Anda di halaman 1dari 10

BAB I PENDAHULUAN

1.1 Latar belakang

Kejawen merupakan pandangan hidup masyarakat jawa yang mengakar hingga lama-kelamaan
menjadi kebiasaan dan kini sudah dianggap seperti adat dan tradisi masyarakat Jawa. Kejawen sudah
ada sejak zaman nenek moyang. Awal mula keberadaannya tentu tidak diketahui pastinya. Hingga
kini, budaya kejawen ini masih dianut sebagian masyarakat Jawa, terutama oleh suku Jawa.

Dalam masa sekarang ini, agama Islam sudah menyebar luas di wilayah Indonesia. Bahkan sebagian
besar masyarakat Indonesia kini merupakan penganut agama Islam. Terutama di Jawa dengan
jumlah penduduknya yang sangat padat. Berdasarkan teori yang dicetuskan para ahli tentang
masuknya agama Islam ke nusantara, agama ini mulai memasuki Indonesia pada sekitar abad ke-7
Masehi. Pada saat islam memasuki Indonesia, saat itu sudah ada kebudayaan yang terlebih dahulu
dianut oleh masyarakat setempat. Salah satunya yaitu kejawen yang ada di Jawa. Agama Islam yang
baru masuk ke Indonesia saat itu lama-kelamaan berkembang dan mengalami asimilasi dengan
budaya setempat yang sudah ada.

Negara Indonesia sebagai negara yang majemuk memiliki berbagai budaya yang beraneka ragam.
Salah satunya seni tari. Tarian-tarian di Indonesia merupakan bentuk cerminan dari budaya
masyarakat setempat. Sebuah tari tercipta dari asimilasi unsur budaya yang ada di daerah tersebut.
Di Jawa, ada banyak macam bentuk tarian yang merupakan hasil asimilasi dari budaya-budaya Jawa,
salah satunya seperti budaya kejawen dengan agama yang ada di Jawa.

1.2  Rumusan masalah

1.2.1 Bagaimana bentuk asimilasi agama yang ditemukan dalam tarian-tarian Jawa?

1.2.2  Sejauh mana pelajar SMAN 1 Purwokerto memahami adanya asimilisi antara kejawen dengan
agama dalam tarian-tarian Jawa?

1.2.3 Bagaimana cara agar pelajar SMAN 1 Purwokerto lebih memahami asimilasi antara kejawen
dengan agama dalam tarian-tarian Jawa

1.3. Tujuan

1.3.1 Mengetahui bagaimana bentuk asimilasi agama yang ditemukan dalam tarian-tarian Jawa

1.3.2 Mengetahui sejauh mana pelajar SMAN 1 Purwokerto memahami adanya asimilisi antara
kejawen dengan agama dalam tarian-tarian Jawa?

1.3.3 Mengetahui bagaimana cara agar pelajar SMAN 1 Purwokerto lebih memahami asimilasi antara
kejawen dengan agama dalam tarian-tarian Jawa
BAB II LANDASAN TEORI

2.1 Definisi

Kejawen merupakan sebuah pandangan hidup yang dianut di pulau jawa oleh suku jawa dan suku
bangsa lainnya yang menetap di jawa. Kata ‘Kejawen’ berasal dari kata ‘Jawa’ yang dalam Bahasa
Indonesia berarti segala sesuatu yang berhubungan dengan adat dan kepercayaan jawa. Karena
Bahasa pengantar ibadahnya menggunakan Bahasa jawa, penamaan ‘Kejawen’ di pulau Jawa bersifat
umum.

Kejawen merupakan kumpulan pandangan hidup dan filsafat sepanjang peradaban orang Jawa.
Dasar filsafat kejawen berasal dari ajaran agama yang dianut oleh filsuf jawa, tetapi kitab dan naskah
kuno menegaskan bahwa kejawen bukanlah sebuah agama.

Orang jawa sejak dulu dikenal mengakui keesaan tuhan, maka Penganut kejawen tidak menganggap
ajarannya sebagai agama monoteistik, tetapi sebagai nilai-nilai yang dilakukan disamping ibadah.
‘Sangkan Paraning Dumadhi’ yang artinya ‘dari mana datang dan kembalinya hamba tuhan’
merupakam inti dari ajaran kejawen. Kejawen tidak terpaku dengan aturan ketat dan lebih
menekankan konsep ‘keseimbangan’.

Seiring berjalannya waktu, ajaran kejawen berkembang Bersama agama yang dianut pengikutnya.
Yang dikenal dengan terminologi islam kejawen, hindu kejawen, budha kejawen, dan Kristen
kejawen. Pengikut budaya kejawen akan melaksanakan adat dan budaya-budaya kejawen yang
bersifat tidak bertentangan dengan agama yang dipeluk oleh pengikutnya.

2.2. Contoh Kejawen

Secara umum, kejawen memiliki ajaran utama yaitu untuk membangun tata krama dalam
kehidupan. Hingga saat ini masyarakat yang mengikuti ajaran ini masih banyak yang menjalankan
tradisi kejawen, seperti ritual nyadran, mitoni, tedhak siten, dan wetonan

a.Nyadran

Nyadran merupakan upacara yang dilakukan orang Jawa sebelum puasa tiba, seperti melakukan
berziarah ke makam-makam dan menabur bunga.

b.Mitoni

Tradisi mitoni diperuntukkan bagi wanita yang mengandung bayi untuk pertama kalinya. Ritual
berupa siraman itu digelar tepatnya di usia kehamilan tujuh bulan.

c.Tedhak Siten

Tedhak siten yakni ritual yang dilaksanakan dalam rangka mempersiapkan seorang anak agar dapat
menjalani kehidupan yang benar dan sukses di masa depan.

d.Wetonan

Wetonan mirip dengan tradisi ulang tahun. Hanya saja, wetonan bisa dilaksanakan hingga 10 kali
dalam setahun. Wetonan dilaksanakan sesuai dengan penunjukan waktu dalam penanggalan
kalender Jawa.
2.3. Definisi Asimilasi

Menurut Kamus Besar Bahasa Indonesia, asimilasi adalah penyesuaian atau peleburan sifat asli yang
dimiliki dengan sifat lingkungan sekitar. Sementara itu, menurut Koentjara Ningrat (1996: 160)
asimilasi adalah suatu proses sosial yang terjadi di berbagai golongan manusia dengan latar belakang
kebudayaan yang berbeda setelah mereka bergaul secara insentif.

2.4 Faktor Penyebab Asimilasi

Toleransi, kesamaan kepentingan ekonomi, simpati terhadap budaya lain, dan


amalgamasi merupakan faktor-faktor umum yang dapat mendorong atau
mempermudah terjadinya asimilasi. Selain itu ada juga beberapa faktor lainnya,
diantaranya adalah :
1. Kesempatan yang sama pada bidang ekonomi.
2. Sikap terbuka dari golongan berkuasa pada masyarakat.
3. Perkawinan antara kelompok berbeda budaya.
4. Toleransi di antara sesama kelompok berbeda kebudayaan.
5. Kesediaan menghormati serta menghargai orang asing khususnya kebudayaan
yang dibawa.
6. Persamaan pada unsur-unsur kebudayaan universal

Masyarakat Jawa memiliki kepribadian yang sangat ramah dalam menerima


hal-hal baru, sebagaimana diperlihatkan oleh kebudayaan mereka yang sangat
sinkretis, kebudayaan yang menerima setiap agama yang muncul dan masuk dengan
pikiran terbuka, terlepas dari ciri-ciri yang benar atau buruk. Sejak saat itu, budaya
lama telah berasimilasi ke budaya baru di Jawa, yang sebelumnya merupakan
kebudayaan Jawa dan kebudayaan Hindu Buddha, kini adalah kebudayaan Jawa,
Hindu Buddha, dan Islam. Corak kebudayaan ini terletak di lingkungan istana. Para
penyebar agama Islam mulai menyebarkan Islam dengan berbagai cara, seperti
melalui perdagangan, perkawinan, kesenian, dan sebagainya, seperti yang mereka
lakukan di masa kedatangan Hindu Buddha.
Selama masa perkembangan Islam, gerakan dakwah di Jawa menggunakan
gerakan dakwah yang bersifat kompromi. Hal ini disebabkan oleh dakwah yang
disesuaikan dengan tradisi Hindu Buddha yang sudah melekat di masyarakat. Dengan
adanya agama Hindu Buddha yang memegang pengaruh besar pada kebudayaan
Jawa, tidak ada cara lain untuk memperkenalkan agama Islam kepada masyarakat
Jawa selain melalui cara pendekatan secara kompromi dan penuh toleransi. Demikian
adalah bagaimana para wali mempelopori agama Islam di tanah Jawa. Secara umum
dapat disimpulkan, bahwa alasan masyarakat Jawa mudah menerima agama Islam
yang dibawa dan diperkenalkan oleh para Walisongo, adalah karena dalam pengajaran
agama Islam yang dibawa oleh Walisongo lebih menyatu dengan tradisi masyarakat
Jawa. Dari ketauhidan hingga pola pengajarannya, Walisongo secara bertahap mulai
mengubah kepercayaan masyarakat yang didasarkan pada tradisi tersebut.
Sehubungan dengan agama Islam, Kiai Bakri (Mudin) berpendapat bahwa
agama Islam adalah agama yang dibawa oleh Walisongo. Walisongo mengajarkan
masyarakat agar berbuat baik kepada sesama manusia, beramal sholeh, menghormati
orang lain, dan sebagainya. Ajaran ini sangat sesuai dengan perilaku orang jawa, yang
identik dengan keramahannya, kelemahlembutannya, dan kesantunannya. Karena
kesamaan ini, Islam lebih mudah diterima oleh masyarakat Jawa pada umumnya.
Selain itu, Islam tidak menempatkan tuntutan yang berlebihan pada pelaksanaan
ibadahnya, cukup dengan keyakinan tanpa ada perlu sesuatu yang harus dijadikan
sesembahan dalam pelaksanaan ibadahnya. Mardiyah S.Sy S.Pd, seorang anggota
terkemuka di Dusun Ngudi, juga memiliki pemikiran yang serupa.
Mbak Diyah mengemukakan bahwa metode yang digunakan oleh para tokoh
Islam untuk menyesuaikan diri antara agama Islam dan tradisi yang sudah ada adalah
metode akulturasi, untuk membuat agama tersebut dapat diterima dan menghindari
penolakan. Keduanya saling terjalin dan bercampur menjadi satu. Beliau selanjutnya
mengatakan bahwa prinsip-prinsip Islam ditempatkan ke dalam tradisi yang sudah ada
untuk membuatnya lebih mudah diterima oleh masyarakat. Metode ini berupaya
membuat masyarakat tidak menyadari dan tidak menolak agama Islam yang baru dan
dianggap asing bagi mereka. Selain itu, tujuan metode ini adalah agar masyarakat
menjalankan adat istiadat tradisional sambil tetap berada dalam kerangka ajaran
agama Islam.

2.5 Contoh Asimilasi Kejawen dengan Agama dalam Tarian-Tarian Jawa

1. Tari Sintren dari Jawa Tengah


Sangkar ayam yang melengkung adalah elemen yang memegang nilai-nilai
ajaran agama Islam pada tari sintren. Hal ini mempunyai makna, bahwa
kehidupan manusia berlangsung dari bawah ke atas. Namun, manusia akan
turun dari puncak dan kembali lagi ke bawah, yaitu dari tanah kembali
menjadi tanah, dilahirkan dalam keadaan lemah dan nantinya kembali lagi ke
keadaan yang lemah pula.

2. Tari Anggukan Warga Setuju dari Magelang, Yogyakarta


Makna gerak tari yang diiringi sholawat ini adalah refleksi dari posisi
seseorang yang sedang melaksanakan sholat sebagai bentuk ibadah bagi umat
Islam. Sholawat nabi yang berisi puji-pujian kepada Allah dan Nabi
Muhammad Shallallahu ‘Alaihi Wasallam menyertai gerakan tari angguk.
Sebagai tarian ritual, dalam pelaksanaannya disediakan sesaji dan rasa syukur,
serta permohonan keselamatan dengan sarana upacara bersih desa.

3. Tari Angguk dari Yogyakarta


Tarian ini memiliki elemen agama Islam, yaitu dengan memanfaatkan
ungkapan berbahasa Arab dengan logat Jawa dari para penari yang
membentuk lingkaran, seperti ketika seniman Angguk melafalkan istilah arab
“A‘la thaha” menjadi “Ngala toha“, dan contoh lain dalam atraksi ndadi ketiak
roh cantik yang disebut Dewi Kuning-kuning merasuk, para pengiring
berdendang : “Kuning-kuning, kuning-kuning, Wong Ayu Kuning, Wong Ayu
Kuning” kemudian datang dendang berbahasa Arab yang masih kurang jelas
artinya : “Wa’ul bi’a, Wa’ul bi’a, Wa’ul bi’a nurussamsi, Wa’ul bi’a
nurussamsi”.

4. Tari Topeng Lengger dari Jawa Tengah


Secara filosofi, kata “lengger” berasal dari “lenggeran “ yang merupakan
singkatan dari “Elingo ngger marang gusti pangeran”, yang dapat
diterjemahkan sebagai “Ingatlah kamu kepada sang pencipta”. Hal ini
berkaitan dengan sejarah keberadaan tari topeng lengger. Tarian ini diduga
diciptakan oleh Sunan Kalijaga. Tarian ini digunakan oleh Sunan Kalijaga
sebagai salah satu sarana menyebarkan agama Islam. Pertunjukan tarian ini
selalu diselipkan ajaran agama Islam ke dalamnya di masa lalu. Sunan
Kalijaga kemudian mendirikan sebuah tempat sebagai sarana untuk beribadah
karena tari ini sukses meraih perhatian masyarakat, dan “langgar” adalah nama
tempat ibadah tersebut.

5. Tari Gandrung dari Banyuwangi


Tari gandrung adalah seni pertunjukan yang mulai berkembang dengan
diadopsikannya tarian di pulau jawa pada Banyuwangil yang kemudian
menyebar melalui Bali hingga Lombok. Keberadaan tari gandrung tidak lepas
kaitannya dengan ajaran Islam Wetu Telu. Islam Wetu Telu didasarkan pada
tiga perspektif, yaitu hubungan manusia dengan Tuhan, alam, dan sesama
manusia. Islam Wetu Telu menuntut penganutnya untuk selalu
mempertahankan hubungan harmonis dengan Tuhan, alam, dan sesama
manusia. Penganut Islam Watu Telu percaya bahwa hanya ada satu tuhan dan
bahwa tidak ada alasan untuk menduakannya.

6. Tari Emprak dari Jawa Tengah


Pertunjukan kesenian ini melibatkan pembacaan rawen atau riwayat tentang
sejarah Nabi Muhammad yang dilakukan oleh dalang. Meskipun kesenian ini
bertemakan shalawat, namun kesenian ini tetap berpusat pada kebudayaan
Jawa, terdapat unsur kebahasaan Jawa dalam syair dan tembangnya, irama
yang digunakan juga merupakan irama pakem tembang Jawa seperti kinanthi,
sinom, dan mijil.
BAB III METODOLOGI PENELITIAN

3.1 Jenis Penelitian

Penelitian ini termasuk penelitian survei di bidang sosial.

3.2 Lokasi dan Waktu Penelitian

Lokasi penelitian ini adalah Google Forms. Waktu penelitian pada tanggal 2-4 Mei 2021.

3.3 Subjek penelitian

Subjek penelitian ini adalah siswa-siswi SMA Negeri 1 Purwokerto.

3.4 Teknik Pengumpulan Data

Teknik yang digunakan dalam penelitian ini adalah studi literatur dan survei.

3.5 Penyajian data

Data pada penelitian ini disajikan secara kuantitatif dengan menggunakan grafik.
BAB IV HASIL DAN PEMBAHASAN

4.1 Hasil Survey

4.1.1 Pertanyaan

1. Dibawah ini, manakah yang menggambarkan kejawen?

2. Apakah kamu merasakan kultur di tempat tinggalmu masih kental akan unsur kejawen? Dapatkah
kamu menempatkan diri?

3. Apakah kamu pernah belajar tarian daerah dengan unsur kejawen?

6. Seberapa paham kalian tentang makna dari tarian tersebut?

7. Pilih asimilasi yang tepat mengenai tari di bawah ini

8. Menurut pengetahuan anda apakah kejawen dapat berikatan dengan semua agama?

9. Seberapa sering siswa SMANSA mendapat informasi mengenai budaya (dalam hal ini, asimilasi
kejawen dan agama) di sekitar?

10. Setelah menjawab pertanyaan di atas, ternyata ada banyak tarian yang merupakan asimilasi
antara kejawen dan nilai religi/agama, menurut kalian apakah fakta ini diketahui banyak orang?

4.1.2 Grafik Hasil Survey

4.1.3 Analisis

a. rata 36.363636

b. tertinggi 75, 1 orang

c. terendah 0 1 orang
d. modus 30, 40 12 orang

4.2 Pembahasan

4.2.1 Contoh Asimilasi Kejawen dengan Agama dalam Tarian-Tarian Jawa

4.2.1.1 Tari Sintren dari Jawa Tengah

Elemen sintren yang mengandung nilai-nilai ajaran agama Islam ialah bentuk kurungan ayam yang
melengkung. Hal ini bermakna bahwa fase hidup manusia ialah dari bawah akan berusaha menuju
puncak. Namun setelah berada di puncak, ia akan kembali lagi ke bawah, yakni dari tanah kembali
menjadi tanah, dilahirkan dalam keadaan lemah nantinya kembali lagi keadaan yang lemah pula.

4.2 1.2 Tari Anggukan Warga Setuju dari Magelang, Yogyakarta

Makna gerak tari yang diiringi dengan sholawat merupakan cerminan dari posisi seseorang yang
sedang melakukan sholat, sebagai ibadah bagi umat Islam. Gerakan Tari Angguk diiringi oleh
sholawat nabi yang berisi puji-pujian kepada Allah dan Nabi Muhammad Shallallahu ‘Alaihi
Wasallam. Sebagai tari ritual dalam pelaksanaanya pertunjukannya disediakan sesaji dan rasa syukur
serta mohon keselamatan dengan sarana upacara bersih desa.

4.2.1.3 Tari Angguk dari Yogyakarta

Memaknai unsur keislaman dengan adanya ungkapan bahasa Arab yang dilafalkan ala Jawa yang
dikeluarkan para penari yang membentuk lingkaran, misalnya terjadi ketika seniman Angguk
melagukan kalimat Arab a’la thaha menjadi ngala toha dan contoh lain pada suatu

bagian antraksi ndadi ketiak roh cantik yang disebut Dewi Kuning-kuning merasuk, para pengiring
berdendang: kuning-kuning, kuning-kuning, Wong Ayu Kuning, Wong Ayu Kuning kemudian datang
dendang susulan berbahasa Arab (yang tidak jelas artinya) Wa’ul bi’a, Wa’ul bi’a, Wa’ul bi’a
nurussamsi, Wa’ul bi’a nurussamsi. Dari Syair-syair Tari Angguk memang

diambil dalam sebagian kitab Barzanji, jadi tidak heran kalau ungkapan banyak berbahasa Arab,
meski pada akhir-akhir ini gerak tari dan syairnya mulai dimodifikasi dengan menyisipkan gerak tari
serta bahasa khas Banyumasan tanpa merubah corak aslinya.

4.2.1.4 Tari Topeng Lengger dari Jawa Tengah

Secara filosofi, “lengger” berasal dari “lenggeran” yang merupakan kependekan dari “elingo ngger
marang gusti pangeran” yang dapat diartikan sebagai ingatlah kamu kepada sang pencipta. Hal ini
berkaitan dengan sejarah keberadaan tari topeng lengger.

Konon, tari ini diciptakan oleh Sunan Kali Jaga. Sunan Kali Jaga menggunakan tari ini sebagai salah
satu sarana menyebarkan agama Islam. Di masa lalu, dalam pertunjukan tari ini selalu diselipkan
ajaran agama Islam. Bahkan, karena tari ini berhasil menarik perhatian masyarakat, Sunan Kalijaga
kemudian membangun sebuah tempat sebagai sarana beribadah. Tempat tersebut diberi nama
“langgar”.
4.2.1.5 Tari Gandrung dari Banyuwangi

Tari Gandrung merupakan seni pertunjukan yang berkembang melalui pengadopsian tari yang ada di
pulau Jawa yaitu Banyuwangi yang kemudian menyebar lewat Bali hingga sampai ke Lombok.
Keberadaan tari Gandrung tidak lepas kaitannya dengan ajaran Islam wetu telu. Islam wetu telu
berpangkal dari tiga buah pandangan mengenai hubungan manusia dengan Tuhan, alam, dan
sesama manusia. Penganut Islam wetu telu dituntut untuk selalu menciptakan

hubungan yang harmonis dengan Tuhan, alam maupun dengan sesama manusia. Penganut Islam
wetu telu percaya bahwa Tuhan itu Maha Esa dan tidak ada alasan untuk menduakannya.

4.2.1.6 Tari Emprak dari Jawa Tengah

Pertunjukan kesenian ini melibatkan pembacaan rawen atau riwayat tentang sejarah Nabi
Muhammad yang dilakukan oleh dalang. Meskipun kesenian ini bertemakan shalawat namun
kesenian ini kental akan unsur budaya Jawa, tercermin dari syair dan tembangnya hampir secara
keseluruhan berbahasa Jawa dan irama yang digunakan pun merupakan irama pakem tembang Jawa
seperti kinanthi, sinom, dan mijil.

b. hasil: berdasarkan hasil survey diatas dapat disimpulkan bahwa pemahaman siswa SMAN 1
Purwokerto tentang asimilasi masih kurang

c. faktor : adapun faktor yang mempengaruhi kurangnya pemahaman tersebut adalah

1. kurangnya minat dan bakat siswa dalam mempelajari kebudayaan

2. siswa menganggap kebudayaan sebagai sesuatu hal yang kuno sehingga kurang memiliki daya
tarik

3. kurangnya sosialisasi maupun pementasan budaya di lingkungan masyarakat umum

4. rendahnya kesadaran oleh siswa untuk menjaga dan melestarikan budaya

4.3 Solusi

a. Adanya pertunjukkan seni dari unit kesenian pada kegiatan kepramukaan

b. Familiarisasi budaya pada siswa agar siswa merasa familiar dan bangga atas budaya mereka
sendiri

c. Memberikan fasilitas lebih untuk kegiatan budaya di sekolah dan menonjolkan ciri khas budayanya

d. Sering meliput dan mempublikasikan kegiatan budaya (suryakanta)

e. Mengadakan pagelaran wayang oleh generasi muda


BAB V KESIMPULAN DAN SARAN

5.1 Kesimpulan

Kejawen yang merupakan unsur tradisi yang melekat pada masyarakat jawa ternyata tidak banyak
dikenali oleh siswa smansa.

Hal tersebut tidak semata- mata terjadi karena faktor perubahan zaman melainkan juga dipengaruhi
oleh faktor toleransi, kesamaan kepentingan ekonomi, simpati terhadap budaya lain dan
amalgamasi.

Untuk mengatasi hal tersebut maka beberapa pendekatan yang bisa dilakukan antara lain kompromi
dan toleransi.

5.2 Saran

Agar kejawen semakin diketahui oleh pelajar SMAN 1 Purwokerto, diperlukan pendekatan dan
pengenalan terhadap budaya kejawen, dapat melalui kompromi dan toleransi. Dengan mempelajari
dan memperkenalkan budaya kejawen, semakin banyak pengetahuan dan wawasan yang diperoleh.
Budaya Indonesia juga dapat tetap terjaga, baik berupa tarian maupun tradisi.

Anda mungkin juga menyukai