Anda di halaman 1dari 4

Orang Jawa Javanese adalah orang yang memakai bahasa Jawa sebagai bahasa ibu dan merupakan

penduduk asli bagian tengah dan timur pulau jawa menurut Franz Magnis Suseno. Masyarakat Jawa
identik dengan aspek kekerabatannya sebagai satu kesatuan masyarakat yang diikat oleh norma-norma
hidup karena sejarah, tradisi maupun agama. Keadaan masyarakat Jawa sebelum munculnya berbagai
asimilasi agama dan budaya asli telah memiliki berbagai peradaban Jawa yang khas. Dalam masalah
politik struktur masyarakat jawa terdiri dari raja, negara dan rakyat menurut suyami konsep
kepemimpinan jawa.

Sedangkan menurut H. Burger strukturnya terbagi atas empat tingkatan yaitu raja, bupati, kepala desa,
dan rakyat jelata. Adapun menurut konsep kekuasaan Jawa, raja merupakan penguasa mutlak yang
mempunyai tanggung jawab besar dan kharisma merupakan hal yang lebih penting dibandingkan
kemampuan untuk menduduki tahta sebagai raja. Pada kenyataannya kehidupan orang jawa pada
umumnya masih membeda-bedakan antara orang priyayi (lapisan atas) dan wong cilik (lapisan
masyarakat bawah), orang priyayi yaitu terdiri dari pegawai negeri dan kaum terpelajar sedangkan wong
cilik seperti petani, tukang atau buruh dan pekerja kasar lainnya.

Berbicara tentang sistem masyarakat jawa tidak lepas dari kepercayaan dalam konteks agama
masyarakat jawa yaitu dinamisme dan animisme. Model aliran kepercayaan tersebut merupakan realitas
dari interaksi alam dengan adat istiadat mereka sehingga tidak dipungkiri jikalau keturunan Jawa yang
masih memegang teguh prinsip kejawen tidak dapat menghilangkan aspek warisan penemuan dan
tradisi nenek-moyang tersebut.

Sikap orang Jawa sangat menekankan aspek keturunan, hormat dan keselarasan sosial. Selalu taat
terhadap warisan nenek-moyang, mementingkan kepentingan umum dari pada kepentingan pribadi.
Selain itu masyarakat jawa juga sangat menghormati keluarga kerajaan atau keraton. Sehingga dapat
ditarik benang merahnya bahwa sistem politik yang adil tidak berlaku pada budaya Jawa.

Orang jawa atau javanese menurut Franz Magnis Suseno adalah orang yang memakai bahasa Jawa
sebagai bahasa ibu dan merupakan penduduk asli bagian tengah dan timur pulau Jawa. Masyarakat
Jawa merupakan suatu kesatuan yang diikat oleh norma-norma hidup karena sejarah tradisi maupun
agama. Hal ini dapat dilihat pada ciri-ciri masyarakat Jawa secara kekerabatan.Hubungan
kemasyarakatan jawa kuno masih cenderung menggunakan adat kaum Hindu-Budha. Dalam buku
Konsep Kepemimpinan Jawa karya Suyami, menerangkan bahwa ada hubungan resiprositas struktur
masyarakat jawa yang terdiri dari Raja, negara dan rakyat. Sedangkan menurut H. Burger dalam
bukunya perubahan-perubahan struktur dalam masyarakat Jawa dibagi atas empat tingkatan, yaitu para
raja, bupati, kepala desa, dan rakyat jelata. Menurut doktrin atau konsep kekuasaan jawa, raja
merupakan penguasa yang mutlak yang mempunyai tanggung jawab yang besar sebagai
pengimbangnya. Dari hal itulah mengapa masyarakat jawa memilih pemimpin bukan atas dasar pilihan
rasioanal, melainkan bersifat emosional, yang berarti kharisma lebih penting dari pada kemampuan.

Koentjaraningrat dalam bukunya yang berjudul Manusia dan Kebudayaan di Indonesia menyatakan
bahwa dalam kenyataan hidup orang Jawa umumnya, orang masih membeda-bedakan antara orang
priyayi yang terdiri dari pegawai negeri dan kaum terpelajar dengan orang kebanyakan yang disebut
wong cilik seperti petani-petani, tukang-tukang dan pekerja kasar lainnya, disamping keluarga keraton
dan keturunan bangsa atau bendara-bendara. Dalam rangka susunan masyarakatnya, cara bertindak
yang berdasarkan atas gengsi-gengsi itu, kaum priyayi dan bendara merupakan lapisan atas, sedangkan
wong cilik menjadi lapisan masyarakat bawah.

Kemudian menurut kriteria pemilik agamanya, orang Jawa biasanya membedakan orang santridengan
orang agamakejawen. Golongan kedua ini sebenarnya adalah orang-orang yang percaya pada ajaran
agama islam, akan tetapi mereka tidak secara patuh menjalankan rukun-rukun dari ajaran agama islam
itu, misalnya tidak sholat, tidak pernah puasa, tik bercita-cita untuk melakukan ibadah haji dan
sebagainya. Demikian secara mendatar, didalam susunan masyarakat Jawa itu, ada golongan santri dan
ada golongan kejawen.

Sistem penggolongan-penggolongan tersebut, selanjutnya menimbulkan hak dan kewajiban yang


berbeda dari keluarga-keluarga tiap-tiap lapisan itu. Secara administrasi, suau desa di Jawa biasanya
disebut kelurahan dan dikepalai oleh lurah. Sekelompok dari 15 sampai 25 desa merupakan suatu
kesatuan administratif yang disebut kecamatan dan dikepalai oleh seorang pegawai pamong praja yang
disebut camat.

Berbicara tentang sistem masyarakat jawa berarti juga berbicara tentang harmonitas sosial dalam
budaya jawa. Berarti berbicara juga mengenai sikap hidup orang jawa. Orang jawa adalah orang yang
religius. Sejarah membuktikan bahwa sejak sebelum islam datang ke Jawa, mereka sudah mempunyai
perhatian yang besar terhadap agama. Hampir setiap kerajaan selalu meninggalkan tempat-tempat
pemujaan, misalnya candi prambanan, dan lain-lain. Pada zaman kerajaan islam dibangun tempat-
tenpat ibadah (masjid) yang sampai saat ini masih dapat dilihat misalnya Masjid Demak, Cirebon, dan
lain-lain. Semua itu menjadi bukti bahwa orang Jawa termasuk orang yang memiliki perhatian besar
terhadap agama.

Dalam hal adat-istiadat, orang Jawa selalu taat terhadap warisan nenek moyangnya, selalu
mementingkan kepentinga umum atau masyarakatnya daripada kepentingan pribadinya. Orang jawa
mempunyai sikap hidup feodalis, mereka sangat hormat terhadap keluarga kerajaan atau keraton yang
masih bisa dirasakan pada saat ini di lingkungan pemerintahan Daerah istimewa Yogyakarta. farnz
margin suseno menyatakan bahwa sikap hidup orang jawa sangat menekankan aspek keturunan,
hormat dan keselarasan sosial. Sehingga bisa dikatakan bahwa sistem politik yang adil itu tidak berlaku
di budaya jawa.

B.Akulturasi Budaya Jawa Dan Islam

Ketika islam datang ke Jawa untuk pertama kalinya, tidak langsung diterima oleh masyarakat jawa
dengan lapang dada. Mayoritas masyarakat jawa saat itu yang masih berpegang teguh pada
kepercayaan animisme dan dinamisme serta agama hindu dan budha. Tugas para muballigh yang
menyebarkan islam di jawa pun harus mampu mengkombinasi islam dengan kultur jawa atau yang
disebut dengan Islamisasi kultur jawa. Dimana pada saat itulah Walisongo yang menjadi peran utama
dalam proses islamisasi kultur jawa. Contoh islamisasi kultur jawa yang dapat dijumpai sampai sekarang
adalah selametan. Selametan adalah suatu upacara makan bersama makanan yang telah diberi doa
sebelum dibagi-bagikan.

C. Interelasi Budaya Jawa dan Islam Dalam Aspek Politik

Politik jawa tampak mencolok pada gelar-gelar raja Islam seperti gelar

sultan, kalifatullah sayyidin panatagama, tetunggul khalifatul mu’minin,

susuhunan, dam sebagainya. Gelar ratu tetunggal dipakai oleh Sunan Giri ketika menjadi raja pada masa
transisi antara dari kerajaan Majapahit dan kerajaan Demak. Susunan Giri berkuasa dalam keadaan
vakum kekuasaan pasca keruntuhan Majapahit. Pada masa vakum ini, tidak ada pimpinan yang
berdaulat baik dari raja Hindu maupun Islam. Kerajaan Majapahit yang Hindu telah runtuh, sedangkan
kerajaan Islam yang nantinya kerajaan Demak Belum berdiri. Sunan Giri berkuasa hanya dalam waktu 40
hari pasca keruntuhan Majapahit oleh seorang raja Girindrawardana dan Kelling Kendiri. Setelah masa
peralihan 40 hari Sunan Giri menyerahkan kedaulatan kepada raja Islam yang permanen yaitu Raden
Fatah. Dialah raja pertama kerajaan Islam Demak.

Ada beberapa analisis mengenai Sunan Giri yang menjadi raja pada waktu itu, padahal dia bukan
keturunan raja:

1)Mengkiaskan diri dengan Nabi Yusuf AS yang juga bukan keturunan raja, tetapi naik tahta

2) Para wali khusunya sunan Giri tampaknya berkeyakinan bahwa tidak baik bahwa suatu komunitas
(umat) tanpa pemimpin, entah pemimpin itu mukmin atau kafir.

3) Sunan Giri hanya mengantarkan keadaan keadaan transisi menuju berdirinya kerajaan Islam Demak.

Simbol politik Islam Jawa juga terdapat pada raja-raja Jogjakarta yang dipegang Sri Sultan
Hamengkubuwono. Sri sultan Hamengkubuwono selain sebagai raja (kekuasaan politik) juga sebagai
sayyidina panatagama (pemimpin agama). Inilah strategi politik jitu dari para pendahulu kita. Suatu
proses Islamisasi yang amat arif dan kultural. Hal senada juga terdapat pada Kiai Ageng Pandan Arang
yang menjadi Bupati Semarang pertama yang merupakan bagian dari kesultanan Mataram.dia diangkat
pada tahun 1574 M. Kiai Ageng Pandan Arang adalah seorang ulama yang memiliki pengaruh sangat
besar ketika itu. Keistimewaan Kiai Ageng adalah kegemarannya mengembangkan fungsi masjid yang
nantinya menjadi cikal bakal Masjid Agung kauman sekarang ini, bukan saja sebagai tempat ibadah
ritual, tetapi juga sebagai pusat pemerintah.

Simbol percampuran politik Islam Jawa juga terdapat pada bangunan - bangunan kekuasaan. Pusat
pemerintah dibuat dalam dalam satu rangkaian yang terdiri dari kantor pemerintahan (kerajaan/kraton,
Kabupaten), masjid,pasar, dan alun-alun.
Sikap orang Jawa sangat menekankan aspek keturunan, hormat dan keselarasan sosial. Selalu taat
terhadap warisan nenek-moyang, mementingkan kepentingan umum dari pada kepentingan pribadi.
Selain itu masyarakat jawa juga sangat menghormati keluarga kerajaan atau keraton. Sehingga dapat
ditarik benang merahnya bahwa sistem politik yang adil tidak berlaku pada budaya Jawa. Islam datang
ke Indonesia khususnya datang di tanah Jawa, kemudian menyebarkan Islam dengan cara mengislami
kultur jawa, contoh islamisasi kultur jawa yang dapat dijumpai sampai sekarang adalah selametan.
Selametan adalah suatu upacara makan bersama makanan yang telah diberi doa sebelum dibagi-
bagikan.

Simbol politik Islam Jawa diantaranya terdapat pada raja-raja Jogjakarta yang dipegang Sri Sultan
Hamengkubuwono. Sri sultan Hamengkubuwono selain sebagai raja (kekuasaan politik) juga sebagai
sayyidina panatagama (pemimpin agama). Inilah strategi politik jitu dari para pendahulu kita. Suatu
proses Islamisasi yang amat arif dan kultural

Anda mungkin juga menyukai