Anda di halaman 1dari 11

BAB I

PENDAHULUAN

A. Latar Belakang Masalah

Budaya masyarakat yang sudah melekat erat menjadikan


masyarakat Jawa sangat menjunjung tinggi nilai-nilai luhur dari
kebudayaan itu. Salah satu wujud kebudayaan yang seringkali dikenal oleh
masyarakat Jawa adalah tradisi nyadran. Tradisi nyadran ini dilakukan
secara turun-temurun. Sebagaimana ritual dalam penanggalan Jawa
lainnya, seperti Suranan, Muludan, dan Syawalan. Esensi nyadran adalah
memanjatkan doa kepada Tuhan agar diberi keselamatan dan
kesejahteraan. Tradisi ini merupakan salah satu warisan budaya nenek
moyang kita, yang patut untuk dilestarikan.

Budaya masyarakat yang senantiasa dilestarikan dan dijaga


keberlasungannya akan membentuk sebuah tradisi. Dimana tradisi tersebut
merupakan ciri khusus yang mereka jaga eksistensinya. Namun, dengan
munculnya masa moderenisasi yang ditandai dengan perkembangan Ilmu
Pengetahuan dan Teknologi (IPTEK) yang kian tak terbatas telah banyak
mempengaruhi perilaku indifidu dalam masyarakat. Hingga berdampak
pula pada budaya-budaya yang sejak awal telah dibentuk oleh masyarakat
sendiri. Adapun faktor yang dapat mempengaruhi Tradisi Nyadran antara
lain , untul menghormati leluhur yang telah menciptakan tradisi nyadran,
misalnya sebagai salah satu bentuk penghormatan kepada sesepuh Dusun
yang sangat ditokohkan dan disebut-sebut sebagai orang pertama yang
mendirikan Dusun itu. Dan masih banyak lagi. Upacara nyadran juga
mempunyai beberapa nilai yang terkandung didalamnya antara lain nilai
keagamaan. Nilai keagamaan yang terkandung dalam Trdisi Nyadran
adalah masyarakat meyakini bahwa segala yang mereka dapatkan baik
berupa kesehatan ataupun kemakmuran datangnya dari Tuhan YME.
Untuk itu perlu adanya ungkapan rasa syukur dengan menyempatkan diri
menyisihkan waktu dan hartanya yang dalam tradisi nyadran dikemas
dalam bentuk syukuran (makan bersama), ceramah agama, dan do’a
bersama. Selain itu juga masih banyak nilai-nilai yang terkandung dalam
tradisi Nyadran ini.

Menurut orang jawa, melestarikan tradisi bertujuan untuk


mengingatkan manusia agar tidak lupa dengan asal-usulnya. Ketika
manusia semakin jauh melangkahkan kaki dari asalnya, maka semakin
rentan baginya untuk melupakan tradisi yang dibentuk oleh leluhurnya.
Bertitik tolak pada hal-hal diatas maka penulis mengangkat masalah
tentang tradisi Nyadran.

B. Rumusan Masalah

Permasalahan dalam makalah ini data dirumuskan sebagai berikut:

1. Apa yang dimaksud tradisi nyadran ?


2. Bagaimana tradisi nyadran itu bisa terjadi ?

C. Tujuan Penulisan
Tujuan yang hendak dicapai dalam pembahasan ini antara lain:
1. Untuk menambah wawasan dan pengetahuan mengenai tradisi zaman
praaksara yang masih dipertahankan.
2. mengulas kembali apa yang disebut Nyadran itu
3. Untuk memenuhi tugas guru mata pelajaran Sejarah.
BAB II

PEMBAHASAN

A. Pengertian Nyadran
Nyadran berasal dari bahasa Sansekerta, sraddha yang artinya
keyakinan. Nyadran adalah tradisi pembersihan makam oleh masyarakat
Jawa, umumnya di pedesaan. Dalam bahasa Jawa, Nyadran berasal dari
kata sadran yang artiya ruwah syakban. Nyadran adalah suatu rangkaian
budaya yang berupa pembersihan makam leluhur, tabur bunga, dan
puncaknya berupa kenduri selamatan di makam leluhur. Secara etimologi
nyadran dapat diartikan sebagai satu bentuk tradisi layaknya kenduri yang
menggunakan sarana tertentu yang biasanya berwujud makanan besekan.
Sementara makanan yang biasanya harus ada saat nyadran adalah berujud
ketan, kolak, serta apem. Upacara kenduri itu dimaksudkan untuk
menghormati arwah para leluhur keluarga tertentu. Dalam upacara itu,
selain kenduri, biasanya juga dilakukan ziarah kubur dengan membawa
bunga-bungaan, terutama bunga telasih, sebagai lambang masih adanya hu
bungan yang akrab dan selalu segar antara si peziarah dan arwah leluhur
yang diziarahi.
Menurut catatan sejarah, tradisi nyadran memiliki kesamaan
dengan tradisi craddha yang ada pada zaman kerajaan Majapahit (1284).
Kesamaannya terletak pada kegiatan manusia berkaitan dengan leluhur
yang sudah meninggal, seperti pengorbanan, sesaji, dan ritual sesembahan
yang hakikatnya adalah bentuk penghormatan terhadap yang sudah
meninggal. Secara etimologis, kata craddha berasal dari bahasa Sansekerta
“sraddha” yang artinya keyakinan, percaya atau kepercayaan. Masyarakat
Jawa kuno meyakini bahwa leluhur yang sudah meninggal, sejatinya
masih ada dan memengaruhi kehidupan anak cucu atau keturunannya.
Oleh karena itu, mereka sangat memperhatikan saat atau waktu, hari dan
tanggal meninggalnya leluhur. Pada waktu-waktu (saat) itu, mereka yang
masih hidup diharuskan membuat sesaji berupa kue, minuman, atau
kesukaan yang meninggal. Selanjutnya, sesaji itu ditaruh di meja, ditata
rapi, diberi bunga setaman, dan diberi penerangan berupa lampu.
Ketika Islam datang ke pulau Jawa mulai abad ke-13, banyak
tradisi Hindu-Buddha yang terakulturasi dengan ajaran Islam. Akulturasi
ini makin kuat ketika Walisongo menjalankan dakwah Islam di Jawa mulai
abad ke-15. Proses pengislaman atau pribumisasi ajaran Islam,
berlangsung sukses dan membuahkan sejumlah perpaduan ritual, salah
satunya adalah tradisi sraddha yang menjadi nyadran.
Dari pengaruh agama Islam pula makna nyadran mengalami
pergeseran, dari sekadar berdoa kepada Tuhan, menjadi ritual pelaporan
dan wujud penghargaan kepada bulan Sya’ban atau Nisfu Sya’ban. Ini
dikaitkan dengan ajaran Islam bahwa bulan Sya’ban yang datang
menjelang Ramadhan, merupakan bulan pelaporan atas amal perbuatan
manusia. Oleh karena itu, pelaksanaan ziarah juga dimaksudkan sebagai
sarana introspeksi atau perenungan terhadap segala daya dan upaya yang
telah dilakukan selama setahun. Saat itu, nyadran dimaknai sebagai sebuah
ritual yang berupa penghormatan kepada arwah nenek moyang dan
memanjatkan doa keselamatan. Saat agama Islam masuk ke Jawa pada
sekitar abad ke-13, ritual semacam nyadran dalam tradisi Hindu-Buda
lambat laun terakulturasi dengan nilai-nilai Islam.

Akulturasi ini makin kuat ketika Walisongo menjalankan dakwah


ajaran Islam di Jawa mulai abad ke-15. Pribumisasi ajaran Islam
membuahkan sejumlah perpaduan ritual, salah satunya budaya nyadran.
Oleh karena itu, nyadran bisa jadi merupakan “modifikasi’ para wali
ketika memperkenalkan agama Islam di tanah Jawa. Langkah itu ditempuh
para wali, karena untuk melakukan persuasi yang efektif terhadap orang
Jawa, agar mau mengenali dan masuk Islam. Nyadran pun menjadi media
siar agama Islam. Selain ritual nyadran, salah satu kompromi atau
akulturasi budaya Jawa dalam islam berupa penempatan nisan di atas
jenazah yang dikuburkan.
Batu nisan tersebut sebagai penanda keberadaan si jenazah, agar
kelak anak-cucunya dan segenap keturunannya bisa mendatangi untuk
ziarah, mendoakan sang arwah, sewaktu-waktu. Bagi sebagian besar
masyarakat pedesaan di Jawa, mudik terdiri atas dua arus. Arus besar
pertama terjadi dalam rangka menyongsong lebaran, atau Idul Fitri.
Sedangkan arus kedua terjadi pada saat ruwahan menjelang bulan puasa.
Namun para perantau kerap memposisikan nyadran lebih tinggi dibanding
Hari Raya idul Fitri. Setidaknya, para akan lebih memilih mudik pada saat
ruwahan, dibanding pada lebaran. Apalagi ketika kemudian tradisi mudik
lebaran juga berarti masa perjuangan penuh risiko, seperti transportasi
yang semakin mahal, jalanan macet dan seterusnya. Pada saat mudik
nyadran, biasanya pula orang-orang Jawa di perantauan akan berusaha
mengalokasikan anggaran untuk perbaikan batu nisan atau kompleks
makam keluarga, makam para leluhur yang dihormati.

B. Pelaksanaan nyadran

Tempat-tempat yang digunakan dalam tradisi nyadran biasanya


berupa makam leluhur atau tokoh besar yang banyak berjasa bagi syiar
agama. Lazimnya kegiatan nyadran dilakukan dengan ziarah ke makam-
makam leluhur atau orang besar (para tokoh) yang berpengaruh dalam
menyiarkan agama Islam pada masa lalu. Masyarakat di satu daerah
memiliki lokasi ziarah masing-masing. Waktu pelaksanaan nyadran
biasanya dipilih pada tanggal 15, 20, dan 23 Ruwah atau sya’ban.
Pemilihan tanggal nyadran itu, di samping berdasar kesepakatan, juga
berdasar paham mudhunan dan munggahan, yaitu paham yang meyakini
bulan Ruwah sebagai saat turunnya arwah para leluhur untuk mengunjungi
anak cucu di dunia.

Prosesi ritual nyadran biasanya dimulai dengan membuat kue


apem, ketan, dan kolak. Adonan tiga jenis makanan dimasukkan ke dalam
takir, yaitu tempat makanan terbuat dari daun pisang, di kanan kiri
ditusuki lidi (biting). Kue-kue tersebut selain dipakai munjung/ater-ater
(dibagi-bagikan) kepada sanak saudara yang lebih tua, juga menjadi
ubarampe (pelengkap) kenduri. Tetangga dekat juga mendapatkan bagian
dari kue-kue tadi. Hal itu dilakukan sebagai ungkapan solidaritas dan
ungkapan kesalehan sosial kepada sesama.

Selesai melakukan pembersihan makam, masyarakat kampung


menggelar kenduri yang berlokasi di sepanjang jalan menuju makam atau
lahan kosong yang ada di sekitar makam leluhur (keluarga). Kenduri
dimulai setelah ada bunyi kentongan yang ditabuh dengan kode dara
muluk (berkepanjangan). Lalu seluruh keluarga dan anak-anak kecil serta
remaja hadir dalam acara kenduri itu. Tiap keluarga biasanya akan
membawa makanan sekadarnya, beragam jenis, lalu duduk bersama dalam
keadaan bersila. Kemudian, kebayan desa membuka acara, isinya
bermaksud untuk mengucapkan rasa syukur dan terima kasih kepada
warga yang sudah bersedia menyediakan makanan, ambengan, dan lain-
lain termasuk waktunya.

Setelah itu, Mbah Kaum (ulama lokal) yang sudah dipilih menjadi
rois, maju untuk memimpin doa yang isinya memohon maaf dan ampunan
atau dosa para leluhur atau pribadi mereka kepada Tuhan Yang
Mahakuasa.

Doanya menggunakan tata cara agama Islam, warga dan anak-anak


mengamini. Suasana ceria anak-anak tergambar dengan semangat
melafalkan amin sambil berteriak. Selesai berdoa, semua yang hadir
mencicipi makanan yang digelar.
Pada saat itu ada yang tukar-menukar kue, ada yang asyik ngobrol dengan
kanan-kiri, maklum beberapa warga pulang dari perantauan hadir dalam
kenduri. Biasanya Mbah Kaum diberi uang wajib dan makanan
secukupnya, sedangkan yang tak hadir atau si miskin diberi gandhulan,
nasi, kue yang dikemas khusus kemudian diantar ke rumah yang sudah
disepakati diberi gandhulan. Dari tata cara tersebut, jelas nyadran tidak
sekadar ziarah ke makam leluhur, tetapi juga ada nilai-nilai sosial budaya,
seperti budaya gotongroyong, guyub, pengorbanan, ekonomi. Bahkan,
seusai nyadran ada warga yang mengajak saudara di desa ikut merantau
dan bekerja di kota-kota besar.

Makna simbolis dari ritual nyadran atau ruwahan itu sangat jelas,
bahwa saat memasuki bulan Ramadhan atau puasa, mereka harus benar-
benar bersih, yang antara lain diupayakan dengan cara harus berbuat baik
terhadap sesama, juga lingkungan sosialnya. Melalui rangkaian tradisi
nyadran itulah orang Jawa merasa lengkap dan siap untuk memasuki
ramadhan, bulan suci yang penuh berkah itu. Sebab, bagi orang Jawa,
nyadran juga berarti sebuah upaya untuk lebih mendekatkan diri kepada
Tuhan, memperbaiki hubungan baik dengan masyarakat dan lingkungan,
serta menunjukkan bakti kepada para leluhur mereka. Menurut Fandi
Hutari (2009), aneka makanan, kemenyan, dan bunga yang tersaji dalam
tradisi nyadran memiliki arti simbolis, antara lain:

a. Tumpeng, melambangkan sebuah pengharapan kepada Tuhan agar


permohonan terkabul.
b. Ingkung (ayam yang dimasak utuh) melambangkan manusia
ketika masih bayi belum mempunyai kesalahan.
c. Pisang raja, melambangkan suatu harapan supaya kelak hidup
bahagia; jajan pasar melambangkan harapan berkah dari Tuhan.
d. Ketan, kolak, dan apem, merupakan satu-kesatuan yang
bermakna permohonan ampun jika melakukan kesalahan.
e. Kemenyan merupakan sarana permohonan pada waktu berdoa.
f. Bunga, melambangkan keharuman doa yang keluar dari hati tulus.
Beraneka “bawaan” tersebut merupakan unsur sesaji sebagai dasar
landasan doa. Setelah berdoa, makanan-makanan tersebut menjadi
rebutan para peziarah yang hadir. Inilah arti kebersamaan dalam
tradisi nyadran.

Selain makna-makna tersebut, nyadran juga memiliki makna


sosial. Ketika masyarakat melaksanakan nyadran, mereka harus bekerja
bersama. Ada unsur gotong-royong, kebersamaan, kasih sayang, dan
pengorbanan di dalamnya. Nyadran juga menjadi ajang silaturahmi antar
anggota masyarakat. Karena itulah, tradisi nyadran akrab dengan nilai
kearifan lokal bangsa kita. Di sini ada hubungan kekerabatan,
kebersamaan, kasih sayang di antara warga atau anggota trah. Di samping
itu, semakin jelas adanya nilai transformasi budaya dan tradisi dari yang
tua kepada yang muda.
C. Dampak Tradisi Nyadran
Pada perkembangannya, tradisi nyadran mengalami perluasan
makna. Bagi mereka yang pulang dari rantauan, nyadran dikaitkan dengan
sedekah, beramal kepada para fakir miskin, membangun tempat ibadah,
memugar cungkup dan pagar makam. Kegiatan tersebut sebagai wujud
balas jasa atas pengorbanan leluhur, yang sudah mendidik, membiayai
ketika anak-anak, hingga menjadi orang yang sukses. Bagi perantau yang
sukses dan kebetulan diberi rezeki berlimpah, pulang nyadran dengan
beramal merupakan manifestasi hormat dan penghargaan kepada leluhur.
Pelestarian tradisi nyadran merupakan wujud pelestarian budaya
adhiluhung peninggalan nenek moyak, terdapat sejumlah kearifan dalam
prosesi tradisi nyadran yang sangat relevan dengn konteks kekinian.
Hal ini karena prosesi nyadran tidak hanya sekedar gotong royong
membersihkan makam leluhur, selamatan dengan kenduri, dan membuat
kue apem ketan kolak sebagai unsur utama sesaji. Lebih dari itu, nyadran
menjelma menjadi ajang silaturahmi, wahana perekat sosial, sarana
membangun jati diri bangsa, rasa kebangsaan dan nasionalisme. Saat
pelaksanaan nyadran, kelompok-kelompok keluarga atau trah tertentu,
tidak terasa terkotak-kotak dalam status sosial, kelas, agama, golongan,
partai politik, dan sebagainya. Perbedaan itu lebur, karena mereka
berkumpul menjadi satu, berbaur, saling mengasihi, saling menyayangi
satu sama lain.
Seusai nyadran ada warga yang mengajak saudara di desa ikut
merantau dan bekerja di kota-kota besar. Di sinilah ada hubungan
kekerabatan, kebersamaan, kasih sayang di antara warga atau anggota trah.
Terasa sekali, warga sekampung seakan satu keturunan. Jika spirit nyadran
itu bila dibawa dalam konteks negara, maka akan menjadikan Indonesia
yang rukun, ayom, ayem dan tenteram.

BAB III

PENUTUP

A. Simpulan
Dari uraian diatas dapat disumpulakan bahwa. Tradisi nyadran
adalah Tradisi yang tidak harus di tinggalkan karena tradisi nyadran untuk
mengajak masyarakat berbaur, besatu, dan menjalin silaturahim antar
sesama manusia, leluhur. Menurut tradisi nyadran saat ini yang dilakukan
masyarakat adalah tradisi yang dilaksanakan pada zaman wali songo selain
mengajak masyarakat untuk sialaturahim tapi juga untuk menjunjung
tinggi nilai-nilai keagamaan. Sehingga pola pikir manusia tidak
menganggapnya sesuatu yang biasa, tetapi tradisi nyadran adalah sesuatu
tradisi yang mempunyai sakral.

B. Saran

Untuk menjaga kesetabialan kepada masyarakat dalam


menjalankan tradisi nyadran maka setiap menjelang bulan Ramadhan,
yaitu Sya'ban atau Ruwah jangan melupakan, karena itu untuk menjaga
melestarikan yang diperuntukan bagi penduduk terutama yang beragama
Islam. Maka dari itu rasa saling memiliki dan tanggung jawab diterapkan
oleh masyarakat Islam sejak kecil, untuk selalu mengingat dan
bersilaturahim kepada para leluhurnya. Namun hal ini dilakaukan sesuai
dengan kepercayaan pribadi masing-masing.

DAFTAR PUSTAKA

http://de-kill.blogspot.com/.html . Tradisi Nyadran Masyarakat Jawa.


Diunduh pada tanggal 23 Oktober 2014 pukul 15.53 .

http://fhadhylha.blogspot.com/.html .TRADISI SEJARAH DALAM


MASYARAKAT INDONESIA MASA PRA AKSARA DAN
MASA AKSARA ( SejarahX). Diunduh pada tanggal 27 Oktober
2014 pukul 16.26 .

http://hidaimehosineda.blogspot.com/2014/01/makalah-etnografi-tradisi-
nyadran-di_11.html . Makalah Etnografi Tradisi Nyadran Di
Kabupaten Batang Desa Klidang Lor. Diunduh pada tanggal
23 Oktober 2014 pukul 15.50.

http://id.wikipedia.org/wiki/Nyadran . Nyadran. Diunduh pada tanggal 23


Oktober 2014 pukul 15.50

http://knowphyjo.blogspot.com/2011/01/nyadran.html. Tradisi Nyadran


Sebagai Transformasi Agama, Sosial, dan Budaya Masyarakat
Jawa. Diunduh pada tanggal 28 Oktober 2014 pukul 12.25.

http://nevilvilennivel.blogspot.com/.html . Tradisi Nyadran Masyarakat


Jawa Tengah. Diunduh pada tanggal 23 Oktober 2014 pukul
16.09 .

http://pariwisata.sidoarjokab.go.id/pesta_nyadran.php .Diunduh
pada tanggal 23 Oktober 2014 pukul 15.55.

http://thezeins.blogspot.com/2012/01/nyadran-dan-nyekar.html . Nyadran
dan Nyekar. Diunduh pada tanggal 23 Oktober 2014 pukul 16.12.

Anda mungkin juga menyukai