Anda di halaman 1dari 15

PAPER

KEPEMIMPINAN KEPAMONGPRAJAAN

BUDAYA PARADJE’ SUKU MELAYU DAERAH KABUPATEN SANGGAU


PROVINSI KALIMANTAN BARAT

Dosen Pengampu :

Disusun Oleh :

AL ABI ISNA
32.0682

PROGRAM STUDI KEUANGAN PUBLIK


FAKULTAS MANAJEMEN PEMERINTAHAN
INSTITUT PEMERINTAHAN DALAM NEGERI
JATINANGOR
2021
Abstrak
BAB I

PENDAHULUAN

I.1 Latar Belakang

Tema tentang identitas dan budaya lokal selalu menarik perhatian masyarakat. Salah
satu topik yang cukup menarik untuk diangkat adalah identitas mengenai kebudayaan suatu
daerah khususnya pada tulisan kali ini yang mencoba mengkaji dan membahas kebudayaan
serta identitas Kabupaten Sanggau Provinsi Kalimantan Barat. Identitas atau jati diri sering
kali menjadi bahan pembicaraan yang hangat. Diskursus tersebut tersuguh di ruang publik
hampir di setiap kesempatan, terutama ketika muncul pemberitaan-pemberitaan atau isu-isu
ketegangan antarkelompok. Secara awam, jati diri merupakan nama lain dari identitas atau
ciri. Dari aspek leksikal, konsep jati diri itu dapat dipahami melalui Kamus Besar Bahasa
Indonesia (KBBI), yakni: 1) ciri-ciri, gambaran, atau keadaan khusus seseorang atau suatu
benda; identitas; 2) inti, jiwa, semangat, dan daya gerak dari dalam; spiritualitas (https://kbbi.
kemdikbud.go.id) diakses pada Agustus 2017).

Dalam dunia akademik, istilah identitas atau identity lebih sering dipakai
dibandingkan jati diri. Identity adalah kata dari bahasa Inggris yang berasal dari bahasa Latin
identidem atau
idem yang berarti persamaan atau kesinambungan (Shamsul, 2001: 13- 14). Mesthrie dan
Tabouret-Keller (2001: 165-168) menyebutkan bahwa identitas adalah sifat-sifat (ciri-ciri dan
sebagainya) yang terdapat pada seseorang atau sesuatu yang sebagai suatu keseluruhan
memperkenalkannya atau mengasingkannya daripada yang lain. Setidaknya ada dua pendapat
yang muncul berkaitan dengan identitas itu. Pertama, identitas sebagai satu ciri yang stabil
(beku) yang tidak berubah. Kalau sekelompok orang dikenal dengan identitas itu, maka
selamanya identitas itu harus melekat pada dia. Tidak bisa dibuang, tidak bisa diganti.
Kedua,identitas sebagai ciri yang cair (fluid) yang dapat berubah sesuai kepentingan.
Identitas seseorang bisa dipilih menurut kepentingan dan kemauan. Dari dua pendapat itu,
pendapat kedua yang menganggap identitas sebagai sesuatu yang cair lebih sering dipakai di
kalangan ilmuan (Shamsul, 1996:476-499).

Budaya merupakan tatatan nilai, norma dan pereilaku dalam masyarakat yang
ditradisikan secara turun temurun. Budaya juga menjadi pedoman dalam bertingkah laku,
melalui budaya tatanan masyarakat berjalan dengan teratrur dan tenteram. Membahas konteks
budaya yang ditradisikan secara turun temurun terdapat suatu budaya yang hingga sekarang
masih berlangsung, dan budaya tersebut dinamakan budaya Faradje. Faradje’ merupakan
ritual bersih negeri masyarakat Melayu Sanggau, tradisi ini dilaksanakan setiap tahun oleh
kerabat Istana dan masyarakat Sanggau. Budaya Faradje’ sendiri telah ditetapkan sebagai
warisan budaya tak benda oleh kementrian pendidikan dan kebudayaan melalui Direktorat
Jendral Kebudayaan Kabupaten Sanggau. Makalah ini ditulis untuk menggali lebih dalam
mengenai budaya paradje di Kabupaten Sanggau.

I.2 Tujuan

Makalah ini ditulis dengan tujuan untuk :

1. Memperkenalkan budaya Paradje dari Kabupaten Sanggau Kalimantan Barat kepada


Praja IPDN
2. Memperkenalkan budaya Suku Melayu khususnya di Kabupaten Sanggau Kalimantan
Barat kepada Praja IPDN
3. Menggali dan mengkaji budaya Paradje

I.3 Studi Literatur

I.3.1 Suku Melayu di Kalimantan Barat

Melayu adalah kelompok dominan di provinsi ini. Tidak diketahui pasti


jumlah mereka tetapi perkiraan kasar berjumlah sekitar 40-50 persen dari
keseluruhan jumlah penduduk Kalimantan Barat (Yusriadi, 2008a: 2-3; Purba, et al.,
2011: 160) Pembentukan identitas Melayu dalam konteks Kalimantan Barat dimulai
sejak Islam masuk ke wilayah ini. Namun belum ditemukan hasil hasil kajian yang
dapat menunjukkan kapan persisnya awal mula penggunaan istilah Melayu sebagai
identitas etnik di Kalimantan Barat. Melayu digunakan untuk menyebut identitas
penduduk Kalimantan Barat yang beragama Islam. Hampir di semua kawasan di
pusat kebudayaan Melayu (misalnya ibu kota kecamatan) mengenal konsep
“menjadi Melayu” atau “masuk Melayu”. Istilah ini merujuk kepada orang yang
memeluk agama Islam (Purba, et al., 2011: 7-10; Yusriadi, 2002: 1-10).

Pada aspek budaya, bentuk identitas budaya Melayu yang sifatnya umum
merujuk kepada orang Melayu secara keseluruhan. Contohnya adalah budaya silat,
jepin, barzanji, tepung tawar, dan juadah yang dianggap sebagai budaya Melayu
yang umum. Sedangkan bentuk identitas budaya yang sifatnya khusus merujuk
kepada sub-Melayu. Misalnya, identitas bubur paddas, kue lapis, saprahan, dan
balale’ untuk masyarakat Melayu Sambas; masakan asam pedas dan meriam karbit
untuk Melayu Pontianak dan sekitarnya; ale-ale untuk makanan khas Melayu
Ketapang, temet (kerupuk basah) dan lamoy untuk masyarakat Melayu di Kapuas
Hulu. Contoh lain dari identitas budaya Melayu yang bersifat khusus adalah batik
pucuk rebung sebagai identitas Melayu Pontianak, syair gulung sebagai identitas
Melayu Ketapang, tumpeng negeri sebagai identitas Melayu Ngabang. Identitas
budaya yang seperti ini umumnya masih terjaga keberlangsungannya hingga kini
dan ditampilkan dalam berbagai kegiatan. Selain dalam tradisi upacara adat,
kesenian, dan kuliner, ada pula identitas lain yang dapat mem-perlihatkan identitas
budaya Melayu yang bersifat khusus, yaitu dialek. Misalnya, dialek Sambas untuk
orang Melayu Sambas (dan Singkawang), dialek Melayu Pontianak untuk orang
Melayu Pontianak, dialek Melayu Ketapang untuk orang Melayu di Ketapang, dialek
Sanggau untuk orang Melayu di Sanggau dan Sekadau, dialek Melayu Sintang untuk
Melayu Sintang, dialek Melayu Pinoh untuk Melayu di penghuluan Sungai Melawi,
Melayu Putussibau untuk orang Melayu di Putussibau dan Semitau, dialek Melayu
Embau untuk orang Melayu di sepanjang Sungai Embau, dialek Melayu Selimbau,
untuk orang Melayu di Selimbau, dan masih banyak lagi dialek lainnya. (Yusriadi,
2006: 137) Identitas Melayu dari bahan budaya ini diperkuat dengan pembentukan
lembaga Majelis Adat dan Budaya Melayu Kalimantan Barat (MABM) di Pontianak
tahun 1997 dan pembangunan rumah Melayu Kalbar di Pontianak tahun 2003.

MABM melakukan pengukuhan identitas Melayu antara lain melalui


pergelaran Festival Seni Budaya Melayu (FSBM). Pada festival ini diselenggarakan
pentas tari, tampilan pakaian adat, penge-nalan tradisi khusus (seperti saprahan yaitu
makan bersama secara berkelompok dalam satu majelis), dan lain sebagainya. Selain
itu, muncul juga organisasi-organisasi lain yang mengatasnamakan Melayu, sebagai
contoh Melayu Arus Bawah, Laskar Melayu, Permak, Persatuan Forum Komunikasi
Pemuda Melayu (PFKPM), Pemuda Melayu, dan Perkumpulan Orang Melayu
(POM). Sekalipun lembaga-lembaga tersebut lebih banyak yang bergerak di bidang
yang berkaitan dengan gerakan politis, tetapi mereka memilih simbol budaya
Melayu sebagai titik perhatian utama. Maka, di Pontianak terlihatlah kegiatan-
kegiatan pentas seni, saprahan massal, serta pawai atau kirab budaya Melayu
I.3.2 Suku Melayu di Kabupaten Sanggau Kalimantan Barat

Melayu Sanggau (Bahasa Melayu: Melayu Sanggau, Jawi: ‫ماليو سڠاو‬, Bahasa
Belanda: Sanggau Maleis) adalah sebuah kelompok etnis dari Suku Melayu yang
menghuni sebagian besar wilayah Kabupaten Sanggau, jumlah Masyarakat Melayu
Sanggau yang tersebar di Nusantara kurang lebih sekitar 400.000 orang (kurang
lebih sekitar 200.000 orang di Sanggau sekarang, masih perlu rujukan). Nama
"Sanggau" sendiri diambil dari kata "Sangga" yang berarti penopang, atau tiang.
Dikarenakan posisi Negeri Sanggau yang berada ditengah-tengah Negeri-Negeri
Kapuas.

I.3.3 Faradje

Faradje, Kegiatan tersebut dilaksanakan dengan mengelilingi kota Sanggau


yang awal keberangkatannya dari Istana Surya Negara dan kembali lagi tempat yang
sama. kegiatan tersebut tentu saja memikat banyak orang untuk menyaksikannya,
Faradje’ ini juga dilakukan guna menghentikan atau mengakhiri segala bentuk
gangguan, ancaman, musibah, dam marabahaya yang menimpa rakyat. Budaya
faradje juga dapat meningkatkan kekeluargaan dan solidaritas social masyarakat,
sebagaimana konsep solidaritas social menurut Garna tahun 1996 (Fatmawati, et.all:
2015:2), social solidarity is a relationship or bond of groups of people who have
social relations based on family ties or friendship bound by meeting the emotional
feelings and the feeling of togetherness. Sejarah Faradje’ sendiri memiliki banyak
sumber karena rangkaian ritual ini awalnya adalah berpisah-pisah satu sama lain.
Seperti Laskar Ratib Saman, Laskar Surah yasin, Laskar Lafal Faradje’, Penabuh
Meriam, Pengumandang Adzan, dan Kirab Faradje’.

Faradje berasal dari kata faraj jika ditinjau dari bahasa Arab yang berarti
”kembang‟, “diluaskan‟. Pada pandangan biologi, faraj berfungsi sebagai saluran
untuk mengeluarkan benda kotor baik dalam bentuk padat maupu bentuk cair dari
tubuh. Hal tersebut memberikan manfaat terhadap kesehatan tubuh dan melindungi
tubuh dari virus-virus atau unsur-unsur luar yang negatif dan dapat mengancam
kesehatan tubuh itu sendiri. Dalam kitab yang merangkum catatan-catatan yang
ditulis Syech Nefzawi sekitar abad ke 16 “Faraji” atau “faraj” bermakna
penyelamatan dari nasib buruk. Dalam pelajaran tasawuf kata “faraj” secara leksikal
bermakna terlepas dari kesedihan dan kegundahan serta bermakna kelapangan. AL
Habib Muhammad Ridha Yahya dan AL Habib Zaky bin Ridha Yahya mengatakan
bahwa kata “faraj” berhubungan dengan ikhtiar atau usaha guna mendapatkan jalan
dan keluasan terhadap berbagai urusan. Bahkan jalan atau keluasan tersebut juga
berfungsi untuk menghindari rintangan, kesulitan, bencana, bala dan malapetaka
yang kemungkinan akan menimpa. Sebenarnya ada banyak kontroversi mengenai
keberadaan dan identitas faradje‟ itu sendiri. Bahkan di beberapa tempat terdapat
perbedaan terutama mengenai pelaksanaan ritual faradje itu sendiri. Berikut ini
tahapan mengenai kegiatan faradje yang dianut masyarakat Melayu Sanggau zaman
sekarang dan zaman terdahulu.

A) Ritual Faradje’ Zaman Dahulu

Pada zaman dahulu pelaksanaan ritual faradje dilakukan apabila terjadi suatu
bencana, malapetaka, mencari orang hilang, orang sakit, dan sebagainya berkenaan
dengan bencana yang menimpa perkampungan tertentu di daerah Sanggau. Berikut
adalah proses pelaksanaan ritual faradje yang disusun secara kronologi dari tahap
persiapan, tahap pelaksanaan ritual, tahap akhir ritual.

1. Tahap Persiapan (Tahap Awal)


Sebelum melaksanakan ritual faradje ini, ketua adat atau pemuka agama
setempat harus mempersiapkan orang terlebih dahulu. Dalam pelaksanaan
ritual ini, orang yang mengikuti pelaksanaan faradje minimum 99 orang.
Laskar yang mengikuti faradje ini terdiri dari laskar surah Yasin, laskar
lafaz faradje, dan laskar mengumandangkan azan

2. Tahap Pelaksanaan Ritual


Setelah 99 orang terkumpul dan orang-orang yang ditunjuk sebagai laskar-
laskar pada ritual faradje telah siap, maka ritual ini mulai dilaksanakan
dengan mengitari empat penjuru negeri Sanggau. Pada zaman dahulu arah
atau jalur perjalanan empat penjuru ini bergantung pada kampung,
kebiasaaan adat masing-masing, serta malapetaka yang ada. Misalnya di
sebuah perkampungan ada orang yang hilang dan orang hilang itu adalah
petani, maka jalur perjalanan bergantung pada kemungkinan orang itu
berjalan dan jalur pun pasti akan melewati sawah tempat biasanya dia
berladang. Ritual ini akan dimulai dengan lafaz faradje yaitu:

“Yarobibihim wabialaimin hadjilbinasari yakibil paradje‟ Astajim


asmatutam paradje‟ Kadahal zanalai yakibil paradje‟

Lafaz faradje di atas dibacakan bersama-sama oleh setiap orang yang


mengikuti faradje dengan suara keras dan lafaz faradje tersebut
dinyanyikan, kecuali laskar pembaca surah Yasin. Laskar yang bertugas
membacakan surah Yasin harus membacakan surah Yasin bersamaan
dengan lafaz faradje tadi. Namun, laskar pembaca surah Yasin
membacakan surah Yasin dengan suara yang pelan. Ketika telah sampai di
salah satu empat penjuru negeri dari jalur perkitaran, maka laskar yang
ditugaskan untuk mengumandangkan azan akan mengumandangkan azan.
Dan laskar yang bertugas membacakan surah Yasin dan lafaz faradje itu
pun harus berhenti membacakan surah Yasin dan lafaz faradje yang
dibacakan tadi karena mereka harus mendengarkan azan yang
dikumandangkan oleh laskar yang mengumandangkan azan. Setelah azan
dikumandangkan maka perjalanan pun berlanjut, laskar surah Yasin dan
laskar fardje kembali melaksanakan tugasnya. Proses ini terus berlangsung
sehingga selesai mengitari empat penjuru negeri. Jalur perjalanan empat
penjuru negeri ini, memang telah dipersiapkan. Jalur perjalanan ini
biasanya dipilih karena jalur merupakan tempat terjadinya bencana yang
menimpa tempat tersebut. Jalur yang dipilih merupakan tempat ritual itu
dimulai maka, di situ pulalah akhir perjalanan ritual tersebut.

3. Tahap Akhir Ritual


Selesai mengitari empat penjuru tadi, ketua adat atau pemuka agama
setempat melakukan doa bersama dengan mengharapkan keridhaan Allah
s.w.t agar ritual yang dilaksanakan tadi dapat menghilangkan bencana yang
sedang dihadapi oleh daerah setempat. Setelah membaca doa bersama-
sama, maka orang yang mengikuti ritual ini dapat pulang ke rumah
masing-masing.
B) Ritual Faradje’ Pasaka Negeri (Ritual Faradje Zaman Sekarang)

Pada ritual faradje‟ yang dilaksanakan sekarang, laskar yang bertugas


mengitari empat penjuru negeri ini tidak terdiri dari 3 laskar lagi, melainkan 5 laskar
yakni laskar ratib saman, laskar pembaca surah Yasin, laskar lafaz faradje‟, laskar
mengumandangkan azan, dan laskar penabuh meriam.

1. Laskar Ratib Saman


Laskar tersusun dalam satu barisan yang berjumlah 33 orang. Dalam
perjalanan laskar ini menyerukan lafaz ratib saman dengan lantang sambil
mengayunkan pedang dengan ujung berada di langit dan pusat bumi,
seperti berbentuk Alif-Lam. Lafaz ratib saman berbunyi:

“Laillahaillallah... Hulmalikul habbulmubin, Muhanmmadarrosulullah


Sadikul Waidul amin”

Lafaz ini terus menerus diucapkan dari awal melangkah keluar istana
sehingga masuk kembali ke dalam istana (keraton).
2. Laskar Surah Yasin
Laskar pembaca surah Yasin berjumlah sembilan orang. Dalam perjalanan
menempuh jalur tersebut laskar ini terus-menerus membaca surah Yasin
dari awal hingga berakhir di Istana Surya Negara.

3. Laskar Lafaz Faradje


Laskar faradje berjumlah 57 orang yang berbentuk dalam satu barisan
yang dipimpin satu imam dengan membaca lafaz faradje yang berbunyi:
“Isytaddi Ajmantu Tamfarji... dan dijawab oleh makmum: “Yaa Rabbihim
Wabi „Aalihim, „Ajil Binnasriwalbilfaraji‟ yang diucapkan bersama-
sama dengan suara kuat dan lantang. Lafaz ini dibaca terus menerus dari
keluar keraton hingga kembali ke Istana Surya Negara. Bacaan faradjee
merupakan momen utama dalam rangkaian acara Festival Budaya Fardje
Pasaka Negeri di Kabupaten Sanggau. Bacaan ini merupakan ide awal
penamaan festival budaya tersebut. Hanya saja hingga saat ini bacaan
tersebut terus menerus menjadi polemik yang berpanjangan dalam
kalangan masyarakat Sanggau karena terdapat banyak versi mengenai
bacaan lafaz faradje ini. Hal ini disebabkan terputusnya informasi dari
tetua masyarakat Melayu Sanggau kepada generasi yang berikutnya,
sedangkan mayoritas semua tempat tinggal masyarakat Melayu Sanggau
sangat akrab dengan tradisi tersebut.

4. Penabuh Meriam
Dari laskar inti di atas ditambah 4 (empat) orang yang bertugas sebagai
penabuh meriam dengan posisi berada pada empat titik sudut yang telah
ditentukan, ini disesuaikan dengan kepercayaan mengenai keberadaan para
penjaga di empat penjuru mata angin yaitu penjaga utara, penjaga timur,
penjaga selatan, dan penjaga barat. Menabuh meriam di empat sudut
merupakan bentuk simbolis dari kehadiran keempat penjaga mata angin
tersebut yang lebih dikenal dengan sebutan “Pasak Sanggau”. Jika iring-
iringan ini telah sampai pada masing-masing pasak, semua aktivitas dalam
iring-iringan faradje akan dihentikan karena di masing-masing pasak akan
melaksanakan tugas berupa gerakan makrifat pada perantara tabuhan
meriam berkali-kali. Hal tersebut bertujuan agar suara tabuhan meriam
tidak bercampur dengan suara-suara lainnya. Hakikatnya sampai di mana
suara tabuhan meriam tersebut terdengar, maka seluas itulah para penjaga
atau Pasak Sanggau membentengi Kerajaan Sanggau.

5. Pengumandang Azan
Laskar inti di atas juga ditambah 4 (empat) orang bertugas sebagai
pengumandang azan, dengan posisi berada pada empat titik sudut yang
telah ditentukan. Dalam ilmu tasawuf yang termaktub dalam pelajaran
awwaludin, azan di empat penjuru sebagai beberapa isyarat penyeruan,
antara lain:

1. Azan di penjuru pertama sebagai isyarat penyeruan “KEJADIAN” yaitu


kesaksian terhadap seluruh kejadian alam semesta yang akhirnya
mengarahkan pikiran pada kesimpulan bahawa tidak ada satu pun di
alam semesta ini yang terjadi dengan sendirinya. Pasti ada yang
menjadikannya, yaitu Allah s.w.t.
2. Azan di penjuru kedua sebagai syarat penyeruan “PERATURAN dan
PEMELIHARAAN” yaitu pengamatan yang cermat terhadap gerak
kehidupan dan sistem peredaran benda-benda serta planet-planet di
langit yang menghantar pengetahuan manusia untuk menyaksikan
keteraturan serta keterpeliharaan di dalamnya.
3. Azan di penjuru ketiga sebagai isyarat penyeruan “GERAK” yaitu
pengamatannya yang mendalam setelah memperhatikan benda yang
ringan memiliki sifat terapung atau ke atas dan benda yang berat
tenggelam atau ke bawah; dan matahari, bulan, dan benda-benda langit
lainnya ternyata tidak jatuh, sekalipun berat benda tanpa penyangga.
4. Azan di penjuru keempat sebagai isyarat penyeruan “KEJADIAN” yaitu
dengan kerangka berfikir yang berbeza dengan “KEJADIAN” di
penjuru pertama. Bila “KEJADIAN” di penjuru pertama menyimpulkan
bahawa apa yang ada di alam raya ini mustahil terjadi dengan
sendirinya, maka “KEJADIAN” di penjuru keempat ini menyimpulkan
bahawa alam yang mustahil terjadi dengan sendirinya itu, sebelumnya
tidak ada atau Adam, kemudian ada atau wujud dan akhirnya habis atau
fana.

Ritual faradje yang dilakukan masyarakat Sanggau pada masa kini


sedikit berbeda dengan apa yang dilakukan pada zaman dahulu. Posisi atau
kedudukan faradje‟ saat ini dianggap sebagai acara tahunan yang diikuti
oleh orang banyak dan pihak pelaksana dan panitia pun berasal dari pihak
Keraton Surya Negara Sanggau, faradje” bertujuan untuk membersihkan
negeri Sanggau dari bencana dan malapetaka yang sewaktu-waktu dapat
hadir di negeri Sanggau.
BAB II

PEMBAHASAN

Faradje berdasarkan budaya bahasa Istana Surya Negara ialah suatu acara perpaduan
antara agama, adat istiadat, seni budaya dan tatanan pemerintah istana. Acara tersebut
dilaksanakan secara berorganisasi yang dimulakan dari wilayah pedesaan atau perkampungan
yang dipimpin oleh kepala desa atau kampung bersama dengan tokoh alim ulama dan lapisan
masyarakat, sehingga tergabung dalam jumlah besar dan serentak dilaksanakan pada tatanan
istana yang dipimpin secara langsung oleh Pangeran Ratu Istana Surya Negara. Ritual
tersebut dikenali sebagai usaha untuk membersihkan Kabupaten Sanggau dari marabahaya
dan malapetaka dengan melakukan, pawai keliling Kota Sanggau. Pawai tersebut tidak
dilaksanakan dalam bentuk huru-hara, melainkan dalam suasana yang sakral dan khusyuk.
Menurut pihak Istana Surya Negara maksud dan tujuan dari acara faradje pasaka negeri yaitu
mengawali dan menyambut, mencegah atau menghalau serta menghentikan atau mengakhiri
dalam ruang lingkup wilayah Kabupaten Sanggau.

Paradje merupakan tradisi adat yang telah dilakukan masyarakat Melayu di Sanggau,
Provinsi Kalimantan Barat, sejak dulu dan masih bertahan hingga kini. Tradisi ini bertujuan
untuk menangkal dan menolak bala bencana, serta membersihkan wilayah dari hal-hal yang
dianggap dapat membawa kesialan. Paradje yang artinya pembersih negeri yang sudah
dilaksanakan para leluhur Keraton Sanggau terdahulu itu, sekarang menjadi event budaya dan
agenda tahunan Pemerintah Kabupaten Sanggau. Selain agenda rutin, saat ini Paradje
ditetapkan sebagai warisan budaya tak benda. Festival Paradje setiap tahun dihadiri para raja
domestik hingga mancanegara. Kasultanan Brunei Darussalam dan Keraton Malaysia pun
mengirimkan dutanya. Bahkan, diundang pula raja-raja dari Kerajaan Ketapang, Sekadau,
Tayan, juga Landak dan lainnya. Kini, Festival Paradje terus berkembang, tak hanya kegiatan
ritual, pawai, pemberian bintang gelar penghormatan kekerabatan, festival ini juga semakin
meriah dengan diadakannya sejumlah perlombaan, di antaranya dendang melayu, hadrah,
sampan bidar, pergelaran busana Melayu, pangkak gasing, jepin, ditambah hiburan, dan
lainnya.
BAB III

KESIMPULAN

Ritual Faradje telah menjadi amalan tradisi Kerajaan Melayu Surya Negara Sanggau
sejak dahulu. Ritual ini dahulunya sebagai usaha pembersihan kepada satu negeri setelah
tertimpa musibah atau marabahaya. Ritual ini menjadi amalan tradisi masa lalu yang
dilakukan dengan tujuan menyatukan kembali hubungan antara rumpun Melayu yang ada di
wilayah Nusantara. Kerajaan Sanggau telah membuat semarak kembali ritual ini dengan tidak
menghilangkan hal-hal unik yang ada dalam amalan tradisi masa lalu. Tahapan yang ada
dalam Ritual Faradje tetap dipertahankan dan diubahsuai berdasarkan budaya Melayu yang
sangat dekat dengan Islam. Perpaduan yang telah ada sejak dahulu diperkuat dengan ritual
ini. Kerajaan Sanggau mengedepankan manfaat ritual ini dengan menyatukan kembali
hubungan antara kerajaan-kerajaan Melayu yang ada di wilayah Nusantara. Pemaknaan
pembersihan dan penyembuhan dalam ritual ini yang dahulunya telah diubahsuai dengan
keunikan yang menggabungkkan kembali hubungan dalam Nusantara. Tradisi ini sebenarnya
merupakan pembudayaan dahulu yang telah dihidupkan kembali dengan mempertahankan
budaya yang tetap hakiki dari dahulu sampai sekarang. Namun demikian kajian lanjut perlul
dilakukan demi mencari dan membuktikan asal usul tradisi faradje apakah memang lahir dan
tumbuh di Kabupaten Sanggau atau merupakan hasil daripada hubungan di antara kerajaan
Melayu yang telah ada sejak zaman dahulu.

Agar tradisi ini terjaga dengan baik dan tetap lestari. Tokoh masyarakat harus
melakukan upaya penanaman budaya Faradje. Jika tidak, maka tradisi ini akan mati suri
kembali seperti sepuluh tahun yang lalu. Seperti diketahui bahwa budaya Faradje merupakan
kearifan lokal milik masyarakat Sanggau. Berbicara tentang kearifan lokal merupakan suatu
bentuk kearifan atau nilainilai yang baik dan berguna di masyarakat, kearifan lokal menjadi
hak pengetahuan milik masyarakat. Kearifan lokal (Fatmawati, et, all, 2016:603), Local
wisdom here is the system of the values in the social life of local communities living in the
midst of the local. Diperlukan juga upaya yang lebih sesuai dengan keadaan tantangan
globalisasi sekarang. Dalam perannya sebagai motivator, tokoh masyarakat memberikan
motivasi dan dorongan agar ikut terlibat dalam kegiatan budaya Faradje’ itu sendiri. Sebagai
pembimbing juga tokoh masyarakat dapat menanamkan nilai dan norma yang terkandung di
dalam budaya Faradje’ dan membimbing pemuda dalam prosesi budaya Faradje’. Kedua
peran ini dibutuhkan oleh generasi muda agar ikut serta dalam menjaga tradisi yang telah ada.

Daftar Pustaka
Lampiran

Logo MABM Kalimantan Barat

Persiapan iring-iringan Faradje

Anda mungkin juga menyukai