LATAR BELAKANG
Masyarakat jawa adalah masyarakat yang religius. Sejarah membuktikan bahwa
masyarakat Jawa telah mempunyai pandangan tentang kepercayaan bahkan sebelum
agama Islam disebarkan. Pada zaman dahulu masyarakat Jawa percaya kepada roh
dan benda-benda, atau yang lebih dikenal dengan kepercayaan animise dan
dinamisme. Selain itu masyarakat Jawa juga membangun candi-candi atau kuil
sebagai tempat beribadah.
Islam masuk ke Jawa dengan jalan damai. Ada beberapa teori yang menjelaskan
proses masuknya Islam, seperti jalur perdagangan yang dibawa oleh para pedagang
dari Gujarat, jalur pernikahan yang dilakukan oleh para pemuka agama dengan
tujuan mengislamkan keluarganya, dll. Dengan cara damai seperti ini Islam diterima
dengan tangan terbuka oleh masyarakat Jawa. Keberadaan agama Islam banyak
merubah tatanan kehidupan masyarakat Jawa, salah satunya pada aspek politik.
Pengaruh Islam di Jawa pada bidang politik menjurus kepada pelaksanaan syari’at
Allah SWT, melalui sistem kenegaraan dan pemerintahan. H. Burger menjelaskan
bahwa dalam penyebaran agama Islam di Indonesia tidak lepas dari politik yang
dijalankan oleh para penguasa kerajaan, pada masa itu masyarakat jawa juga
mengalami perubahan struktur yang mana perubahan itu dibagi menjadi empat
tingkatan yaitu para raja, bupati, kepala desa dan rakyat jelata.
Hubungan antara islam dan budaya Jawa dapat dikaitkan sebagai dua sisi yang
tidak terpisahkan. Pada satu sisi, islam yang datang dan berkembang di Jawa
dipengaruhi oleh kultur atau budaya Jawa. Sementara itu pada sisi lain, budaya Jawa
makin diperkaya oleh khazanah islam. Dengan demikian, perpaduan antara keduanya
menampakkan ciri khas sebagai budaya yang sinkretis.
1
Shodiq, Potret Islam Jawa, (Semarang: Pustaka zaman, 2013), hlm. 78
melakukan ibadah haji dan sebagainya. Demikian secara mendatar, didalam
susunan masyarakat Jawa itu, ada golongan santri dan ada golongan kejawen.
Sistem penggolongan-penggolongan tersebut, selanjutnya menimbulkan hak
dan kewajiban yang berbeda dari keluarga-keluarga tiap-tiap lapisan itu. Secara
administrasi, suau desa di Jawa biasanya disebut kelurahan dan dikepalai oleh
lurah.2
Dalam hal adat-istiadat, orang Jawa selalu taat terhadap warisan nenek
moyangnya, selalu mementingkan kepentingan umum atau masyarakatnya
daripada kepentingan pribadinya. Orang jawa mempunyai sikap hidup feodalis,
mereka sangat hormat terhadap keluarga kerajaan atau keraton yang masih bisa
dirasakan pada saat ini di lingkungan pemerintahan Daerah Istimewa Yogyakarta.
Franz Margin Suseno menyatakan bahwa sikap hidup orang jawa sangat
menekankan aspek keturunan, hormat dan keselarasan sosial.3
Sehingga bisa dikatakan bahwa sistem politik yang adil itu tidak berlaku di
budaya Jawa, Karena masyarakat Jawa masih menggunakan strata sebagai
pembeda. Masyarakat priyayi akan begitu dihormati di masyarakat, sedangkan
wong cilik tidak memiliki kedudukan di masyarakat.
Pada masa sekarang, politik di Jawa telah berkembang mengikuti tatanan
Negara. Yahya Muhammad dalam tulisannya yang berjudul “persoalan budaya
dan politik di Indonesia” mengungkapkan beberapa sikap masyarakat Jawa dalam
menghadapi politik di Indonesia antara lain:
1. Sikap Halus
Halus atau dalam bahasa Jawa alus di artikan dengan makna
sensitive, polite, civilized. Konsep alus dalam budaya Jawa telah
ditanamkan dalam diri seorang individu sejak ia masih kanak-kanak.
Dengan tujuan agar sang anak mempunyai tindak-tanduk dalam
masyarakat.
2. Menjunjung Tinggi Ketenangan Sikap
2
Koentjaraningrat, Manusia Dan Kebudayaan di Indonesia, (Jakarta: Jambatan, 2002), hlm.344-346
3
Franz Margin Suseno, Etika Jawa, (Gramedia pustaka utama, 2003), hlm. 39
Sikap yang tenang adalah perwujudan dari prilaku halus dan sopan.
Seseorang terlihat berwibawa ketika ia bersikap tenang dan sopan dalam
menghadapi suatu masalah.
3. Konsep Kebersamaan
Selain terkenal dalam berbagai macam bentuk upacara. Dalam
kebudayaan Jawa, kebersamaan tidak hanya hanya sekedar
diaktualisasikan dalam aspek materialistis, tapi juga pada aspek non-
materialistis atau yang menyangkut dimensi moral.4
4
http://santimelyana.blogspot.co.id/2013/04/interelasi-islam-dan-budaya-jawa-pada.html diakses pada
tanggal 28 November 2016 pukul 20.29 WIB.
5
Anasom, Interelasi Islam dan Budaya Jawa, (Semarang: CV.Karya Abadi, 2015),hlm. 32-33.
Ada dua pendekatan dalam proses penyebaran islam di Jawa, diantaranya:
6
http://susmitautami.blogs.uny.ac.id/2015/09/17/akulturasi-budaya-jawa-islam-sebagai-wadah-untuk-
berdakwah/ diakses pada tanggal 28 november 2016 pukul 21. 19 WIB.
7
Darori Amin, Islam dan Kebudayaan Jawa, (Semarang: Gama Media, IAIN Walisongo), hlm. 217
pasca keruntuhan Majapahit oleh seorang Raja Girindrawardana dan Keling
Kediri. Setelah masa peralihan 40 hari Sunan Giri menyerahkan kedaulatan
kepada Raja Islam yang permanen yaitu Raden Fatah. Beliau lah Raja pertama
kerajaan Islam Demak.
Simbol politik Islam Jawa juga terdapat pada Raja Yogya yang dipegang
oleh Sri Sultan Hamengkubuwono. Selain sebagai raja juga sebagai sayyidina
panatagama.Dengan demikian Raja Yogya pasti beragama Islam karena tidak
mungkin non-Muslim menjadi Sayyidana Panatagama. Sebab, yang
dimaksud Sayyidina Panatagama disini adalah Panatagama untuk Islam. Inilah
stategi jitu dari para pendahulu kita. Suatu proses islamisasi dengan cara yang
amat arif dan kultural.
Hal senada juga terjadi pada Kyai Ageng Pandan Arang yang menjadi
bupati Semarang pertama, yang merupakan bagian dari kesultanan Mataram. Dia
diangkat pada tahun 1575 M. Kyai Ageng Pandan Arang adalah seorang ulam
yang mempunyai pengaruh sangat besar di masyarakat ketika itu. Karena
besarnya pengaruh itulah, beliau di angkat oleh kesultanan Mataram menjadi
bupati Semarang. Keistimewaan Kyai Ageng Pandan Arang adalah
menembangkan fungsi masjid yang nantinya menjadi cikal bakal masjid Agung
Kauman sekarang ini, bukan hanya sebagai tempat ibadah ritual, tetapi juga
sebagai tempat pemerintahan.8
Simbol politik islam juga terdapat pada bangunan pusat kekuasaan. Pusat
pemerintahan dibuat dalam satu rangkaian yang terdiri dari kantor pemerintahan,
masjid, pasar dan alun-alun.
IV. KESIMPULAN
8
Sri Suhandjati, Islam dan Budaya Jawa Revitalisasi Kearifan Lokal, ( Surakarta; CV. Karya Abadi Jaya,
2015), hlm. 113-117
Masyarakat Jawa dibagi atas empat tingkatan, yaitu para raja, bupati, kepala desa,
dan rakyat jelata. Masyarakat Jawa membagi kelas masyarakat menjadi dua kelas
yaitu pertama, priyayi yang terdiri dari para bangsawan dan pegawai negeri. Kedua,
wong cilik yang terdiri dari para petani.
Sikap masyarakat Jawa dalam menghadapi politik dibagi menjadi 3:
1. Sikap Halus
2. Menjunjung Tinggi Ketenangan Sikap
3. Konsep Kebersamaan
Simbol sinkretisme politik jawa Islam tampak mencolok pada gelar-gelar raja
islam seperti gelar Sultan, Kalifatullah, Sayyidin Panatagama, tetunggul
Khalifatul Mu’minin dan lain-lain.
Simbol politik islam juga terdapat pada bangunan pusat kekuasaan. Pusat
pemerintahan dibuat dalam satu rangkaian yang terdiri dari kantor pemerintahan,
masjid, pasar dan alun-alun.
DAFTAR PUSTAKA
Amin, Darori. Islam dan Kebudayaan Jawa. Semarang: Gama Media, 2014.
Anasom. Interelasi Islam dan Budaya Jawa. Semarang: CV. Karya Abadi Jaya, 2015.
Suhandjati, Sri. Islam san kebudayaan Jawa Revitalisasi Kearivan Lokal, Semarang: CV. Karya
Abadi Jaya, 2015.
Suseno, Franz Margin. Etika Jawa. Jakarta: Gramedia pustaka utama, 2003.
Susmitautami.blogs.uny.ac.id
Santimelyana.blogspot.co.id