Anda di halaman 1dari 15

PEMIKIRAN ISLAM JAWA

Diajukan Untuk Memenuhi Nilai Tugas Mata Kuliah Sejarah Sosial Intelektual Islam 2

Kelas C

Dosen Pengampu :

Drs. Sukarma,, M.Ag.

Disusun Oleh :

1. Nabila Bilqis Nurul Illiyyin (03010220014)

2. Nikken Dwi Retno Sari (03010220016)

PROGRAM STUDI SEJARAH PERADABAN ISLAM

FAKULTAS ADAB DAN HUMANIORA

UNIVERSITAS ISLAM NEGERI SUNAN AMPEL SURABAYA

2022
BAB I
PEMBAHASAN

A. Latar Belakang Historis Munculnya Pemikiran Islam Jawa


Sejarah proses islamisasi yang terjadi di Jawa tak bisa dilepaskan dari konteks
dialektika Islam dengan budaya-budaya lokal. Para sejarawan bersepakat bahwasannya
pionir serta pelopor masuknya Islam di Jawa berada di tangan para Wali yang dikenal
dengan Wali Songo, disebut demikian sebab Islam tersebar di pulau itu berkat
kegigihan para wali awal yang berjumlah Sembilan. Pada abad ke-15 M, bertepatan
dengan runtuhnya Kerajaan Majapahit pada 1478 M, berdirilah kerajaan baru dari
keturunan Brawijaya V, yakni Raden Patah yang menjadi pelopor berdirinya Kerajaan
Islam di Demak, Jawa Tengah yang dibantu oleh para wali.
Gerak politik Kerajaan Demak diiringi oleh gerak penyebaran Islam di pelosok
tanah Jawa, para wali mengadakan pendekatan pada masyarakat Jawa dari sisi mistis-
theosofis, hal tersebut dilakukan dengan alasan bahwa basis gerakan agama pra Islam
di Jawa era Hindu-Budha adalah mistis. Kesan yang muncul dari penyebaran Islam di
Jawa itu penuh dengan legenda dan juga cerita-cerita mistis-khayali, berupa
keunggulan supranatural ataupun karomah (kesaktian) para wali serta pengaruh dari
maqam ka-dewataan ala Majapahit. Kenyataan tersebut diakui oleh Van Den Brich
dalam ungkapannya tentang peranan para wali dalam penyiaran Islam, seperti dikutip
Alwi Shihab, “Pengaruh mereka sungguh luar biasa. Walaupun dekat dengan khayalan,
akan tetapi nyata dan riil”.1
Para wali di tanah Jawa dalam mengkomunikasikan kultur dan keberagamaan
Islam dengan masyarakat lokal berhasil merangkum ajaran tasawuf Islam dalam
formulasi ajaran mistik Jawa. Dari sinilah terjadi persinggungan inti (nucleus) ajaran
spiritual atau theosofi antara Islam dengan Jawa, dimana salah satu karakteristik yang
dimiliki oleh orang Jawa ialah kebiasaan hidup dalam suasana mistik, mistik sebagai
sikap hidup, pola pikir, serta dipraktekkan dalam kehidupan sehari-hari. Warna
perjuangan para wali ini diwarnai dengan rasa semangat syari’at Islam sehingga layak
untuk disebut sebagai Islamisasi Jawa, yakni suatu simbol dialektika budaya yang unik
antara Islam dengan Jawa dengan penguatan syari’at Islam. Zaman ini disebut dengan
zaman peralihan, yakni peralihan dari zaman kabudhan (Hindu-Budha) ke zaman

1
Alwi Shihab, Islam Sufistik, (Bandung: Mizan, 2001), 39-40.
Kawalen (Islam). Sesudah berakhirnya periode Kerajaan Demak serta diteruskan
dengan periode Kerajaan Pajang dan Mataram, periode ini menandai peralihan dari
Islam pesisiran menuju Islam pedalaman. Karakter kultur masyarakat pedalaman yang
bersifat homogen dan juga agraris mendorong gaya Islam pesisiran yang cenderung
mistis-ortodoks (syari’at Islam) lebih terbuka terhadap masuknya unsur-unsur kejawen
yang notabene hasil perpaduan antara Hindu-Budha dan Jawa. Pengolahan Jawa atas
ajaran mistik Islam melahirkan bentuk kepercayaan baru bagi masyarakat Jawa, yang
dikenal dengan Kebatinan.
Komunikasi antara Islam dengan Jawa senyatanya dapat ditemukan dengan
adanya dialektika yang selalu berkonflik, terbukti bahwa dinamika hubungan Islam-
Jawa telah melahirkan dikotomi antara warna Islam yang ortodoks (islamisasi Jawa)
dengan warna Islam yang sinkretik (Jawanisasi Islam). Dialektika yang penuh
keragaman konflik itu bisa ditemukan dalam rekam jejak beberapa karya sastra Suluk
yang ditulis oleh para Pujangga Jawa sejak zaman Kerajaan Demak sampai Kerajaan
Mataram Surakarta, yang membentang selama kurun abad ke 16 hingga 20 Masehi dari
zaman Demak, Pajang, Mataram, hingga Surakarta.2
Dalam perspektif sosiologis, ada hubungan interdependensi antara agama
dengan masyarakat, dimana keduanya saling mempengaruhi antara yang satu dengan
yang lainnya. Joacheim Wach, menunjukkan adanya pengaruh timbal balik antara
kedua factor tersebut: pertama, pengaruh agama terhadap masyarakat dan yang kedua,
pengaruh masyarakat terhadap agama.3 Agama Jawa dalam pandangan Clifford Geertz
merupakan dampak sosiologis dari adanya hubungan interdependensi yang dimaksud
tersebut.
Clifford Geertz kemudian membuat kerangka analisis dengan
mengklasifikasikan masyarakat Islam-Jawa ke dalam tiga varian, yakni: abangan,
santri, dan priyayi. Pembacaan demikian ini, oleh Geertz disandarkan pada asumsi
bahwa pandangan dunia Jawa ialah agama Jawa yang dihadapkan pada sistem
stratfikasi sosial yaitu (desa, pasar, dan birokrasi pemerintah). Dalam pengamatannya,
tiga lingkungan yang berbeda (pedesaan, pasar, dan kantor pemerintah) yang dibarengi
dengan latar belakang sejarah kebudayaan yang berbeda (yang memiliki keterkaitan
dengan masuknya agama dan juga peradaban Hindu dan Islam di Jawa) telah

2
Muhammad Irfan Riyadi, “Kontroversi Theosofi Islam Jawa dalam Manuskrip Kapujanggan), Al-Tahrir, Vol.
13, No. 1, (Mei, 2013), 23-25.
3
Dadang Kahmad, Sosiologi Agama, (Bandung: Penerbit PT Remajarosdakarya, 2002).
menunjukkan adanya: Abangan (yang menekankan pada aspek-aspek animistik), Santri
(yang menekankan pada aspek-aspek Islam) dan Priyayi (yang menekankan pada
aspek-aspek Hindu).4
Berbeda dengan abangan yang diasumsikan sebagai bentuk regiousitas
masyarakat desa, santri diasumsikan sebagai bentuk dari keberagamaan kaum pedagang
(pasar). Tentu saja, pasar sebagai subsistem sosial utama masyarakat Jawa harus
dipahami secara luas yang meliputi seluruh pulau. Untuk bagian terbesar, aspek
perdagangan antar daerah berada di tangan orang-orang Cina, smentara aspek yang
lebih local berada di tangan orang-orang Jawa. Sementara unsur perdagangan orang
Jawa versi Islam, berawal dari masuknya agama Islam ke pulau Jawa, sebagai bagian
dari perkembangan perdagangan besar-besaran di laut Jawa. Walaupun kehadiran
Belanda banyak mempengaruhi perdagangan orang Jawa yang sudah lama berkembang
di pelabuhan-pelabuhan pantai utara, yakni Surabaya, Gresik, Tuban, dan lain-lain,
namun kebudayaan dagang itu tidak mati sepenuhnya, justru kebudayaan dagang itu
bertahan hingga saat ini.
Santri yang merupakan salah satu substruktur sosial masyarakat Jawa,
diasumsikan oleh Clifford Geertz sebagai golongan yang berusaha mengamalkan Islam
sesuai dengan ajaran yang pertama datang kepada mereka. Geertz juga menyebut
golongan ini ialah Islam yang berada dalam lingkungan fundamentalisme ajaran Islam.
Tradisi keagamaan kalangan santri, tak terbatas pada pelaksanaan yang cermat serta
teratur atas pokok peribadatan Islam, namun juga sebuah keseluruhan yang kompleks
dari organisasi sosial, kedermawanan dan politik Islam. Secara geografis, golongan
santri biasanya berada dalam wilayah di sekitar pesisir pulau Jawa, yang menjadi titik
tolak penyebaran Islam yang berasal dari Timur Tengah. Pemahaman mereka terhadap
Islam cukup mendalam bahkan dalam pengamalan terhadap syariat Islam lebih pure
(murni). Itulah sebabnya, banyak muncul pesantren (tempat belajar mendalami agama
Islam) di sepanjang pantura pulau Jawa. Dengan demikian, santri yang kategorinya
ialah orang yang melaksanakan kewajiban agama secara cermat dan teratur dalam hal
ini juga sesuai jika disematkan pada masyarakat yang bermatapencaharian sebagai
pedagang karena interaksinya dengan dunia luar yang cukup intens.

4
Clifford Geertz, Agama Jawa: Abangan, Santri, dan Priyayi dalam Masyarakat Jawa, terj. Aswab Mahasin,
(Bandung: Dunia Pustaka Jaya, 1981).
Berbeda dengan abangan dan santri, varian priyayi sebagai substruktur sosial
Jawa, diasumsikan sebagai golongan bangsawan (aristokrat) yang dekat dengan
kekuasaan, yang penghayatan agamanya banyak dipengaruhi oleh Hinduisme. Wilayah
keraton atau kerajaan menjadi latar utama persebaran golongan ini. Tidak jauh berbeda
dengan tipologi abangan, pada umumnya golongan priyayi hidup dalam lingkaran
tradisi kejawen yang sangat kuat, mengingat istana merupakan pusat kekuatan budaya
saat itu. Dalam mengamalkan Islam, golongan priyayi cenderung pada penggabungan
ajaran agama dengan tradisi kejawen, bahkan juga tradisi Hinduisme dan Budhisme.
Berdasarkan klasifikasi demikian, maka bisa diambil gambaran bahwa
penganut Islam di wilayah sekitar pesisir yang tergolong dalam kaum santri, yakni
masyarakat di sekitar pantai utara (pantura) Jawa, mengamalkan Islam dengan tidak
menonjolkan nuansa sinkretisme. Sebaliknya, masyarakat pedalaman yang kental
dengan corak mistisisme Jawa beserta klenik di dalamnya dikategorikan sebagai Islam
abangan yang mengamalkan Islam secara sinkretik. Begitu pula di lingkungan kerajaan,
yang lebih cocok dalam klasifikasi priyayi, mengamalkan Islam dengan
menggabungkannya terhadap Dengan demikian semakin jelas bahwa corak
keberagamaan masyarakat Jawa diwarnai oleh keterpaduan antara budaya pendatang
dan budaya lokal. Dan inilah yang kemudian disebut Clifford Geertz sebagai agama
Jawa. Abangan yang mewakili penekanan pada aspek animistis dari Jawa dan secara
luas dihubungkan dengan golongan petani; Santri, yang mewakili penekanan pada
aspek Islam murni, dan umumnya dihubungkan dengan aspek dagang; Priyayi yang
menekankan pada aspek-aspek Hindú dan dihubungkan dengan elemen birokratik.
Semuanya merupakan tiga subtradisi utama dalam masyarakat Jawa.
Dari paparan di atas dapatlah dipahami bahwa interdependensi antara agama
(Islam) dan budaya lokal (animisme, hinduisme dan buddhisme) terlihat sekali dalam
releigiousitas masyarakat Jawa yang terekspresikan dalam varian abangan, santri dan
priyayi. Tarik menarik antara budaya pendatang pada satu sisi dan budaya lokal pada
sisi lain, yang sama-sama kuatnya, berdampak pada terjadinya penyerapan dari dua
unsur, yang pada perkembangannya membentuk budaya baru (agama khas Jawa).
Meminjam teori fluiditas Rene Char, apabila dua budaya bertemu, yang terjadi adalah
pelenturan-pelenturan nilai-nilai lama. Ketiga varian agama Jawa (abangan, santri dan
priyayi) sebagaimana yang diketemukan Clifford Geertz, merupakan indikator nyata
dari adanya fluiditas dimaksud. Ketika Islam bertemu dengan substruktur sosial desa
yang serat dengan kepercayaan takhayul, animisme dan hinduisme maka yang terjadi
adalah peleburan antara Islam (sebagi agama asing) dan budaya lokal yang pada
perkembangannya terakumulasi dalam varian abangan. Demikian halnya, ketika Islam
bertemu dengan substruktur birokrasi yang serat akan nilai-nilai tradisional kraton yang
penuh dengan tata cara etiket kaum ningkrat, maka yang mengedepan adalah Islam ala
varian priyayi, yang pada tataran tertentu masih mempertahankan praktek animisme
dan Hinduisme sebagaimana varian abangan. Lain halnya dengan varian santri, ketika
Islam dihadapkan pada substruktur sosial pasar yang serat dengan budaya pelayaran
yang memungkinkan untuk secara mudah menggali dan menyerap Islam secara murmi,
maka keberagamaan mereka lebih menampakkan unsur Islam secara murni. Dari sini
jelaslah bahwa interdependensi antara agama (Islam) dan budaya lokal terjadi begitu
intens di Jawa.5
B. Konsep Pemikiran Islam dalam Falsafah Jawa Tentang Keberadaan Allah
1. Hakikat Pemikiran dalam Falsafah Jawa
Pengertian hakikat menurut (Departemen Pendidikan dan Kebudayaan, 1991)
merupakan intisari atau dasar.6 Sedangkan pengertian hakikat menurut
(Endraswara, 2012: 1) dalam bukunya yang berjudul Filsafat Sastra, hakikat
berasal dari kata haq yang artinya kanan.7 Haq juga berarti benar. Oleh sebab itu,
secara keseluruhan, hakikat bermakna kebenaran mengenai suatu hal. Selain itu,
dalam bukunya yang berjudul Filsafat Ilmu juga menyebutkan bahwa hakikat ialah
suatu realitas atau kenyataan yang sebenarnya (Endraswara, 2013: 97).8 Kajian
tentang hakikat ini berkaitan erat dengan kajian filsafat ilmu ontologi. Ontologi
merupakan the theory of being qua being (teori mengenai keberadaan sebagai
keberadaan), atau juga disebut sebagai studi tentang yang ada (being) secara
universal. Ontologi berusaha mencari inti yang termuat dalam setiap kenyataan atau
menjelaskan yang terdapat dalam setiap bentuknya (Endraswara, 2013: 98).9 Jadi,
ontologi ialah studi yang terdalam dari setiap hakikat kenyataan yang menjadi
pijakan bagi manusia untuk berpikir kritis tentang yang ada, meliputi Allah,
manusia, dan alam semesta. Dalam kajian ini akan dianalisis pada tiga konsep,

5
Mahli Zainudin Tago, “Agama dan Integrasi Sosial dalam Pemikiran Clifford Geertz”, Kalam: Jurnal Studi
Agama dan Pemikiran Islam, Vol. 7, No. 1, (Juni, 2013), 82-86.
6
Departemen Agama Republik Indonesia, Kamus Besar Bahasa Indonesia (Edisi Kedua), (Jakarta: Balai Pustaka,
1991).
7
S. Endraswara, Filsafat Sastra, (Yogyakarta: Layar Kata, 2012), 1.
8
S. Endraswara, Filsafat Ilmu (Konsep, Sejarah, dan Pengembangan Metode Ilmiah), (Yogyakarta: Caps, 2013),
97
9
Ibid., 98.
yakni (1) konsep tan kena kinayagapa, (2) konsep Gusti Allah orah sare, dan (3)
konsep sangkan paran.
• Konsep Tan Kena Kinaya Gapa
Unsur yang paling utama dalam kepercayaan manusia Jawa ialah
kepercayaan bahwa adanya Allah. Orang Jawa menggambarkan keberadaan
Allah dengan konsep tan kena kinaya gapa yang berarti Allah tidak bisa
dibayangkan keadaannya. Meskipun tak bisa dibayangkan keadaannya,
namun manusia Jawa meyakini bahawa Allah itu ada. Tan kena kinaya gapa
juga bermakna, manusia Jawa meyakini adanya zat tunggal (Hyang Widi)
yang mutlak kekuasaannya, namun tidak bisa dijelaskan wujudnya.
Keberadaan Allah justru tidak bisa diumpamakan dengan apapun dan
siapapun, karena bersifat beda daripada yang lainnya. Oleh karena berbeda,
maka Allah itu tunggal, dan karena tunggal maka mempunyai kekuasaan
yang mutlak. Keyakinan manusia Jawa akan keberadaan Allah tidak semata-
mata diperoleh hanya melalui logika dan rasio semata, melainkan juga
melalui rasa untuk memahami seluruh kebenaran yang ada. Baik mengenai
keberadaan alam semesta ciptaan Allah maupun keberadaan Allah Sang
Maha Pencipta itu sendiri.
Keberadaan Allah yang disebutkan oleh manusia Jawa dengan tan kena
kinaya gapa tersebut juga telah diterangkan oleh Imam (Al-Ghazali, 1982:
32) dalam bukunya yang berjudul Intisari Filsafat.10 Imam Al Ghazali
menyebutkan bahwa keadaan Allah adalah sukar untuk dipahami oleh
manusia umumnya. Namun, bagi mereka yang pandangan batinnya tajam
serta memiliki kekuatan gerak hati (ilham-intuisi-basirah-nafs) di dalam
keadaan pikiran yang berimbang tidak pula nbisa melihat atau mengetahui
gerak kekuasaan Allah Yang Maha Kuasa. Orang-orang seperti itu
(pandangan batinnya tajam dan mempunyai kekuatan gerak hati) pun tidak
melihat langit sebagai langit, juga tidak melihat bumi sebagai bumi. Dia
sebenarnya tidak melihat sesuatu yang di dalam alam semesta ini kecuali
hanya cahaya dari wujud ciptaan Allah yang menembus seluruh alam
semesta (Al-Ghazali, 1982: 32).11 Walaupun sukar untuk dipahami, namun

10
Al-Ghazali, Inti Sari Filsafat, (Singapura: Pustaka Nasional PTELTD Singapura, 1982), 32.
11
Ibid.
kewujudan Allah yang digambarkan sebagai cahaya juga telah dijelaskan
dalam Al-Qur’an (Surah an-Nur [24]: 35):

ْ ‫ص ّباح اّ ْلم‬
‫ص ّبا هح ف ْي هز ّجا ّجة‬ ْ ‫للَاه نه ْو هر السَّمٰ ٰوت ّو ْاْلّ ْرض ّمثّ هل نه ْوره كّم ْش ٰكوة ف ْي ّها م‬
ّٰ
ّ ‫لز ّجا ّجةه ّكاّنَّ ّها ك ّْوكّب دهري ي ُّْوقّده م ْن‬
‫ش ّج ّرة ُّم ٰب ّركّة زّ ْيت ه ْونّة َّْل ش ّْرقيَّة َّو ّْل غ ّْربيَّة‬ ُّ ّ‫ا‬
ٰ ‫ع ٰلى نه ْور ّي ْهدى‬
‫للَاه لنه ْوره ّم ْن يَّش ّْۤا هء‬ ّ ‫يَّكّاده زّ ْيت ه ّها يهض ْۤ ْي هء ّولّ ْو لّ ْم ت ّْم‬
ّ ‫س ْسهه نّار نه ْور‬
‫عليْم‬
ّ ‫ش ْيء‬ ٰ ‫للَاه ْاْلّ ْمثّا ّل للنَّاس ّو‬
ّ ‫للَاه ب هكل‬ ٰ ‫ب‬ ‫ّو ّيضْر ه‬
“Allah (pemberi) cahaya (kepada) langit dan bumi. Perumpamaan cahaya-
Nya, seperti sebuah lubang yang tidak tembus, yang di dalamnya tidak ada
pelita besar. Pelita itu di dalam tabung kaca, (dan) tabung kaca itu bagaikan
bintang yang berkilauan, yang dinyalakan dengan minyak dari pohon yang
diberkahi, (yaitu) pohon zaitun yang tumbuh tidak hanya di timur dan tidak pula
di barat, yang minyaknya (saja) hampir=hampir menerangi, walaupun tidak
disentuh api. Cahaya di atas cahaya-Nya bagi orang yang Dia kehendaki, dan
Allah membuat perumpamaan-perumpamaan bagi manusia. Dan Allah Maha
Mengetahui segala sesuatu.”
Keberadaan Allah merupakan sesuatu hal yang abstrak dan tidak bisa
dibayangkan melalui logika semata. Bagaimana mungkin manusia mencoba
mengartikan sesuatu yang besar dan tidak terbatas dengan akal dan pikiran
manusia yang kecil dan terbatas ini. Sebaliknya untuk meyakinkan keberadaan
Allah bagi manusia yang selalu berpusat pada logika semata, dapat dilakukan
melalui sebuah analogi sederhana yaitu berdasarkan kejadian-kejadian yang
biasa dialami manusia dalam kehidupan sehari-hari. Sebagai contoh manusia
seringkali menginginkan sesuatu namun tidak memperoleh apa yang
diinginkannya tersebut. Seperti pada contoh kasus, manusia ingin sehat tetapi
sebaliknya mengalami sakit dan manusia ingin untung dalam berdagang tetapi
justru merugi. Dualisme yang dihadapi manusia antara sehat-sakit, untung-rugi,
berhasil-gagal, senang-susah, suka-duka, dipuji-dicaci dan lainnya
membuktikan bahwa manusia dapat berupaya untuk apa yang ingin diraihnya,
tetapi tidak dapat memastikan hasil dari usaha tersebut secara mutlak.
Ketidakmampuan manusia dalam memastikan hasil akhir setelah usaha
tersebut membuktikan bahwa ada kekuasaan di luar manusia yang bersifat
mutlak yang mengendalikan semua dualisme kehidupan yang akan dihadapi
manusia. Manusia juga sering kali tidak menginginkan sesuatu namun justru
dengan cepat mendapatkan sesuatu tersebut. Sebaliknya, manusia juga
seringkali menginginkan sesuatu dalam hidupnya tetapi tak kunjung
mendapatkan. Seperti pada contoh kasus seorang ibu yang tidak menginginkan
punya anak lagi karena telah memiliki banyak anak, tetapi kemudian ibu
tersebut mendapatkan anak lagi. Contoh-contoh berdasarkan analogi tersebut
membuktikan bahwa manusia bukanlah pemilik mutlak atas dirinya. Sebab jika
manusia adalah pemilik mutlak atas dirinya, maka ia dapat mempertahankan,
mewujudkan, dan mendapatkan apa saja yang menjadi keinginannya. Di situlah
keberadaan Allah menjadi dipahami sebagai suatu zat mutlak yang sepenuhnya
berbengaruh bagi keinginan kita, dimana terdapat dua kemungkinan terwujud
ataupun tidak.
Manusia Jawa menyebutkan kemutlakan Allah dengan nama Gusti Allah
Kang Murbeng Gesang yang berarti Allah yang menguasai kehidupan dan juga
Gusti Allah Kang Murbeng Dumadi yang berarti Allah yang menguasai seluruh
alam semesta. Kesadaran manusia Jawa bahwa Allah adalah satu-satunya yang
memiliki kekuasaan mutlak juga telah dinyatakan dalam Al-Qur’an (Surah al-
Baqarah [2]: 255):
َّ ‫ي ْالقّيُّو هم ّْل تّأ ْ هخذههه سنّة ّو ّْل ن ّْوم لّهه ّما في ال‬ ٰ
‫اوات ّو ّما في ْاْل ّ ْرض ّم ْن ذّا الَّذي يّ ْشفّ هع‬ ّ ‫س ّم‬ ُّ ‫للَاه ّْل إلّهّ إ َّْل ه ّهو ْال ّح‬
َّ
‫ش ْيء م ْن ع ْلمه إ َّْل ب ّما شّا ّء ّوس ّع هك ْرسيُّهه‬ ّ ‫طونّ ب‬‫ع ْندّهه إ َّْل بإ ْذنه يّ ْعلّ هم ّما بّيْنّ أّيْديه ْم ّو ّما خ ّْلفّ هه ْم ۖ ّو ّْل يهحي ه‬
‫ي ْال ّعظي هم‬
ُّ ‫ظ هه ّما ّوه ّهو ْال ّعل‬ ّ ‫اوات ّو ْاْل ّ ْر‬
‫ض ۖ ّو ّْل يّئهودههه ح ْف ه‬ ّ ‫س ّم‬
َّ ‫ال‬
“Allah, tidak ada Tuhan (yang berhak disembah) melainkan Dia Yang Hidup
kekal lagi terus menerus mengurus (makhluk-Nya); tidak mengantuk dan tidak
tidur. Kepunyaan-Nya apa yang di langit dan di bumi. Tiada yang dapat
memberi syafa'at di sisi Allah tanpa izin-Nya? Allah mengetahui apa-apa yang
di hadapan mereka dan di belakang mereka, dan mereka tidak mengetahui apa-
apa dari ilmu Allah melainkan apa yang dikehendaki-Nya. Kursi Allah meliputi
langit dan bumi. Dan Allah tidak merasa berat memelihara keduanya, dan
Allah Maha Tinggi lagi Maha Besar”.
Manusia Jawa juga menyadari bahwasannya Allah merupakan Dzat
satu-satunya yang menguasai serta memelihara seluruh alam semesta yang
disebut dengan Gusti Allah Kang Murbeng Dumadi dalam falsafah Jawa. Hal
tersebut selaras dengan ayat Al-Qur’an (Surah al-Fatihah [1]: 2):
ّ‫ٱ ْل ّح ْمده َّلِل ّرب ٱ ْل ٰعّلّمين‬
“Segala puji bagi Allah, Tuhan Seluruh Alam”.
• Konsep Gusti Allah Orah Sare
Gusti Allah orah sare berarti Allah tidak tidur. Maksud tidak tidur yaitu
Allah senantiasa terjaga di setiap masa. Keadaan terjaga berkenaan
menjadikan Allah adalah Dzat yang Maha Mengetahui segala perbuatan
baik ataupun buruk telah, sedang, dan akan dilakukan manusia. Selain itu
Allah juga Maha Mengetahui segala kejadian yang ada di alam semesta ini.
Falsafah Jawa juga kembali menegaskan konsep Gusti Allah orah sare
dengan konsep Gusti Allah orah sare, pirsa satindak tanduk titahe manungsa
yang berarti Allah tidak tidur, Dia mengetahui segala perilaku hambanya.
Konsep Gusti Allah orah sare yang artinya Allah tidak pernah tidur dan
selalu terjaga juga telah dijelaskan di dalam ayat Al-Qur’an (Surah Al-
Baqarah [2]: 255):
َّ ‫ي ْالقّيُّو هم ّْل تّأ ْ هخذههه سنّة ّو ّْل ن ّْوم لّهه ّما في ال‬ ٰ
‫اوات ّو ّما في ْاْل ّ ْرض ّم ْن ذّا الَّذي ّي ْشفّ هع‬ ّ ‫س ّم‬ ُّ ‫للَاه ّْل إلّهّ إ َّْل ه ّهو ْال ّح‬
َّ
‫ش ْيء م ْن ع ْلمه إ َّْل ب ّما شّا ّء ّوس ّع هك ْرسيُّهه‬ ّ ‫طونّ ب‬‫ع ْن ّدهه إ َّْل بإ ْذنه ّي ْعلّ هم ّما ّبيْنّ أّيْديه ْم ّو ّما خ ّْلفّ هه ْم ۖ ّو ّْل يهحي ه‬
‫ي ْال ّعظي هم‬
ُّ ‫ظ هه ّما ّوه ّهو ْال ّعل‬ ّ ‫اوات ّو ْاْل ّ ْر‬
‫ض ۖ ّو ّْل ّيئهودههه ح ْف ه‬ ّ ‫س ّم‬
َّ ‫ال‬
“Allah, tidak ada Tuhan (yang berhak disembah) melainkan Dia Yang Hidup
kekal lagi terus menerus mengurus (makhluk-Nya); tidak mengantuk dan tidak
tidur. Kepunyaan-Nya apa yang di langit dan di bumi. Tiada yang dapat
memberi syafa'at di sisi Allah tanpa izin-Nya? Allah mengetahui apa-apa yang
di hadapan mereka dan di belakang mereka, dan mereka tidak mengetahui apa-
apa dari ilmu Allah melainkan apa yang dikehendaki-Nya. Kursi Allah meliputi
langit dan bumi. Dan Allah tidak merasa berat memelihara keduanya, dan
Allah Maha Tinggi lagi Maha Besar”.
Kesadaran akan kehadiran serta pengawasan Allah juga telah dinyatakan
dalam Al-Qur’an (Surah Al-Baqarah [2]: 115):
‫ق ّو ال ْ ّم غ ْ ر ه‬
‫ب ف ّ أ ّي ْ ن ّ ّم ا ت ه ّو ل ُّ وا ف ّ ث ّمَّ ّو ْج ه ه للَاَّ إ َّن للَاَّ ّ ّو اس ع ع ّ ل يم‬ ‫لِل ال ْ ّم شْ ر ه‬
َّ ‫ّو‬
“Dan milik Allah timur dan barat. Ke mana pun kamu menghadap, di sanalah
wajah Allah. Sungguh Allah yang Maha Luas, Maha Mengetahui”.
Oleh sebab itu, maka kesadaran manusia akan kehadiran Allah akan
menimbulkan sikap untuk selalu berhati-hati dalam hal bertindak maupun
bertingkah laku. Karena dia sadar sepenuhnya akan pengawasan Allah kapan
pun dan dimana pun. Seterusnya, falsafah Jawa juga mempunyai konsep Hyang
Manon yang berarti Allah yang Maha Melihat. Seluruh tingkah laku manusia
dapat dilihat oleh Allah. Kesadaran manusia Jawa bahwa Allah Maha Melihat,
akan mencegah manusia dari perbuatan yang buruk walau sedikit saja.
• Konsep Sangkan Paran
Sangkan paran secara harfiah berarti dari mana (sangkan) dan akan ke mana
(paran), atau berarti sebuah konsep yang menanyakan dari mana (awal mula)
dan akan ke mana (ujung) penciptaan seluruh isi alam semesta ini. Oleh karena
itu, konsep sangkan paran dalam falsafah Jawa bertujuan untuk menanyakan
awal dan akhir dari penciptaan seluruh isi di alam semesta ini. Konsep sangkan
paran bertitik tolak dari kewujudan manusia dan alam semesta yang dapat
dicapai melalui pancaindra. Konsep sangkan paran dalam falsafah Jawa
dibagikan pada tiga hal yaitu:
A. Sangkan paraning dumadi yang berarti awal dan akhir dari penciptaan alam
semesta.
B. Sangkan paraning manungsa yang berarti awal dan akhir dari penciptaan
manusia.
C. Sangkan paraning dumadining manungsa yang berarti awal dan akhir dari
penciptaan alam semesta dan manusia.
Oleh karena itu, berdasarkan tiga hal di atas, maka dapat dipahami falsafah
Jawa berkesimpulan bahwa Allah merupakan sangkan paraning dumadi (Allah
merupakan awal dan akhir dari penciptaan alam semesta) dan Allah juga
merupakan sangkan paraning manungsa (Allah merupakan awal dan akhir dari
penciptaan manusia). Dapat diketahui bahwa Allah merupakan awal dan akhir
dari penciptaanalam semesta dan manusia atau dalam falsafah Jawa disebut
dengan sangkan paraning dumadining manungsa. Falsafah Jawa telah memiliki
pandangan bahwa awal penciptaan seluruh isi alam semesta termasuk juga
manusia berasal dari Allah (sangkan) dan akhir penciptaan seluruh isi alam
semesta akan kembali pada Allah (paran). Hal tersebut dapat mudah dipahami
dengan maksud, awal berarti berasal dari Allah dan akhir berarti akan kembali
pada Allah. Konsep sangkan paran dalam falsafah Jawa juga telah membuktikan
kepercayaan manusia Jawa terhadap keberadaan Allah.
Adanya alam semesta dan seluruh isinya ini bukanlah sebuah kebetulan
semata atau terjadi secara tiba-tiba dan tidak memiliki tujuan atas penciptaan
tersebut. Melainkan alam semesta dan seluruh isinya ini berasal dari Allah Sang
Pencipta alam semesta beserta seluruh isinya yang nantinya juga akan kembali
kepada Allah sebagai Sang Pencipta. Jika diteliti kembali, konsep sangkan
paraning dumadi dan sangkan paraning manungsa menjelaskan bahwa tidak
ada yang ada kecuali Allah semata dan tidak ada yang kekal kecuali Allah
semata. Sebab sebagaimana yang telah dipaparkan di atas, bahwa manusia dan
alam semesta yang berasal dari Allah, kelak akan kembali pada Allah.12
Kesadaran manusia Jawa bahwa akhir penciptaan manusia dan alam semesta
akan kembali pada Allah juga telah dinyatakan dalam Al-Qur’an (Surah al-
Baqarah [2]: 156):

ّ ّ‫الَّذينّ إذّا أ‬
ّ‫صا ّبتْ هه ْم همصي ّبة قّالهوا إنَّا َّلِل ّوإنَّا إلّيْه ّراجعهون‬
“... Sesungguhnya kami milik Allah dan kepada-Nya jualah kami kembali.”

Pencarian manusia mengenai hakikat Allah akan berakhir dengan weruh


(tahu atau mengerti) yaitu mengerti tentang sangkan paran atau awal dan akhir
seluruh kejadian di muka bumi ini (Ciptoprawiro, 2000: 32).13
C. Analisa Kritik
1. Kritik Nabila Bilqis Nurul Illiyyin
Menurut saya dalam "Pemikiran Islam Kejawen" ini merupakan suatu sarana
yang dinamakan Dakwah Kultural. Dimana dakwah kultural menyajikan Islam dalam
menu yang beragam sesuai dengan individu atau golongan kelompok tertentu. Oleh
karenanya, penggunaan dakwah kultural sangat penting untuk dijadikan bahan refleksi,
sehingga mampu menarik minat orang untuk memeluk Islam, karena dalam Surat
Ibrahim ayat 4, dikatakan bahwa nabi Muhammad dan para rasul diutus untuk
berdakwah sesuai kondisi sosial, politik, ekonomi dan budaya. Namun sebagai umatnya
sudah jelas dalam berdakwah walau menggunakan jalur kultural kita harus membatasi
diri dan juga harus tetap berpedoman pada kitab suci Al-Qur’an serta As- Sunnah. Agar

12
Syarifah Wardah el Firdausy, “Hakikat Tuhan: Kajian Pemikiran Islam dalam Falsafah Jawa”, Shahih, Vol. 2,
No. 1, (Januari-Juni, 2017), 103-108.
13
A. Ciptoprawiro, Filsafat Jawa, (Jakarta: Balai Pustaka, 2000), 32.
meminimalisir terjadinya bid’ah dan khurafat. Karena setinggi dan sedalam apapun
pemahaman seseorang mengenai zaman sekarang terhadap Islam ia hanya manusia
biasa bukan rasul yang mendapatkan wahyu dari Allah Subhanahu wa Ta'ala dan juga
diberi tugas untuk menyebarluaskannya, sehingga individu atau golongan tersebut tidak
memiliki hak untuk mengubah ajaran Islam yang telah ditetapkan dalam Al-Qur’an.
Begitupula dengan Pemikiran Islam Kejawen yang tentu menimbulkan banyak
sekali pro kontra, karena menurut saya Islam Jawa ini hanya sebuah bentuk manifestasi
dari diri kebudayaan dan masyarakat Jawa dalam penyebaran Islam yang mudah
diterima masyarakat pada mulanya. Namun, lama kelamaan hal ini menuai pro kontra
dan adapula yang menyinggung peran Walisongo. Mungkin pada mulanya juga
Walisongo hanya memberikan sebuah gambaran untuk menyebarkan Islam dengan cara
yang mudah diterima oleh masyarakat. Tetapi, ketika masyrakat tersebut telah
memahami makna "Islam" itu sendiri dan peran Walisongo selanjutnya ialah untuk
memperbarui makna Islam dari proses Islamisasi Jawa tersebut ternyata tidak bisa
dilakukan oleh masyarakat Jawa karena telah mendarah daging mula pengajarannya.
2. Kritik Nikken Dwi Retno Sari
Sebenarnya, dalam agama Islam memang tidak mengenal istilah atau ajaran
Kejawen atau Islam Jawa. Aqidah Islam memerintahkan untuk mengimani enam
perkara yang dikenal dengan rukun iman, yakni beriman kepada Allah, Malikat-Nya,
Kitab-kitab-Nya, Rasul-rasul-Nya, Qadha dan Qadar, dan Hari Akhir. Sunan Kalijaga
mempunyai pendekatan yang lebih toleran bahkan bagi masyarakat pedalaman di Jawa
Tengah pada zaman dahulu yang tidak atau belum menganut agama. Islam Kejawen ini
merupakan kepercayaan yang dianut oleh suku Jawa yang mana tujuan utama dari ritual
keagamaan ini ialah untuk menyatukan hamba dengan Allah Sang Maha Pencipta.
Apabila Islam Kejawen ini ditilik melalui sisi sinkretisme dan relativisme etis,
maka paradigma Woodward mengenai Islam Jawa sebagai varian dari Islam dan bukan
merupakan suatu penyimpangan yang mempunyai pembenarannya. Apakah persepsi
Allah menurut kejawen itu sama dengan kaum agamawan ataukah mereka itu memiliki
pandangannya sendiri. Namun, memang secara bahasa ataupun istilah di dalam Al-
Aur’an dan Al-Hadis tak ditemukan penjelasan mengenai kejawen. Kejawen juga
bukan suatu agama yang terorganisir sebagaimana agama Islam dan lainnya. Budaya
Islam Kejawen ialah bentuk sinkretisme firman suci dengan kultur lokal sehingga
menjadi istilah Islam Kejawen. Akan tetapi, jika ditilik lebih dalam lagi mengenai hal
ini, Islam Kejawen memang bisa saja ada maupun berkembang dalam masyarakat Jawa
karena bagaimanapun para Wali Songo yang dahulu menyebarkan ajaran agama Islam
di Jawa juga ada yang menyiarkan agama Islam menggunakan pendekatan dari kultur
atau budaya masyarakat Jawa.
Oleh Wali Songo, unsur-unsur dalam Islam berusaha ditanamkan dalam
budaya-budaya Jawa, mulai dari pertunjukan wayang kulit, dendangan lagu-lagu Jawa,
ular-ular (petuah berupa filsafat), cerita-cerita kuno, hingga upacara-upacara tradisi
yang dikembangkan khususnya di Kerajaan Mataram (Yogyakarta/Surakarta). Semua
itu merupakan budaya kejawen yang diadaptasi ke dalam Islam. Dalam pertunjukan
wayang kulit, yang paling dikenal adalah cerita tentang Serat Kalimasada (Iembaran
yang berisi mantra ataupun sesuatu yang sakral) yang cukup ampuh dalam melawan
segala keangkaramurkaan di muka bumi. Namun, dalam kaidah Islam dijelaskan
bahwasannya, jika budaya tersebut berlangsung serta melanggar sisi tauhid, maka itu
menjadi hal atau sesuatu yang haram. Akan tetapi, jika budaya tersebut hanya
digunakan sebagai praktik-praktik muamalah, maka itu dibolehkan. Dengan demikian,
kalau menurut saya alangkah lebih baik jika kita tidak perlu saling menyalahkan dan
hanya melihat dari sebelah sisi saja.
DAFTAR PUSTAKA

Al-Ghazali. (1982). Inti Sari Filsafat. Singapura: Pustaka Nasional PTELTD Singapura.
Ciptoprawiro, A. (2000). Filsafat Jawa. Jakarta: Balai Pustaka.
el-Firdausy, S. W. (Januari-Juni, 2017). "Hakikat Tuhan: Kajian Pemikiran Islam dalam
Falsafah Jawa". Shahih, 2(1).
Endraswara, S. (2012). Filsafat Sastra. Yogyakarta: Layar Kata.
Endraswara, S. (2013). Filsafat Ilmu (Konsep Sejarah, dan Pengembangan Metode Ilmiah).
Yogyakarta: Caps.
Geertz, C. (1981). Agama Jawa: Abangan, Santri, dan Priyayi dalam Masyarakat Jawa, terj.
Aswab Mahasin. Bandung: Dunia Pustaka Jaya.
Departemen Agama Indonesia. (1991). Kamus Besar Bahasa Indonesia (Edisi Kedua). Jakarta:
Balai Pustaka.
Kahmad, D. (2002). Sosiologi Agama. Bandung: Remajarosdakarya.
Riyadi, M. I. (Mei, 2014). "Kontroversi Theosofi Islam Jawa dalam Manuskrip Kapujanggan".
Al-Tahrir, 13(1).
Shihab, A. (2001). Islam Sufistik. Bandung: Mizan.
Tago, M. Z. (Juni, 2013). "Agama dan Integrasi Sosial dalam Pemikiran Clifford Geertz".
Kalam: Jurnal Studi Agama dan Pemikiran Islam, 7(1).

Anda mungkin juga menyukai