar rumpun
klasik kemudian disebut Banjar Archaic.

Kekerabatan Bubuhan dan Relasi Badingsanak

Secara sederhana istilah Bubuhan, dipahami sebagai warga atau kelompok orang Banjar
yang berada dalam satu ikatan kekerabatan luas yang bersandar pada tiga hal yaitu
Genealogis, Lokalitas dan ikatan Sejarah. Pengertian yang sederhana ini kemudian dapat
dilihat dari kontek internal dan sebagai pandangan orang yang diluar komunitas.
Pandangan internal seperti bubuhan Pagustian, bubuhan Kalua, bubuhan Alabio,
bubuhan Alai, bubuhan Kandangan, bubuhan Sungai Jingah, bubuhan Pambalah Batung dan
seterusnya. Bubuhan dapat pula diartikan dalam kontek komunitas kecil misalnya bubuhan
Pamadihinan, bubunan Palamutan, bubuhan Paunjunan. Tetapi juga dapat dikaitkan dalam
kontek bubuhan kekerabahan lain seperti bubuhan Tetuha, bubuhan Almarhun Haji Dullah,
bubuhan Kapala Padang, bubuhan Pambakal Tuha yang membawa pada sistem patrimonial.
Seperti dalam deskpsi bubuhan, ikatan kekerabatan juga dapat dimaknai sebagai
kaitan tempat tinggal dan mengidentivikasi tempat tinggal dan kelahirannya seperti bubuhan
Page 4 of 9

Barabai, bubuhan Martapura, bubuhan Dalam Pagar, Bubuhan Tabudarat, Bubuhan Sarang
Tiung dan seterusnya.

Bubuhan Dayak Maratus tuti iya nang bagana di Loksado. Bubuhannya ti sakalinya masih
ada kancur jariangaunya jua wan bubuhan Dayak Ngaju. Bahari ti, bubuhannya bagana di
tabing sungai, tabing laut, wan di hunjuran Pagunungan Maratus, Kalimantan Selatan.
Makanya am, bubuhannya ti badingsanakan haja jua wan urang Banjar Hulu wan Banjar
Kuala. Ada hual nang maulah bubuhannya ti madam, ayungannya bagana, di hunjuran
Pagunungan Maratus. Bubuhannya badiam bagalumuk. Wadah badiam tuti ngarannya
Balai. Rumah tinggi nang saling ganalan, nang didiami bapuluh-puluh kulawarga.
Sakulawargaan mandiami babuncu Balai nang banyak, nang ngarannya “Ujuk”.( A.
Syarmidin, 2010)

Budaya bertenggang rasa dalam pergaulan antar manusia seperti di mana bumi
dipijak, di situ langit dijunjung. Urang Banjar dengan makna badiri sadang, baduduk
sadang artinya, “orang baik adalah orang yang bisa menyesuaikan diri dalam pergaulan
sehari-hari, dalam situasi dan kondisi apa pun, kapan pun dan di manapun”.
Orang Banjar bersifat terbuka dan toleran, asalkan pihak lain tidak keterlaluan -- apa,
siapa, dan dari manapun “pihak lain” itu, termasuk dari bubuhan Papadaan (sesama)-nya
sendiri. Ungkapan kitorang basudara (“kita bersaudara”) diungkapkan sebagai “kita
badingsanak (“kita bersaudara”).
Beberapa kekerabatan dalam etnik Dayak di Kalimantan mendapati walaupun satu
rumpun keluarga menganut agama dan keyakinan yang berbeda, kerukunan mereka tetap
terjaga. Uraian ini dapat diperjelas dengan memahami upacara Tiwah yang memperlihatan
bagaimana keluarga Muslim dan non Muslim bersatu menyelenggarakan upacara kematian
leluhur. Rumah Tempat tinggal sementara upacara berlangsung untuk keluarga Muslim
mereka sebut Balai Hakey.
Kekerabatan Bubuhan dan Relasi Badingsanak dapat disebut sebagai sebagai Modal
Sosial, sebagaimana Fukuyama (1999) bahwa Modal Sosial memegang peranan yang sangat
penting dalam memfungsikan dan memperkuat kehidupan masyarakat modern. Modal sosial
sebagai persyaratan bagi pembangunan manusia, pembangunan ekonomi, sosial, politik, dan
stabilitas demokrasi. Di dalamnya merupakan komponen kultural bagi kehidupan
masyarakat modern. Korupsi dan penyimpangan yang terjadi di berbagai belahan bumi dan
terutama di negara-negara berkembang Asia, Afrika, dan Amerika Latin, salah satu
determinan utamanya adalah rendahnya modal sosial yang tumbuh di tengah masyarakat.
Page 5 of 9

Modal sosial yang lemah akan meredupkan semangat gotong royong, memperparah
kemiskinan, meningkatkan pengangguran, kriminalitas dan menghalangi setiap upaya untuk
meningkatkan kesejahteraan penduduk.
Istilah modal sosial (social capital) sudah lama muncul dalam literatur. Istilah ini
pertama kali muncul di tahun 1916 di saat ada diskusi tentang upaya membangun pusat
pembelajaran masyarakat (Cohen & Prusak, 2001). Konsep modal sosial diangkat
kepermukaan sebagai wacana ilmiah oleh James S. Coleman (1990). Pembahasan tentang
konsep modal sosial akhir-akhir ini semakin hangat setelah munculnya tulisan Putnam
(1993) yang menggambarkan kualitas kehidupan masyarakat Amerika yang makin menurun
dalam hal kelekatan antar sesama warga (Putnam, 1993).
Dalam Trust: The Social Virtues and the Creation of Prosperity yang terbit tahun
1995. dan “The Great Depression: Human Nature and the Reconstitution of Social Order”
tahun 2000. Fukuyama kuatir tentang masa depan komunitas manusia yang diutarakannya
seperti berikut: “We no longer have realistic hopes that we can create a “great society”
through large government program”.
Robert Putnam (2000) “Bowling Alone: The Collapse and Revival of American
Community”. Bahwa kehadiran masyarakat yang menekankan pada kehidupan yang
ekonomi yang terlalu tertuju pada pertumbuhan dapat menghantarkan manusia pada
kehancuran. Dimata Fukuyama (2000) transisi masyarakat dari masyarakat industri menuju
masyarakat informasi semakin memperenggang ikatan sosial dan melahirkan banyaknya
patologi sosial seperti meningkatnya angka kejahatan, anak-anak dan menurunnya
kepercayaan.
Solidaritas, toleransi, semangat bekerjasama, kemampuan berempati, merupakan
modal sosial yang melekat dalam kehidupan bermasyarakat. Hilangnya modal sosial dapat
dipastikan kesatuan masyarakat akan terancam, atau paling tidak masalah-masalah kolektif
akan sulit untuk diselesaikan. Kebersamaan dapat meringankan beban, berbagi pemikiran,
sehingga dapat dipastikan semakin kuat modal sosial, semakin tinggi daya tahan dan kualitas
kehidupan suatu masyarakat. Robert Putnam menyatakan bahwa pengembangan modal
sosial 1. menumbuhkan semangat charity (amal) 2. memicu volunteerism (kesukarelawanan)
3. membangun civil involvement (keterlibatan warga).
Page 6 of 9

Woolcock dan Narayan (2000) membuat sintesis pengertian modal sosial dengan 4
kategori. Keempat kategori tersebut memang berbeda, tetapi tidak saling bertentangan satu
dengan yang lain (Christiaan Grootaert & Thierry van Bastelaer (eds), 2002).
Pertama, perspektif komunitarian. Dari perspektif ini, modal sosial digambarkan
dalam pengertian organisasi-organisasi dan kelompok-kelompok lokal. Perspektif ini
membantu para praktisi pembangunan untuk memusatkan perhatian pada peran relasi sosial
dalam mengurangi kemiskinan. Kedua, perspektif jejaring (network). Perspektif jejaring
mendefinisikan modal sosial dengan mengacu pada berbagai hubungan (relasi) antara
berbagai perkumpulan (asosiasi) vertikal dan horisontal. Dalam sudut pandang ini, berbagai
hubungan tersebut dibedakan menjadi hubungan interkomunitas dan hubungan
antarkomunitas.
Ketiga, perspektif institusional. Dari sudut pandang ini diketahui bahwa lingkungan
institusional, legal dan politis (institutional, legal and political environment) merupakan
penentu penting dan utama kuat-tidaknya jejaring masyarakat. Keempat, perspektif sinergi.
Perspektif ini memusatkan perhatian pada berbagai hubungan di antara dan di dalam
berbagai pemerintah dan masyarakat sipil. Pada dasarnya, perspektif sinergi ini
mendasarkan diri pada asumsi bahwa tidak satu pun aktor atau pelaku pembangunan
(negara, swasta, dan masyarakat) mempunyai akses sendiri terhadap sumber-sumber daya
yang diperlukan untuk menciptakan pertumbuhan yang adil dan berkelanjutan. Dalam
pandangan ini, boleh juga dikaitkan bahwa kekerabatan Bubuhan dan Badingsanak sebagai
potensi positif saling bersinergi.

Sensitifitas Pencatatan Budaya : Dimanakah Local Wisdom ?

Acapkali peneliti dan juga penggiat budaya mengabaikan fenomena budaya yang ada
dihadapannya sebagai hal biasa saja, sehingga luput dari pencatatan. Sensitivitas peneliti dan
penggiat budaua mutlak diperlukan dalam hal ini dengan cara membaca berbagai penelitian
terdahulu atau melakukan refleksi dari kehidupan masyarakat luar.
Tahun 2012-2014, dalam kunjungan studi lapang mahasiswa ke sebuah Kampung
Banjar di Banjarmasin. Tujuannya adalah untuk memberikan pengatahuan lapangan pada
mahasiswa tentang keberadaan rumah Orang Banjar. Saya memberi bekal mahsiswa dengan
Page 7 of 9

pertanyaan-pertanyaan yang ditanyakan ketika berjumpa dengan pemilik rumah atau


penduduk sekitarnya. Hasil kunungan lapangan itu sungguh memprihatinkan bahwa 70 %
penghuni rumah tidak mampu lagi menjelaskan makna-makna ornament dan bangunan
rumah Banjar itu. Bentuk rumah Banjar Bubungan Tinggi, Palimasan, Gajah Manyusu,
Anjung Surung, Gajah Baliku sudah tidak mereka ketahui.
Pengalaman seorang peneliti yang mencari pemaknaan dari rumah Limas
Palembang. Ternyata pada umumnya penghuni rumah tersebut tidak menguasai lagi hal-hal
yang peneliti tanyakan. Hal ini disebabkan sebagian besar penghuni Rumah Limas tersebut
merupakan generasi penerus dari rumah pertama. Hanya generasi pertama dan kedua dari
penghuni rumah tersebut yang menguasai tentang struktur bangunan arsitektur Rumah
Limas tersebut beserta makna-makna yang terkandung di dalamnya (Purnama, 2000:30).
Begitu pula dalam keseharian, warga hanya melakukan aktivitas sehari-hari tapi
dibalik itu ada pola tertentu dan tugas peneliti menemukannya. Pola-pola perilaku ini
merupakan hasil analisis peneliti atas perilaku satu atau banyak individu yang muncul
berulang kali dengan tingkat kemiripan yang sama (Ahimsa-Putra, 2007:21)

Lokal Wisdom Melayu Banjar Berdasarkan Mata Pencaharian

Mata Pencaharian Jenis Usaha


Dataran tinggi, beberapa kriteria penyebutan Bakabun
Pertanian Kebun - BAKABUN seperti: Ladang Tegalan atau Bahuma Gunung, Berkebun
Kacang Tanah di Gunung atau Bakacang. Kebun Rumbia,
Kabun Hanau atau Enau Kebun Nyiur Kabun Gatah,
Kabun Pisang, Kabun Lurus, Kabun Paring-Buluh atau
Bambu, Kabun buah-buahan bermusim – Langsat,
Rambutan, Durian
Pertanian Sawah - BAHUMA Sawah Tahun
Bahuma Surung
Bahuma Rintak
Bahuma Gadabung
Bahuma Penyambung
Huma musim untuk musiman biasanya dilakukan setelah
penen Misalnya: Batanam gumbili, Batanam Sumangka,
Waluh, dan Jagung.
Pertanian - PAIWAKAN Perikanan Darat, Perikanan disungai besar, Kumpai
Paiwakan, Raba, Danau, Sungai Paiwakan, Sumur
Paiwakan.
Page 8 of 9

Pertenakan - BAINGU Baingu Hadangan, Baingu Itik, Baingu Sapi, Baingu


Hayam .
Meramu - BARAMU Meramu kegiatan meramu yang ada di masa sekarang ini
yaitu:, Meramu Galam, Meramu Halayung dan Sirang,
Meramu Kapur Naga, Papung, dan Balangiran, Meramu
Paikat.
Kerajinan – PANGAMAS, Beberapa jenis kerajinan yang berkembang
BATUKANG Penggosokan intan dan batu-batu alam, Kerajinan
Gerabah, Kerajinan dengan media daun-daunan,
Kerajinan pembuatan kain tradisional, Kerajinan Rotan,
Kerajinan pembuatan alat penangkap ikan, Kerajinan
Jangang, Pembuatan anyaman Purun, Pertukangan
rumah. Kerajinan Sulam-menyulam dan membordir,
Tukang Mas (Paamasan) Pembuatan kue-kue tradisional.
Kerajinan Kuningan. Kerajinan anyaman Bambu dan
Pandai Besi (Pandai Wasi)
Sumber : berbagai penelitian

Catatan penutup dan diskusi

Konvensi Perlindungan Warisan Budaya Tak Benda (Convention for the Safeguarding of the
Intangible Cultural Heritage) tahun 2003. Ratifikasi disahkan melalui Peraturan Presiden
Nomor 78 Tahun 2007 tentang Pengesahan Konvensi Perlindungan Warisan Budaya Tak
Benda. Budaya tak benda Melayu Banjar, menjadi kewajiban untuk digali lagi.
Saya ingin mengutip pandangan Rustam Effendi (2015) dalam bahwa bukan tidak
mungkin, nilai-nilai dalam Melayu lama itu masih sangat penting bagi masyarakat kita
zaman sekarang. St. Baroroh Baried, dkk. (1985) mengemukakan, “Dengan mengakaji isi
naskah-naskah itu, akan tergalilah kebudayaan Indonesia lama, tempat berakar dan
berpijaknya Indonesia sekarang. Membina dan mengembangkan kebudayaan Indonesia
memerlukan pengetahuan mengenai kebudayaan daerah. Lokal wisdom harus dipelajari lagi
dan dijadikan pilar dan filter bagi masuknya budaya asing yang bertentangan dengan budaya
nasional.
Page 9 of 9

PUSTAKA

Ahimsa-Putra, H.S. 2007. Paradigma, Epistemologi, dan Metode Ilmu Sosial Budaya:
Sebuah Pemetaan, makalah seminar, Yogyakarta

Artha dan Ahimsa-Putra, 2004. Jejak Masa Lalu, Sejuta Warisan Budaya, Kunci Ilmu,
Yogyakarta.

Daud, Alfani, 1997. Islam dan Masyarakat Banjar Deskripsi dan Analisis Kebudayaan
Banjar, PT RajaGrafinfdo Persaja, Jakarta.

Nasrullah, 2008. Ngaju, Ngawa, Ngambu, Liwa (Analisis Strukturalisme Levi-Strauss


terhadap Konsep Ruang dalam Pemikiran Orang Dayak Bakumpai di Sungai Barito,
Tesis Pascasarjana Program Studi Antropologi, UGM, Yogyakarta.

KISAH DATU KANDANGAN WAN DATU KARTAMINA Kisah Rakyat Kabupaten Hulu
Sungai Selatan Bahasa Banjar, Dinas Kebudayaan dan Pariwisata Kabupaten Hulu
Sungai Selatan 2010.

Potter, Lesley. 2000. “Orang Banjar di dan di luar Hulu Sungai Kalimantan Selatan Studi
tentang Kemandirian Budaya Peluang Ekonomi dan Mobilitas”, dalam Sejarah
Ekonomi Modern Indonesia. Thomas Lindblad (ed.). Jakarta: LP3ES

View publication stats

Anda mungkin juga menyukai