Anda di halaman 1dari 14

BAB I

PENDAHULUAN
1.1 Latar Belakang
Nyadran berarti melaksanakan upacara sadran atau sadranan. Nyadran juga
memiliki teori fungsi yakni saat upacara Nyadran berlangsung foklor lisan
maupun tidak lisan terdapat pada acara tersebut. Yang terjadi saat ini adalah
upacara Nyadran yang juga masih berlangsung dan tetap berdiri meskipun di era
modern. Upacara di Daerah Sidoarjo diadakan setiap tahun yaitu pada bulan
Sya'ban sesudah tanggal 15 hingga menjelang ibadah puasa bulan
Ramadhan. Nyadran dilangsungkan dengan selametan yang berlangsung
dimakam leluhur, dengan membuat makanan seperti tumpengan yang berlauk
ayam panggang, krawu, lodeh tempe tahu, lalapan, dan yang paling penting
adalah kue apem ataupun Ketan. Di Jawa khususnya daerah Sidoarjo, nyadran
selalu dilakukan Tiga hari berturut-turun beserta upacara Nayupan yakni wayang-
wayangan yang di perankan oleh para dalang. Tradisi nyadran intinya berupa
ziarah kubur pada bulan Syaban dalam kalender Jawa, menjadi semacam
kewajiban bagi orang Jawa khususnya di Sidoarjo. Ziarah dengan membersihkan
makam leluhur, memanjatkan doa permohonan ampun, dan tabur bunga tersebut
adalah simbol bakti dan ungkapan penghormatan serta terima kasih seseorang
terhadap para leluhurnya. Di beberapa Desa upacara Nyadran memang berbeda-
beda, namun yang di Daerah Sidoarjo tradisi nyadran-nya masih kuat, itupun
masih eksis dilakukan oleh masyarakat Bluru di Sidoarjo yakni meletakkan aneka
sesaji dalam sebuah tenong, yaitu nampan bulat yang terbuat dari anyaman bambu,
dengan alas daun pisang. Satu tenong dikepung beberapa orang sekaligus. Ketika
acara doa atau tahlilan di makam selesai, maka mereka akan makan beramai-
ramai. 1

1
http://labestcouple.blogspot.com/2013/04/upacara-nyadran-yang-masih-eksis-dalam.html

1
1.2 Rumusan Masalah
1.2.1 Apa yang disebut dengan tradisi Nyadran?
1.2.2 Sejak kapan tradisi Ntadran dilakukan oleh warga?
1.2.3 Apa yang melatarbelakangi adanya tradisi Nyadran?
1.2.4 Bagaimana proses tradisi Nyadran yang dilakukan oleh warga Sidoarjo?
1.2.5 Bagaimana tanggapan Kepala Desa dan warga setempat mengenai
Nyadran?

1.3 Tujuan
1.3.1 Untuk mengetahui pengertian dari Nyadran .
1.3.2 Untuk mengetahui kapan tradisi Nyadran dilakukan oleh warga.
1.3.3 Untuk mengetahui latar belakang adanya tradisi Nyadran.
1.3.4 Untuk mengetahui proses tradisi Nyadran yang dilakuakan oleh warga
Sidoarjo.
1.3.5 Untuk Mengetahui tanggapan Kepala Desa dan warga setempat mengenai
Nyadran.

2
BAB II
KAJIAN PUSTAKA
2.1 Pengertian Nyadran
Nyadran adalah tradisi lama yang sampai saat ini masih sering dilakukan
masyarakat, khususnya masyarakat Jawa. Nyadran juga memiliki teori fungsi
yakni saat upacara Nyadran berlangsung foklor lisan maupun tidak lisan terdapat
pada acara tersebut, yakni Nyadran sebagai pengetahuan yang unik pada
masyarakat, Nyadran juga sebagai alat untuk mempersatukan hubungan
masyarakat lain sehingga membentuk gotong royong dan kebersamaan yang
kolektiva. Fungsi ini berlaku juga bagi upacara nyadran karena masyarakat
Sidoarjo tentunya sebagai pewaris upacara adat ini untuk mengenang para leluhur
dan wajib untuk melestarikan upacara tersebut. Menurut Ruth Finnegan (1977:
45). Di tengah era modern dan teknologi informasi yang sangat pesat, tradisi
Nyadran masih tetap eksis. Makna simbolis dari ritual nyadran atau ruwahan itu
sangat jelas, bahwa saat memasuki bulan Ramadhan atau puasa, mereka harus
benar-benar bersih, yang antara lain diupayakan dengan cara harus berbuat baik
terhadap sesama, juga lingkungan sosialnya. Melalui rangkaian tradisi nyadran
itulah orang Jawa merasa lengkap dan siap untuk memasuki ramadhan, bulan suci
yang penuh berkah itu. Sebab, bagi orang Jawa, nyadran juga berarti sebuah
upaya untuk lebih mendekatkan diri kepada Tuhan, memperbaiki hubungan baik
dengan masyarakat dan lingkungan, serta menunjukkan bakti kepada para leluhur
mereka. Bagi masyarakat Jawa, kegiatan tahunan yang bernama nyadran atau
sadranan merupakan ungkapan refleksi sosial-keagamaan. Hal ini dilakukan
dalam rangka menziarahi makam para leluhur. Ritus ini dipahami sebagai bentuk
pelestarian warisan tradisi dan budaya para nenek moyang. Nyadran dalam tradisi
Jawa biasanya dilakukan pada bulan tertentu, seperti menjelang bulan Ramadhan,
yaitu Sya’ban atau Ruwah. Tradisi nyadran merupakan simbol adanya hubungan
dengan para leluhur, sesama, dan Yang Mahakuasa atas segalanya.
Dalam padangan agama mayoritas di negeri ini , ritual nyadran masih pro dan
kontra , antara sejalan dengan ajaran Islam atau tidak sejalan dengan ajaran Islam.

3
Apa mau dikata masyarakat tetap melaksanakan tradisi nenek moyangnya.
Seorang ahli menyatakan bahwa tradisi nyadran mempunyai kemiripan dengan
sraddha pada masa kerajaan Majapahit. Kemiripan tersebut terlihat pada kegiatan
manusia “berinteraksi” dengan leluhur yang telah meninggal, seperti pengorbanan,
sesaji, dan ritual sesembahan yang hakikatnya adalah bentuk penghormatan
terhadap yang sudah meninggal.2

2.2 Sejarah Nyadran


Cerita bermula dari Tanah Blambangan, Banyuwangi. Pada masa Prabu
Minak Sembuyu. Dewi Sekardadu, putri Minak Sembuyu yang cantik jelita,
diserang penyakit berat. Segala macam upaya sudah dicoba, tabib-tabib terkenal
sudah bekerja, tapi sis-sia. Pada tahun 1362, versi warga setempat, kebetulan
Syech Maulana Iskak asal Yaman tengah meyebarkan Islam di Pulau Jawa
Waktu itu ujung rezim Majapahit, penduduk tanah Jawa memang
belum banyak yang memeluk Islam. Kebetulan Maulana berada di
Blambangan. Raja yang putus asa akhirnya membuat sayembara. Barang
siapa yang bisa menyembuhkan Dewi Sekardadu akan dijadikan menantu
apabila masih muda. Apabila sudah tua, dijadikan kerabat kerajaan.
Maulana sang ustadz, ikut sayembara, dan akhirnya bisa menyembuhkan
Dewi Sekardadu.
Syech dari timur tengah itupun telah menikah dengan Dewi
Sekardadu binti Minak Sembuyu. Tetapi raja tidak suka Maulana karena
raja tidak mau masuk Islam. Itu yang membuat permusuhan diantara
mereka. Suasana di Kerajaan selalu tegang.
Minak Sembuyu selalu menyerang Maulana dan membuat Maulana mundur
kepada istrinya. Saat itu Dewi Sekardadu hamil tujuh bulan. Maulana berpesan
apabila Dewi Sekardadu melahirkan bayi laki-laki, namakan bayi laki-laki itu

2
http://labestcouple.blogspot.com/2013/04/upacara-nyadran-yang-masih-eksis-dalam.html

4
dengan Raden Paku. Syech Maulana kemudian meninggalkan Blambangan, pergi
berdakwah ke tempat lain. Pada tahin 1365 lahirlah seorang bayi laki-laki yang
diberi nama Raden Paku.
Raja Blambangan murka. Ia khawatir Raden Paku akan merusak wibawanya.
Karena itu, ia memutuskan untuk membuang cucunya ke laut. Para prajurit
memasukkan si bayi ke dalam peti dan mengapungkannya. Mengetahui anak
tercintanya dibuang ke laut, Dewi Sekardadu menceburkan diri ke laut mengejar-
ngejar anaknya. Sia-sia gelombang terlalu besar dan apalah kemampuan manusia.
Jasad Dewi Sekardadu teerbawa arus ke arah Sidoarjo, sementara peti berisi bayi
Raden Paku terbawa arus ke Gresik.
Kebetulan, pada 1365 itu, ada nelayan Balongdowo [Sidoarjo] tengah mencari
kerang di perairan Selat Madura. Kaget sekali mereka melihat jasad perempuan
cantik yang digotong ramai-ramai oleh ikan keting. Jasad itu terdampar di pantai,
dan dikebumikan secara terhormat oleh warga. Tempat itu akhirnya dinamakan
ketingan.3
2.3 Proses Tradisi Nyadran
Setiap menjelang bulan Ramadhan, sebagian masyarakat Jawa mengadakan
tradisi nyadran. Tradisi ini dilakukan dengan cara mengunjungi makam para
leluhur, yang kemudian dipahami sebagai bentuk pelestarian warisan tradisi dan
budaya para nenek moyang. Tradisi nyadran merupakan simbolisasi dari adanya
hubungan antara para leluhur, sesama, dan Sang Pencipta. Seperti di wilayah
Jawa lainnya, bagi masyarakat Sidoarjo, nyadran merupakan sebuah ritual yang
mencampurkan budaya lokal (setempat) dengan nilai-nilai Islam, sehingga
kearifan lokal yang telah berkembang di masyarakat dapat ikut dilestarikan
berdampingan dengan nilai-nilai agama Islam.
Prosesi ritual nyadran biasanya dimulai dengan membuat kue apem, ketan,
dan kolak. Adonan tiga jenis makanan dimasukkan ke dalam takir, yaitu tempat
makanan terbuat dari daun pisang yang pada pinggiran kanan-kirinya ditusuk lidi.
Kue-kue tersebut selain dipakai munjung/ater-ater (dibagi-bagikan) kepada sanak

3
Rekaman Wawancara bersama bapak lurah

5
saudara yang lebih tua, juga menjadi uba rampe (pelengkap) kenduri. Tetangga
dekat juga mendapatkan bagian dari kue-kue tadi. Hal itu dilakukan sebagai
ungkapan solidaritas dan ungkapan kekerabatan kepada sesama. Selain membuat
makanan, prosesi nyadran selanjutnya adalah melakukan pembersihan makam
leluhur. Masyarakat kampung menggelar kenduri yang berlokasi di sepanjang
jalan menuju makam atau lahan kosong yang ada di sekitar makam leluhur
(keluarga). 4
Selain mengunjungi makam leluhur, masyarakat Sidoarjo juga melakukan
upacara nyadran dengan proses larung sesaji. Selain mengadakan kenduri, dalam
larung sesaji ini dipersiapkan juga hasil-hasil bumi, seperti padi, ubi, dan
sebagainya. Selain mendoakan para leluhur, hal ini juga sebagai ungkapan syukur
akan hasil bumi yang telah diberikan oleh Yang Maha Kuasa. Di mana sesaji
yang dipersiapkan akan dilarung ke tengah laut. Selain itu, masyarakat juga
melakukan ziarah ke makan keramat yang diyakini adalah makam seorang
wanita, yakni makam Dewi Sekar Dadu yang menurut warga adalah ibu Raden
Paku, salah seorang Wali Songo penyebar agama Islam di tanah Jawa.
Upacara nyadran ini biasanya diawali dengan sambutan atau wejangan yang
dilakukan oleh tetua setempat agar upacara dapat berjalan dengan lancar. Tempat
yang akan dituju adalah di laut lepas yang biasa digunakan nelayan untuk mencari
ikan. Prosesi ini dimulai sejak pukul 06.00 WIB sampai menjelang petang.
Sementara di daratan, akan diadakan berbagai macam pertunjukan kebudayaan
dan seni, antara lain adalah seni tari, wayang kulit, wayang krucil, maupun
wayang tengul (golek) yang menjadi hiburan bagi para masyarakat.5

2.4 Tradisi Nyadran menurut Agama


Masyarakat didunia ini dapat dibedakan menjadi dua, yaitu: (1) masyarakat
primitif yang bersekala kecil, homogen, konformis, dan budaya lisan masih

4
disbudpar.jatimprov.go.id/wisata/wisata-budaya/287-upacara-nyadran-di-sidoarjo.html

5
http://www.indonesiawonder.com/id/tour/wisata-budaya/nyadran-dan-larung-sesaji-sidoarjo

6
menonjol ari pada tulisan, didominasi oleh norma yang religius, dan tradisional,
meyakini hal-hal yang bersifat alami, dan (2) masyarakat modern yakni sekuler,
rasional, heterogen, didominasi budaya tulis. Yang terjadi saat ini adalah upacara
Nyadran yang juga masih berlangsung dan tetap berdiri meskipun di era modern.
Tradisi keagamaan merupakan realitas mahluk untuk mengetahui eksistensi
Tuhannya. Dalam konteks keagamaan tradisi merupakan warisan turun-menurun
yang terus berjalan seiring zaman. Keniscayaan ini perlu sebuah pemahaman,
karena tradisi merupakan realitas pemaknaan, sungguh sangat ironi pada
keberagamaan yang lebih menekankan kesalihan ritual dari pada kesalehan
individu dan kesalihan sosial. Implikasi dari tradisi keberagamaan seperti itu
adalah realitas sosial dan individu yang dihiasi dengan budaya ritualistik, kaya
kultur yang bernuansa agama, tetapi miskin dalam nilai-nilai spiritual yang
berpihak pada kemanusiaan. Sikap pada era postmodernisme yang bersifat
positivistik dan materialistik menyebabkan manusia bersikap tidak wajar sesuai
dengan ajaran agama. Hal ini berakibat pada sikap dan perilaku manusia yang
bersifat menyimpang seperti; individualistik, konsumerisme, hedonis dan
pragmatis. Perilaku tersebut merupakan penjajahan baru yang berakibat pada
dekadensi moral, tak heran jika Indonesia mejadi negeri yang kehilangan
kemanusiaan sikap korupsi dan menindas yang lemah menjadi tradisi
keberagamaan. Karena itu, tradisi keberagaman bukan hanya bersifat ritualistik
akan tetapi menyakup beberapa kesalehan dalam bermasyarakat. Dalam konteks
ini maka tradisi Nyadran bukan sekedar ritualistik, akan tetapi merupakan
ekspresi kesalehan individual dan sosial keberagamaan. Tradisi nyadaran pada
masyarakat memiliki keberagaman yang dilakasanakan dengan berbagai cara
yang berbeda. Dalam konteks kemasyarakatan Nyadran merupakan simbol
refleksi atas rasa syukur menyambut kedatangan bulan Ramadhan.
Keberagaman penyambutan tersebut hanya bersifat komunal dalam artian
masyarakat bisa menentukan kapan akan pergi berziarah ke makam leluhur.
Namun refleksi tersebut juga dapat diselenggarakan secara bersamaan di
masyarakat dengan membuat tumpeng yang kemudian dibawa ke masjid dan

7
kemudian mengadakan Nyadran beserta doa keselamatan menyambut kedatangan
bulan suci tersebut. Tradisi nyadaran merupakan simbol adanya hubungan dengan
para leluhur, sesama dan Dzat yang maha kuasa. Tradisi ini telah menjadi ajaran
keberagamaan yang diyakini yaitu mempersatukan warisan budaya lokal dengan
ajaran Islam, sehingga terjalin hubungan dua eksistensi lokalitas dan ajaran agama
Islam. Kalau ditelusuri ritual tersebut memiliki berbagai macam kegiatan
diantaranya doa keselamatan, pembacaan shalawat nabi, Nyadran ziarah kubur
dan tumpengan

2.5 Nyadran Berbeda dengan Ziarah Kubur


Nyadran dengan ziarah kubur merupakan dua ekspresi kultural keagamaan
yang memiliki kesamaan dalam ritus dan objeknya. Perbedaannya hanya terletak
pada pelaksanaannya, di mana nyadran biasanya ditentukan waktunya oleh pihak
yang memiliki otoritas di daerah, dan pelaksanaannya dilakukan secara kolektif.
Tradisi nyadran merupakan simbol adanya hubungan dengan para leluhur, sesama,
dan Yang Mahakuasa atas segalanya. Nyadran merupakan sebuah pola ritual yang
mencampurkan budaya lokal dan nilai-nilai Islam, sehingga sangat tampak
adanya lokalitas yang masih kental islami. Budaya masyarakat yang sudah
melekat erat menjadikan masyarakat Jawa sangat menjunjung tinggi nilai-nilai
luhur dari kebudayaan itu. Dengan demikian tidak mengherankan kalau
pelaksanaan nyadran masih kental dengan budaya Hindhu-Buddha dan animisme
yang diakulturasikan dengan nilai-nilai Islam oleh Wali Songo. Secara sosio-
kultural, implementasi dari ritus nyadran tidak hanya sebatas membersihkan
makam-makam leluhur, selamatan (kenduri), membuat kue apem, kolak, dan
ketan sebagai unsur sesaji sekaligus landasan ritual doa. Nyadran juga menjadi
ajang silaturahmi keluarga dan sekaligus menjadi transformasi sosial, budaya, dan
keagamaan.
Prosesi ritual nyadran biasanya dimulai dengan membuat kue apem, ketan.
Adonan jenis makanan dimasukkan ke dalam takir, yaitu tempat makanan terbuat
dari daun pisang, di kanan kiri ditusuki lidi (biting). Setelah itu, Mbah Kaum

8
(ulama lokal) yang sudah dipilih menjadi rois, maju untuk memimpin doa yang
isinya memohon maaf dan ampunan atau dosa para leluhur atau pribadi mereka
kepada Tuhan Yang Mahakuasa. Doanya menggunakan tata cara agama Islam,
warga dan anak-anak mengamini. Suasana ceria anak-anak tergambar dengan
semangat melafalkan amin sambil berteriak. Selesai berdoa, semua yang hadir
mencicipi makanan yang digelar. Pada saat itu ada yang tukar-menukar kue, ada
yang asyik ngobrol dengan kanan-kiri, maklum beberapa warga pulang dari
perantauan hadir dalam kenduri. Biasanya Mbah Kaum diberi uang wajib dan
makanan secukupnya, sedangkan yang tak hadir atau si miskin diberi gandhulan,
nasi, kue yang dikemas khusus kemudian diantar ke rumah yang sudah disepakati
diberi gandhulan.
Dari tata cara tersebut, jelas nyadran tidak sekadar ziarah ke makam leluhur,
tetapi juga ada nilai-nilai sosial budaya, seperti budaya gotongroyong, guyub,
pengorbanan, ekonomi. Bahkan, seusai nyadran ada warga yang mengajak
saudara di desa ikut merantau dan bekerja di kota-kota besar. Di sini ada
hubungan kekerabatan, kebersamaan, kasih sayang di antara warga atau anggota
trah. Di samping itu, semakin jelas adanya nilai transformasi budaya dan tradisi
dari yang tua kepada yang muda. Mengenai pola keberagamaan yang ada di Jawa,
C Geertz (1981) melalui penelitiannya di Sidoarjo menghasilkan sebuah konsep
keberagamaan masyarakat yang bersifat abangan, santri, dan priayi. Ketiganya
merupakan akumulasi dari hasil akulturasi budaya lokal masyarakat, Hidhu-
Buddha dengan nilai-nilai Islam. Pola interaksi antara budaya lokal dan nilai
Islam menjadikan Islam warna-warni.6

6
http://labestcouple.blogspot.com/2013/04/upacara-nyadran-yang-masih-eksis-dalam.html

9
BAB III
PEMBAHASAN
3.1 Analisa
Di Jawa, pada bulan Ruwah ( kalender Jawa ) ada tradisi yang dinamakan
Ruwatan. Bentuk –bentuk Ruwatan ini dapat berupa bersih Desa,Ruwah desa atau
lainnya. Di Sidoarjo tepatnya di Desa Balongdowo Kecamatan Candi ada tradisi
masyarakat yang dilakukan setiap bulan Ruwah pada saat bulan purnama.
Tradisi tersebut dinamakan Nyadran, Nyadran ini merupakan adat bagi para
nelayan kupang desa Balongdowo sebagai ungkapan rasa syukur kepada Tuhan
Yang Maha Esa. Bentuk kegiatan Nyadran berupa pesta peragaan cara mengambil
kupang di tengah laut selat Madura.
Nyadran di Sidoarjo mempunyai ciri khas tersendiri. Kegiatan Nyadran
dilakukan oleh masyarakat Balongdowo yang mata pencaharian sebagai nelayan
kupang, pada siang harinya sangat disibukkan dengan kegiatan persiapan pesta
upacara meski puncak acaranya pada tengah malam.
Kegiatan ini dilakukan pada dini hari sekitar pukul 1 pagi. Orang- orang
berkumpul untuk melakukan keliling. Perjalanan dimulai dari Balongdowo Kec.
Candi menempuh jarak 12 Km. Menuju dusun Kepetingan Ds. Sawohan Kec.
Buduran. Perjalanan ini melewati sungai desa Balongdowo, Klurak kali pecabean,
Kedung peluk dan Kepetingan ( Sawohan ).
Ketika iring-iringan perahu sampai di muara kali Pecabean perahu yang
ditumpangi anak balita membuang seekor ayam. Konon menurut cerita dahulu
ada orang yang mengikuti acara Nyadran dengan membawa anak kecil dan anak
kecil tersebut kesurupan. Oleh karena itu untuk menghindari hal tersebut
masyarakat Balongdowo percaya bahwa dengan membuang seekor ayam yang
masih hidup ke kali Pecabean maka anak kecil yang mengikuti nyadran akan
terhindar dari kesurupan/ malapetaka.
Sekitar pukul. 04.30 WIB. Peserta iring-iringan perahu tiba di dusun Ketingan
Ds. Sawohan . Rombongan peserta nyadran langsung menuju makam dewi
Sekardadu untuk mengadakan makan bersama. Sambil menunggu fajar tiba,

10
peserta nyadran tersebut berziarah, bersedekah, dan berdoa di makam tersebut
agar berkah terus mengalir. Menurut cerita rakyat Balongdowo Dewi sekardadu
adalah putri dari Raja Blambangan yang bernama Minak Sembuyu yang pada
waktu meninggalnya dikelilingi “ ikan kepiting “ itulah sebab mengapa dusun
tersebut dinamakan Kepetingan. Tetapi orang-orang sering menyebut Dusun
Ketingan.
Setelah dari makam Dewi Sekardadu, sekitar pukul 07.00 WIB. Perahu-
perahu itu menuju selat Madura yang berjarak sekitar 3 Km. Sekitar pukul 10.00
WIB. iring-iringan perahu tersebut mulai meninggalkan selat Madura. Kemudian
mereka kembali ke Ds Balongdowo. Sepanjang Perjalan pulang ternyata banyak
masyarakat berjajar di tepi sungai menyambut iring-iringan perahu tiba. Mereka
minta berkat/makanan yang dibawa oleh peserta nyadran dengan harapan agar
mendapat berkah.

3.2 Solusi
Nyadran bisa dikatakan hubungan antara manusia dengan Tuhannya yang
dilaksanakan sesuai dengan tradisi manyarakat. Hal ini mengisyaratkan adanya
kekuatan lokalitas yang kental dalam tradisi masyarakat Indonesia, maka tradisi
tersebut perlu dilestarikan sebab terkadang masyarakat modern telah banyak lupa
akan nilai-nilai tradisi nyadran. Oleh karena itu, dalam tradisi nyadran memiliki
hubungan dialektika horizontal dan dialektika vertikal yang menandakan
kesalehan ritual, individu dan sosial. Dalam tradisi nyadran masyarakat akan
semakin tahu makna ritualistik, kaya akan nilai-nilai pendidikan. Dalam
kehidupan kemasyarakatan tradisi nyadran dalam menyambut awal bulan
Ramadhan telah mengariskan prinsip-prinsip tradisi lokal dan ajaran Islam.
Prinsip-prinsip tersebut antara lain rasa ukhuwah, kasih sayang, tolong menolong,
amar ma’ruf nahi munkar dan kesamaan bahwa setiap manusia pasti akan kembali
kepada sang Khalik. Makna dari prinsip tradisi nyadran bagi masyarakat Jawa
adanya pendidikan kesalehan ritual, individu dan sosial.

11
BAB V
PENUTUP
5.1 Kesimpulan
Di Jawa, pada bulan Sya’ban atau didalam kalender Jawa disebut Ruwah ada
tradisi yang dinamakan Ruwatan. Bentuk-bentuk ruwatan ini dapat berupa bersih
desa, ruwah desa dan lain-lain. Di Sidoarjo tepatnya di Desa Balongdowo,
Kecamatan Candia da tradisi tersebut dinamakan Nyadran.
Nyadran merupakan adat bagi para nelayan kupang desa Balongdowo sebagai
ungkapan rasa syukur kepada Tuhan Yang Maha Esa. Bentuk kegiatan Nyadran
berupa pesta peragaan cara mengambil kupang di tengah laut Selat Madura.
Nyadran di Sidoarjo mempunyai khas tersendiri. Kegiatan Nyadran dilakukan
oleh masyarakat Balongdowo yang mata pencahariannya sebagai nelayan kupang.
Ada satu proses dari pesta nyadran ini yaitu “ Melarung tumpeng “ Proses ini
dilakukan di muara /Clangap ( pertemuan antara sungai Balongdowo, sungai
Candi, dan sungai Sidoarjo ). Proses ini diadakan bila ada pesta Nyadran atau
nelayan kupang yang mempunyai nadzar /kaul.
Dari tata cara tersebut, jelas nyadran tidak sekadar ziarah ke makam leluhur,
tetapi juga ada nilai-nilai sosial budaya, seperti budaya gotongroyong, guyub,
pengorbanan, ekonomi. Bahkan, seusai nyadran ada warga yang mengajak
saudara di desa ikut merantau dan bekerja di kota-kota besar.
Suasana tersebut dapat terlihat saat melakukan makan kenduri bersama.
Kegiatan ini biasanya dilakukan bersama-sama saat waktu makan siang dan
dilakukan dengan lesehan. Sehingga sambil menyantap makan, setiap orang dapat
saling bercengkerama.
Dalam konteks sosial dan budaya, nyadran dapat dijadikan sebagai sarana
perekat sosial, sarana membangun jatidiri bangsa, rasa kebangsaan, dan
nasionalisme. Dalam prosesi ritual atau tradisi nyadran, kita akan berkumpul
bersama tanpa ada sekat-sekat dalam kelas sosial dan status sosial, tanpa ada
perbedaan agama dan keyakinan, golongan ataupun partai.

12
5.2 Solusi
Apabila nyadran ditingkatkan kualitas jalinan sosialnya, rasanya Indonesia ini
menjadi benar-benar rukun, ayom-ayem, dan tenteram. Nyadran dalam konteks
Indonesia saat ini telah menjelma sebagai refleksi, wisata rohani kelompok
masyarakat di tengah kesibukan sehari-hari. Masyarakat, yang disibukkan dengan
aktivitas kerja yang banyak menyedot tenaga sekaligus sampai mengabaikan
religiusitas, melalui nyadran, seakan tersentak kesadaran hati nuraninya untuk
kembali bersentuhan dan bercengkrama dengan nilai-nilai agama tarutama Tuhan.

DAFTAR PUSTAKA

13
disbudpar.jatimprov.go.id/wisata/wisata-budaya/287-upacara-nyadran-di-
sidoarjo.html
http://www.indonesiawonder.com/id/tour/wisata-budaya/nyadran-dan-larung-sesaji-
sidoarjo
http://labestcouple.blogspot.com/2013/04/upacara-nyadran-yang-masih-eksis-
dalam.html

14

Anda mungkin juga menyukai