PENDAHULUAN
B. Rumusan Masalah
C. Tujuan Penulisan
Tujuan yang hendak dicapai dalam pembahasan ini antara lain:
1. Untuk menambah wawasan dan pengetahuan mengenai tradisi zaman
praaksara yang masih dipertahankan.
2. mengulas kembali apa yang disebut Nyadran itu
3. Untuk memenuhi tugas guru mata pelajaran Sejarah.
BAB II
PEMBAHASAN
A. Pengertian Nyadran
Nyadran berasal dari bahasa Sansekerta, sraddha yang artinya
keyakinan. Nyadran adalah tradisi pembersihan makam oleh masyarakat
Jawa, umumnya di pedesaan. Dalam bahasa Jawa, Nyadran berasal dari
kata sadran yang artiya ruwah syakban. Nyadran adalah suatu rangkaian
budaya yang berupa pembersihan makam leluhur, tabur bunga, dan
puncaknya berupa kenduri selamatan di makam leluhur. Secara etimologi
nyadran dapat diartikan sebagai satu bentuk tradisi layaknya kenduri yang
menggunakan sarana tertentu yang biasanya berwujud makanan besekan.
Sementara makanan yang biasanya harus ada saat nyadran adalah berujud
ketan, kolak, serta apem. Upacara kenduri itu dimaksudkan untuk
menghormati arwah para leluhur keluarga tertentu. Dalam upacara itu,
selain kenduri, biasanya juga dilakukan ziarah kubur dengan membawa
bunga-bungaan, terutama bunga telasih, sebagai lambang masih adanya hu
bungan yang akrab dan selalu segar antara si peziarah dan arwah leluhur
yang diziarahi.
Menurut catatan sejarah, tradisi nyadran memiliki kesamaan
dengan tradisi craddha yang ada pada zaman kerajaan Majapahit (1284).
Kesamaannya terletak pada kegiatan manusia berkaitan dengan leluhur
yang sudah meninggal, seperti pengorbanan, sesaji, dan ritual sesembahan
yang hakikatnya adalah bentuk penghormatan terhadap yang sudah
meninggal. Secara etimologis, kata craddha berasal dari bahasa Sansekerta
“sraddha” yang artinya keyakinan, percaya atau kepercayaan. Masyarakat
Jawa kuno meyakini bahwa leluhur yang sudah meninggal, sejatinya
masih ada dan memengaruhi kehidupan anak cucu atau keturunannya.
Oleh karena itu, mereka sangat memperhatikan saat atau waktu, hari dan
tanggal meninggalnya leluhur. Pada waktu-waktu (saat) itu, mereka yang
masih hidup diharuskan membuat sesaji berupa kue, minuman, atau
kesukaan yang meninggal. Selanjutnya, sesaji itu ditaruh di meja, ditata
rapi, diberi bunga setaman, dan diberi penerangan berupa lampu.
Ketika Islam datang ke pulau Jawa mulai abad ke-13, banyak
tradisi Hindu-Buddha yang terakulturasi dengan ajaran Islam. Akulturasi
ini makin kuat ketika Walisongo menjalankan dakwah Islam di Jawa mulai
abad ke-15. Proses pengislaman atau pribumisasi ajaran Islam,
berlangsung sukses dan membuahkan sejumlah perpaduan ritual, salah
satunya adalah tradisi sraddha yang menjadi nyadran.
Dari pengaruh agama Islam pula makna nyadran mengalami
pergeseran, dari sekadar berdoa kepada Tuhan, menjadi ritual pelaporan
dan wujud penghargaan kepada bulan Sya’ban atau Nisfu Sya’ban. Ini
dikaitkan dengan ajaran Islam bahwa bulan Sya’ban yang datang
menjelang Ramadhan, merupakan bulan pelaporan atas amal perbuatan
manusia. Oleh karena itu, pelaksanaan ziarah juga dimaksudkan sebagai
sarana introspeksi atau perenungan terhadap segala daya dan upaya yang
telah dilakukan selama setahun. Saat itu, nyadran dimaknai sebagai sebuah
ritual yang berupa penghormatan kepada arwah nenek moyang dan
memanjatkan doa keselamatan. Saat agama Islam masuk ke Jawa pada
sekitar abad ke-13, ritual semacam nyadran dalam tradisi Hindu-Buda
lambat laun terakulturasi dengan nilai-nilai Islam.
B. Pelaksanaan nyadran
Setelah itu, Mbah Kaum (ulama lokal) yang sudah dipilih menjadi
rois, maju untuk memimpin doa yang isinya memohon maaf dan ampunan
atau dosa para leluhur atau pribadi mereka kepada Tuhan Yang
Mahakuasa.
Makna simbolis dari ritual nyadran atau ruwahan itu sangat jelas,
bahwa saat memasuki bulan Ramadhan atau puasa, mereka harus benar-
benar bersih, yang antara lain diupayakan dengan cara harus berbuat baik
terhadap sesama, juga lingkungan sosialnya. Melalui rangkaian tradisi
nyadran itulah orang Jawa merasa lengkap dan siap untuk memasuki
ramadhan, bulan suci yang penuh berkah itu. Sebab, bagi orang Jawa,
nyadran juga berarti sebuah upaya untuk lebih mendekatkan diri kepada
Tuhan, memperbaiki hubungan baik dengan masyarakat dan lingkungan,
serta menunjukkan bakti kepada para leluhur mereka. Menurut Fandi
Hutari (2009), aneka makanan, kemenyan, dan bunga yang tersaji dalam
tradisi nyadran memiliki arti simbolis, antara lain:
BAB III
PENUTUP
A. Simpulan
Dari uraian diatas dapat disumpulakan bahwa. Tradisi nyadran
adalah Tradisi yang tidak harus di tinggalkan karena tradisi nyadran untuk
mengajak masyarakat berbaur, besatu, dan menjalin silaturahim antar
sesama manusia, leluhur. Menurut tradisi nyadran saat ini yang dilakukan
masyarakat adalah tradisi yang dilaksanakan pada zaman wali songo selain
mengajak masyarakat untuk sialaturahim tapi juga untuk menjunjung
tinggi nilai-nilai keagamaan. Sehingga pola pikir manusia tidak
menganggapnya sesuatu yang biasa, tetapi tradisi nyadran adalah sesuatu
tradisi yang mempunyai sakral.
B. Saran
DAFTAR PUSTAKA
http://hidaimehosineda.blogspot.com/2014/01/makalah-etnografi-tradisi-
nyadran-di_11.html . Makalah Etnografi Tradisi Nyadran Di
Kabupaten Batang Desa Klidang Lor. Diunduh pada tanggal
23 Oktober 2014 pukul 15.50.
http://pariwisata.sidoarjokab.go.id/pesta_nyadran.php .Diunduh
pada tanggal 23 Oktober 2014 pukul 15.55.
http://thezeins.blogspot.com/2012/01/nyadran-dan-nyekar.html . Nyadran
dan Nyekar. Diunduh pada tanggal 23 Oktober 2014 pukul 16.12.