Anda di halaman 1dari 6

A.

Latar Belakang Masalah

Dalam perkembangan zaman yang semakin modern, upacara tradisional sebagai wahana
budaya leluhur bisa dikatakan masih memegang peranan penting dalam kehidupan masyarakat.
Upacara tradisional yang memiliki makna filosofis sampai sekarang masih dipatuhi oleh
masyarakat pendukungnya. Masyarakat tersebut bahkan takut jika tidak melaksanakan upacara
tradisional akan mengalami hal-hal yang tidak diinginkan.

Dalam sejarah perkembangan kebudayaan masyarakat Jawa mengalami akulturasi


dengan berbagai bentuk kultur yang ada. Oleh karena itu, corak dan bentuknya diwarnai oleh
berbagai unsur budaya yang bermacam-macam. Setiap masyarakat memiliki kebudayaan yang
berbeda. Hal ini dikarenakan oleh kondisi sosial budaya masyarakat antara yang satu dengan
yang lain berbeda. Kebudayaan sebagai cara berpikir dan cara merasa yang menyatakan diri
dalam seluruh segi kehidupan kelompok manusia yang membentuk kesatuan sosial dalam
ruang dan waktu. Salah satu budaya yang menonjol adalah adat istiadat atau tradisi
kejawen.Kebudayaan selalu menyajikan sesuatu yang khas dan unik, karena pada umumnya
diartikan sebagai proses atau hasil karya, cipta, rasa, dan karsa manusia dalam menjawab
tantangan kehidupan yang berasal dari alam sekitarnya.

Upacara tradisional yang dilaksanakan pada umumnya masih mempunyai hubungan


dengan kepercayaan akanadanya kekuatan diluar manusia. Adapun yang dimaksud dengan
kekuatan di luar manusia yaitu Tuhan Yang Maha Esa, dapat juga diartikan sebagai kekuatan
supranatural seperti roh nenek moyang pendiri desa, dan bisa juga roh leluhur yang dianggap
masih memberikan perlindungan padanya dan keturunannya. Mereka percaya bahwa tidak
semua usaha manusia dapat berjalan lancar, terkadang menemui tantangan dan hambatan yang
sulit dipecahkan. Hal tersebut disebabkan oleh keterbatasan akal dan sistem pengetahuan
manusia, sehingga masalah-masalah yang tidak dapat dipecahkan dengan akal mulai
dipecahkan secara religi.

Pada dasarnya masyarakat Jawa merupakan suatu kesatuan masyarakat yang diikat oleh
norma-norma hidup karena sejarah, tradisi maupun agama. Ada keyakinan pada masyarakat
Jawa bahwa suatu tindakan atau tingkah laku merupakan cara berpikir seorang individu yang
sering dikaitkan dengan adanya kepercayaan atau keyakinan terhadap kekuatan gaib yang ada
di alam semesta. Kekuatan alam semesta dianggap ada di atas segalanya. Selanjutnya dikatakan
bahwa dalam masyarakat Jawa kekuatan manusia dianggab lemah bila dihadapkan dengan
alam semesta. Pandangan hidup orang Jawa terbentuk dari alam pikiran Jawa tradisional,
kepercayaan Hindu, dan ajaran Islam. Budaya dapat diartikan sebagai keseluruhan warisan
sosial yang dipandang sebagai hasil karya yang tersusun menurut tata tertib teratur, biasanya
terdiri dari pada kebendaan, kemahiran teknik, pikiran dan gagasan, kebiasaan, nilai-nilai
tertentu, dan sebagainya.Wujud kebudayaan selain sebagai kompleksitas ide, gagasan, nilai dan
norma maupun sebagai peraturan, juga mencerminkan pola tingkah laku manusia dalam
masyarakat. Pola tingkah laku ini terjadi karena ekspresi atau manifestasi hasil proses belajar.
Ekspresi ini juga terwujud dalam hasil karyanya sebagai buah budi dayanya. Wujud tingkah
laku tersebut dapat juga berbentuk lambang tertentu, misalnya upacara keagamaan yang
merupakan manifestasi tingkah laku religius.

Apresiasi budaya sering kali dihubungkan dengan cara hidup, adat istiadat suatu
masyarakat yang mendukung kebudayaan tersebut. Misalnya upacara adat tradisional yang
pada umumnya ditimbulkan adanya keyakinan atau doktrin yang juga merupakan perwujudan
dari religi. Semua akivitas manusia yang berhubungan dengan religi dan didasarkan pada suatu
getaran jiwa biasanya disebut emosi keagaman (religious emotion),emosi keagamaan
mendorong manusia melakukan tindakan religi. Dalam kepercayaan religi animisme, makam
adalah tempat suci yang digunakan sebagai sarana berkomunikasi spiritual nenek moyang
dengan roh para leluhur atau dengan Tuhan. Pada masa sekarang, kepercayaan tersebut belum
luntur. Salah satu tradisi yang melekat pada jiwa masyarakat, khususnya masyarakat jawa
adalah Tradisi Nyadran. Secara filosofis Nyadran adalah ritual simbolik yang sarat dengan
makna. Menurut adat kejawen sadranan berarti berziarah Kubur atau pergi ke makam nenek
moyang dengan membawa menyan, bunga dan air doa. Sadran berarti kembali atau menziarahi
makam atau tempat yang dianggap sebagai cikal bakal suatu desa, biasanya masyarakat
menamakan tempat tersebut dengan sebutan punden yaitu makam cikal bakal desa setempat.
Sebelum berziarah kubur biasanya masyarakat terlebih dahulu membersihkan makam secara
bersama-sama.

Bersih kubur yang dikenal dengan nama sadranan atau besik merupakan salah satu
bentuk alkuturasi Islam dengan kebudayaan Jawa. Tradisi sadranan merupakan tradisi yang
sudah dikenal oleh semua masyarakat terutama masyarakat Jawa, karena sadranan dilakukan di
berbagai daerah tak terkecuali di Desa Padegan Ploso, kecamatan Salaman, Kabupaten
Magelang, Jawa Tengah.

Sebelum Islam datang kepercayaan Animisme dan Dinamisme serta agama Hindu dan
Budha telah lebih dahulu berkembang di Indonesia khususnya pulau Jawa. Islam diterima di
masyarakat Jawa dengan mudah dan damai, karena para da`i memiliki sikap toleransi yang
tinggi terhadap kebudayaan Jawa. Islam tidak perlu mengubah struktur budaya dan
kepercayaan yang telah ada, melainkan tinggal melestarikannya dengan siraman Islam.
Keadaan demikian memberikan dampak pada pandangan yang tidak mempersoalkan suatu
agama itu benar atau salah, suka memadukan unsur-unsur dari berbagai agama yang pada
dasarnya berbeda bahkan berlawanan.

Pandangan hidup orang jawa merupakan perwujudan dari kepercayaan terhadap adi
kodrati (Allah), selain itu masyarakat Jawa juga menghormati nenek moyang yang sudah
meninggal. Sikap hormat tersebut diungkapkan dengan cara mengunjungi makam nenek
moyang untuk minta berkah dan berdoa agar mendapat kemudahan dalam menjalani lingkaran
hidup. Mengunjungi makam biasanya dilakukan sebelum mengadakan salah satu upacara
lingkaran hidup dalam keluarga atau upacara yang berhubungan dengan hari besar Islam.
Dalam masyarakat Jawa mengunjungi makam yang penting ketika Nyadran. Pada waktu
nyadran makam-makam dibersihkan dan ditaburi bunga (nyekar) yang kemudian dibacakan
doa sambil membakar dupa. Masyarakat mengadakan tradisi Nyadran pada umumnya ketika
menjelang puasa, tepatnya sehari sebelum puasa Ramadhan. Selain disebut dengan tradisi
Nyadran, ada sebagian masyarakat menyebutnya dengan sebutan ruwahan.

B.Rumusan Masalah

1. Bagaimana bentuk upacara nyadran di Desa Padegan Ploso.


2. Mengetahui apa itu nyadran dan sejauh mana masyarakat menghayati nilai yang
terkandung dari suatu tradisi kebudayaan nenek moyang.
3. Apa fungsi Tradisi Nyadran bagi masyarakat dan mengapa tradisi Nyadran tetap
bertahan.
BAB II

PEMBAHASAN

A.Sejarah Nyadran

Lantas kapan sebenarnya tradisi nyadranbagi orang Jawa itu dilakukan? Hampir tak ada
yang tahu persis. Namun dalam ajaran Islam, bulan Syaban yang datang menjelang Ramadhan
merupakan bulan pelaporan atas amal perbuatan manusia.

Maka, di sejumlah tempat diadakan sadranan yang maknanya adalah melaporkan segala
daya dan upaya yang telah dilakukan selama setahun, untuk nantinya manusia berintrospeksi.
Dalam masyarakat jawa, tradisi atau ritual nyadran sendiri sudah ada pada masa Hindu-Buda,
jauh sebelum agama Islam masuk.

Saat itu, nyadran dimaknai sebagai sebuah ritual yang berupa penghormatan kepada
arwah nenek moyang dan memanjatkan doa keselamatan. Saat agama Islam masuk ke Jawa
pada sekitar abad ke-13, ritual semacam nyadran dalam tradisi Hindu-Buda lambat laun
terakulturasi dengan nilai-nilai Islam.

Akulturasi ini makin kuat ketika Walisongo menjalankan dakwah ajaran Islam di Jawa
mulai abad ke-15. Pribumisasi ajaran Islam membuahkan sejumlah perpaduan ritual, salah
satunya budaya nyadran. Oleh karena itu, nyadran bisa jadi merupakan modifikasi para wali
ketika memperkenalkan agama Islam di tanah Jawa.

Langkah itu ditempuh para wali, karena untuk melakukan persuasi yang efektif terhadap
orang Jawa, agar mau mengenali dan masuk Islam. Nyadranpun menjadi media siar agama
Islam. Selain ritual nyadran, salah satu kompromi atau akulturasi budaya Jawa dalam islam
berupa penempatan nisan di atas jenazah yang dikuburkan.

Batu nisan tersebut sebagai penanda keberadaan si jenazah, agar kelak anak-cucunya dan
segenap keturunannya bisa mendatangi untuk ziarah, mendoakan sang arwah, sewaktu-waktu.
Bagi sebagian besar masyarakat pedesaan di Jawa, mudik terdiri atas dua arus. Arus besar
pertama terjadi dalam rangka menyongsong lebaran, atau Idul Fitri.

Sedangkan arus kedua terjadi pada saat ruwahan menjelang bulan puasa. Namun para
perantau kerap memposisikan nyadran lebih tinggi dibanding Hari Raya idul Fitri. Setidaknya,
para akan lebih memilih mudik pada saat ruwahan, dibanding pada lebaran.

Apalagi ketika kemudian tradisi mudik lebaran juga berarti masa perjuangan penuh
risiko, seperti transportasi yang semakin mahal, jalanan macet dan seterusnya. Pada saat mudik
nyadran, biasanya pula orang-orang Jawa di perantauan akan berusaha mengalokasikan
anggaran untuk perbaikan batu nisan atau kompleks makam keluarga, makam para leluhur
yang dihormati.
B.Upacara Nyadran

Nyadran di Desa Padegan Ploso biasa dilaksanakan bertepatan dengan tanggal 20


Syaban setiap tahunnya. Sebagaimana adat kebiasaan yang telah berlangsung, acara diadakan
di dalam area makam. Mulai terbit fajar telah datang merayap, para peziarah dengan bawaan
bakul dan tenong (rantang) yang berisi daharan sak ubo rampe-nya. Nasi, sayur, ayam
ingkung, bakmi, sayur kentang atau krecek merupakan menu yang telah dipersiapkan sejak
jago kluruk pertama terdengar dini hari. Kebanyakan diantara para hadirin terdiri atas kaum
laki-laki. Beberapa kaum ibu memang datang, namun bisa dihitung dengan jari. Adapun anak-
anak, baik laki maupun perempuan ada yang sengaja diajak orang tuanya untuk
memperkenalkan tradisi leluhur. Tidak kurang dari seratusan orang memadati sepanjang jalan
makam. Setelah dirasa segenap warga hadir, acara inti diawali dengan tahlilan bersama yang
dipimpin oleh orang yang dituakan / sesepuh kampung.

Selepas pembacaan tahlil, acara dilanjutkan dengan kembul bujono dengan alas daun
pisang utuh yang telah disediakan di tengah kalangan. Nasi putih segera dicecer di tepian daun
pisang. Ayam ingkung segera dicuwel, satu per satu dibagi rata. Sayur krecek dan bakmi
segera tertebar menyelimuti nasi putih. Kemudian hadirinpun dipersilakan makan bersama.
Makan dengan cara demikian merupakan perwujudan semangat kebersamaan, rasa gotong
royong dan keguyuban diantara sesama warga. Inilah harta karun paling berharga yang
diwariskan para pendahulu bangsa kepada anak cucunya. Mangan ora mangan sing penting
kumpul.

C.Makna yang terkandung dari Upacara Nyadran

Tradisi yang hingga saat ini masih berlangsung di masyarakat pedesaan itu mempunyai
makna simbolis, hubungan diri orang Jawa dengan para leluhur, dengan sesama, dan tentu saja
dengan Tuhan. Tradisi nyadran intinya berupa ziarah kubur pada bulan Syaban (Arab), atau
Ruwah dalam kalender Jawa, menjadi semacam kewajiban bagi orang Jawa. Ziarah dengan
membersihkan makam leluhur, memanjatkan doa permohonan ampun, dan tabur bunga
tersebut adalah simbol bakti dan ungkapan penghormatan serta terima kasih seseorang terhadap
para leluhurnya.

Makna yang terkandung dalam persiapan puasa di bulan Ramadan adalah agar orang
mendapatkan berkah dan ibadahnya diterima Allah. Lewat ritual nyadran, masyarakat Jawa
melakukan penyucian diri. Mereka mengunjungi makam leluhur, membersihkan batu-batu
nisan dari rumput liar dan ilalang, dan melakukan kendurian. Meski bentuk kegiatan sama,
namun makna nyadran sangat berbeda dengan ziarah kubur. Perbedaan itu, antara lain karena
waktu pelaksanaan ritual nyadran telah ditentukan secara sepihak oleh pihak yang memiliki
otoritas di daerah tersebut. Di hampir semua desa, pihak yang berwenang menentukan waktu
nyadran adalah juru kunci, tetua desa, atau sosok yang paling dituakan dalam masyarakat.

Berbeda dengan ziarah kubur, ritual nyadran dilakukan secara kolektif, melibatkan
seluruh warga desa. Ritual nyadran ini biasanya dilakukan di dua pusat bangunan desa, yaitu
makam dan masjid. Setelah melakukan bersih makam, acara beralih pada kenduri yang
biasanya digelar di masjid atau makam desa. Sebagaimana kenduri pada umumnya, agendanya
adalah berdoa dan makan nasi berkatan, yaitu berupa nasi tumpeng dengan lauk ingkung ayam,
urapan, buah-buahan, serta jajan. Di beberapa desa yang tradisi nyadran-nya masih kuat,
masyarakat meletakkan aneka sesaji dalam sebuah tenong, yaitu nampan bulat yang terbuat
dari anyaman bambu, dengan alas daun pisang atau daun jati. Satu tenong dikepung beberapa
orang sekaligus. Ketika acara doa atau tahlilan selesai, maka mereka akan makan beramai-
ramai.

Makna simbolis dari ritual nyadran atau ruwahan itu sangat jelas, bahwa saat memasuki
bulan Ramadhan atau puasa, mereka harus benar-benar bersih, yang antara lain diupayakan
dengan cara harus berbuat baik terhadap sesama, juga lingkungan sosialnya. Melalui rangkaian
tradisi nyadran itulah orang Jawa merasa lengkap dan siap untuk memasuki ramadhan, bulan
suci yang penuh berkah itu. Sebab, bagi orang Jawa, nyadran juga berarti sebuah upaya untuk
lebih mendekatkan diri kepada Tuhan, memperbaiki hubungan baik dengan masyarakat dan
lingkungan, serta menunjukkan bakti kepada para leluhur mereka.

D.Tradisi Nyadran yang masih terjaga

Meski penduduk desa ini telah mengenal peradaban kota dan dunia modern, tetapi
mereka tetap menjaga eksistensi budaya yang ada. Salah satu buktinya adalah Nyadran.
Nyadran adalah sebuah perayaan yang dilakukan oleh penduduk, biasanya di desa, setiap
menjelang bulan ramadhan, tetapi kadang ada pula yang dilakukan di bulan lain. Jadi, upacara
adat ini sangat berkaitan dengan warisan budaya Islam.

Pada hari-H sebagian penduduk desa yang berada di kota besar pulang kampung untuk
mendoakan arwah leluhur mereka. Pada pukul 7 pagi, semua warga desa berbondong-bondong
datang ke lapangan, atau area lain yang terletak di sebelah makam. Bahkan tetangga desa pun
ikut datang ke sana. Mereka datang dengan membawa berbagai makanan, yang biasanya
disertai ingkung, masakan ayam goreng yang masih utuh belum dipotong-potong. Setelah
semua warga berkumpul, baik tua maupun muda, laki maupun perempuan, acara yang
dipimpin bapak bayan, istilah bagi kepala dusun, dimulai. Upacara dilanjutkan dengan pidato
bapak lurah, lalu tahlil dimulai dengan dipimpin bapak kaum atau sering disebut pemuka
agama di desa. Tujuan dari tahlil ini adalah untuk mendoakan arwah leluhur yang telah
meninggal mendahului mereka. Setelah itu mereka beramai-ramai menyantap makanan
mereka. Tak lupa mereka saling berbagi makanan satu sama lain.

E.Kontroversi

Apa yang menjadi latar belakang munculnya pro dan kontra mengenai nyadran di Desa
Padegan Ploso dan kalangan mana yang terlibat kontroversi. Akar dari kontroversi itu
sebenarnya berawal dari campurnya unsur animisme, hindu, dan Islam dalam ritual inti
nyadran dan kemudian melebar ke rangkaian-rangkaian acara untuk memeriahkan upacara itu.
Kalangan muslim modernis (Muhammadiyah) menolak digelarnya upacara nyadran dan
perayaan-perayaan yang menyertainya, sedangkan kalangan muslim tradisionalis (NU)
mendukung.

Bagi mereka yang kontra, nyadran dianggap sebagai pesta hura-hura yang mengambur-
hamburkan uang karena dimeriahkan dengan berbagai pertunjukan yang sering tidak ada
hubunganya dengan pesan dari ritual nyadran itu sendiri sebagai syukuran. Rasa syukur boleh
diungkapkan dengan berbagai cara. Bahkan nyadran bisa menjadi syiar Islam seperti yang
dilakukan oleh Walisongo dahulu. Menurut sudut pandang NU, jika nyadran dihukumi haram,
maka sudah dari dulu dilarang oleh para penyebar Islam di Jawa.

Kontroversi yang muncul adalah berakar dari masalah dasar kenyakinan keagamaaan
(akidah). Pihak yang menentang (kalangan Muhammadiyah) mempunyai alasan mereka sendiri
menolak tradisi nyadran. Mereka berhujah bahwa tradisi leluhur itu mengandung bidah dan
syirik sehingga mengancam iman Islam. Pihak yang memperkenankan (NU) justru melihat
tradisi nyadran sebagai alat syiar Islam., pro dan kontra tentang masalah ini hanyalah
perbedaan dalam sudut pandang dalam melihat kebudayaan lokal, selain tendensi ekonomi
yang ada dibelakangnya.

Anda mungkin juga menyukai