Anda di halaman 1dari 18

MAKALAH

TRADISI NYADRAN

Disusun untuk memenuhi tugas

Mata Kuliah : Islam dan Budaya Jawa

Dosen Pengampu : Bp.Anang Haris Himawan, S.Ag., M.Pd.

Oleh :

Erwina Kurnia Sari (212131085)

KELAS 1 B
JURUSAN HUKUM PIDANA ISLAM
FAKULTAS SYARIAH
UIN RADEN MAS SAID SURAKARTA
2021
KATA PENGANTAR

Assalamualaikum wr wb
Puji syukur kami panjatkan atas kehadirat Allah SWT yang telah melimpahkan rahmat dan
hidayah nya dan tidak lupa sholawat serta salam kami panjatkan kepada Nabi Besar kita
Muhammad SAW. Semoga makalah ini dapat dipergunakan sebagai salah satu acuan,
petunjuk maupun pedoman bagi para pembaca.
Kami juga mengucapkan terimakasih kepada dosen pengampu mata kuliah Islam dan Budaya
Jawa, serta teman teman yang telah membantu kami dalam pembuatan makalah ini, sehingga
kami dapat menyelesaikan makalah ini yang berjudul ‘’ TRADISI NYADRAN“
Kami menyadari bahwa masih terdpat kekurangan dalam makalah ini, sehingga kami
senantiasa terbuka untuk menerima saran dan kritik pembaca demi penyempurnaan makalah
berikutnya. Semoga makalah ini dapat bermanfaat bagi kita semua.
Wasalamualaikum Wr Wb.

i
DAFTAR ISI

KATA PENGANTAR...............................................................................................................i
DAFTAR ISI.............................................................................................................................ii
BAB I PENDAHULUAN
1. Latar Belakang...............................................................................................................1
2. Rumusan Masalah..........................................................................................................2
3. Tujuan Penelitian............................................................................................................2
BAB II PEMBAHASAN
1. Pengertian Nyadran........................................................................................................3
2. Asal Mula Tradisi Nyadran............................................................................................4
3. Nilai Nilai Filosofis Tradisi Nyadran.............................................................................5
4. Makna dan Symbol Tradisi Nyadran..............................................................................7
BAB 3 PENUTUP
1. Kesimpulan...................................................................................................................11
2. Saran.............................................................................................................................11
Daftar Pustaka
Lampiran

ii
BAB I

PENDAHULUAN

1. Latar Belakang

Masyarakat Jawa masih mempunyai akulturasi yang besar terhadap nilai-nilai Islam.
Terdapat kebudayaan Jawa yang tumbuh di daerah- daerah Islam yang menyebar di
Indonesia lewat kultur kebudayaan. Dilihat di wilayah dekat Pantura seperti Jepara,
Demak, Pati, Kudus, serta Rembang. Tradisi kebudayaan warga Jawa di wilayah ini
masih sangat kental dengan budaya serta adat istiadat kejawen ataupun tradisional.

Salah satu bentuk pusaka budaya yang hingga saat ini masih memiliki pewaris aktif
(active bearers) adalah upacara adat atau upacara tradisional. Upacara adat atau upacara
tradisional merupakan sebuah laku atau perbuatan dan tuturan tertentu yang dijalankan
oleh komunitas tertentu, dan tradisi yang diwarisi dari para leluhurnya. Upacara
tradisional merupakan sarana komunikasi, yakni komunikasi antara pelaku upacara
dengan lingkungannya dengan kekuatan gaib yang dipercaya dapat memberi
perlindungan atau solusi terhadap masalah yang membelit para pelaku dan pendukung
upacara. Upacara adat atau upacara tradisional yang masih dilestarikan dan masih ada
hinga saat ini yaitu salah satunya di Jawa Tengah tepatnya di Desa Kembangkuning
Cepogo Boyolali

Upacara adat di Kecamatan Cepogo ini dilaksanakan Pertengahan bulan Sa'ban


Ruwah dalam penanggalan Jawa, warga di Kabupaten Boyolali, Jawa Tengah menggelar
tradisi Sadranan. Sebuah tradisi kenduri di lokasi pemakaman umum untuk mendoakan
para leluhur yang telah meninggal dunia. Upacara adat atau upacara tradisional di Cepogo
disebut juga dengan nyadran atau nydranan yaitu upacara yang dipersembahkan untuk
sang pencipta kehidupan dan juga nenek moyang karena telah melimpahkan kesehatan
dan hasil panen yang bagus. Karena mayoritas penduduk Cepogo bermata pencaharian
sebagai petani maka bentuk rasa syukur para petani karena telah diberi keberhasilan
dalam panen padi yaitu dengan mengadakan upacara adat atau nyadranan tersebut. Tradisi
nyadran menjadi daya tarik tersendiri bagi masyarakat, karena kegiatan ini sangat
ditunggu-tunggu oleh seluruh warga, nyadranan selain menjadi upacara adat tradisional

1
yaitu menjadi kegiatan untuk saling berkumpul dengan keluarga dan tetangga untuk
menjalin interaksi yang lebih dekat.1

Semacam tradisi membagikan sedekah kerap dicoba oleh para keluarga Jawa pada
orang sebelah selaku bentuk rasa syukur atas nikmat yang diberikan Tuhan. Umumnya
aktivitas tersebut dicoba dengan metode bersama- sama di kediaman orang yang
mempunyai memiliki hajat ataupun kegiatan besar ataupun pada ketetapan hari- hari
besar. Dengan mengumpulkan para orang sebelah serta diiringi dengan doa kepada Si
Maha Kuasa. Tradisi adat tersebut umumnya dilaksanakan warga desa yang masih
melestarikan adat kejawen yang diketahui dengan slametan( shodaqoh keselamatan).

2. Rumusan Masalah
1.Apakah yang dimaksud dengan nyadran?
2.Bagaimana Asal mula/sejarah tradisi nyadran?
3.Apa nilai nilai filosofis tradisi nyadran?
4.Apa makna symbol yang dipakai dalam tradisi nyadran?
3. Tujuan Penelitian
1.Untuk mengetahui pemaknaan masyarakat atas nyadran di Cepogo Boyolali
2.Untuk mengetahui asal mula tradisi nyadran.
3.Untuk mengetahui nilai filosofis dari tradisi nyadran.
4.Untuk mengetahui makna symbol yang dipakai dalam tradisi nyadran.

1
Haikal Fikri Ardani,.2021.Penduduk Cepogo(wawancara pada 11 Oktober 2021 pukul
13.45)
2
BAB II

PEMBAHASAN

A. Pengertian Nyadran

Nyadran adalah serangkaian upacara yang dilakukan oleh masyarakat Jawa, terutama
Jawa Tengah.Nyadran berasal dari bahasa Sanskerta, sraddha yang artinya
keyakinan.Nyadran adalah tradisi pembersihan makam oleh masyarakat Jawa, umumnya di
pedesaan.Dalam bahasa Jawa, Nyadran berasal dari kata sadran yang artiya ruwah
syakban.Nyadran adalah suatu rangkaian budaya yang berupa pembersihan makam leluhur,
tabur bunga, dan puncaknya berupa kenduri selamatan di makam leluhur.

Nyadranan sebagai upacara tradisional adat jawa dilakukan demi mencapai ketentraman
hidup lahir dan batin. Dengan mengadakan upacara tradisional itu, orang jawa memenuhi
kebutuhan spiritualnya, eling marang purwaduksina. Kehidupan rohani orang jawa memang
bersumber dari ajaran agama yang diberi hiasan budaya lokal. Oleh karena itu, orientasi
kehidupan beragamaMorang jawa senantiasa memperhatikan nilai-nilai luhur yang telah
diwariskan oleh nenek moyangnya (upacara tradisional).

Setiap menjelang Ramadan, tepatnya pada bulan Sya’ban, masyarakat Jawa khususnya
Yogyakarta dan Jawa Tengah, selalu melakukan atau memperingati tradisi Nyadran. Budaya
yang telah dijaga selama ratusan tahun ini, dilakukan dengan cara bersih-bersih makam para
orang tua atau leluhur, kemudian membuat dan membagikan makanan tradisional, dan berdoa
atau selamatan bersama di sekitar area makam.

Dalam kalender Jawa, Bulan Ramadan disebut dengan Bulan Ruwah, sehingga Nyadran
juga dikenal sebagai acara Ruwah.Tradisi ini adalah hasil akulturasi budaya Jawa dengan
Islam.Nyadran menjadi bagian penting bagi masyarakat Jawa. Sebab, para pewaris tradisi ini
menjadikan Nyadran sebagai momentum untuk menghormati para leluhur dan ungkapan
syukur kepada Sang Pencipta. Biasanya, Nyadran diadakan satu bulan sebelum dimulainya
puasa, atau pada 15, 20, dan 23 Ruwah.

Masing-masing daerah di tanah Jawa punya ciri khas masing-masing dalam tradisi ini.
Masyarakat di Kabupaten Boyolali, Jawa Tengah menggelar tradisi Sadranan. Sebuah tradisi
kenduri di lokasi pemakaman umum untuk mendoakan para leluhur yang telah meninggal
dunia.Tradisi Sadranan atau Nyadran digelar masyarakat dibeberapa desa Kecamatan
Cepogo, Boyolali antara lain di Desa Sukabumi dan Mliwis.

3
Uniknya Sadranan di daerah Cepogo ini, setelah kenduri di lokasi makam setempat,para
warga datang ke tempat tersebut dengan membawa ambeng (tumpeng sederhana) dan makan-
makanan lain yang nantinya akan dimakan bersama dengan semua warga desa. Ambeng yang
dibawa berisikan beras yang yang menjadi nasi, sayur-sayuran, telur dan ayam yang menjadi
lauk, beras ataupun lauk pauk yang dibawa dan digunakan untuk tumpeng tersebut
merupakan hasil panen yang ditanan oleh warga Cepogo. Bahkan, warga juga saling bertukar
makanan. Bagi warga dari luar daerah yang tidak membawa makanan, tak perlu kecewa.
Warga setempat dengan senang hati akan memberikan makanan yang dibawanya.

Nyadran juga untuk meningkatkan integrasi antar warga karena acara nyadran ini dihadiri
oleh seluruh warga desa dan berkumpul pada satu tempat di adakanya acara tersebut dan
membawa makanan yang nantinya dimakan bersama-sama. Kemudian diikuti silaturahmi.
Para saudara, kerabat, teman hingga relasi, berdatangan untuk silaturahmi. Pihak tuan rumah
pun sudah menyiapkan berbagai hidangan untuk menjamu tamu yang datang. Pihak tuan
rumah pun juga menyiapkan berbagai hidangan dengan budget yang cuma cuma karena
mereka percaya bahwa semakin banyak mengeluarkan biaya sadranan, maka rezeki/berkah
yang diterima akan menjadi semakin banyak.

Besarnya perputaran uang ini dipandang sebagai keuntungan ekonomi bagi warga lokal.
sadranan di Cepogo terlihat meriah bahkan lebih ramai dibandingkan Lebaran. Saat sadranan,
warga akan memperbanyak sedekah.Mereka juga akan kedatangan sanak saudara dari luar
kota yang tujuannya tidak hanya nyekar atau ziarah ke makam keluarga tetapi juga
bersilaturahmi ke rumah-rumah sanak saudara di Cepogo.Bukan hanya sanak saudara namun
seua warga bisa hadir di acara sadranan atau nyadran . Inilah yang membuat ekonomi di
Cepogo bergeliat saat sadranan. 2

B. Awal Mula Tradisi Nyadran

Nyadran berasal dari tradisi Hindu-Budha.Sejak abad ke-15 atau sejak tahun 1462
Masehi. ketika jaman Sunan Kalijogo atau Kerajaan Demak melebarkan dakwahnya sampai
ke pedalaman sebelah selatan .Walisongo menggabungkan tradisi tersebut dengan
dakwahnya, agar agama Islam dapat dengan mudah diterima.Pada awalnya para wali
berusaha meluruskan kepercayaan yang ada pada masyarakat Jawa saat itu tentang pemujaan
roh yang dalam agam Islam dinilai musrik.Agar tidak berbenturan dengan tradisi Jawa saat

2Age Dwi Cantika,.2021.Tuan Rumah Nyadran Cepogo(wawancara pada 9 Oktober 2021


pukul 07.15)
4
itu, maka para wali tidak menghapuskan adat tersebut, melainkan menyelasraskan dan
mengisinya dengan ajaran Islam, yaitu dengan pembacaan ayat Al-Quran, tahlil, dan doa.

Wali Songo mengambil sebuah kebijaksanaan yakni dalam dakwahnya beliau


mengakulturasikan budaya masyarakat setempat dengan nilai-nilai Islam. Yang mana bisa
dipahami sebagai sebagai sarana intropeksi atau perenungan terhadap segala daya dan upaya
yang telah dilakukan selama satu tahun atau secara lebih sederhananya adalah sebuah
simbolisasi hubungan antara seseorang dengan leluhur, dengan sesama, dan juga dengan
Tuhannya.Nyadran dipahami sebagai bentuk hubungan antara leluhur dengan sesama
manusia dan dengan Tuhan. Tradisi Sadranan atau nyadran menjadi tradisi turun temurun.

C. Nilai Nilai Filosofis Tradisi Nyadran

Makna lainnya nyadran yaitu sadran bersal dari kata sudra sehingga nyadran berarti
menyudra menjadi sadra atau berkumpul dengan orang-orang awam. Ini mencerminkan nilai-
nilai bahwa pada hakekatnya manusia adalah sama. Nyadran salah satu objek untuk
meningkatkan integrasi antar warga sebab acara nyadran ini dihadiri oleh seluruh masyarakat
desa dan berkumpul pada satu tempat di adakanya acara tersebut dan membawa makanan
yang nantinya dimakan bersama-sama. Nyadran selain menjadi upacara adat tradisional yaitu
menjadi kegiatan untuk saling berkumpul dengan keluarga dan tetangga untuk menjalin
interaksi yang lebih dekat.

Makan bersama adalah media utama untuk mendekatkan kembali beberapa Desa di
Cepogo Boyolali yang bebeda. Pendapat di kala itu, saat acara nyadran dimulai dan semua
ambeng sudah dikumpalakan kemudian dido’akan, Bunari dan Sipur di dudukan bersama dan
di beri satu nampan ambeng untuk dimakan bersama, Inilah salah satu bentuk dari tradisi
nyadran yang bisa menyatukan dan meredakan konflik di masyarakat. Semua warga bisa
hadir di acara nyadran ini semua bisa menikmati makan bersama , tidak hanya warga asli
desa saja yang boleh mengikuti acara ini namun semua orang dari desa manapun bisa ikut
serta dalam kemeriahan acara yang penuh ceria, tawa namun tetap tidak jauh dari arti upacara
nyadran tersebut dan tidak membeda bedakan dari kalangan apapun. Fungsi dari nyadran
yaitu salah satunya membangun kedekatan antar warga, agar tidak terjadi perselisihan dan
dapat melakukan kegiatan secara gotong royong dan saling membantu.

5
Sadranan memiliki beberapa nilai Tradisi Sadranan, diantaranya:

a. Nilai Religius

Masyarakat Jawa terkenal sebagai masyarakat yang religius. Religius maksudnya


berhubungan dengan praktek ketuhanan. Masyarakat yang percaya akan adanya kekuatan
yang maha dasyat diluar kemampuan manusia. Nilai religius ini juga tampak sangat jelas
dalam ritual sadranan. Ritual yang dimaksudkan untuk mendoakan para leluhur. Do’a
merupakan unsur penting dalam pelaksanaan ritual sadranan. Permohonan ampunan dan
permohonan surga bagi para leluhur dilakukan dengan tahlilan yang dipimpin oleh ulama
setempat. Selain itu, ritual ziarah yang meliputi sadranan, merupakan pengejawantahan dari
nilai religius. Masyarakat Jawa menyadari betul bahwa setiap manusia akan kembali kepada
yang Maha Esa.

2. Nilai Syukur

Masyarakat Jawa seperti telah diketahui, merupakan masyarakat pemeluk agama dan
kepercayaan terhadap Tuhan yang Maha Esa. Oleh karena itu mempunyai kesadaran akan
kewajibannya dalam melakukan pengabdian dan persembahan kepada-Nya. Salah satu bentuk
persembahannya yaitu melalui laku syukur. Syukur atas segala karunia yang diberikan Tuhan
kepadanya setiap waktu. Sadranan merupakan perwujudan rasa syukur masyarakat Jawa
kepada Tuhan Yang Maha Kaya. Masyarakat berduyun-duyun mensodaqohkan makanan atau
jajanan kepada saat sadranan. Tidak ada paksaan dalam laku ini. Masyarakat dengan suka-
rela menyumbangkan sesuatu semampunya untuk orang lain. Masyarakat Jawa sangat
mengilhami betul surat Ibrahim Ayat 7, bahwa “Sesungguhnya jika kamu bersyukur, pasti
Kami akan menambah (nikmat) kepadamu, dan jika kamu mengingkari ,maka sesungguhnya
azab-Ku sangat pedih”. Masyarakat Jawa menolak azab yang besar melalui laku sadranan.

3. Nilai Gotong-royong (Rukun)

Sikap rukun telah menjadi ciri yang dimiliki oleh masyarakat Jawa. Pelaksanaan sikap
rukun dalam kehidupan sosial kemasyarakat lebih mengutamakan kepentingan bersama
daripada pribadi., jauh dari rasa permusuhan, saling tolong menolong dalam kebaikan.
Perintah wata’awanu alal birri wattaqwa bagi masyarakat Jawa tidak hanya sekedar di atas
kertas, tetapi teraktualisasikan dalam laku sosial, bahkan menjadi kebutuhan sosial
masyarakat. Seperti halnya tradisi sadranan di Jawa dirasakan menjadi milik bersama,
dilaksanakan oleh seluruh lapisan masyarakat, dijiwai oleh rasa kebersamaan saling tolong

6
menolong tanpa rasa perselisihan, merasa saling mengungguli. Oleh karenanya sadranan
merupakan perwujudan dari laku rukun masyarakat Jawa.

4. Nilai Saling Menghormati (Pluralisme)

Sadranan hakekatnya adalah ziarah kubur. Masyarakat Jawa bersama-sama datang ke


makam dalam rangka mendo’akan leluhur atau ahli kuburnya. Tidak ada kekhususan bahwa
ziarah dilakukan oleh orang muslim. Semua diperbolehkan melakukan ritual ini, pun dengan
non muslim. Melalui laku sadranan, nilai-nilai saling menghormati perbedaan ditanamkan
kepada setiap generasi. Di tempat itu, semua orang menjadi satu atas nama persaudaraan.
Setelah selesai ziarah, setiap orang yang keluar dari makam salam bersalaman, saling
menbarkan kedamaian. Tua kepada yang muda, yang muda kepada yang tua saling berjabat-
tangan. Ya, sadranan bagi masyarakat Jawa merupakan perwujudan laku saling menghormati
perbedaan atau pluralisme.3

D. Makna dan Symbol Tradisi Nyadran

1. Temuan Tentang Proses Komunikasi Simbolik dalam Tradisi Nyadran di Cepogo Boyolali

a. Simbolisasi Tradisi Lokal dan Nilai Kelslaman Tradisi Nyadran merupakan simbol
adanya hubungan dengan leluhur atas segala yang telah diberikan kepada manusia. Nyadran
merupakan sebuah pola ritual yang menjunjung tinggi warisan budaya. Proses komunikasi
simbolik dalam tradisi Nyadran didapat dari adanya akulturasi nilai budaya lokal dan
masuknya nilai kelslaman terhadap tradisi Nyadran. Dari adanya interaksi dengan
masyarakat Cepogo, yakni unsur akulturasi dalam adat dan pelaksanaannya mengalami
penggabungan Islam. Tetap melakukan acara selamatan dengan membaca ayat-ayat suci Al-
Quran sebagai permohonan dan do’a kepada Allah SWT. Kepercayaan-kepercayaan dari
agama Hindu-Budha maupun animism dinamisme yang menggunakan sesajen untuk
pemujaan, dalam perkembangan masyarakat Cepogo yang mulai memasukkan nilai-nilai
Islam yang dapat mengubah mantra yang ada dalam selametan tersebut dengan berbagai doa
diantaranya tahlil dan shalawat. Sedangkan unsur adatnya terdapat dalam bahan serta alat
yang digunakan ritual tersebut seperti menggunakan sesaji berupa makanan tradisional yang
disediakan dengan berbagai macam yang memiliki makna tersendiri yang juga dalam
permohonan-permohonan kepada segala bentuk yang dipercaya memiliki kekuatan.
Maksudnya adalah ajaran adat tetap diberlakukan, ajaran Islam juga tetap dilaksanakan.

3
Saipul,.2021.Pengunjung Nyadran(waeancara pada 11 Oktober 2021 pukul 16.20)
7
b. Makna Simbolik Tradisi Nyadran

1) Makna Bagi Individu

a) Tanggung Jawab
Dalam tradisi Nyadran ini, masyarakat untuk tanggung jawab untuk menjaga
keselarasan antara alam dan makhluk hidup. Selain itu mereka harus ikut serta dalam
acara nyadran.
b) Patuh
Wujud kepatuhan masyarakat Cepogo dari pelaksanaan tradisi Nyadran adalah
melaksanakan setiap tahapan proses upacara dengan disiplin dan mematuhi segala
peraturan yang dilarang maupun yang diharuskan.
c) Rela Berkorban
Wujud rela berkorban dalam tradisi Nyadran adalah masyarakat menyisakan sebagian
ekonomi mereka untuk turut serta memberikan sedekah makanan kepada sesama.

2) Makna Sosial

a) Menghormati
Orang Lain Pelaksanan Nyadran diikuti oleh seluruh masyarakat Cepogo Boyolali
baik yang beragama Islam maupun masyarakat Kejawen. Dalam upacara Nyadran
melakukan makan bersama sebagai wujud rasa rasa hormat kepada orang lain.
b) Gotong Royong
Gotong royong dalam aktivitas masyarakat Cepogo yang saling gotong royong
mempersiapkan makanan dan prasarana tradisi Nyadran.
c) Kerukunan
Prosesi ritual atau tradisi nyadran masyarakat berkumpul bersama tanpa ada sekat-
sekat dalam kelas sosial dan status sosial, tanpa ada perbedaan agama dan keyakinan,
golongan ataupun partai.
3) Makna Ketuhanan
Tradisi nyadran merupakan simbol adanya hubungan dengan para leluhur danAllah
SWT. Pelaksanaan nyadran masih kental dengan budaya Hindu-Buddha dan
animisme yang diakulturasikan dengan nilai-nilai Islam. Hal itu tampak pada perilaku
masyarakat yang memanjatkan do'a kepada Allah SWT , memberikan sesajen untuk
menghadapi rasa takut akan kemurkaan dan mengharapkan berkah dari sesuatu yang
dianggap memiliki kemampuan supernatural. Tradisi Nyadran dimaknai sebagai

8
sedekah bumi, sebagai bentuk syukur atas melimpahnya hasil bumi. Nyadran sebagai
media dan usaha agar masyarakat Cepogo diberikan keselamatan, mendapat berkah
hidup dan peningkatan perekonomian, seperti dalam penggarapan lahan pertanian,
perdagangan dan jenis-jenis usaha lainnya.

2. Temuan Tentang Makna Tradisi Nyadran Dikomunikasikan Kepada Masyarakat Desa


Balonggebang

a. Komunikasi Verbal

Budaya masyarakat Cepogo tepatnya pada bulan Sya’ban untuk melaksanakan syukuran
kepada Tuhan Yang Maha Esa, nenek moyang leluhur desa, dan bisa juga roh leluhur sudah
melekat erat, menjadikan mereka sangat menjunjung tinggi nilai-nilai leluhur dari
kebudayaan itu. Sejarah mulai dilaksanakannya Nyadran di Cepogo tidak ada yang pasti,
namun tradisi ini sudah ada sebelumnya oleh leluhur kepada masyarakat secara turun-
temurun melalui cerita dari orang satu ke orang lain.

Terlaksananya tradisi Nyadran hingga saat ini didorong oleh beberapa hal yakni:

1) Faktor sejarah, dimana tradisi Nyadran ini telah menjadi suatu ketetapan yang tidak
tertulis untuk selalu dilakukan setiap ruwah. Dalam kehidupan masyarakat Cepogo tradisi
Nyadran telah disakralkan sejak jaman nenek moyang.

2) Adanya faktor dorongan dari semua pihak, (masyarakat dan pemerintah) untuk terus
melaksanakan tradisi ini agar tradisi Nyadran nantinya tidak akan hilang oleh arus
perkembangan zaman.

b. Komunikasi Non Verbal

Tradisi Nyadran setiap pelasanaannya semakin meriah. Hal ini agar masyarakat dan anak-
anak muda menyukai tradisi ini, apalagi ditambah dengan pertunjukan yang ditampilkan
semakin menambah daya pikat masyarakat untuk mengikuti tradisi Nyadran setiap tahunnya.
Dengan begitu kebudayaan mengenai tradisi Nyadran tidak akan hilang oleh arus
perkembangan zaman yang semakin modern.Agar generasi muda mampu memahami makna
suatu budaya, khususnya komunikasi budaya, maka nilai-nilainya harus selalu diberikan
kepada generasi muda melalui komunikasi terutama mengenai pemaknaan simbol budaya.

9
c. Mitos Masyarakat

Masyarakat Balonggebang percaya bahwa tidak semua usaha mereka dapat berjalan lancar,
menghadapi hambatan yang sulit dipecahkan. Hal tersebut discbabkan oleh keterbatasan akal
dan sistem pengetahuan manusia, sehingga masalah-masalah yang tidak dapat dipecahkan
dengan akal memecahkan secara religi maupun menurut kepercayaan masyarakat. Hal ini
sering terjadi dengan adanya kepercayaan atau keyakinan terhadap kekuatan gaib yang ada di
alam semesta. Kepercayaan dan mitos masih terjadi di Cepogo , khususnya pada masyarakat
awam. Dalam kehidupan, masyarakat Cepogo masih mempercayai aturan dan pantangan
yang merupakan larangan adat mengenai sesuatu yang tidak boleh dilanggar atau biasa
disebut dengan istilah pamali. Pamali ini telah dipercaya di lingkungan masyarakat Cepogo
yang telah ditetapkan dalam tradisi Nyadran meskipun mereka memeluk agama Islam.

3. Temuan Tentang Tradisi Nyadran dalam Perspektif Islam

Karena ritualnya yang menyertakan sesaji, tradisi nyadran sering muncul di kalangan
umat Islam. Mereka yang menolak tradisi nyadran berpendapat kalau tradisi ini syirik dan
tidak perlu dilaksanakan. Tradisi dan budaya Jawa seperti nyadran menyangkut masalah
perilaku ritual, seperti melakukan persembahan dan berdoa kepada Tuhan dengan berbagai
cara tertentu, misalnya dengan sesaji atau dengan berdoa melalui perantara. Bagi kalangan
masyarakat Jawa yang santri, hampir tidak diragukan lagi bahwa mereka yakini sesuai
dengan ajaran-ajaran aqidah Islam. Mereka yakin bahwa tidak ada Tuhan yang berhak
disembah selain Allah dan mereka memuji Allah dengan cara yang benar. Sementara bagi
kalangan masyarakat Jawa yang abangan, Tuhan yang diyakini bisa bermacam-macam.

Ada yang yakin sebagai dewa dewi seperti dewa kesuburan. Ada juga yang yakin
benda benda tertentu dianggap ruh yang berpengaruh dalam kehidupan mereka seperti benda
benda pusaka (animisme), bahkan mereka yakin benda-benda tertentu memiliki kekuatan
ghaib yang dapat menentukan nasib manusia seperti makam orang-orang tertentu
(dinamisme). Jelas sekali yang diyakini oleh masyarakat Jawa yang abangan ini bertentangan
dengan ajaran aqidah Islam yang meyakini Allah SWT

10
BAB III

A. KESIMPULAN
Sadranan atau nyadran merupakan tradisi rutin warga di Kecamatan Cepogo,
Kabupaten Boyolali setiap bulan Ruwah, dalam penanggalan Jawa. Setiap dukuh
dan desa menggelar tradisi yang sudah turun-temurun sejak nenek moyang itu,
dengan waktu yang berbeda beda. Tradisi nyadran diawali dengan kenduri di
lokasi makam setempat, yang nantinya akan dimakan bersama dengan semua
warga desa. Kemudian diikuti silaturahmi. Para saudara, kerabat, teman hingga
relasi, berdatangan untuk silaturahmi. Pihak tuan rumah pun sudah menyiapkan
berbagai hidangan untuk menjamu tamu yang datang. Tradisi nyadran menjadi
daya tarik tersendiri bagi masyarakat, karena kegiatan ini sangat ditunggu-tunggu
oleh seluruh warga, nyadranan selain menjadi upacara adat tradisional yaitu
menjadi kegiatan untuk saling berkumpul dengan keluarga dan tetangga untuk
menjalin interaksi yang lebih dekat.

B. SARAN
Demikianlah makalah Tradisi Nyadran yang saya buat. Jika ada kekurangan di
dalam makalah ini saya sangat terbuka untuk menerima saran dan kritik yang
bersifat membangun dari pembaca agar lebih baik untuk kedepannya.

11
DAFTAR PUSTAKA

D. H. Hartoyo, M.Si. 2017. Nyadran(Strategi Dakwah Kultural Walisongo). Sidoarjo:


Kaukaba Dipantara

Basir, Abdul. 2013. “Nilai Pendidikan Islam Dalam Budaya Tenongan Nyadran Suran Di
Dusun Giyanti Wonosobo”. Jurnal Kependidikan Al-Qalam. Volume 9 Nomor 69-78.

Koentjaraningrat. 1984. Kebudayaan Jawa. Jakarta: PT Balai Pustaka.

Pursen. 2000. Strategi Kebudayaan. Jakarta: Kanisius

Purwadi. 2006. Jejak Para Wali Ziarah Spiritual. Buku Kompas. Jakarta.

Purwadi. 2009. Sejarah Walisanga. Yogyakarta: Ragam Media

Wadji, Muh. Barij Nizarudin. 2017. “Nyadranan, Bentuk Akulturasi Islam Dengan

Budaya Jawa

12
Lampiran

Gambar 1 Hidangan Nyadran di Rumah Pertama


Diambil pada 30 September pukul 18.20 WIB

Gambar 2 Hidangan Nyadran di Rumah Kedua


Diambil pada 30 September pukul 19.30

13
Gambar 3 Suasana Nyadran di Makam
Diambil pada 30 Maret 2021

Gambar 4 Suasana Nyadran Saling Menukar Makanan


Diambil pada 30 Maret 2021

14
Gambar 5 Suasana Penduduk Cepogo Perjalanan Menuju Makam
Diambil pada 30 Maret 2021

Gambar 6 Suasana Masyarakat Cepogo Membagikan Makan yang ia bawa


Diambil pada 30 Maret 2021

15

Anda mungkin juga menyukai