Anda di halaman 1dari 9

MAKALAH

KARAKTERISTIK ORANG JAWA


Disusununtukmemenuhitugasmatakuliah :islamdanbudayalocal
Dosenpengampu: MANIJO M A.G

Disusunoleh ;

Muhammad najih (2140410036)

PROGAM STUDI PENGEMBANGAN MASYARAKAT ISLAM


FAKULTAS DAKWAH DAN EKONOMI ISLAM
INSTITUT AGAMA ISLAM NEGRI IAIN KUDUS
TAHUN 2021
KATA PENGANTAR
Puji syukur diucapkan kehadirat Allah SWT atas segala rahmatNya sehingga makalah
ini dapat tersusun sampai dengan selesai. Tidak lupa saya mengucapkan terimakasih
terhadap pelajaran-pelajaran dengan memberikan sumbangan baik pikiran maupun
materinya.

Saya sangat berharap semoga makalah ini dapat menambah pengetahuan dan
pengalaman bagi pembaca. Bahkan saya berharap lebih jauh lagi agar makalah ini bisa
pembaca praktekkan dalam kehidupan sehari-hari.

Bagi saya sebagai penyusun merasa bahwa masih banyak kekurangan dalam
penyusunan makalah ini karena keterbatasan pengetahuan dan pengalaman Saya. Untuk
itu Saya sangat mengharapkan kritik dan saran yang membangun dari pembaca demi
kesempurnaan makalah ini.

Akhir kata saya berharap makalah interaksi antara islam dan budaya jawa dapat
memberikan manfaat bagi banyak orang dan dapat menambah wawasan bagi pembaca.

Disusun 27 seotember 2021

BAB I
Pendahuluan
1.Latara elakang
ISLAM KEJAWEN
Islam Kejawen secara sosio-kultural adalah merupakan sub kultur dan bagian dari
budaya Jawa. Kebudayaan Jawa sendiri dalam pengertian yang lebih luas meliputi sub kultur-
sub kultur yang ada di tanah Jawa, seperti budaya Pesisiran (Pantura), Banyumasan, dan
budaya Nagari Agung. Istilah tanah Jawa dipakai untuk tidak menyebut pulau Jawa karena di
pulau Jawa ada budaya-budaya yang bukan termasuk dalam sub budaya Jawa seperti budaya
Sunda (Jawa Barat) dan Betawi (Jakarta). Istilah Kejawen dipakai oleh masyarakat untuk
menyebut budaya dan tradisi di eks kerajaan Mataram Islam baik yang berada di Yogyakarta
(Kasultanan dan Pakualaman) maupun Surakarta (Kasunanan dan Mangkunegaran).
Dari kedua wilayah inilah maka kemudian tradisi Kejawen berkembang. Istilah Islam
dipakai dalam tradisi Kejawen sebagai identitas tersendiri yang berbeda dengan identitas Islam
puritan maupun identitas Jawa. Islam Kejawen adalah agama Islam yang telah beradaptasi
dengan kultur dan tradisi Nagari Agung yang kemudian dapat menciptakan sebuah identitas
penggabungan antara budaya Jawa dan Islam menjadi religiusitas Islam dengan warna Jawa.
Budaya Islam Kejawen merupakan bentuk sinkretisme firman suci dengan kultur lokal sehingga
Islam Kejawen merupakan salah satu bentuk fenomena keberagamaan yang sarat dengan
muatan muatan tradisi religius yang bercorak mistis. Warna mistik Islam dalam kultur Islam
Kejawen begitu kental dalam fenomena keberagamaan masyarakat Jawa. Ini tidak bisa
dilepaskan dari peranan para Wali era Demak dan sesudahnya dalam menyebarkan dakwah
islam secara kultural.
Berdirinya Demak sebagai kerajaan Islam pertama di Jawa merupkan realitas politik di
mana politik Jawa Islam telah dapat menggeser kekuatan politik Jawa-Hindu Majapahit.
Kerajaan Islam Demak merupakan simbol berdirinya kekuatan sosial-politik Islam pertama di
Jawa yng menjadi titik peralihan sekaligus masa transisi dari masa Hindu ke
masa Kewalen (Kewalian). Demak diakui mampu menyebarkan Islam secara kultural yang
ditandai dengan kemampuan para wali dalam mengadaptasikan agama dengan budaya lokal
(Jawa).
Kendati umur kerajaan Demak tidak berumur panjang yang kemudian pusat kekuasaan
berpindah ke Pajang (Kartasura), namun pondasi dakwah kultural yang telah ditanamkan oleh
para Wali dan da’i era Demak tidak pernah berhenti. Pasca kekuasaan Demak, dakwah kultural
dilanjutkan oleh para pimpinan dan ulama di kerajaan Pajang. Begitu juga pada era Mataram
Islam perpaduan dan adaptasi kultural Islam dengan budaya lokal semakin kental sehingga
corak kultur keberagamaaan ini lebih dikenal dengan sebutan Islam Kejawen.
Dari perspektif teologis, Islam sebagai agama samawi dimaksudkan sebagai petunjuk
manusia dan sebagai rahmat bagi seru sekalian alam. Berangkat dari sistem keyakinan ini maka
umat Islam meyakini kewajiban menyebarluaskan misi di masyaraikat untuk mencapai kebaikan
universal dan terciptanya tatanan hidup masyarakat yang berbudaya dan berperadaban.
Artinya bagaimana nilai-nilai luhur agama itu termanifestasi dalam realitas kehidupan tanpa
harus dibarengi dengan gaya puritan.
Yang menjadi persoalan adalah bagaimana ajaran agama dapat bergumul dengan
budaya lokal. Dalam penyebaran Islam, mesti banyak tantangan-tantangan yang berbeda-beda
antara daerah yang satu dengan yang lainnya disebabkan perbedaan kultur masyarakat yang
berbeda. Di Jawa, tantangan-tantangan muncul dari tradisi mistik Jawa dan budaya Jawa-Hindu.
Namun demikian, atas kepekaan intelektual dan kultural para Wali, Islam dihadirkan di Jawa
dengan wajah yang santun, adaptif dan tidak konfrontatif dengan budaya Kejawen asli maupun
Jawa-Hindu. Islam dimunculkan dengan metode adaptasi kultural sehingga secara sosiologis
akan lebih mudah diterima masyarakat Jawa. Dengan menunjuk fakta historis demikian, maka
dakwah Wali dalam pribumisasi Islam dianggap berhasil karena Islam berkembang pesat di
Jawa secara alamiah dan melalui proses kultural yang kompromis.
Pada masa Kasultanan Mataram Islam, telah muncul buku-buku keagamaan bernaskah
Jawa, baik yang merupakan gubahan dari tulisan-tulisan para Sufi dari tanah Sumatra seperti
Hamzah Fansuri, Syamsuddin Pasai, Nuruddin Ar-Raniri dan Abdul Rauf Sinkel maupun buku-
buku (kitab) dan tulisan-tulisan karya para Wali di Jawa. Prestasi yang cukup gemilang dalam
proses pribumisasi Islam Jawa adalah kemampuan para da’i dan spiritualis Islam dalam
mengkombinasikan bukan saja agama dengan budaya lokal tetapi juga antara corak tasawuf
falsafi dari Sumatra dengan corak tasawuf ‘amali dari para Wali. Dari kombinasi dan akulturasi
beberapa kultur inilah maka kemudian penyebaran Islam di Jawa lebih diwarnai dengan
nuansa akhlaq-tasawuf dengan simbol-simbol Jawa.
Warna budaya Jawa makin mengental ketika Kasultanan Mataram terpecah menjadi 2
yaitu: Kerajaan Yogjakarta dan Kerajaan Surakarta. Pasca desentralisasi kekuasaan politik Jawa-
Islam inilah maka para pimpinan dan penasehat kerajaan dapat lebih menfokuskan perhatian
pada aspek budaya. Era antusiasme politik yang dimulai pada masa Kerajaan Islam Demak
sebagai proses identifikasi diri dalam membedakannya dengan Budaya Jawa-Hindu (Majapahit)
telah mengalami pergeseran yang begitu berarti pada era desentralisasi politik Islam Mataram.
Diakui bahwa kedua kerajaan eks-Mataram Islam yaitu kerajaan di Yogjakarta dan Surakarta
yang dikenal dengan Nagari Agung memiliki andil yang cukup besar dalam mengembangkan
Islam dalam kerangka budaya Jawa.
Setelah kerajaan eks-Mataram di Yogjakarta pecah menjadi dua yaitu Kasultanan dan
Pakualaman dan kerajaan di Surakarta pecah menjadi Kasunanan dan Mangkunegaran pada era
inilah antusiasme politik telah bergeser ke antusiame kultural. Kewiabawaan Nagari yang
sebelumnya sarat dengan muatan simbol-simbol politik sudah bergeser ke persoalan
pengembangan budaya. Proses identifikasi kultural sangat mencolok pada era ini. Bahkan
perhatian utama sudah dipusatkan pada pengembangan kerohanian Islam Jawa (Mistisisme
Islam Jawa) baik secara intelektual maupun secara kultural.
Sejak saat inilah budaya Islam di Jawa yang lebih dikenal dengan mistisisme Islam Jawa
yang sarat dengan muatan sufistik mulai berkembang pesat. Buku-buku (Serat) Jawa Kuno
dengan bahasa Kawi dan Sansekerta, kitab-kitab berbahasa Melayu dengan tulisan Arab (Arab
Melayu) serta kitab-kitab tasawuf dalam bahasa Arab dari Timur tengah mulai digubah dalam
bahasa Jawa dengan diadakan adaptasi seperlunya terhadap alam pikiran Jawa tanpa
kehilangan substansinya. Perpaduan dari berbagai sentral budaya ini telah menimbulkan karya-
karya kreatif baru yang memperkaya khazanah sekaligus pengembang budaya Islam
Kejawen. Serat Centini ayang ditulis oleh Yosodipuro II, Ronggo Sutrasno dan R. Ng.
Ronggowarsito sangat mewarnai kesusastraan Islam Kejawen, tentunya juga kitab-kitab dan
sastra-sastra karya para Wali. Begitu juga Serat Wirid Hidayat Jati karya R. Ng.
Ronggowarsito, Serat Wulangreh karya Pakubuwono IV dan Serta Wedhatama karya KGPAA
Mangkoenegoro IV menjadi bagian yang tak terpisahkan dalam khazanah pemikiran da

BAB II

PEMBAHASAN
Corak Khas Islam Kejawen

Bagikan:
Tweet
Dipakai Bersama16
Budaya Jawa yang pada mulanya bercorak animistik dan hinduistik mulai berubah warna
sejak zaman kewalen (ke-wali-an, zaman wali). Kendati terjadi perubahan corak dan muatan
namun substansi mistisisme dan etika Jawa tetap eksis pada zaman kewalen, bahkan para Wali
tidak bersikap konfrontatif terhadap budaya lokal yang ada. Sikap adaptif dan kompromis para
wali dan da’i di era Kasultanan Demak ini merupakan cikal bakal yang sekaligus menjadi corak
khas Islam Jawa. Fondasi paradigma dakwah kultural era kerajaan Demak ini dilanjutkan
Kerajaan Pajang, kemudian Mataram, dan kemudian puncak eksistensi kulturalnya tampak pada
zaman kekuasaan politik di Surakarta dan Yogjakarta. Corak utama yang dikembangkan dalam
mistisisme Islam jawa adalah tasawuf-akhlaqiyah dan laku-laku mistisisme.
Unsur tasawuf-falsafi dapat ditemukan dalam Serat Wirid Hidayat Jati terutama yang
menyangkut “Martabat Tujuh” dalam proses emanasi (ta’ayun). Sedangkan laku-laku mistik dan
jenjang perjalanan spiritualitas dapat diketemukan dalam serat Centini. Ini adalah sekedar
contoh kecil dari adanya hibryd of cultute (pencangkokan budaya) dari berbagai tradisi yang
kemudian memunculkan karya-karya intelektual dan sastra yang menakjubkan dalam khazanah
pemikiran mistisisme Islam Jawa.
Dalam kitab Wedhatama, juga terdapat ajaran-ajaran sufisme yang telah dikombinasikan
dengan ruang lingkup budaya Jawa. Di antara indikasi itu adalah inti ajaran yang ditekankan
dalam Serat ini yaitu ajaran penyembahan (ritual) empat tingkat (sembah catur). Istilah sembah
catur ini pada dasarnya berasal dari ajaran tasawuf Islam klasik era kekhalifahan Abbasiyah di
Baghdad di mana penekanan terhadap tingkatan ilmu yaitu syari’at, (ritual badani-lahiriah,
fikih),  thariqat (ritual bathiniyah, perjalanan mistis), hakikat (intisari kosmos, realitas hakiki,
kenyataan tentang kebenaran), dan  Ma’rifat (pengenalan langsung tanpa perantara) begitu
penting bagi para penempuh laku spiritual. Nampak bahwa Mangkoenagoro IV membungkus
tasawuf dalam konteks kultur Jawa.

Sebelumnya, pada era Demak para Wali telah memulai melakukan penggubahan-
penggubahan. Gubahan-gubahan dan penggantian simbol-simbol dan nama Hindu ke dalam
simbol Islam khas Jawa sangat mewarnai corak fundamen Islam Kejawen yang sampai saat ini
dapat dilihat dalam realitas kehidupan. Budaya pewayangan adalah salah satu indukasi
sekaligus kehebatan para Wali dalam melakukan adaptasi kultural Islam dalam konteks Jawa.
Istilah Jimat Kalimasada yang menjadi Jimat Puntadewa, Sang Tetua Pandawa yang
sekaligus Raja Amarta adalah merupakan karya kreatif Wali dalam adaptasi
kultural. Kalimasada adalah logat Jawa yang berunsur Arab yaitu dari istilah kalimah syahadah.
Nama Hindu Arjuna digubah dengan nama Arab-Jawa menjadi Janaka yang berasal dari
sebutan jannatuka (surgamu). Nama Bima digubah menjadi Warkudara yang berasal dari
istilah wara’a (kehati-hatian, salah satu maqam dalam tasawuf). Begitu
juga Semar dari Asmar, Petruk dari Fatruk, Togok dari Thoghut dan sebagainya.

Begitu juga para Wali juga mampu menciptakan karya-karya kreatif dan estetik seperti
lagu Ilir-Ilir (karya Sunan Kalijaga) sebagai lagu khas dalam berdakwah sekaligus
menghibur. Sabda Pandhita Ratu yang sekarang banyak mengilhami cerita legendaris nasional
adalah ajaran dalam kehidupan sosial-politik karya Sunan Bonang. Masih banyak lagi simbol-
simbol yang diciptakan para Wali dalam penyebaran Islam deengan jalan menjadikan adat
istiadat, tradisi dan kultur Jawa sebagai sesuatu yang tidak perlu dikonfrontir.

Epistemologi Islam Kejawen

Sebagaimana mistisisme Islam pada umumnya, Islam Kejawen yang bercorak etis-mistis
ini menjadikan metode intuisionisme yaitu mencapai kebenaran dan melihat realitas dengan
intuisi (dzauq, wijdan, hati, perasaan terdalam). Dalam Islam Kejawen, laku-laku spiritual dan
etika sosial diperoleh melalui perenungan dan uzlah (pertapaan) sehingga cahaya ke-Tuhan-an
dapat menyinari hati sehingga dapat melihat dan menemukan persoalan secara jernih.
Mistisisme Islam Kejawen merupakan budaya mistik yang mampu menciptakan konsepsi dan
ajaran ontologi dan metafisika umum baik yang terkait dengan persoalan ke-Tuhan-an(teologi),
kemanusiaan (antropologi metafisika) maupun alam (kosmologi). Begitu juga penciptaan
metode thariqat (jalan mistik) diperoleh dari intuisi yang tentunya tidak lepas dari ruh Al-Qur’an
dan nada-nada Nubuwwah.

Kultur mistisisme Islam Kejawen kendati mendapat tantangan dari adanya modernitas
dan globalisasi ternyata memiliki sikap tangguh yang dibuktikan eksistensinya hingga dewasa
ini. Ritual-ritual -meminjam istilah Clifford Greetz- slametan yang sudah dikombinasi dengan
unsur Islam sampai sekarang masih tetap eksis dalam bventuk-bentuk yang beragam seperti
upacara kelahiran anak yang diisi dengan bacaan al-Barzanji, upacara mitoni dengan
pembacaan surat pitu (tujuh surat dari Al-Qur’an), istighotsah, mujahadah,
ratib, manaqiban dan sebagainya adalah indikasi bahwa pribumisasi Islam dalam konteks kultur
lokal masih eksis. Ini bukan hanya terjadi di masyarakat Kraton dan pedesaan saja tetapi juga di
masyarakat perkotaan.
Dengan demikian, baik kalangan santri, priyayi dan abangan di Jawa masih memiliki
pandangan kosmologi yang sama walaupun gelombang keberagamaan puritan juga menjadi
fenomena tersendiri dalam keragaman kultural Islam di Jawa dewasa ini. Di dalam Islam,
terdapat ajaran universal yang mutlak dan nilai-nilai religius yang adaptif yang dapat
dikompromikan dengan budaya lokal dan kondisi sosio-historis masyarakat tanpa harus
kehilangan substansi keislamannya. Proses Islamisasi masyarakat yang dilakukan oleh sebagian
umat Islam di Jawa tidak perlu meminggirkan pribumisasi Islam yang dilakukan sebagian muslim
Jawa. Islam kejawen adalah salah satu bentuk dari proses panjang pribumisasi Islam.
Keberadaan Islam Kejawen, dalam kerangka sosiologis, tidak perlu dipertentangkan karena
merupakan budaya religius Jawa-Islam. Begitu juga dalam perspektif teologis, Islam Kejawen
harus dihargai keberadaannya karena merupakan hasil olah rasa dan olah fikir (ijtihad) para
ulama dan teolog Jawa dalam memahami dan mengaktualisasikan nilai-nilai religi dalam kultur
lokal.
CIRI-CIRI ISLAM KEJAWEN
1. Ilmu Kanuragan atau Ilmu Kebal. Ilmu kanuragana berfaedah untuk bela diri
secara supranatural dan kebal terhadap serangan. Contohnya Asma’ Malaikat,
Hizib Kekuatan Batin, Sahadad Pamungkas, dan lain-lain.

2. Ilmu Kewibawaan dan Ilmu Pengasihan. Ilmu Kewibawaan dimanfaatkan


untuk tingkatkan energi kepemimpinan dan menguatkan kata-kata yang
diucapkan agar disegani. Sementara Ilmu Pengasihan membuat orang yang
dicintai terpikat dan biasa dimanfaatkan para pemuda.

3. Ilmu Terawangan dan Ngrogosukmo. Ilmu Terawangan dapat digunakan untuk


lihat bangsa gaib, jaman depan, sampai berinteraksi bersama makhluk tak kasat
mata. Jika dalam ilmu terawangan hanya mata batin yang berkeliaran, namun
terhadap tingkat Ngrogosukmo, seseorang dapat melepas sukma untuk
bepergian ke manapun ia mau.

4. Ilmu Khodam. Seseorang yang menguasai ilmu khodam berarti dia dapat
berkomunikasi bersama makhluk pendamping yang selalu ikuti tuannya.

5. Ilmu Permainan. Ilmu ini biasa digunakan seseorang yang beratraksi untuk
sebuah pertunjukan. Sekilas serupa bersama ilmu kebal.

6. Ilmu Kesehatan. Termasuk dalam ilmu ini adalah ilmu gurah, ilmu kuat seks,
dan ilmu-ilmu supranatural lain yang berhubungan bersama manfaat biologis
tubuh manusia
BAB III
PENUTUP PENUTUP

Kejawen dipandang sebagai Ilmu yang mempunyai ajaran-ajaran yang utama,


yaitu membangun tata krama atau aturan dalam berkehidupan yang baik.

Kejawen merupakan kepercayaan dari sebuah etnis yang berada di Pulau


Jawa. Filsafat Kejawen didasari pada ajaran agama yang dianut oleh filsuf
dari Jawa. Walaupun Kejawen merupakan kepercayaan, sebenarnya Kejawen
bukanlah sebuah agama.

Dari naskah-naskah kuno Kejawen, tampak betapa Kejawen lebih berupa


seni, budaya, tradisi, sikap, ritual, dan filosofi orang-orang Jawa. Yang mana,
itu tidak terlepas dari spiritualitas suku Jawa.

Budaya Kejawen muncul sebagai bentuk proses perpaduan dari beberapa


paham atau aliran agama pendatang dan kepercayaan asli masyarakat Jawa.
Sebelum Budha, Kristen, Hindu, dan Islam masuk ke Pulau Jawa,
kepercayaan asli yang dianut masyarakat Jawa adalah animisme dan
dinamisme, atau perdukunan.

Orang-orang Jawa yang percaya dengan Kejawen relatif taat dengan


agamanya. Di mana, mereka tetap melaksanakan perintah agama dan
menjauhi larangan dari agamanya. Caranya, dengan menjaga diri sebagai
orang pribumi. Pada dasarnya, ajaran filsafat Kejawen memang mendorong
manusia untuk tetap taat dengan Tuhannya.

Sejak dahulu kala, orang Jawa memang dikenal mengakui keesaan Tuhan.
Itulah menjadi inti dari ajaran Kejawen sendiri, yakni yang dikenal dengan
‘Sangkan Paraning Dumadhi’,  atau memiliki arti ‘dari mana datang dan
kembalinya hamba Tuhan’.

Anda mungkin juga menyukai