Anda di halaman 1dari 8

I.

LATAR BELAKANG
Masyarakat jawa adalah masyarakat yang religius. Sejarah membuktikan bahwa
masyarakat Jawa telah mempunyai pandangan tentang kepercayaan bahkan sebelum
agama Islam disebarkan. Pada zaman dahulu masyarakat Jawa percaya kepada roh
dan benda-benda, atau yang lebih dikenal dengan kepercayaan animise dan
dinamisme. Selain itu masyarakat Jawa juga membangun candi-candi atau kuil
sebagai tempat beribadah.
Islam masuk ke Jawa dengan jalan damai. Ada beberapa teori yang menjelaskan
proses masuknya Islam, seperti jalur perdagangan yang dibawa oleh para pedagang
dari Gujarat, jalur pernikahan yang dilakukan oleh para pemuka agama dengan
tujuan mengislamkan keluarganya, dll. Dengan cara damai seperti ini Islam diterima
dengan tangan terbuka oleh masyarakat Jawa. Keberadaan agama Islam banyak
merubah tatanan kehidupan masyarakat Jawa, salah satunya pada aspek politik.
Pengaruh Islam di Jawa pada bidang politik menjurus kepada pelaksanaan syari’at
Allah SWT, melalui sistem kenegaraan dan pemerintahan. H. Burger menjelaskan
bahwa dalam penyebaran agama Islam di Indonesia tidak lepas dari politik yang
dijalankan oleh para penguasa kerajaan, pada masa itu masyarakat jawa juga
mengalami perubahan struktur yang mana perubahan itu dibagi menjadi empat
tingkatan yaitu para raja, bupati, kepala desa dan rakyat jelata.
Hubungan antara islam dan budaya Jawa dapat dikaitkan sebagai dua sisi yang
tidak terpisahkan. Pada satu sisi, islam yang datang dan berkembang di Jawa
dipengaruhi oleh kultur atau budaya Jawa. Sementara itu pada sisi lain, budaya Jawa
makin diperkaya oleh khazanah islam. Dengan demikian, perpaduan antara keduanya
menampakkan ciri khas sebagai budaya yang sinkretis.

II. RUMUSAN MASALAH


Dari Latar belakang diatas pemakalah mencoba merumuskan beberapa
pertanyaan:
A. Bagaimana sistem budaya politik masyarakat Jawa?
B. Bagaimana akulturasi budaya Jawa dan Islam?
C. Bagaimana Interelasi budaya Jawa dan Islam terhadap Aspek politik?
III. PEMBAHASAN
A. Sistem Politik Masyarakat Jawa
Kondisi sosial budaya masyarakat Jawa pada saat penyebaran agama Islam
adalah pada ajaran agamanya, sedangkan penyebaran Hindu-Budha lebih banyak
diserap oleh golongan elite dan bangsawan daripada masyarakat umum. Raja
pada masa itu memiliki kepentingan untuk melestarikan budaya Hindu-Budha,
dikarenakan raja juga merupakan perwujudan dewa dimuka bumi. Tanpa disadari,
upaya melestarikan budaya Hindu-Budha merupakan unsur politik. Yang
dimaksudkan adalah para raja menggunakan kedudukannya untuk menarik
perhatian dan simpati dari rakyat.
Masyarakat Jawa dikenal dengan variasi adat dan upacara dalam
kesehariannya, begitu pula dengan penerapan politik pada masyarakat jawa.
Suyami, menerangkan bahwa ada hubungan resiprositas struktur masyarakat Jawa
yang terdiri dari Raja, negara dan rakyat. Sedangkan menurut H. Burger dalam
bukunya perubahan-perubahan struktur dalam masyarakat Jawa dibagi atas empat
tingkatan, yaitu para raja, bupati, kepala desa, dan rakyat jelata.1
Menurut doktrin atau konsep kekuasaan Jawa, raja merupakan penguasa yang
mutlak yang mempunyai tanggung jawab yang besar sebagai pengimbangnya.
Pada umumnya masyarakat Jawa kerap membeda-bedakan antara golongan
priyayi yang terdiri dari pegawai negeri dan kaum terpelajar. Dan sisanya
disebut wong cilik, seperti petani-petani, tukang-tukang dan pekerja kasar lainnya,
disamping keluarga keraton dan keturunan bangsa atau bendara-bendara. Dalam
rangka susunan masyarakatnya, cara bertindak yang berdasarkan atas gengsi-
gengsi itu, kaum priyayi dan bendara merupakan lapisan atas, sedangkan wong
cilik menjadi lapisan masyarakat bawah.
Kemudian menurut kriteria pemilik agamanya, orang Jawa biasanya
membedakan orang santri dengan orang agama kejawen. Golongan kedua ini
sebenarnya adalah orang-orang yang percaya pada ajaran agama islam, akan
tetapi mereka tidak secara patuh menjalankan rukun-rukun dari ajaran agama
islam itu, misalnya tidak sholat, tidak pernah puasa, tidak bercita-cita untuk

1
Shodiq, Potret Islam Jawa, (Semarang: Pustaka zaman, 2013), hlm. 78
melakukan ibadah haji dan sebagainya. Demikian secara mendatar, didalam
susunan masyarakat Jawa itu, ada golongan santri dan ada golongan kejawen.
Sistem penggolongan-penggolongan tersebut, selanjutnya menimbulkan hak
dan kewajiban yang berbeda dari keluarga-keluarga tiap-tiap lapisan itu. Secara
administrasi, suau desa di Jawa biasanya disebut kelurahan dan dikepalai oleh
lurah.2
Dalam hal adat-istiadat, orang Jawa selalu taat terhadap warisan nenek
moyangnya, selalu mementingkan kepentingan umum atau masyarakatnya
daripada kepentingan pribadinya. Orang jawa mempunyai sikap hidup feodalis,
mereka sangat hormat terhadap keluarga kerajaan atau keraton yang masih bisa
dirasakan pada saat ini di lingkungan pemerintahan Daerah Istimewa Yogyakarta.
Franz Margin Suseno menyatakan bahwa sikap hidup orang jawa sangat
menekankan aspek keturunan, hormat dan keselarasan sosial.3
Sehingga bisa dikatakan bahwa sistem politik yang adil itu tidak berlaku di
budaya Jawa, Karena masyarakat Jawa masih menggunakan strata sebagai
pembeda. Masyarakat priyayi akan begitu dihormati di masyarakat, sedangkan
wong cilik tidak memiliki kedudukan di masyarakat.
Pada masa sekarang, politik di Jawa telah berkembang mengikuti tatanan
Negara. Yahya Muhammad dalam tulisannya yang berjudul “persoalan budaya
dan politik di Indonesia” mengungkapkan beberapa sikap masyarakat Jawa dalam
menghadapi politik di Indonesia antara lain:
1. Sikap Halus
Halus atau dalam bahasa Jawa alus di artikan dengan makna
sensitive, polite, civilized. Konsep alus dalam budaya Jawa telah
ditanamkan dalam diri seorang individu sejak ia masih kanak-kanak.
Dengan tujuan agar sang anak mempunyai tindak-tanduk dalam
masyarakat.
2. Menjunjung Tinggi Ketenangan Sikap

2
Koentjaraningrat, Manusia Dan Kebudayaan di Indonesia, (Jakarta: Jambatan, 2002), hlm.344-346
3
Franz Margin Suseno, Etika Jawa, (Gramedia pustaka utama, 2003), hlm. 39
Sikap yang tenang adalah perwujudan dari prilaku halus dan sopan.
Seseorang terlihat berwibawa ketika ia bersikap tenang dan sopan dalam
menghadapi suatu masalah.
3. Konsep Kebersamaan
Selain terkenal dalam berbagai macam bentuk upacara. Dalam
kebudayaan Jawa, kebersamaan tidak hanya hanya sekedar
diaktualisasikan dalam aspek materialistis, tapi juga pada aspek non-
materialistis atau yang menyangkut dimensi moral.4

B. Akulturasi Budaya Jawa dan Islam


Sebelum Islam masuk tanah Jawa, masyarakat menganut kepercayaan
animism dan dinamisme. Selain menganut kepercayaan tersebut manusia juga
dipengaruhi oleh unsur-unsur budaya Hindu-Budha dari india. Agama islam
masuk ke Indonesia dibawa oleh para pedagang dari Gujarat dan Persia. Di Jawa
agama Islam disebarkan oleh para Walisongo. Metode yang digunakan oleh para
Walisongo adalah cara yang sopan dan damai. Para Walisongo menggunakan
tembang, wayang, dan metode unik lainnya tanpa menghilangkan tradisi Hindu-
Budha yang sudah ada terlebih dahulu.5

Menurut Koentjaraningrat (1981), terdapat empat hal dalam proses


akulturasi:

1. Keadaan masyarakat penerima, sebelum proses akulturasi


mulai berjalan.
2. Individu-individu yang membawa unsur kebudayaan asing itu.
3. Saluran-saluran yang dipakai oleh unsur kebudayaan asing
untuk masuk ke kebudayaan asing tadi.
4. Reaksi dari individu yang terkena kebudayaan.

4
http://santimelyana.blogspot.co.id/2013/04/interelasi-islam-dan-budaya-jawa-pada.html diakses pada
tanggal 28 November 2016 pukul 20.29 WIB.

5
Anasom, Interelasi Islam dan Budaya Jawa, (Semarang: CV.Karya Abadi, 2015),hlm. 32-33.
Ada dua pendekatan dalam proses penyebaran islam di Jawa, diantaranya:

1. Islamisasi kultur Jawa adalah proses pemasukan corak-corak islam


dalam budaya Jawa baik secara formal maupun subtansial. Contoh
islamisasi kultur Jawa yang dapat dijumpai sampai sekarang adalah
selametan. Selametan pada zaman Hindu-Budha dilakukan oleh
masyarakat tanpa berdoa, setelah Islam datang tradisi selametan tetap
ada dan ditambahi dengan do’a-do’a. Tradisi lainnya adalah sekaten,
mitoni, mapati, dll.
2. Jawanisasi Islam adalah pemasukan nilai-nilai budaya Jawa ke dalam
ajaran-ajaran islam sebagai contohnya seperti tembang. Salah satu
tembangnya adalah tombo ati yang diciptakan oleh sunan bonang, dan
wayang oleh sunan Kalijaga.

Kehadiran islam di jawa dalam bingkai kebudayaan yang telah terbentuk


sebelumnya dalam perpaduan kebudayaaan Hindu dan kebudayaan asli (Jawa)
melahirkan sikap bahwa kehadiran islam bukanlah suatu yang baru untuk
menggantikan yang lama tetapi menambah sesuatu kepada yang lama, sehingga
islam dapat dengan mudah diterima oleh masyarakat.6

C. Interelasi Budaya Jawa dan Islam Terhadap Aspek politik


Simbol sinkretisme politik jawa Islam tampak mencolok pada gelar-gelar
raja islam seperti gelar Sultan, Kalifatullah, Sayyidin Panatagama, tetunggul
Khalifatul Mu’minin dan lain-lain.7
Gelar Ratu Tetunggal diapakai oleh Sunan Giri ketika menjadi Raja pada
masa transisi antara kerajaan Majapahit dan kerajaan Demak. Sunan Giri berkuasa
dalam keadaan vakum kekuasaan pasca keruntuhan Majapahit. Pada masa vakum
ini tidak ada pimpinan yang berdaulat baik dari Raja Hindu maupun Raja Islam.
Kerajaan Majapahit Hindu telah runtuh, sedangkan kerajaan Islam yang nantinya
kerajaan Demak belum berdiri. Sunan Giri berkuasa hanya dalam waktu 40 hari.

6
http://susmitautami.blogs.uny.ac.id/2015/09/17/akulturasi-budaya-jawa-islam-sebagai-wadah-untuk-
berdakwah/ diakses pada tanggal 28 november 2016 pukul 21. 19 WIB.

7
Darori Amin, Islam dan Kebudayaan Jawa, (Semarang: Gama Media, IAIN Walisongo), hlm. 217
pasca keruntuhan Majapahit oleh seorang Raja Girindrawardana dan Keling
Kediri. Setelah masa peralihan 40 hari Sunan Giri menyerahkan kedaulatan
kepada Raja Islam yang permanen yaitu Raden Fatah. Beliau lah Raja pertama
kerajaan Islam Demak.
Simbol politik Islam Jawa juga terdapat pada Raja Yogya yang dipegang
oleh Sri Sultan Hamengkubuwono. Selain sebagai raja juga sebagai sayyidina
panatagama.Dengan demikian Raja Yogya pasti beragama Islam karena tidak
mungkin non-Muslim menjadi Sayyidana Panatagama. Sebab, yang
dimaksud Sayyidina Panatagama disini adalah Panatagama untuk Islam. Inilah
stategi jitu dari para pendahulu kita. Suatu proses islamisasi dengan cara yang
amat arif dan kultural.
Hal senada juga terjadi pada Kyai Ageng Pandan Arang yang menjadi
bupati Semarang pertama, yang merupakan bagian dari kesultanan Mataram. Dia
diangkat pada tahun 1575 M. Kyai Ageng Pandan Arang adalah seorang ulam
yang mempunyai pengaruh sangat besar di masyarakat ketika itu. Karena
besarnya pengaruh itulah, beliau di angkat oleh kesultanan Mataram menjadi
bupati Semarang. Keistimewaan Kyai Ageng Pandan Arang adalah
menembangkan fungsi masjid yang nantinya menjadi cikal bakal masjid Agung
Kauman sekarang ini, bukan hanya sebagai tempat ibadah ritual, tetapi juga
sebagai tempat pemerintahan.8
Simbol politik islam juga terdapat pada bangunan pusat kekuasaan. Pusat
pemerintahan dibuat dalam satu rangkaian yang terdiri dari kantor pemerintahan,
masjid, pasar dan alun-alun.

IV. KESIMPULAN
8
Sri Suhandjati, Islam dan Budaya Jawa Revitalisasi Kearifan Lokal, ( Surakarta; CV. Karya Abadi Jaya,
2015), hlm. 113-117
Masyarakat Jawa dibagi atas empat tingkatan, yaitu para raja, bupati, kepala desa,
dan rakyat jelata. Masyarakat Jawa membagi kelas masyarakat menjadi dua kelas
yaitu pertama, priyayi yang terdiri dari para bangsawan dan pegawai negeri. Kedua,
wong cilik yang terdiri dari para petani.
Sikap masyarakat Jawa dalam menghadapi politik dibagi menjadi 3:
1. Sikap Halus
2. Menjunjung Tinggi Ketenangan Sikap
3. Konsep Kebersamaan

Ada dua pendekatan dalam proses penyebaran islam di Jawa, diantaranya:

a. Islamisasi kultur Jawa contohnya seperti selametan, sekaten, upacara


kematian, pernikahan, mitoni, dll.
b. Jawanisasi Islam contohnya seperti tembang dan wayang.

Simbol sinkretisme politik jawa Islam tampak mencolok pada gelar-gelar raja
islam seperti gelar Sultan, Kalifatullah, Sayyidin Panatagama, tetunggul
Khalifatul Mu’minin dan lain-lain.

Simbol politik islam juga terdapat pada bangunan pusat kekuasaan. Pusat
pemerintahan dibuat dalam satu rangkaian yang terdiri dari kantor pemerintahan,
masjid, pasar dan alun-alun.
DAFTAR PUSTAKA

Amin, Darori. Islam dan Kebudayaan Jawa. Semarang: Gama Media, 2014.

Anasom. Interelasi Islam dan Budaya Jawa. Semarang: CV. Karya Abadi Jaya, 2015.

Koentjaraningrat. Manusia Dan Kebudayaan di Indonesia, Jakarta: Jambatan, 2002.

Shodiq, Potret Islam Jawa, Semarang: Pustaka zaman, 2013.

Suhandjati, Sri. Islam san kebudayaan Jawa Revitalisasi Kearivan Lokal, Semarang: CV. Karya
Abadi Jaya, 2015.

Suseno, Franz Margin. Etika Jawa. Jakarta: Gramedia pustaka utama, 2003.

Susmitautami.blogs.uny.ac.id

Santimelyana.blogspot.co.id

Anda mungkin juga menyukai