Anda di halaman 1dari 8

SISTEM SOSIAL MASYARAKAT BADUY

Muhammad Fariz Alfian


1191020049

Abstrak
Sistem sosial masyarakat Baduy dipengaruhi oleh perubahan sosial dan
kebudayaannya, sebagai akibat dari perubahan yang terjadi dalam
lingkungan hidup mereka, baik lingkungan alam dan fisiknya, maupun
lingkungan sosialnya. Perubahan lingkungan alam atau fisik tersebut
menuntut adanya adaptasi dari masyarakat Baduy terhadap
lingkungannya yang baru dan perubahan tersebut langsung atau tidak
langsung akan mendorong adanya perubahan system sosial dan
kebudayaan pada masyarakat baduy tersebut. Sementara perubahan
sosial itu sendiri bisa diakibatkan oleh adanya turut campur pemerintah
dalam mengatur tata kehidupan mereka, yaitu dalam bentuk
memukimkan kembali dalam tempat-tempat pemukiman khusus untuk
mereka. Menurut Deni Miharja (2022) Integritas dan keyakinan moral
pada akhirnya akan melahirkan etos/karakter dialog, gotong royong,
kerjasama, serta sikap system kepercayaan yang mendorong system
tatanan sosial, kekuatan, dan harmoni pada masyarakat menjadi lebih
baik.
Kata Kunci: Sistem sosial, perubahan sosial dan budaya,
Masayarakat Baduy

A. Pendahuluan
Suku Baduy adalah suatu kelompok masyarakat adat sub-
etnis Sunda di wilayah Kabupaten Lebak, Banten. Masyarakat
Baduy cenderung tertutup atau kurang berkomunikasi dengan
daerah lain. Dengan demikian, sistem perhubungan dan
pengangkutan tidak berkembang. Oleh karena itu dapat dikatakan
sebagai komunitas yang mengisolir diri, atau dalam istilah
sekarang Komunitas Adat Terpencil sebagai pengganti istilah
Masyarakat Terasing dan masih sangat bergantung kepada alam
sekitarnya. Mereka sendiri lebih suka menyebut diri sebagai urang
Kanekes atau "orang Kanekes" sesuai dengan nama wilayah
mereka, atau sebutan yang mengacu kepada nama kampung
mereka seperti Urang Cibeo (Garna, 1993).
Wilayah Masyarakat Baduy memiliki luas sekitar 5.101,8
hektar, terletak di sebelah barat Pulau Jawa di sekitar Pegunungan
Kendeng. Secara administrasi pemerintahan, wilayah ini
dikukuhkan menjadi Desa Kanekes, Kecamatan Leuwidamar,
Kabupaten Lebak, Propinsi Banten. Secara geografis lokasinya
terletak pada 6o 27’ 27" – 6o 30’ Lintang Utara dan 108o 3’ 9" -
106o 4’ 55" Bujur Timur. Wilayahnya berbukit-bukit, tersusun
oleh sambung menyambung bukit dan lembah. Pemukiman
biasanya terletak di wilayah lembah bukit, pada daerah yang lebih
datar dekat dengan sumber air tanah atau sungai (Iskandar, 1991).
Wilayah Baduy terdiri atas beberapa kampung yang secara adat
terdiri dari Baduy Tangtu dan Baduy Panamping. Kampung yang
merupakan Baduy Tangtu terdiri atas kampung Cibeo,
Cikartawana, dan Cikeusik yang merupakan wilayah Baduy
Dalam, dan kampung yang merupakan Baduy Panamping atau
wilayah Baduy Luar terdiri atas 55 kampung. Jumlah penduduk
Baduy di wilayah Desa Kanekes sampai dengan bulan Juni 2009
adalah 11.172 jiwa terdiri dari 2.948 Kepala Keluarga (KK) yang
tersebar di 58 kampung.
Ada dua sistem pemerintahan yang digunakan oleh
masyarakat Baduy, yaitu struktur pemerintahan nasional yang
mengikuti aturan negara Indonesia dan struktur pemerintahan adat
yang mengikuti adat istiadat yang dipercayai oleh masyarakat.
Kedua sistem pemerintahan tersebut digabungkan dan dibagi
perannya sedemikian rupa sehingga tidak ada benturan dalam
menjalankan tugasnya. Seluruh masyarakat Baduy paham dan
saling menghargai terhadap kedua sistem tersebut, sehingga
mereka tahu harus kemana jika ada urusan atau permasalahan
yang dihadapi dalam kehidupan sehari-hari. (Prihantoro, 2006).
Baduy dibagi menjadi dua yaitu Baduy Luar dan Baduy
Dalam. Masyarakat Baduy Luar merupakan orang-orang yang
telah keluar dari adat dan wilayah Kanekes Dalam karena
beberapa sebab, seperti mereka yang telah melanggar adat
masyarakat Baduy Dalam, mereka yang memang berkeinginan
untuk keluar dari wilayah Baduy Dalam karena tidak kuat dengan
adat istiadat yang ketat dan mereka yang memang ingin menikah
dengan masyarakat Baduy Luar. Baduy Dalam merupakan
masyarakat yang masih tetap mempertahankan dengan kuat nilai-
nilai budaya warisan leluhurnya dan tidak terpengaruh oleh
kebudayaan luar. Perbedaan lainnya adalah masyarakat Baduy
Luar berciri khas mengenakan pakaian dan ikat kepala berwarna
hitam. Ciri khas pakaian dari warga Baduy Dalam adalah dengan
memakai baju warna putih alam dan dengan ikat kepala warna
putih.
Namun, pada era ini kemurnian masyarakat Baduy sudah
mulai luntur karena beberapa faktor, salah satu faktor yang paling
memberikan dampak adalah faktor interaksi yaitu karena interaksi
dengan masyarakat luar Baduy, wilayah masyarakat Baduy sendiri
sudah dijadikan lokasi wisata Budaya yang cukup terbuka dan
terkenal bagi kalangan umum.

B. Unsur Sosial
Berikut ini adalah unsur-unsur kelompok sosial masyarakat
Baduy:
1. Tujuan (Goal) : Segala sesuatu yang ingin dicapai
Kebiasaan orang Baduy menabukan atau teu wasa untuk
melakukan berbagai bentuk kegiatan yang berdampak merusak
ekosistem wilayah hutan bagi siapa pun, termasuk mereka sendiri.
Berdasarkan fenomena sosial tersebut tampaknya kehadiran
mereka di sekitar kawasan hutan berfungsi untuk menjaga agar
kondisi hutan yang sangat penting bagi pertanian dan sarana
transportasi perdagangan di daerah hilir dapat dipertahankan
kelestariannya.
2. Keyakinan (Beliefs) : Pengetahuan atau aspek kognitif yang
dimiliki sistem/kelompok
Masyarakat Baduy memegang keyakinan Sunda Wiwitan.
Sunda Wiwitan merupakan kepercayaan kepada Tuhan Yang
Maha Esa atau mereka menyebutnya Gusti Allah. Ajaran ini
merupakan ajaran yang menekankan kepada tanggung jawab
manusia terhadap pemeliharaan, pelestarian alam, dan
lingkungannya. Dalam ajaran Sunda Wiwitan tidak mengenal
perintah untuk sembahyang seperti layaknya agama-agama lain
dan segala ajaran Sunda Wiwitan tidak termaktub dalam kitab
manapun, bahkan Sunda Wiwitan sendiri tidak memiliki kitab suci
seperti Al-quran, Injil, Taurat, dan lainnya. Akan tetapi ajaran
Sunda Wiwitan dituturkan dan di ajarkan secara turun temurun
kepada generasi berikutnya dari masa ke masa.
3. Sentimen atau Perasaan (Perasaan-perasaan dan emosi (aspek
affektif) yang ada dalam Sistem/Kelompok)
Ada tiga hal utama yang mewarnai keseharian suku Baduy,
yaitu sikap hidup sederhana, bersahabat dengan alam yang alami,
dan spirit kemandirian. Sederhana dan kesederhanaan merupakan
titik pesona yang lekat pada masyarakat Baduy. Hingga saat ini
masyarakat Baduy masih berusaha tetap bertahan pada
kesederhanaannya di tengah kuatnya arus modernisasi di segala
segi. Bagi mereka kesederhanaan bukanlah kekurangan atau
ketidakmampuan, akan tetapi menjadi bagian dari arti kebahagiaan
hidup sesungguhnya. mereka memiliki prinsip hidup cinta damai,
tidak mau berkonflik, taat pada tradisi, dan hukum adat. Meskipun
anti modernisasi, mereka tetap menghormati kehidupan modern
yang ada di sekitarnya. Kesederhanaan dan toleransi terhadap
lingkungan di sekitarnya adalah ajaran utama masyarakat Baduy.
4. Norma
Baduy Dalam adalah bagian dari keseluruhan orang Baduy.
Tidak seperti Baduy Luar, warga Baduy Dalam masih memegang
teguh adat istiadat nenek moyang mereka. Sebagian peraturan
yang dianut oleh Suku Baduy Dalam antara lain:
 Tidak diperkenankan menggunakan kendaraan untuk sarana
transportasi
 Tidak diperkenankan menggunakan alas kaki
 Pintu rumah harus menghadap ke utara/selatan (kecuali
rumah sang Pu’un atau ketua adat masyarakat Baduy)
 Larangan menggunakan alat elektronik (teknologi)
 Tidak menggunakan kain/baju yang dijahit oleh mesin.
 berwarna hitam/putih sebagai pakaian yang ditenun dan
dijahit sendiri serta tidak diperbolehkan menggunakan pakaian
modern.
5. Sanksi
Jika pelanggaran tersebut dilakukan oleh masyarakat Baduy
dalam, sanksi yang dijatuhkannya bisa berbentuk:
 Teguran
 Pengurungan atau isolasi di kampung isolasi yang berada di
area Baduy luar selama 40 hari
 Dikeluarkan dari Baduy dalam untuk selamanya.
Penerapan sanksi adat dengan bekerjasama antara pengurus
adat dan aparat penegak hukum negara terbilang efektif. Karena
nilai kejahatan yang terjadi sangatlah sedikit atau jarang.
6. Peranan Kedudukan (Status Roles)
Dalam sistem pemerintahan yang ada di masyarakat Baduy,
Pu’un atau kepala adat memiliki kedudukan teratas. Pu’un pada
masyarakat Baduy berada di kampung Cikeusik, Cikertawana, dan
kemudian Cibeo. Ketiga kampung tersebut sebenarnya terdapat
Pu’un tertua yang berada di kampung Cikeusik, kemudian yang
berada di Cikertawana, dan Pu’un termuda yang berada di
kampung Cibeo. Setelah disepakati oleh ketiga Pu’un tersebut,
diturunkan lah suaranya kepada Jaro atau Kepala Desa yang ada di
kampung Cikeusik, Cikertawana dan Cibeo, yang kemudian
disosialisasikan kepada masyarakat dikampungnya masing-
masing, sebelum diturunkan kepada Jaro Pamarentah atau Kepala
Desa Baduy Luar yang berada di desa Kanekes. Setelah Jaro
Pamarentah menerima mandat serta aspirasi yang diturunkan dari
Pu’un, kemudian disosialisasikan lebih lanjut kepada masyarakat
Baduy dan sekitarnya. Jaro Pamarentah ini juga yang mengurusi
atau menyampaikan segala sesuatu kepentingan masyarakat Baduy
kepada Instansi Pemerintah, Aparat Penegak Hukum dan juga
pengunjung yang memasuki wilayah Baduy.
7. Kewenangan / Kekuasaan (Power / Authority)
Kewenangan utama dalam suku Baduy dipegang oleh Pu’un
dari ketiga kampung. Mereka memiliki kewenangan dalam
mengambil keputusan kemudian diturunkan kepada masyarakat
kampung.
8. Jenjang Sosial (Social Rank)
Dalam suku Baduy tidak ada jenjang sosial yang berlaku.
9. Fasilitas (facility): wahana ataupun alat yang perlu untuk
mencapai tujuan kelompok.
Luas lahan 5.101,8 ha yang berupa hak ulayat dari pemerintah.
Hak ulayat adalah kewenangan, yang menurut hukum adat,
dimiliki oleh masyarakat hukum adat atas wilayah tertentu yang
merupakan lingkungan warganya, di mana kewenangan ini
memperbolehkan masyarakat untuk mengambil manfaat dari
sumber daya alam, termasuk tanah, dalam wilayah tersebut bagi
kelangsungan hidupnya. Sehingga masyarakat Baduy dapat
memanfaatkan lahan tersebut untuk berladang.
10. Tekanan Dan Ketegangan (Stress And Strain)
Suku Baduy luar yang berinteraksi dengan masyarakat luar
mulai terpengaruh dan meninggalkan adat istiadat suku Baduy.
Misalnya, awalnya semua masyarakat harus ikut mentaati pikukuh
karuhun, sekarang hanya dilakukan oleh Baduy Dalam.
Masyakarat Baduy mulai melakukan penyesuaian untuk menjalani
dan mempertahankan hidupnya.

C. Proses Sosial
1. Komunikasi
Baduy Luar dan Baduy Dalam memiliki interaksi sosial yang
berbeda. Sihabudin dkk. (2010) menjelaskan bahwa baduy luar
menerima kehidupan modern sehingga kebutuhan sosial dapat
terpenuhi seperti: kebutuhan fisiologi, rasa aman, dicintai,
dihargai, dan dimiliki kelompok tersebut. Sedangkan, menurut
Sutoto (2010), Baduy Dalam lebih memilih mengisolasi diri dari
kehidupan modern.
2. Memelihara Batas
Suku Baduy khususnya Baduy Dalam melakukan sikap
penolakan terhadap pengaruhpengaruh luar yaitu budaya modern
(infrastuktur dan sarana prasarana pendidikan) karena suku Baduy
merupakan satu kesatuan penduduk etnis sunda yang menjalankan
“Sunda Wiwitan” (Sihabudin dkk., 2010). Dampak agama tersebut
terhadap suku Baduy antara lain (Wahid, 2010):
 Lebih taat dan semangat dalam menjaga hutan, sungai, dan
gunung yang harmoni di wilayah alam Kanekes.
 Hidup lebih sederhana dan menerima apa adanya seperti
menanam padi dan bekerja di ladang dengan damai dan sejahtera.
3. Kaitan Sistemik (Systemic linkage)
Masyarakat suku Baduy telah terikat tradisi mutlak dijaga
secara murni. Budaya hukum adat suku Baduy masih
memprioritaskan hukum adat, perkawinan internal dan mampu
mempertahankan keeksistensinya dari pengaruh kemajuan bangsa.
Pola-pola perilaku secara eksternal masyarakat luar seperti
sekolah kalangan muda sangat dianjurkan sepanjang tidak
merusak tatanan budaya hukum suku Baduy yang mutlak hatus
dijaga keberadaan dan kelestariannya.
4. Pelembagaan (Institutionalization)
Suku Baduy dipimpin oleh kepala suku atau kepala desa.
Kepala Desa Kanekes (Jaro) dipimpin oleh orang dari suku Baduy
Luar. Tugas utama yang harus dijalankan adalah menyampaikan
informasi dari lembaga ke kepala adat kepada pemerintah atau
sebaliknya. Kepala desa membuat aturan untuk kelompok Baduy
Luar, Baduy Dalam, non baduy, dan eks baduy.
5. Sosialisasi (Socialization)
Suku Baduy merupakan salah satu suku yang menerapkan
isolasi dari dunia luar. Sampai saat ini, mereka menolak fasilitas
sekolah sehingga mereka tidak dapat membaca, menulis, dan
berhitung. Mereka juga menerapkan beberapa norma dan secara
adat, suku Baduy dilarang bertemu dengan Warga Negara Asing.
6. Kontrol Sosial (Social Control)
Suganda (2014) mengatakan bahwa masyarakat adat suku
Baduy mencoba melindungi tempat tinggalnya melalui usaha
menjaga kelestarian wilayahnya dengan adanya “leuweung
tutupan/larangan” artinya menjaga kelestarian hutan tetap utuh
walaupun tidak dijaga secara fisik. Jangankan menjarah hutan,
menemukan ranting jatuh, suku Baduy tidak berani
mengambilnya.

D. Kesimpulan
Sistem Sosial yang Terdiri dari Unsur-Unsur atau Proses
Sosial Berjalan dengan Baik
Terdapatnya unsur atau berjalannya proses-proses yang ada
dalam sistem sosial, menyebabkan satu sistem atau kelompok
sosial menjadi dinamis (efektif atau produktif). Masyarakat Baduy
Dalam tidak mengalami perubahan sosial karena mereka masih
menjaga dan menanamkan nilai-nilai dalam dalam kehidupan
sehari-hari. Kepala desanya juga mengawasi dengan ketat
warganya. Wisatawan yang berkunjung ke suku Baduy telah
mendapatkan informasi dan menghormati adat istiadat yang
ditetapkan oleh masyarakat Baduy sehingga perubahan sosial yang
terjadi tidak terlalu besar. Bila ada masyarakat Baduy Dalam
menginginkan perubahan dan melanggar pikukuh/aturan, maka
akan mendapatkan konsekuensi yaitu keluar dari suku Baduy
Dalam. Hal itu menjadikan nilai-nilai di suku Baduy Dalam masih
murni sistem sosialnya. Masyarakat Baduy Dalam dapat secara
selektif menyerap pengaruh luar atau unsur baru dengan adanya
keberadaan masyarakat panamping/pendamping. Sedangkan,
Baduy Luar/panamping telah mengalami banyak perubahan sosial
dan menerima budaya modern secara terbuka sehingga pikukuh
dan unsur-unsur sosialnya tidak dinamis.
Daftar Pustaka

Adimirhadja, K. 2000. Orang Baduy di Banten Selatan: Manusia Air


Pemelihara Sungai. Antropologi Indonesia 61.
Garna, J. 1993. Masyarakat Baduy di Banten dalam Koentjaraningrat
(ed), Masyarakat terasing di Indonesia. Depsos RI, Dewan
Nasional Indonesia untuk Kesejahteraan Sosial, dan Gramedia, hal
120 – 152, Jakarta.
Iskandar, J. 1991. Ekologi Perladangan Indonesia : Studi Kasus dari
Daerah Baduy Banten Selatan, Jawa Barat. Jakarta: Djambatan.
Kurniawan Y. 2016. Efektivitas Penerapan Sanksi Adat Terhadap
Pelanggaran yang Terjadi di Masyarakat Adat Baduy. Parental 4
(2)
Mustomi, O. 2017. Perubahan Tatanan Budaya Hukum Pada Masyarakat
Adat Suku Baduy Provinsi Banten. Jurnal Penelitian Hukum. Vol.
17. No. 3. pp. 310-328 Ngamanken, S. 2013. Fenomena
Ketelantaran Suku Baduy Di Pulau Jawa. Jurnal Humaniora. Vol.
4. No. 2. Hal. 1064-1073
Suganda. 2014. Suku Banten Mempertahankan Tradisi. Kiblat Buku
Utama. Bandung.
Sutoto. 2010. Dinamika Transformasi Budaya Belajar Suku Baduy. Jurnal
Penelitian yPendidikan. Hal. 138-148.
Yani, Ahmad, dkk. (2008). Etnografi Suku Baduy: Panduan Pramuwisata
Indonesia. Penerbit: Himpunan Pramuwisata Indonesia.
Zid, M. dkk. 2017. Interaksi dan Perubahan Sosial Masyarakat Baduy di
Era Modern . Jurnal Spatial. Vol. 17. No. 1. Hal. 14-24.

Anda mungkin juga menyukai