Anda di halaman 1dari 7

PAPER

KEBUDAYAAN MASYARAKAT DI JAWA


BENTUK DESA, MATA PENCAHARIAN, SISTEM SOSIAL KEMASYARAKATAN,
SISTEM KEKERABATAN DAN SISTEM RELIGI

Guna memenuhi tugas mata kuliah “Manusia dan Kebudayaan”


Dosen pembimbing: Dyah Ayu Mawarti S.Pd, M.Pd

Oleh kelompok 5:
1. Lenni Sitorus : 211003862200017
2. Nita Apriyatin : 211003862200022

PRODI PENDIDIKAN KEPERCAYAAN TERHADAP

TUHAN YANG MAHA ESA

FAKULTAS BAHASA DAN BUDAYA

UNIVERSITAS 17 AGUSTUS 1945 SEMARANG

2023
Kebudayaan Masyarakat di Jawa
Bentuk Desa, Mata Pencaharian, Sistem Sosial Kemasyarakatan, Sistem Kekerabatan,
Sistem Religi

A. Pendahuluan
Jawa merupakan salah satu pulau di Indonesia dengan jumlah penduduk yang padat.
Selain jumlah penduduk dengan jumlah yang tinggi, jawa juga merupakan pulau yang
memiliki budaya, adat, dan tradisi unik. Kebudayaan merupakan keseluruhan gagasan,
tindakan dan hasil karya manusia dalam rangka kehidupan masyarakat. Kebudayaan juga
dapat digunakan sebagai pengontrol perilaku masyarakat di suatu daerah yang biasa
disebut dengan kontrol sosial.

B. Pembahasan
1. Bentuk Desa
Desa yang kita kenal sekarang ini, pada awalnya berbeda antara satu daerah dengan
daerah lainnya. Artinya desa-desa yang ada di pulau Jawa dan desa-desa di luar pulau
Jawa itu tidak sama, baik menyangkut struktur pemerintahnya, namanya, atau norma-
normanya. Yang dinamakan desa adalah suatu kesatuan hukum di mana bertempat
tinggal suatu masyarakat yang berkuasa untuk melaksanakan pemerintahan sendiri.
Bentuk desa pada masyarakat suku Jawa adalah desa “genealogis” (generatie =
keturunan)1. Desa genealogis adalah desa yang penduduknya mempunyai hubungan
kekeluargaan dan berasal dari keturunan yang sama. Kebudayaan masyarakat Jawa
masih mengenal dan menggunakan hukum adat yang terbentuk karena faktor
geneologis dan teritorial, yakni karena pertalian berdasarkan keturunan dan territorial
yakni karena ruang lingkup suatu daerah.
Faktor geonologis berasal dari: kekerabatan bilateral / parental, yakni masyarakat
hukum adat dengan garis kuat keturunan dari Bapak dan Ibu secara bersama-sama.
Faktor teritorial berasal dari factor keterikatan sekelompok masyarakat karena telah
hidup bersama dalam suatu wilayah tertentu. Hidup bersama itu dilatarbelakangi
1
Aries Djaenuri, “Sejarah Terbentuknya Desa,” Modul, 1999, 3
<https://pustaka.ut.ac.id/lib/wp-content/uploads/pdfmk/IPEM420802-M1.pdf>.
karena lahir dan tumbuh kembang yang sama didaerah tersebut. Misalnya desa yang
memiliki persekutuan hukum yang terus diwarisi dan masih diterima hingga saat oleh
anggota masyarakat desa.
2. Mata Pencaharian
Pada dasarnya tidak ada mata pencaharian khas Jawa sebagai aturan, masyarakat
Jawa bekerja pada berbagai bidang dan di berbagai tempat. Namun, pada sebagian
besar masyarakat pedesaan di Jawa memiliki mata pencaharian bertani2. Pekerjaan
pertanian ini dilakukan dengan mengolah kebun kering (rawa) atau sawah untuk
menanam padi, ubi kayu, jagung, ubi jalar, kedelai, kacang tanah, kacang tunggak,
dan lain-lain.
Tidak semua penduduk desa memliki tanah yang luas, sehingga mereka bekerja
menjadi buruh seperti mencangkul, memantun, membajak, menggaru, dan menuai di
sawah milik orang lain (gacong) atau menyewa tanah dengan bagi hasil. Selain dari
pertanian, masyarakat Jawa juga menjalankan beberapa usaha seperti: membuat
tempe, mencetak bata merah, mbotok, membuat minyak goreng kelapa, membatik,
menganyam tikar, tukang kayu, tukang batu, reparasi sepeda, dan lapangan pekerjaan
lain.
3. Sistem Sosial Kemasyarakatan
Sistem sosial Keemasan atau Kemasarakatan adalah suatu sistem sosial yang
diterapkan di Jawa pada masa lalu, terutama pada zaman Kerajaan Mataram Islam.
Sistem ini didasarkan pada konsep bahwa raja atau penguasa memiliki kedudukan
yang sangat tinggi dan dianggap sebagai sosok yang suci 3. Konsep ini berasal dari
kepercayaan Hindu-Buddha, yang kemudian diadopsi oleh Islam di Jawa. Dalam
sistem Kemasarakatan, raja memegang kendali penuh atas negara dan masyarakatnya.
Ia dianggap sebagai wakil Tuhan di bumi dan memiliki kewenangan yang tidak
terbatas. Seluruh masyarakat dianggap sebagai anak-anak raja, dan tunduk pada
kekuasaannya. Oleh karena itu, raja dianggap sebagai pusat dari seluruh kegiatan
sosial, budaya, dan ekonomi di masyarakat Jawa.
Dalam sistem kemasyarakatan kebudayaan jawa mengenal lapisan masyarakat,yaitu:

2
Irvan Widi Santoso dan Laila Sahajah Ainul Fuadi, Cory Denies Kartika, “Budaya Nusantara Kebudayaan Jawa,”
2007, 111.
3
Hasudungan Sinaga, “Makalah Antropologi Budaya Suku Jawa” (Jakarta, 2016).
a. Priyayi (bangsawan)
Menurut Robonson (1971)4 kata priyayi memiliki arti yang terdiri dari dua suku
kata dalam Bahasa jawa yaitu para dan yayi yang secara harfiah memiliki arti
para adik, yang mana adik yang dimaksud adalah adiknya raja. Namun, dalam
kebudayaan Jawa makna dari istilah kata priyayi atau berdarah biru adalah suatu
golongan sosial bangsawan yang merupakan golongan tertingi dalam lapisan
masyarakat hal ini disebabkan karena merupakan keturunan kerajaan.
b. Santri
Merupakan kalangan yang memiliki ilmu pengetahuan dan yang mengamalkan
ajaran agama.
c. Wong cilik
Istilah ini digunakan untuk masyarakat yang paling bawah, yang hidu di pedesaan
dan biasanya mereka adalah petani, tukang dan pekerja kasar.
Dalam sistem kemasyatrakatan jawa, raja dianggap memiliki tanggung jawab untuk
menjaga kesejahteraan masyarakatnya. Ia harus memastikan bahwa seluruh warganya
mendapatkan perlindungan, keamanan, dan kesejahteraan yang memadai. Oleh
karena itu, raja seringkali memberikan bantuan dan dukungan kepada masyarakat
dalam bentuk tanah, alat-alat produksi, atau dana.
Namun, sistem sosial keemasan juga memiliki kelemahan. Kekuasaan yang berpusat
pada satu orang atau kelompok dapat menyebabkan terjadinya penyalahgunaan
kekuasaan dan korupsi. Selain itu, sistem ini juga menyebabkan masyarakat kurang
mampu untuk melakukan inovasi dan perubahan sosial yang diperlukan.
Secara keseluruhan, sistem sosial keemasan merupakan salah satu sistem sosial yang
unik dan kompleks di Indonesia. Meskipun sistem ini sudah tidak diterapkan lagi di
zaman modern, namun pengaruhnya masih terasa dalam berbagai aspek kehidupan
masyarakat Jawa saat ini.
4. Sistem Kekerabatan
Sistem kekerabatan di jawa adalah salah satu sistem kekerabatan yang paling
kompleks dan memiliki banyak istilah yang khusus. Namun, secara umum sistem
kekerabatan di jawa dibagi menjadi tiga kategori5: sistem kekerabatan matrilineal,
4
Ainul Fuadi, Cory Denies Kartika.
5
John Ganesha Siahaan, “Masyarakat Genelogis Teritorial Adat istiadat,” Media Sosialika, 2020.
sistem kekerabatan patrilineal, sistem birateral. Dalam sistem kekerabatan matrilineal,
keturunan dihitung dari garis ibu dan kerabat yang paling dekat adalah ibu, nenek dan
saudari ibu. Dalam sistem ini, ayah tidak memiliki peran penting dalam hubungan
kekerabatan dan dianggap sebagai orang luar. Sistem kekerabatan matrilineal lebih
umum di daerah daerah jawa tengah.
Sistem kekerabatan patrilineal, merupakan sistem kekerabatan yang menghitung garis
keturunan dari ayah. Dalam sistem ini, ayah memiliki peran penting dalam dan anak
laki-laki dianggap lebih penting daripada anak perempuan. Sistem kekerabatan
patrilineal lebih umum daerah Jawa Timur. Sistem kekerabtan bilateral, seperti yang
banyak terjadi di budaya si seluruh dunia, dengan menghitung keturunan dari kedua
garis keturunan. Sistem ini yang cenderung digunakan di kota-kota besar di jawa.
Namun di jawa, sistem kekerabatan tidak hanya ditentukan oleh garis keturunan,
tetapi juga oleh status sosial dan umur. Ada banyak istilah yang digunakan untuk
menggambarkan hubungan kekerabatan yang kompleks antara anggota keluarga,
seperti: kakung, bude, dll.
5. Sistem Religi
System religi di jawa mayoritas islam, yang diperkenalkan ke pulau jawa oleh para
pedangang dan penyebar agama Arab pada abad ke-15 dan abad ke-16. Namun,
meskipun mayoritas penduduk jawa mengidentifikasi diri mereka sebagai Muslim,
banyak juga yang mempraktikkan agama dan kepercayaan tradisional seperti
kejawen, yang merupakan bentuk kepercayaan asli dari masyarakat Jawa sebelum
kedatangan agama islam6. Kejawen mengajarkan bahwa segala sesuatu di alam
semesta memiliki kekuatan spiritual dan kepercayaan ini masih bertahan di
masyarakat Jawa sampai saat ini. Selain itu, ada pula kepercayaan animisme yang
masih dipegang oleh sebagian masyarakat Jawa.
Di Jawa, agama tidak hanya dianggap sebagai kepercayaan pribadi, tetapi juga
sebagai suatu cara hidup dan filsafat yang mencakup berbagai aspek kehidupan
sehari-hari. Oleh karena itu, banyak nilai-nilai agama dan kepercayaan tradisional
yang terkait dengan budaya, seperti upacara adat dan penghormatan kepada leluhur.

6
Ani Rachman, “Mengenal Kebuayaan Suku Jawa,” Kompas.com, 2022
<https://www.kompas.com/skola/read/2022/11/25/170000769/mengenal-kebudayaan-suku-jawa-?page=all.>
[diakses 23 April 2023].
Disamping agama dan kepercayaan tradisional, terdapat juga minoritas agama seperti
Kristen Protestan, Katolik, Hindu, dan Buddha yang juga diakui dan dihormati di
Jawa. Namun, mayoritas masyarakt Jawa mengidentifikasi diri mereka sebagai
Muslim atau Kejawen.

C. Penutup
Pada dasarnya Indonesia adalah bangsa yang memiliki suku bangsa terbanyak di antara
bangsa-bangsa lain, dan diantara suku-suku tersebut yang paling banyak penduduknya
adalah suku bangsa Jawa yang menempati seluruh Jawa Tengah, Jawa Timur dan Jawa
Barat. Sistem kekerabatan yang dianut oleh orang Jawa didasarkan pada asas keturunan
matrilineal, bilateral dan patrilineal. Sistem klasifikasinya dilakukan secara turun-
temurun. Dalam sistem religi Jawa, mayoritas agama Jawa adalah Islam yang
diperkenalkan oleh para pedangang dan penyebar agama Arab pada abad ke-15 dan abad
ke-16. Namun, meskipun mayoritas penduduk jawa mengidentifikasi diri mereka sebagai
Muslim, banyak juga yang mempraktikkan agama dan kepercayaan tradisional seperti
kejawen, yang merupakan bentuk kepercayaan asli dari masyarakat Jawa sebelum
kedatangan agama Islam. Selain itu juga ada yang beragam Kristen, Hindu, dan Budha
yang dianut oleh masyarakat Jawa.

D. Referensi
Ainul Fuadi, Cory Denies Kartika, Irvan Widi Santoso dan Laila Sahajah, “Budaya
Nusantara Kebudayaan Jawa,” 2007, 111
Djaenuri, Aries, “Sejarah Terbentuknya Desa,” Modul, 1999, 3
<https://pustaka.ut.ac.id/lib/wp-content/uploads/pdfmk/IPEM420802-M1.pdf>
Rachman, Ani, “Mengenal Kebuayaan Suku Jawa,” Kompas.com, 2022
<https://www.kompas.com/skola/read/2022/11/25/170000769/mengenal-
kebudayaan-suku-jawa-?page=all.> [diakses 23 April 2023]
Siahaan, John Ganesha, “Masyarakat Genelogis Teritorial Adat istiadat,” Media
Sosialika, 2020
Sinaga, Hasudungan, “Makalah Antropologi Budaya Suku Jawa” (Jakarta, 2016)

Anda mungkin juga menyukai