Anda di halaman 1dari 19

Gagasan Dakwah Mosaik:

Studi atas Dakwah Sunan Kali Jaga


Khasibbatun Nikmah - F02718286
Diajukan untuk Memenuhi tugas Mata Kuliah
Komunikasi Multikultural
Dosen Pengampu: Prof. Dr. Moh. Ali Aziz, M.Ag
Asisten Dosen: Dr. Sokhi Huda, M.Ag

Abstrak
Menjadikan suatu kesatuan dari komponen warna disetiap perbedaan ras, suku, serta
etnis, budaya dan lainnya dalam sebuah wilayah dengan tujuan dakwah itulah Dakwah
mosaik yang akan dihadapi dan di jalani seorang Da’i dalam perjalanannya khususnya di
Indonesia ini. Setiap bentuk kehidupan layak untuk hidup dan berkembang, mencakup
gagasan, cara pandang, kebijakan, penyikapan dan tindakan, oleh masyarakat suatu
Negara terhadap sesuatu yang hadir dan masuk ke wilayah masyarakat daerah tertentu.
Multikulturalisme mulai dijadikan kebijakan resmi di negara berbahasa-Inggris (English-
speaking countries), yang dimulai di Kanada pada tahun 1971. Dalam mengakomodasi
kehidupan masyarakat yang beraneka ragam, pemerintah kemudian mengadopsi konsep
mosaik budaya. Konsep ini menggambarkan keanekaragaman kelompok etnis yang hidup
berdampingan di Kanada dimana masyarakat dapat menyesuaikan diri diantara
perbedaan etnisitas budaya dan masing-masing keunikan dari budaya yang berbeda ini
memberikan kontribusi ke Kanada. Mosaik budaya terdiri dari tiga kategori utama: (a)
Demografis, (b) Geografis, dan (c) Asosiatif dari mosaik budaya seperti pada zaman sunan
kali jogo di Indonesia kala berdakwah saat itu. Variabel demografis yang terkait dengan
ras dan etnis paling banyak terkait erat dengan budaya secara umum. Variabel geografis
mengarah pada fitur fisik suatu daerah. Variabel asosiatif, bentuk dan tata cara interaksi
sosial yang bisa meningkatkan hubungan kesolidaritasan sesama manusia. Kerja sama
usaha untuk mencapai tujuan bersama yang di aplikasikan Wali Songo yaitu tujuan
dakwah serta kesejahteraan masyarakat Nusantara pada abad ke-15 tahun 674 M Setara
dengan pertengahan tahun 1470-an.

Kata kunci: Multikultural, Etnisitas Budaya, Wali Sanga, Dakwah Sunan Kali Jaga, dan
Dakwah mosaik
A. PENDAHULUAN
Kata “Sunan” dalam budaya suku-suku di Pulau Jawa, adalah sebutan bagi orang yang
diagungkan dan dihormati, biasanya karena kedudukan dan jasanya di masyarakat. Kata
ini berasal dari penyingkatan “susuhunan”, berarti tempat penerima “susunan” jari yang
sepuluh, atau kata lain “sesembahan”, gelar ini pada periode jawa pra-islam jarang
dipakai atau tidak banyak di dokumentasikan, pada awal-awal masuknya islam di jawa,
gelar ini biasa diberikan kepada mubaligh atau penyebar agama islam khususnya ditanah
jawa pada abad ke-15 hingga abad ke-16.1

Proses islamisasi yang terjadi di tanah nusantara tidak lepas dari peran jalur
perdagangan yang ada didaerah pesisir laut wilayah nusantara. Pada abad 15, para
saudagar muslim telah mencapai kemajuan sangat pesat dalam usaha bisnis dan dakwah,
sehingga jaringan di kota-kota bisnis di pesisir utara berhasil didominasi oleh para
saudagar muslim, komunitas ini dipelopori oleh beberapa saudagar dari timur tengah
yang banyak kita dengar di telinga kita adalah Wali sanga, puncaknya yaitu dibangun
masjid pertama kali di pulau jawa yakni masjid Demak, di masjid inilah pusat agama yang
memiliki peran besar dalam menuntaskan islamisasi di seluruh pulau jawa.

Penyebaran agama Islam di jawa berkembang pesat setelah berdirinya Kerajaan


Demak yang ditandai dengan runtuhnya kerajaan hindu budha yang paling besar yaitu
Kerajaan Majapahit, era tersebut adalah masa peralihan kehidupan agama, politik dan
seni budaya, semua peralihan ini berpangku pada Sembilan (9) cendekiawan muslim yang
terkenal pada zaman itu, yaitu Wali sanga. Di pulau jawa ini kaya akan etnik dan
budayanya sehingga butuh multi talent untuk di terima di dalamnya.

Kini isu etnisitas kadang dikaitkan dengan konsep “kelompok etnik” yang dikenal
dalam studi-studi antropologi klasik, seperti Ethnic Groups and Boundaries: The Social
Organization of Culture Difference yang ditulis oleh Fredrik Barth, dalam bukunya, bahwa
sebuah kelompok etnik didefinisikan dengan batas-batasnya yang cenderung “alamiah”
dan “tetap”. Dalam pengertian yang demikian, etnisitas juga cenderung dilihat sebagai
bagian dari kebudayaan yang baku, dan kurang lebih statis, yakni sebagai suatu batasan
identitas sosial-budaya yang membedakan kelompok etnik yang satu dengan yang lain.
1
Htpps://id.wikipedia.org/wiki/sunan
Perspektif yang demikian tidaklah salah, karena di masa lalu, khususnya ketika kelompok-
kelompok etnik masih hidup terpisah-pisah satu sama lain, perbedaan-perbedaan di
antara mereka memang sangat jelas, paling tidak apabila dilihat dari budaya yang umum
seperti bahasa, tradisi dan ritual keagamaan bahkan cara mereka beragama juga berbeda-
beda. Selain itu, tempat pemukiman mereka yang saling berjauhan menyebabkan
interaksi di antara mereka sangat terbatas dan cenderung sporadik, sehingga ciri khas
budaya masing-masing kelompok relatif terjaga atau terpelihara sangat kuat.2

Sisi lain daripada itu semua kehadiran wali sanga mampu menyatukan ciri khas
budaya masing-masing kelompok sehingga menjadi satu kesatuan dan kepercayaan serta
tujuan Dakwah tanpa mengurangi rasa toleransi sedikitpun.  Dengan cara ini, aspek
penting dinamika budaya dalam multicultural masyarakat beransur stabil dan saling
menghargai satu sama lain, sebab masuknya Islam ke tanah air tidak ada sedikitpun
paksaan dari para Auliya’ pada masa itu. Ada juga Beberapa etnis yang mengalami
pengucilan dan budaya yang merasa tidak diakui akan mengalami penyeberangan dan
munculnya identitas komposit seperti di pulau bali pada jaman Sabdo Palon dan Sunan
Kali Jogo kala itu, dalam kerangka kerja masyarakat multicultural yaitu budaya baru,
identitas dan pengakuan.3

B. PEMBAHASAN
1. Konsep Dakwah Mosaik Wali Sanga

Kata etnisitas memiliki makna yaitu ciri-ciri yang dimiliki suatu kelompok masyarakat,
sebelum Sunan Kali Jaga melakukan misi dakwahnya terlebih dahulu beliau memahami
masyarakat sasarannya terutama hal-hal yang terkait dengan ciri-ciri sosiologis atau
antropologis, misalnya ciri-ciri yang tercemin pada adat istiadat yang berlaku di
lingkungan, agama, bahasa sehari-hari, dan asal usul nenek moyang.

2
Fredrik Barth, Ethnic Groups and Boundaries: The Social Organization of Culture Difference, Bergen-Oslo:
Universitets Forlaget & London: George Allen & Unwin, 2001, hlm, 7-8
3
Aleksandra Ålund, Ethnicity, “Multiculturalism and the Problem of Culture,” European socities, 1(1), 1999,
h. 105
Kelompok etnik jawa ini dapat di identifikasi dalam lingkungan budaya yang lebih luas
melalui berbagai cara, mulai dari riwayat kehadirannya di tengah lingkungan budaya yang
lebih luas, dari praktek keagamaan yang dilakukannya, diskriminasi yang diperolehnya
dan dari kelompok masyarakat yang lebih besar. Selain itu, anggota kelompok etnik
memiliki ciri fisik yang khas.4

Kedatangan wali sanga untuk memahami berbagai macam etnik dan budaya
masyarakat sembari berfikir strategi yang pas untuk berdakwah dalam kondisi plural
masyarakat.

Proses islamisasi yang terjadi di tanah nusantara tidak lepas dari peran jalur
perdagangan yang ada didaerah pesisir laut wilayah nusantara. Pada abad 15, para
saudagar muslim telah mencapai kemajuan sangat pesat dalam usaha bisnis dan dakwah,
sehingga jaringan di kota-kota bisnis di pesisir utara berhasil didominasi oleh para
saudagar muslim, komunitas ini dipelopori oleh beberapa saudagar dari timur tengah
yang banyak kita dengar di telinga kita adalah Wali sanga, puncaknya yaitu dibangun
masjid pertama kali di pulau jawa yakni masjid Demak, di masjid inilah pusat agama yang
memiliki peran besar dalam menuntaskan islamisasi Islam di seluruh pulau jawa.

Metode dakwah yang dilakukan oleh para penyebar Islam awal ke Nusantara telah
menunjukkan akomodasi yang kuat terhadap tradisimasyarakat setempat. Sehingga Islam
datang bukan sebagai ancaman, melainkan sahabat yang memainkan peran penting
dalam transformasi kebudayaan. Hal ini menunjukkan bahwa karakter Islam Indonesia
yang berdialog dengan tradisi masyarakaproses dialog Islam dengan tradisi masyarakat
diwujudkan dalam mekanisme proses kultural dalam menghadapi negosiasi lokal. Ia tidak
diterima apa adanya ketika ditawar oleh khazanah lokal. Di sinilah, Islam dan tradisi
masyarakat ditempatkan dalam posisinya yang sejajar untuk berdialog secara kreatif agar
salah satunya tidak berada dalam posisi yang subordinat, yang berakibat pada sikap saling
melemahkan. Perpaduan antara Islam dengan tradisi masyarakat ini adalah sebuah
kekayaan tafsir lokal agar Islam tidak tampil hampa terhadap realitas yang sesungguhnya.

4
Patricia G. Ramsey; William, Leslie, R. Dan Vold, Edwina, Battle. 2003. Multicultural Education: A Source
Book. 2nd ed. London: Routledge Palmer, h. 77
Islam tidak harus dipersepsikan sebagai Islam yang ada di Arab, tetapi Islam mesti
berdialog dengan tradisi masyarakat setempat .5

Penyebaran agama Islam di jawa berkembang pesat setelah berdirinya Kerajaan


Demak yang ditandai dengan runtuhnya kerajaan hindu budha yang paling besar, yaitu
Kerajaan Majapahit, era tersebut adalah masa peralihan kehidupan agama, politik dan
seni budaya, semua peralihan ini berpangku pada Sembilan (9) cendekiawan muslim yang
terkenal pada zaman itu, yaitu Wali sanga yang siap memberi warna pada etnis segi
keagamaan dan kebudayaan masyarakat jawa.

Menurut Smith, suatu kelompok etnis adalah sebuah komunitas yang ditandai
dengan kesamaan nama marga, mitos, leluhur, berbagi kenangan sejarah, hubungan
dengan wilayah tertentu dan rasa solidaritas yang sama.

Kali ini penulis mengfokuskan pembahasan Dakwah mosaik walisongo pada


cendekiawan muda putra Adipati Wilatikta yaitu Raden sahid atau yang di kenal sebagai
Sunan Kali Jaga.

2. Selayang pandang sunan Kali jaga

Kelahiran Sunan Kalijaga hingga saat ini belum ada antropolog yang mengetahui
kelahirannya secara pasti, begitu pula kisah kedigdayaannya sebagaiwali. Meski demikian,
telah banyak literatur yang mencatat silsilah keluarganya. Sejarah memperkirakan, ia lahir
sekitar tahun 1430-an karena menikah dengan putri Sunan Ampel pada usia 20-an tahun,
sementara Sunan Ampel saat itu berusia 50-an tahun.58 Nama kecil Sunan Kalijaga adalah
Raden Sahid. Putra dari pasangan Adipati Wilwatikta (Raden Sahur) dan Dewi
Nawangrum. Sunan Kalijaga adalah sosok ulama yang cerdikdan sakti. Ia sudah dapat
merasakan mati di dalam hidup, tingkatan pendakian tauhid yang cukup tinggi, dan patut
diacungi jempol.6

Sebutan “sunan Kali jaga adalah adalah nama “Kalijaga” berasal dari bahasa Arab
Qadli dan nama aslinya sendiri, yaitu “Joko Said”. Jadi, frase asalnya ialah Qodli Joko Said
yang berarti hakim Joko Sahid. Sejarah mencatat saat wilayah (perwakilan) Demak
5
Zada, Khamami, “Islam Pribumi: Mencari Wajah Islam Indonesia”, dalam Tashwirul Afkar, jurnal Refleksi
PemikiranKeagamaan & Kebudayaan, Edisi No. 14 tahun 2003)
6
Purwadi, Sufisme Sunan Kalijaga, Cet Ke-1 (Yogyakarta: Sadasiva, 2005), h. 11
didirikan tahun 1478 ia diserahi tugas sebagai qadli (hakim) di Demak oleh Wali Demak
saat itu, Sunan Giri. Hal ini ditunjang dengan kondisi masyarakat Jawa yang memiliki
kemampuan yang kuat dalam “penyimpangan” pelafalan kata-kata Arab. Misalnya, istilah
sekaten (dari syahadatain), kalimosodo (dari kalimat syahadat), mulud (dari Maulid), suro
(dari syura’), dulkangidah (dari dzulqaidah), dan masih banyak istilah lainnya. Maka, tidak
aneh bila frase Qodli Joko kemudian tersimpangkan menjadi “Kalijogo” atau “Kalijaga”. 7

Dalam menjalankan dakwah Islam, Raden Sahid dikenal suka menyamar dan
bertindak menampilkan kekurangan diri untuk menyembunyikan kelebihan yang di
milikinya. Bahkan tak jarang Raden Sahid bertindak seolah maksiat untuk
menyembunyikan ketaqwaannya kala itu, hal ini tertulis dalam buku Sejarah Banten
Rante-rante yang di kutip Hoesein Djajadiningrat dalam Tinjauan Kritis Tentang Sejarah
Banten(1983)8

Dengan penyamaran tersebut Raden Sahid mendapatkan informasi terkait ciri khas
suatu kelompok masyarakat agar misinya dapat menyatu dan terlaksana dengan baik.

Berikut istilah penting terkait ciri khas dan etnis : Kata etnis sering kali dikaitkan
dengan kata ras meskipun sudah jelas bahwa kata ras mengacu pada ciri-ciri biologis dan
genetik yang membedakan seseorang dari orang lain dalam suatu kelompok masyarakat
yang lebih luas.

Sejalan dengan definisi diatas, Ratcliffe berpendapat bahwa kelompok etnis memiliki
kesamaan asal usul dan nenek moyang, memiliki sejarah yang sama, mempunyai identitas
kelompok yang sama, dan kesamaan tersebut tercermin dalam lima faktor, yaitu (1)
kekerabatan, (2) agama, (3) bahasa, (4) lokasi pemukiman kelompok, dan (5) tampilan
fisik.9 Ia juga mendifinisikan bahwa etnik adalah Sekelompok orang yang berbeda dari
kelompok orang lainnya dalam suatu masyarakat dilihat dari aspek budaya. Dengan kata
lain, etnik adalah kelompok yang memiliki ciri-ciri budaya yang membedakannya dari
kelompok yang lain. Ciri khas budaya yang membedakannya dari kelompok etnis yang lain
terlihat dalam aspek: sejarah, nenek moyang, bahasa dan simbol-simbol yang lain seperti:
7
Purwadi, Sufisme Sunan Kalijaga, Cet ke-1 (Yogyakarta, penerbit Sadasiva, 2005) hal. 21
8
Agus Sunyoto, “Atlas Wali Songo”: Pustaka IIMAN dan LESBUMI PBNU, 2016, h. 267
9
P. Ratcliffe, Conceptualizing “Race”, Ethnicity and Nation: Towards a Comparative Perspective in Ratcliffe,
P. (Ed). Race, Ethnicity and Nation. London: Taylor & Francise, 2006, h. 103-105
pakaian, agama, dan tradisi.10 Hal demikianlah sesuai sejarah pada masa perjuangan
Dakwah Wali Sanga kala itu.

Oleh karena itu, tarik benang merah dari pengertian etnis sebagai berikut: Etnis
adalah kelompok yang terdapat dalam masyarakat yang memiliki kebudayaan dan ciri
khas yang membedakannya dari etnis yang lain.

Eksistensi kelompok dan ciri khas disadari oleh setiap anggota etnis. Ciri khas budaya
etnis tercermin dalam kesamaan agama, ciri khas bahasa, pakaian dan tradisi. Oleh
karena ciri khas ini, anggota kelompok memiliki identitas kelompok dan etnisitas ini juga
ditandai dengan kesamaan lokasi pemukiman. 11 Ciri khas ini pada dasarnya disebabkan
oleh kesamaan atau kemiripan nenek moyang mereka dan asal usulnya. Oleh karena itu,
kelompok juga ditandai oleh tampilan fisik yang khas dan pengalaman atau pengetahuan
bersama terhadap masa lalu yang sama. Ciri khas yang dimiliki suatu etnis yaitu sifat
psikologis. Artinya, selain aspek budaya, aspek psikologis suatu etnis bisa menjadi ciri
pembeda suatu etnis dari etnis yang lainnya. 12 Hal ini yang mengakibatkan tantangan
dakwah wali sanga pada jaman dahulu semakin berat. Sebab saking kentalnya ikatan etnis
di pulau jawa kala itu.

Asmore mengatakan bahwa etnisitas menyiratkan ciri khas budaya yang dimiliki
suatu etnis yang membedakannya dengan etnis lainnya.13

Pada bidang Dakwah mosaik sepakat bahwa Konsep mengacu pada pembentukan
kelompok, gambaran budaya atau sosial batas antara 'kita' dan 'Yang Lain', identitas,
perasaan ingin memiliki, berbagai problem multi tafsir dan mosaik budaya, yang akan
memunculkan strategi-strategi jitu dalam memasuki etnik yang sangat kental dengan
budaya hindu budhanya. Namun, masih ada perselisihan tentang peran tersebut diantara
budaya dan struktur sosial, yang menggambarkan keragaman yang tidak hanya dari
penafsiran tetapi juga ekspresi di bidang fenomena etnis. Dari hal tersebut timbullah
beberapa pertanyaan, Apakah Dakwah mosaik ala sunan kali jaga menyangkut satu

10
Ibid.,
11
Ibid.,
12
Ibid.,
13
Asmore D. Richard,; Jussim, L. Dan Wilder, David. (Eds.). Socail Identity, Intergroup Conflict, and Conflict
Reduction. Oxford: Oxford University Press, 2001, h. 53
kesenian dan budaya saja? Atau hanya fokus pada kasus sosial? Apakah kondisi saat itu
bisa juga dilihat sebagai fenomena Transcultural?14

Teori Transcultural adalah suatu area wilayah keilmuan budaya pada proses belajar
memandang perbedaan dan kesamaan diantara budaya. 15

Setelah membahas teori transcultural barulah kita dapat memahami bagaimana


mosaik budaya dan bagaimana Raden sahid dalam menghadapi mosaik budaya pada
masa dakwahnya dahulu tanpa merubah adat, tradisi dan menghancurkan kenyamanan
masyarakat sasaran Dakwahnya.

3. Mosaik Budaya

Mosaik adalah foto miniatur atau ubin berwarna yang berbeda yang merupakan
gambar komposit dan keseluruhannya dapat di bedakan. 16

Ubin dalam artian mosaik ini diungkapkan dalam sebuah Asosiatif dari mosaik
budaya, Yaitu mewakili semua kelompok dengan siapa orang memilih kelompok untuk
mengidentifikasi dan orang harus sering membentuk dan memelihara hubungan
interpersonal, menyenangkan, stabil, dan berkarakter oleh kepedulian afektif demi
kesejahteraan satu sama lain. Pada sebuah kelompok, Teori identitas sosial dan klarifikasi
sosial teori sering digunakan untuk menjelaskan bagaimana indifidu mendefinisikan diri
sendiri melalui afiliasi kelompok mereka.17

Setelah Raden sahid berhasil mengidentifikasi kelompok masyarakat jawa waktu itu,
beliau mampu mengetahui apakah yang berpengaruh dan siapakah yang paling dominan
untuk di anut masyarakat sebagai sasaran utamanya. Raden Sahid mengambil dari sisi
seni budaya terlebih dahulu sebagai sasaran misi Dakwah yaitu wayang kulit, sebab
didalamnya terdapat unsur budaya agama lama yang di gandrungi masyarakat jawa
tempo dulu.18

14
Aleksandra Ålund, Ethnicity, “Multiculturalism and the Problem of Culture,” European socities, 1(1), 1999,
h. 107
15
Leininger. M& McFarland. M.R,”Trans cultural Nursing : Concepts, Theories,”2002
16
Georgia T, Chao, The Eli Broad Graduate School of Management, Michigan State University, Henry moon,
Goizueta Business, Emory University.
17
Erez, M. &Earley,P.C(1993).Culture, self-Identify, and Work. New York: Oxford University Press.
18
Agus Sunyoto, “Atlas Wali Songo”: Pustaka IIMAN dan LESBUMI PBNU, 2016, h.267-269
Dalam pertunjukan awal Raden Sahid mempersembahkan cerita Dewa Ruci,
Ramayana dan Mahabarata. penoton tidak harus membayar dengan uang melainkan
dengan dua kalimat syahadat.19

Sebelum memulai pagelaran wayang kulit, biasanya lebih dahulu menyanyikan


tembang atau nyanyian, dan nyanyian ini sudah disadur oleh sunan kali jogo dengan
tembang yang berisi dengan nilai-nilai keislaman. Sunan Kalijaga banyak menciptakan
syair dan tembangyang selalu mengandung nilai-nilai filosofis. Selain Lir-ilir dan Gundul-
gundul Pacul, Sunan kalijaga juga menciptakan tembang macapat Dhandhanggula yang
termaktub dalam Serat Wulangreh. Tembang ini memadukan melodi Arab dan Jawa.
Seperti tembangLir-ilir, Tembang ini mengilustrasikan ajaran Islam secara halus, tembag
ini memberikan motivasi kepada seseorang untuk melakukan amal kebaikan. Menurut
para ahli, Tembang tersebut ditafsirkan sebagai sarana penyebaran agama Islam secara
damai dan tanpa paksaan. Sunan Kalijaga menunjukan toleransi dalam menyiarkan agama
Islam asimilasi dan adaptasi dengan ajaran lainnya. Banyaknya tembang yang diciptakan
Sunan kalijaga menandakan bahwa ia memiliki jiwa seni tinggi. Ia menciptakan tembag
sebagai sarana menyampaikan pesan-pesan moral kepada masyarakat. Metode ini sangat
tepat karena masyarakat menyukai karya seni suara ciptaan Sunan Kalijaga serta mulai
menggunakan filosofi didalamnya sebagai pegangan hidup.20

Demikian hal menarik dari secuplik kisah diatas adalah karakter sosial dan strategi
pendekatan yang baik dapat merubah persepsi yang baik pula dalam mengawali dakwah
mosaik tempo dulu, bukan tentang pertempuran 'kultural' dan perlunya mengakui
perjuangan sosial itu dilakukan melalui seni budaya. Konteks dinamika budaya dan
pembentukan identitas adalah pengalaman social yang baik bagi Raden sahid. Hal itu
berfokus pada kedua isyarat identifikasi dan pembentukan budaya sebagai proses
berkelanjutan. Semua yang disebut budaya otentik dibangun secara sosial dan 'hibrida'.
Konsep hibriditas yang dikemukakan oleh Homi K. Bhabha, adalah esensialistis tentang
pemahaman budaya yang dilihat sebagai hasil dari pertempuran sosial.

19
Ibid.,
20
Purwadi, Sufisme Sunan Kalijaga, Cet ke-1 (Yogyakarta, penerbit Sadasiva, 2005) hal. 21
Hibriditas yang di aplikasikan kedalam seni budaya seperti wayang kulit dan
sebagainya itulah sebagian ikhtiyar dari hasil riyadho Raden sahid dalam misi Dakwah
mosaiknya. Selain sebagai seniman wayang, sunan kali jaga(R.Sahid) juga ahli dalam
merancang alat-alat pertanian dan desainer pakaian sehingga masyarakat di daerah
kawasan mitra dakwah tertentu yang gemar kepada beliau mengikuti style yang beliau
pakai dalam setiap dakwah seninya. 21

Bhabha menekankan pentingnya 'hibridisasi budaya', dan menunjukkan bahwa


'hibrida’, mengandung potensi untuk pandangan dunia baru, dengan "bentuk internal"
baru untuk memahami dunia dalam kata-kata. Identitas hibrid melibatkan negosiasi
diskursif. 'Suara' baru mengekspresikan pembentukan solidaritas strategis, dan konsep
hibriditas menjelaskan 'Pembangunan otoritas budaya dalam kondisi politik antagonisme
atau ketidakadilan'. Strategi hibrida menyebarkan parsial budaya dari mana mereka
muncul untuk membangun visi komunitas, dan memori tentang sejarah, yang
memberikan bentuk naratif kepada minoritas posisi yang mereka tempati, baik internal
dan eksternal. Etnisitas dan identitas ini, yang masih dianggap tidak terlihat dan dengan
demikian harus diakui. Berkenaan dengan hal diatas, budaya dan identitas budaya
berkembang di Indonesia dalam konteks multietnis dan multikultural berkaitan dengan
dunia imigrasi yaitu datangnya cendekiawan Muslim termasuk Raden Sahid.22

4. Dakwah mosaik, kultur dan etnisitas budaya

Menurut Smith, Budaya memiliki makna Antropologi, Normative dan Eksistensial.


“Kelompok etnis adalah jenis kolektivitas budaya, satu yang menekankan peran mitos
keturunan dan ingatan sejarah, dan itu diakui oleh beberapa perbedaan budaya seperti
agama, adat, bahasa atau institusi.” Anthony Smith menganggap bahwa etnogenesis
sebagai antropologis konstruksi fakta dan simbolis, yang patut dikembangkan.23

21
Agus Sunyoto, “Atlas Wali Songo”: Pustaka IIMAN dan LESBUMI PBNU, 2016,h.,279
22
Ibid.,
23
Ibid.,
Dalam lingkungan etnis yang kompleks (tetapi juga bermuatan politis) di pinggiran
kota atau pusat kota metropolis internasional, budaya telah mengalami resonansi dan
makna baru.24

Perkembangan di antara kaum muda seringkali berkaitan dengan konten politik yang
berfokus pada anti rasis dan tuntutan ke depan untuk kesetaraan dan kepemilikan
bersama. Adapun reaksi yang terjadi tersebut, menunjukkan semua variasi tentang
sebuah pandangan kegagalan dalam masyarakat yang ditandai oleh realisme menyeluruh,
menurut pengalaman iklim sosial yang semakin keras sejak 1970-an. 25

Raden sahid melakukan aksi dalam mewujudkan negara menjadi milik negara 'kita',
yakni dengan membangun koneksi, hubungan dan afiliasi yang baru. Hal itu dilakukan
untuk mendapatkan pengakuan sosial dari masyarakat dengan budaya dan etnis yang
berbeda. Sehingga menghasilkan kedekatan budaya, serta merangsang untuk saling
berinteraksi, bertukar kenangan sosial, dan penciptaan umum dari simbol-simbol budaya
itu menyatukan orang dan mempersiapkan jalan untuk melintasi batas budaya tertentu.
Hal ini dilakukan agar etnisitas tidak selalu terkait dengan 'kemurnian', 'asal-usul' dan,
dalam kasus-kasus.26

Kita harus memperhatikan kenyataan bahwa identitas etnis dan afiliasi yang dibuat
dalam kerangka kekayaan variable masyarakat multikultural sama sekali tidak 'murni', asli
atau terhubung dengan suatu masa lalu. Melainkan, mereka berhubungan dengan dilema
dan konflik saat ini. Sehingga dapat menyebabkan munculnya 'etnis baru' yang
merupakan buah dari difusi budaya dan pengucilan sosial.

Raden Sahid menciptakan ruang, dimana mereka bisa merasa aman dan nyaman,
seperti halnya rumah namun kenyamanan ini di aplikasikan dalam dunia hiburan dan
tradisi agama lama.  Individu merasa bagian dari suatu bangsa saat dia merasa aman dan
nyaman di antara anggota dakwah, hal itu dapat mereka rasakan disaat sunan kali jaga
mengajarkan selipan agama Islam tanpa paksa dan mereka menerima dengan senang hati

24
Aleksandra Ålund, “Ethnicity, Multiculturalism and the Problem of Culture,” European socities, 1(1), 1999.
h. 112-113
25
Ibid.,
26
Ibid.,
bisa jadi mereka semua bagian dari nenek moyang kita bukan? Buktinya islamisasi di
tanah jawa dapat kita rasakan sampai saat ini.

5. Dakwah mosaik dalam keragaman budaya dan politik identitas

Budaya atau Peradaban, diambil dalam arti etnografis yang luas, adalah keseluruhan
yang kompleks yang mencakup pengetahuan, kepercayaan, seni, moral, hukum, pakaian,
dan segala kemampuan dan kebiasaan lain yang diperoleh manusia sebagai anggota
masyarakat seperti yang telah di realisasikan Sunan Kali Jaga. Kondisi budaya diantara
berbagai masyarakat dari jenis manusia, sejauh ia mampu diselidiki berdasarkan prinsip-
prinsip umum, adalah subjek yang tepat untuk studi hukum pemikiran dan tindakan
manusia. Di satu sisi, keseragaman yang begitu luas melingkupi peradaban, dapat
dianggap meskipun dalam jumlah yang besar, khususnya pada tindakan yang sama dari
sebab-sebab sama. Sementara di sisi lain berbagai nilainya dapat dianggap sebagai tahap
perkembangan atau evolusi, masing-masing hasil dari sejarah, dan akan melakukan
bagian yang tepat dalam membentuk sejarah masa depan khususnya Agama Islam, sebab
masa depan terbentuk karena penataan sejarah yang baik menurut pejuang terdahulu.

Hal pertama yang harus dipahami, bahwa  politik identitas Dakwah bukanlah politik
dalam makna tradisional saja. Politik identitas Dakwah fokusnya pada perbedaan identitas
yang meliputi etnik, agama, dan hal lain yang dipakai untuk menghimpun Da’i atas dasar
kesamaan yang dimiliki.

Merujuk pada Eriksen, timbulnya perasaan untuk berkumpul pada identitas yang
sama seperti etnisitas misalnya berdasarkan pada kecenderungan di dalam setiap
kumpulan manusia untuk membedakan antara orang dalam dan orang luar, untuk
menarik garis batas sosial, dan kecenderungan untuk membangun stereotip-stereotip
tentang “kumpulan lain.” Kecenderungan membangun stereotip-stereotip tentang
kumpulan lain ini juga sebenarnya merupakan cara untuk mendukung dan membenarkan
garis batas sosial ini.  Eriksen menekankan bahwa etnisitas muncul ketika “perbedaan-
perbedaan kultural yang dipersepsikan akan berakibat pada perbedaan sosial” (ethnicity
occurs when perceived cultural differences make a sosial difference. Etnisitas muncul
karena adanya interaksi dari kumpulan-kumpulan yang merasa “berbeda”, ketika
pembedaan “kita” dan “mereka” menjadi penting. 27

Menurut Lukmantoro, Politik identitas adalah tindakan politis untuk mengedepankan


kepentingan-kepentingan dari anggota suatu kumpulan karena memiliki kesamaan
identitas atau karakteristik, baik berbasiskan pada ras, etnisitas, gender, atau keagamaan.
Politik identitas merupakan rumusan lain dari politik perbedaan. Kemunculan politik
identitas merupakan respon terhadap pelaksanaan hak-hak asasi manusia yang seringkali
diterapkan secara tidak adil. Lebih lanjut dikatakan bahwa, kehadiran politik identitas
sengaja dijalankan bagi masyarakat yang mengalami marginalisasi.

Dalam dunia yang saling ketergantungan, politik identitas harus dirumuskan kembali
sesuai dengan realitas baru: yaitu krisis pengungsi, ancaman terorisme, fenomena yang
melekat pada globalisasi, dan misi Dakwah pada jaman Wali Sanga. Globalisasi memberi
tekanan besar pada etnis, agama atau identitas nasional, dimana seseorang dapat menilai
dan mendefinisikan diri mereka sendiri. Identitas lokal tidak hilang, tetapi ditafsirkan
kembali melalui ritual adat yang di selipkan nilai-nilai Islami di dalamnya, itulah kreatifitas
Wali Songo dalam dakwah terhadap Keragaman etnis dan klaim penentuan nasib sendiri
terhadap budaya dan politik, bahkan otonomi teritorial, yang dirumuskan oleh minoritas
sejarah, melemahkan negara, yang tidak lagi mampu mengembangkan integrasi sosial.
Beberapa orang menganggap keanekaragaman budaya sebagai sumber ketidak stabilan
dan konflik, sedangkan yang lain berpikir hidup bersama dan dialog masih dimungkinkan,
di Indonesia inilah bukti keberagaman etnik serta budaya yang dapat hidup bersama-
sama hingga saat ini. Sebagai kelompok tidak hanya ingin ditoleransi, tetapi juga diakui
dalam ruang publik multikultural dan dihormati karena kekhususannya.

Politik identitas baru harus membedakan antara identitas individu dan kolektif,
antara identitas yang diwariskan seperti Agama dan yang dipilih, antara identitas budaya
dan jenis kelamin, ras, identitas profesional atau agama; itu juga harus menentukan
kriteria untuk aplikasi hak budaya dalam hubungan minoritas nasional dengan populasi
mayoritas atau antara migran dan negara penerima.28
27
Asmore D. Richard; Jussim, L. Dan Wilder, David. (Eds.). Socail Identity, Intergroup Conflict, and Conflict
Reduction. Oxford: Oxford University Press, 2001, h. 54
28
Daniel Conjanu, “Cultural Diversity and The New Politics of Identity,” RSP, (50), 2016, h. 31
Pertama, banyak orang di Inggris berasumsi bahwa multikulturalis tidak
menganjurkan pentingnya identitas nasional. Beberapa orang mungkin menganggap
bahwa seorang multikulturalir seperti Parekh juga tidak menganggap itu penting. Kedua,
Parekh mencurahkan perhatian terbatas pada topik identitas nasional dalam buku-buku
terkenal seperti memikirkan kembali multikulturalisme, dengan demikian beberapa orang
mungkin berasumsi bahwa dia mencurahkan perhatian terbatas pada topik ini di tempat
lain. Ketiga, gagasan Parekh tentang topik ini sering kali dalam bab buku yang kurang
terkenal, teks, ulas esai, pamflet, dan ceramah yang diterbitkan yang tidak banyak
diketahui orang mencari. Namun hal ini menunjukkan bahwa teks-teks ini mengandung
cara yang berbeda dan berharga yang membahas tentang identitas nasional.29

Berkenaan dengan fakta diatas, cara berpikir Parekh tentang idelitas identitas


nasional lebih banyak di pengaruhi oleh tokoh-tokoh lainnya, yang sama-sama membahas
tentang hal tersebut, seperti Plato dan Aristoteles yang mendiskusikan identitas sebuah
pemerintahan. Seperti juga David Hume, Ernest Barker dan lainnya membahas 'karakter
nasional'.30

6. Keragaman budaya dan dakwah mosaik periode Raden Said

Pada Abad ini, kita banyak menyaksikan munculnya gerakan-gerakan sosial baru yang
tidak lagi menuntut kesetaraan ekonomis, tetapi juga pengakuan terhadap identitas
partikular mereka. Tuntutan bahwa individu maupun kelompok sosial partikular haruslah
diakui sepenuhnya terus menerus bermunculan, terutama dalam konteks wacana
multikulturalisme ataupun feminisme. “Dari sini”, menurut Honneth, “ini adalah langkah
kecil untuk menuju perwujudan yang umum, bahwa kualitas moral dari relasi-relasi sosial
tidak lagi dapat diukur melulu dalam konteks distribusi yang adil dan merata atas barang-
barang material.”31

Konsekuensinya konsep kita tentang keadilan juga haruslah terkait dengan


bagaimana individu-individu yang berasal dari beragam latar belakang dapat saling
29
Ibid.,
30
Varon Uberoi, “National Identity: A Multiculturalist’s Approach,” Critical Review of Internatioal Social and
Political Philosophy, 21(1), 2018, h. 46-47
31
Axel Honneth, Scott Lash dan Mike Featherstone (eds), Recognition or Redistribution? Changing
Perspectives on the Moral Order of Society, Recognition and Difference. Politics, Identity, and Multiculture,
London, SAGE Publications, 2002, h. 45
mengenal dan mengakui satu sama lain. Ketika kita berbicara tentang moralitas kita
sebenarnya sedang berbicara tentang hal-hal yang diperlukan untuk menjamin
berlangsungnya relasi positif antara subyek yang satu dengan subyek lainnya. Hal ini
hanya mungkin jika kita dapat menarik implikasi-implikasi moral dari konsep pengakuan
(recognition). Akan tetapi problem utamanya adalah kesulitan untuk sungguh-sungguh
mendefinisikan secara tepat makna dan relevansi konsep pengakuan tersebut. 32

Di dalam etika feminisme konsep pengakuan digunakan untuk menggambarkan


perhatian dan cinta yang tulus, seperti layaknya hubungan ibu dan anak. Di dalam etika
diskursus konsep pengakuan menggambarkan adanya penghormatan timbal balik bagi
keunikan identitas dan status sosial semua partisipan diskursus. Di dalam kerangka
komunitarianisme konsep pengakuan menggambarkan tuntutan untuk menghargai
keunikan bentuk-bentuk kehidupan setiap orang maupun kelompok partikular. Yang
terakhir ini terwujud paling konkret dalam konteks terciptanya solidaritas sosial. 33

Menurut Charles Taylor, pengakuan identitas harus dilakukan berdasarkan


perbedaan dalam versi multikulturalisme yang peka terhadap pelestarian
keanekaragaman budaya dengan gaya hidup yang asli. Dalam hal ini, ia memberikan
sejumlah argumen seperti pengakuan politik terhadap imperialisme budaya, dan
hegemoni budaya barat. Charles Taylor menunjukkan berbagai macam pengakuan, mulai
dari pengakuan antar pribadi hingga antar budaya, dan hal itu tersebut, pada zaman
modern ini dapat diketahui melalui internet.34

Pengakuan publik atas identitas budaya dapat diartikan sebagai individu yang
memiliki hak terkait dengan hak kebebasan berbicara dan martabat. Ekspresi pribadi
perbedaan budaya, sebagaimana ditentukan oleh konsepsi Rawls tentang masyarakat
yang tepat, dapat menjauhkan manusia dari hak fundamental yang tertulis dalam
sifatnya. Hal itu juga diungkapkan oleh, Hannah Arend. Ia mengakui pentingnya ruang
publik sebagai lokus favorit yang visibilitas dan penegasan dari masing-masing individu.
"Dunia adalah tempat pertemuan bersama bagi semua individu, mereka yang hadir
memiliki lokasi berbeda di dalamnya, dan lokasi seseorang tidak dapat lagi bertepatan
32
Ibid.,
33
Ibid.,
34
Daniel Conjanu, “Cultural Diversity and The New Politics of Identity,” RSP, (50), 2016, h. 36
dengan lokasi selain lokasi dua benda. Terlihat dan didengar oleh orang lain mendapatkan
signifikansi mereka dari kenyataan bahwa setiap orang dapat melihat dan mendengar
tentang sesuatu yang berbeda posisi.”35

Hal yang sama, tenjadi dalam kasus kelompok budaya, lebih tepatnya, sebagai hak
khusus kelompok etnis minoritas, yang mendapatkankan perlakuan khusus. Hal itu
dirancang untuk menjaga kekhasan, tradisi, identitas suatu budaya mereka. Klaim
semacam itu juga dibuat atas nama ekologi budaya. Sebagai pelestarian keanekaragaman
hayati atau pelestarian budaya perbedaan.

Secara intuitif, istilah itu budaya dikaitkan dengan gagasan komunitas etno-budaya. 36
Budaya adalah spiritual lingkungan, khusus untuk kelompok manusia dengan asal-usul
yang sama, yang memungkinkannya untuk bereproduksi sendiri dan bertahan dari waktu
ke waktu, lingkungan yang menawarkan kepada anggota komunitas visi yang spesifik, cara
pemahaman, nilai-nilai dan spesifik dalam perilaku, cara berekspresi dan kreasi yang
berbeda dari anggota budaya lain.37

Budaya adalah lingkungan spesifik dari kelompok etnis, yang merupakan komunitas
"alami", yang memungkinkannya adanya perbedaan dari yang lain. Dalam hal ini, Masalah
identitas budaya memiliki polemik dan bahkan potensi subversif dalam hal tatanan sosial-
politik yang rasional (berdasarkan kontrak) dibangun dan diatur, menyatakan
netralitasnya dan dengan demikian mengabaikan nilai-nilai, pendapat, keyakinan, yang
mau tidak mau memiliki warna perspektif tertentu, kekhasan secara lokal. Hal itu
merupakan wujud akan perlunya pengakuan identitas.38

Untuk kelompok minoritas, hak budaya bukan hanya mewakili klaim untuk diakui
secara publik, tetapi menciptakan kemungkinan tuntutan yang lebih konkret, seperti
independensi dan yuridiksi teritorial. Klaim khusus ini dipertimbangkan diperlukan untuk
perkembangan budaya yang normal dan tanpa hambatan, untuk melestarikan
kekhasannya dan untuk membela kepentingan anggota mereka. Hal itu merupakan
tindakan nyata dari pembuat keputusan untuk melakukan negosiasi ulang secara
35
Ibid.,
36
Ibid., h. 36-37
37
Ibid., h.37
38
Ibid.,
permanen, tentang pengakuan perbedaan budaya atau hubungan saling menghormati
hak asasi manusia yang fundamental dan menghormati hak budaya. 39

Dari sini dapatlah disimpulkan bahwa gerakan-gerakan sosial dewasa ini setidaknya
mengajukan dua tuntutan dasar, yakni tuntutan atas distribusi material yang merata
kepada seluruh anggota masyarakat, tidak hanya mereka yang memiliki modal dan
kekuasaan, dan juga tuntutan yang lebih dalam lagi, yaitu tuntutan untuk diakui, dikenali,
dan didorong untuk mengembangkan identitas personal partikular serta keunikan yang
ada di dalam diri setiap individu. Inilah kiranya persoalan yang mendesak sekarang ini,
dan membutuhkan tanggapan sesegera mungkin dari kita semua.

C. Kesimpulan
Keragaman menyusun Dakwah Mosaik Indah di Indonesia Sudah ada dan di
contohkan oleh Ulama’ serta Auliya’ terdahulu. Mereka berImigrasi dari negara asal
untuk berdagang dan berdakwah menuju Indonesia.

Mengajarkan makna Islam dan toleransi, berdakwah dengan kesabaran tanpa adanya
paksaan, belajar memahami apa yang sedang di butuhkan masyarakat dan apa yang di
senangi masyarakat walau dengan Etnis yang berbeda-beda. Strategi pendekatan yang
alami bahkan dengan misi di luar nalar(Karomah)sekalipun.

Selain itu, banyak juga problem multikultural yang di hadapi oleh wali sanga pada
saat itu seperti: masalah Etnik, Ras, keragaman budaya, sterotip, prasangka,
membedakan budaya dsb.

Menurut Geert Hofstede Ada empat dimensi yang membedakan budaya yang
kemungkinan terjadi pada masa walisanga:

1. Jarak kekuasaan
2. Maskulinitas
3. Penghindaran ketidak pastian
4. Individualisme

Selain hal-hal yang menjadi rintangan dakwah wali sanga yang telah penulis sebutkan
masih banyak lagi ujian dakwah yang di alami sunan kali jaga pada waktu itu, salah
39
Ibid.,
satunya banyak dari masyarakat yang fanatik identitas lama, keyakinan yang kuat serta
keragaman budaya yang akan membuahkan pemikiran-pemikiran baru bagi wali snaga
yang hendak menjalankan misi dakwahnya.

Dan masih banyak lagi kejadian yang menjadi tantangan dakwah mosaik dalam
perjuangan walisanga berdakwah di indonesia pada zaman dahulu. Dan Islam dapat kita
rasakan buah perjuangannya sampai saat ini.

DAFTAR PUSTAKA

Ålund, Aleksandra. Ethnicity, “Multiculturalism and the Problem of Culture,” European


socities, 1(1), 1999, Hal.112-113

Agus Sunyoto, “Atlas Wali Songo”: Pustaka IIMAN dan LESBUMI PBNU, 2016, Hal.267-269

Barth, Fredrik. Ethnic Groups and Boundaries: The Social Organization of Culture
Difference, Bergen-Oslo: Universitets Forlaget & London: George Allen & Unwin,
2001, Hal.103-105

Conjanu, Daniel. “Cultural Diversity and The New Politics of Identity,” RSP, (50), 2016,
Hal.31

Honneth, Axel. Scott Lash dan Mike Featherstone (eds), Recognition or Redistribution?
Changing Perspectives on the Moral Order of Society, Recognition and Difference.
Politics, Identity, and Multiculture, London, SAGE Publications, 2002, Hal.45
Ramsey, Patricia. G; William, Leslie, R. Dan Vold, Edwina, Battle. Multicultural Education:
A Source Book. 2nd ed. London: Routledge Palmer, 2003, Hal.77

Ratcliffe, P. Conceptualizing “Race”, Ethnicity and Nation: Towards a Comparative


Perspective in Ratcliffe, P. (Ed). Race, Ethnicity and Nation. London: Taylor &
Francise, 2006, Hal.103-105

Richard, D. Asmore; Jussim, L. Dan Wilder, David. (Eds.). Socail Identity, Intergroup
Conflict, and Conflict Reduction. Oxford: Oxford University Press, 2001, Hal.53

Uberoi, Varon. “National Identity: A Multiculturalist’s Approach,” Critical Review of


Internatioal Social and Political Philosophy, 21(1), 2018, Hal.46-47

Anda mungkin juga menyukai