Anda di halaman 1dari 39

1.

KONSEP PEMENTASAN
1.1.Konsep cerita
Drama ini mengisahkan tentang seorang wanita yang bernama Bu Surti seorang buruh
cuci yang memiliki seorang anak perempuan (Sari) yang sebenarnya adalah anak dari Bu
Bagus (mantan majikannya dahulu). Bu Surti memutuskan untuk mengambil Sari tanpa
sepengetahuan Bu Bagus karena selama ini Bu Bagus tidak pernah memperhatikan dan
memberikan kasih sayang layaknya seorang ibu kepada anak kandungnya. Bu Bagus adalah
seorang wanita berpendidikan yang ingin mengejar kesuksesan yang selama ini menjadi
impiannya (menjadi model) sehingga ia pergi ke luar negeri dan menelantarkan anaknya.
Setelah sari tumbuh dewasa, secara tidak sengaja Bu Surti bertemu kembali dengan
Bu Bagus di rumah Bu Tejo (pelanggannya). Seketika itu juga Bu Bagus memaksa Bu Surti
untuk mengembalikan Sari kepadanya. Dan dengan berat hati Bu Surti menyerahkan Sari
kepada Bu Bagus. Sari yang mendengar kenyataan bahwa dia bukan anak kandung BuSurti
dia merasa terpukul . Namun dia lebih memilih Bu Surti dari pada Bu Bagus ibu kandungnya
sendiri karena dari Bu Surtilah Sari dapat merasakan kasih sayang dari seorang ibu. Dan
diakhir cerita Bu Bagus menyesali perbuatannya.
1.2.Konsep panggung
Penataan panggung pada pementasan drama ini disesuaikan dengan setting cerita.
Pada babak pertama, setting digambarkan di rumah Bu Surti. Karena Bu Surti termasuk
orang yang hidupnya tidak berkecukupan maka panggung ditata dengan property sesederhana
mungkin. Pada babak kedua, setting panggung adalah di rumah Bu Tejo. Yang menggambar
rumah seorang yang cukup kaya.
Berdasarkan pertimbangan tersebut maka property yang dibutuhkan antara lain:
Meja dan kursi
Jam dinding

Keranjang cucian dan cucian


Figura dan foto
Gelas,piring,toples dan nampan
Bantal kursi
1.3.Konsep kostum
Penentuan kostum pemain disesuaikan dengan karakter dan latar belakang social para
pemain dalam drama ini, antara lain sebagai berikut:
Seragam SMU (Sari dan teman-temannya)
Daster (Bu Surti)
Kebaya (Bi Tum)
Pakaian mewah (Bu Bagus dan Bu Tejo)
1.4.Konsep penokohan
Adapun karakter dari masing-masing pemain dalam drama ini antara lain:
Bu Surti : penyabar dan keibuan
Bu Bagus : ambisius
Sari : lemah lembut dan pandai
Wulan : centil
Heni : tomboi
Dewi : pemalu

BuTejo : bijaksana
Bi Tum : cerewet dan baik hati
2. STAF PRODUKSI
1.1. administrasi
a. pimpinan produksi : Mudmainah (041052059)
b. sekretaris : Melliyanti Kardiyana (041052055)
c. bendahara : Ika Sari Nuridah (041052063)
1.2.pementasan
a. sutradara : Ika Rahmawati (041052066)
b. asisten sutradara : Intani Ika Siswarini (041052075)
1.3.penata
a. pentas/property : Dhiyan Puspitasari (041052083)
b. rias dan kostum : Siti Zulaikhah (041052081)
c. musik : Hanifah (041052045)
d. gerak : SunWahyu Tanti DP (041052065)
3. DAFTAR PEMAIN
Bu Surti : Ika Sari Nuridah (B-04/21)
Bu Bagus : Hanifah (B-04/03)
Sari : Dhiyan Puspitasari (B-04/41)

Bu Tejo : Mudmainah (B-04/17)


Wulan (teman Sari) : Siti Zuliakhah (B-04/39)
Heni (teman Sari) :Sun Wahyu Tanti DP (B-04/23)
Dewi (teman Sari) : Intani Ika Siswarini (B-04/33)
Bi Tum (pembantu Bu Tejo) : Melliyanti Kardiyana (B-04/13)
4. SINOPSIS
Bu Surti adalah seorang wanita yang kesehariaanya bekerja sebagai buruh cuci
pakaian di kampungnya. Ia tinggal bersama seorang anak perempuan yang bernama Sari.
Keduanya hidup bahagia meski dalam kesederhanaan tanpa kemewahan harta. Bu Surti
sangat mencintai Sari, anak yang diasuhnya dengan penuh kasih sayang walaupun
sebenarnya Sari bukanlah anak kandungnya melainkan hanya dipungut Bu Surti dari mantan
majikannya. Selama ini Bu Surti merahasiakan jati diri Sari yang sebenarnya baik kepada
Sari sendiri maupun para tetangga di sekitarnya. Namun hal inilah yang menyebabkan Bu
Surti cemas dan takut jika suatu hari Sari pergi meninggalkannya begitu tahu bahwa dia
bukan ibu kandungnya.
Pada suatu hari Bu Surti merasa cemas karena Sari belum pulang dari sekolahnya.
Dengan perasaan cemas tersebut Bu Surti berharap dan berdoa agar tidak terjadi apa-apa
dengan Sari. Tak lam kemudian Sari pun datang bersama teman-temannya. Sari menjelaskan
kepada Bu Surti bahwa mereka terlambat pulang karena baru saja selesai mengikuti Try Out
di sekolah. Mendengar hal itu Bu Surti merasa lega dan selanjutnya mempersilahkan temanteman Sari untuk duduk beristirahat. Mereka pun berbincang-bincang tentang sekolah dan
masa depan mereka. Tapi dalam perbincangan itu BuSurti merasa terusik batinnya karena
beberapa pertanyaan dari teman-teman Sari yang seolah mampu untuk mengungkap jati diri
Sari yang sebenarnya, bahwa dia bukan anak kandunnya.
Akhirnya Bu Surti memutuskan untuk pergi mengantarkan cucian ke rumah Bu Tejo
untuk menghindari pertnyaan-pertanyaan dari teman-teman Sari. Kemudian Bu Surti pergi

seorang diri seraya berpamitan kepada sari dan teman-teman walaupun Sari berkeinginan
untuk mengantarkan ibunya tersebut. Namun karena cemas akhirnya Sari dan temantemannya mengikuti Bu Surti ke rumah Bu Tejo secara diam-diam.
Di rumah Bu Tejo, tanpa diduga Bu Surti bertemu dengan Bu Bagus, ibu kandung
Sari, yang saat itu bertamu di rumah Bu Tejo.
Keduanya pun sama-sama terkejut. Akhirnya keduanya pun saling berbicara sesaat
setelah Bu Tejo masuk kedalam rumahnya. Bu Bagus mendesak Bu Surti agar
mengembalikan putri kandung yang selam ini dianggapnya telah di culik oleh mantan
pembantunya itu. Tetapi Bu Surti tidak mau mengembalikan sari padanya karena telah
terlanjur sayang dan telah menganggap Sari seperti anaknya sendiri.
Semua yang dibicarakan oleh Bu Bagus dan Bu Surti secara tidak sengaja didengar
oleh Sari yang sebelumnya telah mengikuti bersama teman-temannya. Kemudian Sari
meminta penjelasan kepada Bu Surti atas rahasia yang selama ini disimpannya dan Bu Surti
meminta Sari untuk kembali kepada ibu kandungnya yaitu Bu Bagus. Namun Sari
menolaknya dan tetap ingin hidup bersama Bu surti yang sangat disayanginya. Bu Bagus pun
menyesali perbuatannya.
5. NASKAH
Ibu Bukan Ibumu
Babak I
Hari itu seperti biasa Bu Surti tampak menyapu di teras rumahnya. Sudah hampir 5 (lima) tahun
ini bu Surti menjadi buruh cuci di rumah bu Tejo, tetangga yang jaraknya sekitar tiga rumah dari
rumah bu Surti. Bu Surti tiba-tiba cemas dan khawatir akan keberadaan Sari, anak yang
diasuhnya sejak kecil, yang belum pulang dari sekolah.
Bu Surti : Sampai saat ini Sari kok belum pulang juga ya? (bu Surti tampak begitu cemas)
Biasanya jam segini (sambil melihat ke arah jam dinding yang terpasang di dinding rumahnya
yang amat sederhana) Sari sudah pulang.

Ada apa ya? (bu Surti beranjak dari tempat duduknya dan melihat ke luar jendela) Padahal
cuaca hari ini cerah, tidak hujan.
Ya Allah lindungilah Sari anakku, jauhkanlah dia dari hal-hal yang dapat membahayakan dia,
Aku tidak mau kehilangan diakarena dia sangat berarti bagiku. Aku amat menyayangi dia.
Meskipunmeskipun dia bukan anakku kandungku sendiri(bu Surti sedih sekali)
Saridimana kau Nak? SariPulanglah Nak!Ibu sangat mengkhawatirkanmu
Terdengar suara orang mengucapkan salam dari luar rumah. Serentak bu Surti sangat gembira,
dia yakin itu suara Sari, anaknya. Bu Surti segera membenahi dandanannya dan beranjak ke luar.
Sari dan teman-temannya : Assalamualaikum
Sari mengajak teman-temannya masuk.
Bu Surti : Waalaikumsalam
aduh Sari, dari mana saja kau Nak? Ibu sangat mengkhawatirkanmu
Sari : Ibu enggak usah khawatir ..Sari baik-baik aja kok. Tadi di sekolah ada pelaksanaan try
out, Bu, jadi pulangnya agak telat. Oh ya, perkenalkan Bu, ini teman-teman
Sari. Teman-teman, ini ibuku!
Wulan : Siang Tante, nama saya Wulan, W-U-L-A-N
Bu Surti : Oini to yang namanya Wulan, yang sering diceritakan sama Sari itu! Kalau yang
ini siapa? (menunjuk ke arah Heni)
Heni : Saya Heni, Tante!
Sari : Kalau yang ini jago karate lo, Bu. Ehada satu lagi teman Sari
Dewi : Dewi, Tante

Bu Surti : Sari, ayo ajak teman-temanmu masuk. Pasti pada capek semua. Sari, jangan lupa
ambilkan minuman untuk mereka. Oh yadi dalam lemari ada sedikit makanan kecil, diambil
ya!
Sari : Baik Bu
Sari masuk ke dalam untuk mengambil makanan dan minuman untuk teman-temannya.
Sementara itu, bu Surti berbincang-bincang dengan Dewi, Heni dan Wulan.
Bu Surti : Bagaimana try outnya tadi? Kalian bisa menjawab semuanya khan?
Wulan : aduh Tante, solnya sulit sekaliSaya sampai keringetan ngerjakannya
Bu Surti : Kalo kamu Dewi, gimana?
Dewi : Yagitu dech Tante. Ada yang bisa dan ada yang enggak
Heni : Kalo Saya, bisa Tante ngerjakannya. Soalnya gampang kok Tante. (dengan gaya
sombongnya) Mereka aja yang yang enggak bisa!
Wulan : Bisa apaan? Bisa nyontek maksud Lu?
Wulan dan Heni tertawa
Dewi : Iya nyonteksama si Sari. Sari kan pinter Tante
Bu Surti : Sudahlah, kalian jangan saling menyalahkan. Yang penting kalian harus rajin belajar
agar pada saat UNAS nanti, kalian bisa mengerrjakan semuanya. Jangan lupa
kalian juga harus berdoa dan minta restu pada orang tua kalian!
Sari datang membawa makanan dan minuman. Dia segera bergabung dengan ibu dan temantemannya.
Sari : Pada ngobrolin apa nich? Kok kayaknya asyik banget. ,eh ini minumannya, kalian pasti
sudah haus.!

Heni : Wahasyik nich ada pisang goreng. Bikin sendiri ya Sari ? (sambil melahap pisang
gorengnya)
Sari : Iyapisang goreng ini Ibuku lho yang buatEnak khan?
Wulan& Dewi : (sambil makan, spontan mereka menjawab) Iya Sari, enak banget!
Bu Surti : Kalo begitu, tidak usah sungkan-sungkan. Anggap saja rumah sendiri yaNah
sekarang ibu tinggal dulu yaMasih ada kerjaan di belakang. Kalian teruskan
saja ngobrolnya. Ayo, silakan diminum!
Bu Surti meninggalkan Sari dan teman-temannya kemudian meneruskan pekerjaannya.
Sari : Eh teman-teman, kirra-kira kita bisa enggak yangerjain soal UAN nantityr outnya aja
sulit minta ampun
Dewi : Jangan merendah gitu dong Sari, kamu kan pinter. Tadi saja si Heni nyontek ama kamu.
Bener gak Lan?
Wulan : Iya, itu bener tuh Sari
Heni : Siapa yang nyontek? Orang gue cuma nyocokin jawaban doank!
Wulan&Dewi : Itu mah sama aja Hen
Sari : SudahlahKalian ini kayak kucing dan tikus aja
Wulan : Ngomong-ngomong kalian seneng gak sich melihat pengumuman tadi?
Heni : Pengumuman yang mana? Pengumuman PMDK? Yajelas lah. Dengan diterima
PMDK aku kan gak usah ikut SPMB lagi.
Dewi : Aku juga seneng lho teman-teman. Gimana dengan kamu Sari? Kok dari tadi kamu diem
aja?
Sari : (kelihatan bingung) akuaku

Bu Surti datang sambil membawa keranjang pakaian. Lalu dia menghampiri Sari dan
teman-temannya yang sedang asyik mengobrol.
Bu Surti : Ibu denger dari tadi sepertinya kalian asyik banget ngobrolnya. Memangnya apa yang
sedang kalian bicarakan?
Sari : Ini lho Bu, temen-temen pada ngomongin soal try out tadi dan juga tentang PMDK
Bu Surti : PMDKapa itu Sari. Ibu enggak ngerti?
Sari : PMDK merupakan salah satu cara untuk masuk Perguruan Tinggi Negeri tanpa tes,
melainkan menggunakan nilai raport saja Bu!
Bu Surti : Ohbegitu ya! Jadi, kalian ini pada mau kuliah semua ya?
Wulan, Heni&Dewi serempak menjawab :Iya Tante
Bu Surti : Kamu mau nerusin kemana Lan?
Wulan : Saya mau nerusin ke London Tante. Kata Papa disana fasilitasnya lebih lengkap dan
berkualitas gitu dech Tante
Heni : Kamu mau kuliah ke London? (sambil tersenyum sinis) Emangnya kamu bisa bahasa
Inggris?
Wulan : Ya tentu bisa dong Hen. Ini aku kasih contoh I love You
Heni : Kalau itu mah anak kecil juga bisa Lan, Oh ya kalau saya kuliah di UI lho Tante,ambil
jurusan Ekonomi Bisnis. Heni kan cinta tanah air
Wulan : Ehsiapa juga yang nanya?
Heni : Aku kan cuma ngasih informasi. Iya kan Tante?
Bu Surti : Iya. Kalau kamu Dewi? Kamu mau kuliah dimana? Ibu pehatiin kamu kok dari tadi
diem aja?

Dewi : Saya kuliah di UNESA Tante, ambil jurusan PGSD sama kayak Sari. Kemarin kan,
daftarnya bareng sama Sari Tante. Dan kita diterima lho!
Bu Surti : Kok kamu enggak cerita! Jadi, kamu juga mau kuliah Sari?
Sari : Iya Bu. Sari kan sudah diterima PMDK. Tapikalau ibu mengijinkan
Bu Surti : (sambil menghela nafas) Bukannya Ibu tidak mengijinkan, tapikita dapat biaya dari
mana? Kamu kan tahu sendiri Sari, penghasilan Ibu sebagai buruh cuci saja tidak cukup untuk
memenuhi kebutuhan kita sehari-hari. Sedangkan yang Ibu tahu biaya kuliah itu mahal sekali.
Lagi pulaIbu tidak mau berpisah jauh dari Sari
Sari : Ya sudahlah BuSari enggak maksa kok Bu untuk kuliah. Meskipun enggak bisa kuliah,
Sari kan bisa bekerja untuk menambah penghasilan dan juga masih bisa menemani Ibu. Bener
kan Bu
Bu Surti : (dengan muka murung) Bener
Wulan : Emang, Bapak kamu kemana Sari?
Mendengar perkataan Wulan, Bu Surti langsung terlihat gugup.
Sari : Ibuibu enggak apa-apakan? Maaf temen-temen, mungkin Ibu agak sedikit kaget.
Sebenarnya bapakku sudah lama meninggal dunia. Aku sendiri enggak tahu wajah aslinya.
Selama ini aku mengenal dia hanya melalui selembar foto
Wulan : Maafkan aku Sari. Aku bener-bener enggak tahu
Dewi : Kamu sich Lan, ngomongnya asal keluar aja. Terusgimana masalah kuliah kamu
Sari?
Sari : Sudahlah teman-teman,jangan omongin soal kuliah lagi entar Ibuku tambah stress dan
penyakitnya kambuh lagi. Sari ikhlas kok. Mungkin Tuhan belum memberikan kesempatan,
mudah-mudahan tahun depan ada kesempatan untuk kuliah, bener kan temen-temen?

Dewi, Heni& Wulan : Iya bener Sari!


Heni : Ngomong-ngomong, mukamu dengan ibumu kok gak sama ya Sari? Saya rasa lebih
cantik ibumu dech daripada kamu. Bener gak temen-temen?
Wulan : Iya loh Sar, lebih cantik ibumu
Sari : Kalian ini ada-ada aja dech. Meskipu wajahku tidak sama, tetapi golongan darahku sama
dengan ibu. Dan ini berarti, aku anak kandung asli ibuku. Ya kan Bu?
Bu Surti tampak gugup dan kebingungan menanggapi pertanyaan Sari dan dengan
perasaan kacau, antara takut dan sedih akhirnya dia menjawab
Bu Surti : IIiya Sari,kamu memang anakku
Dewi : Kamu punya berapa saudara Sari?
Sari : Aku tidak punya saudara. Disisni aku hanya tinggal berdua sama ibu
Heni : Enak dong Sar. Kalau punya sesuatu gak usah dibagi-bagi. Enggak kayak aku yang
saudaranya banyak
Sari : Seharusnya kamu bersyukur punya saudara. Kan ada yang membantu dan menghibur
kamu
Sementara Sari dan teman-temannya mengobrol, bu Surti melihat ke arah jam. Lalu dia
bergegas untuk mengantarkan cucian ke rumah bu Tejo. Dia tidak ingin terlibat dalam
perrbincangan yang mengarah pada masalah pribadinya. Bu Surti takut semua masa lalunya
terungkap.
Bu Surti : (dengan wajah cemas dan gelisah) Sudah jam 3 (tiga), Ibu mau mengantarkan cucian
dulu ya ke rumah bu Tejo
Sari : Gak usah Bu, biar Sari aja yang nganterin cuciannya. Ibu kan sedang sakit

Wulan : Tante, kami antar aja yapake mobil saya Tante


Heni : Mobil apaan? lah wong tadi kita kesini naik angkot juga
Bu Surti : Sudah, enggak apa-apa kok! Ibu nganterin sendiri aja yaKalian terusin aja
ngobrolnya
Sari : Bener Ibu enggak apa-apa?
Bu Surti : Bener Sari. Ibu berangkat dulu yaAssalamualaikum
Bu Surti berangkat ke rumah bu Tejo dengan membawa cucian.
Sari : Waalaikumsalam. Eh teman-teman, kok perasaanku gak enak ya? Sebelum Ibu pergi kok
kayaknya ada yang aneh! Aku jadi khawatir sama ibu. Aku takut terjadi apa-apa sama ibu!
Dewi : Gimana kalau kita ikutin aja Sari?
Heni : Tapi kamu tahu kan ibumu pergi ke rumah siapa?
Sari : Bu Tejo Hen
Heni : Iyaiyabu Tejo
Sari : Iya aku tahu. Kalau begitu, sekarang kita susul ibu. Bagaimana teman-teman?
Dewi, Heni& Wulan : ok dech!
Sari dan teman-temannya pergi ke rumah bu Tejo untuk menyusul bu Surti.
Babak II
Bu Tejo dan bu Bagus tiba di rumah bu Tejo sekitar pukul 03.00 WIB. Mereka
menghabiskan waktu seharian berbelanja di mal.
Bu Bagus : aduh Jeng, kalung yang tadi itu bagus banget ya jeng

Bu Tejo : Oh maksud jeng yang liontinnya berbentuk hati itu ya Jeng


Bu Bagus : iyaiya yang itu jeng .eh.tau enggak, minggu kemaren waktu suamiku ke Swiss,
ia membelikan seperangkat perhiasan lho jeng, lengkap lho ada anting, kalung, gelang, dan
cincin juga lho.
Bu Tejo : ah minggu depan suamiku juga mau ke Perancis lho jeng, sekalian mau belikan
aku perhiasan juga.
Bu Bagus : ke Perancis!! Aduh saya jadi inget waktu saya masih tinggal di sana.
Bu Tejo : oh..jeng Bagus pernah tinggal di Perancis to., berapa lama jeng?
Bu Bagus : ya..lumayanlah sekitar 10 tahunan, kan dulu disana saya pernah jadi model lho,
masa jeng gak tau sich, saya kan dulu selalu tampil di majalah.
Bu Tejo : tapi bukan majalah play boy kan jeng?.
Bu Bagus : ya bukan lah.
Bu Tejo : aduh ternyata jeng Bagus ini wanita kareir yang sukses yasaya dengar kemarin
buka salon lagi ya jeng?
Bu Bagus : ya.maklum lah kan bisnis saya lagi berkembang. jangan lupa mampir lho jeng
nanti ada diskon khusus buat jeng.
Bu Tejo : bener lho jeng.
Bu Bagus : ohpasti
( Tiba-tiba Bu Bagus memandang ke sebuah foto di sudut ruang tamu)
Bu Bagus : eh.jeng, itu foto siapa kok mirip sama jeng Tejo, adiknya ya jeng?
Bu Tejo : kenapa, cantik ya..? itu anak saya namanya Indah, sekarang dia lagi kursus
modelling di Perancis.

Bu Bagus : ohanaknya ya..,umurnya berapa jeng?


Bu Tejo : 18 tahun
Bu Bagus : ( teringat sesuatu ) hah 18 tahun!!berarti seusia dengan dia (sambil
mengingat sesuatu).
Bu Tejo : dia siapa jeng?
Bu Bagus : ahbukan siapa-siapa kok.
( tiba-tiba muncul Bi Tum dengan membawa makanan dan minuman)
Bu Tejo : aduh lama banget sich .
Bi Tum : maaf nyonya tadi gulanya habis, jadi saya harus beli ke warung, terus pas nyampek di
warung antrinya panja..ng banget, belum lagi nunggu kembaliannya kan
Bu Tejo : ( memotong perkataan bi Tum) sudah-sudah kamu ini alasan saja, sudah sana pergi!
Maaf lho jeng kelamaan nunggu, ayo jeng diminum dulu.
Bu Bagus : oh ya (mengambil cangkir dan hendak meminumnya)
Bu Tejo : eh ngomong-ngomong bagaimana kabar anak jeng sekarang?
( Bu Bagus tidak jadi meminumnya dan agak sedikit gugup)
Bu Bagus : apa jeng, anak saya?anak saya maksud jeng?
Bu Tejo : ya iyalah, emang anak siapa?
Bu Bagus : anak saya.anak saya...
(terdengar suara tamu mengucapkan salam)
Bu Surti : Assalamualaikum, Assalamualaikum.

Bu Bagus : jeng ada tamu tuh, menggangu saja ya jeng.


Bu Tejo : sebentar ya jeng saya lihat dulu( Bu Tejo menghampiri tamunya)
oh..bu Surti tho, silahkan masuk bu.
Bu Surti : iya Bu, ini Bu saya mau nganterin cucian .
( Pada saat Bu Surti hendak menyerahkan cucian kepada Bu Tejo, secara tidak sengaja Bu Surti
melihat ke arah Bu Bagus dan dia sangat terkejut sekali sampai keranjang cucian yang
dibawanya jatuh tanpa dia sadari)
Bu Tejo : lho..lho.lho..! kok jadi berantakan semua, gimana sih Bu Surti, sini bu biar
saya bantu.(sambil memungut pakaian yang terjatuh)
( Bu Bagus pun menoleh pada tamu Bu Tejo dan dia pun terkejut, sampai minuman yang
ia minum tersembur dari mulutnya. Dengan gugup dia merapikan kembali penampilannya)
Bu Tejo : ya sudah Bu Surti duduk saja dulu, saya mau menaruh cucian ini ke dalam
( menoleh ke arah Bu Bagus) aduh jeng, kok jadi berantakan begini,tuh lihat baju jeng Bagus
basah semua. Jeng Bagus sih kurang hati-hati. Tapi gak apa-apalah biar nanti Bi Tum saja yang
beresin. saya tinggal ke dalam dulu ya jeng.
Bu Bagus : i..i..iya silahkan.
( Bu Tejo pun masuk dengan membawa cuciannya dan tinggallah Bu Bagus dan Bu Surti.
Tak lama kemudian Bu Bagus beranjak dari tempat duduknya lalu menghampiri Bu Surti)
Bu Bagus : eh kamu..dasar wanita sialan ..! kemana saja kau selama ini?
( Bu Surti hanya terdiam) kenapa kau diam, apa kau takut padaku?
Bu Surti : Bb..b.bagaimana kabar nyonya?

Bu Bagus : kenapa, apa kau berharap aku sudah mati? tak semudah itu,dimana kau
sembunyikan anakku?
Bu Surti : apa..apa..maksud nyonya?
Bu Bagus : apa maksudku? ah.sudahlan jangan berlagak bego. Bukankah kau tau sendiri apa
yang kau lakukan belasan tahun yang lalu.
Kau teleh merenggutnya dariku.kau telah merampas anakku, cepat katakan Surti dimana
anakku sekarang! Kembalikan dia padaku, aku adalah ibu kandungnya!!!( sambil
mengguncang-nggincang tubuh Bu Surti)
Bu Surti : tidaktidaknyonya ! saya tidak merampas dia, saya tidak pernah merampas
dia dari nyonya. Tapi saya hanya ingin mengasuhnya.
Bu Bagus : ya.kau asuh dia tanpa sepengetahuanku dan itu sama artinya dengan kau
merampasnya

dariku,

kau

telah

menculiknya.ya..kau

telah

menculik

anakku.kembalikan dia Surti..kembalikan anakku.!!!.


Bu Surti : tidak nyonyatidak..saya tidak bisa...
Bu Bagus : Apa maksudmu dengan tidak bisa, sadar surti kamu tidak berhak atas dia, tapi
aku..aku yang berhak atas dia, aku ibu kandungnya surti!!!.
(Bu Tejo muncul dari dalam rumahnya)
Bu Tejo : Eeeada apa ini kok rame-rame to? Jeng Bagus, bu Surti ada apa toh?
Bu Bagus : (sambil menangis) perempuan ini Jeng, perempuan inidiadia yang telah
menculik anak saya
Bu Tejo : menculik? Bu Tejo jadi semakin bingung.
Bu Surti : (langsung berdiri) Tidaktidakitu tidak benar Bu

Bu Bagus : Percaya sama saya Jeng! Perempuan ini memang tidak tahu diri!
Bu Surti : Saya tidak bersalah Bu, tidak
Bu Tejo : Sudahsudah cukup, Jeng Bagus, bu Surti cukup ini rumah
saya, Jeng Bagus dan bu Surti ndak berhak bertengkar disini
Bu Bagus : tapi diadia telah merampas anak saya Jeng
Bu Tejo : sudahsekarang tenang dulu. Cerita sama saya ada apa ini sebenarnya
Bu Bagus : (sambil menangis) anak saya Jeng, dia telah memisahkan saya dengan anak
saya
Bu Tejo : Anak Jeng?
Bu Bagus : Iya Jeng anak sayaAnak yang telah saya telah lahirkan 18 tahun yang laluDan
diadia telah merampasnya dari saya Jeng
Sbu Surti : TidaktidakDemi Tuhan saya tidak merampas Sari dari Nyonya. Saya hanya
ingin merawatnya
Bu Bagus : merawatselalu saja kamu bilang kalau kamu merawatnya Kamu enggak tahu
Surti, bagaimana penderitaanku tanpa adanya seorang anak disisiku
Bu Surti : penderitaan? Apa arti seorang anak bagi nyonya? Nyonya hanya mementingkan
kekayaan, karier dan popularitas saja tanpa memperdulikan anak Nyonya
Bu Bagus : sudahlah. Kamu tahu apa Surti? Memangnya kamu tahu apa tentang hidup yang
aku jalani? Aku banting tulang siang malam mencari nafkah, dan kamu tahu semua ini untuk
siapa? Untuk anakku Surti, semua ini untuk Sari
Bu Surti : tapiSari tidak pernah mendapat kasih sayang. Apakah Nyonya tahu itu? Ketika
Sari menangis siang dan malam membutuhkan ASI. Tahukah Nyonya apa yang Nyonya lakukan?

Nyonya keluar dan sibuk mencari popularitas. Dan saya tidak tega melihat Sari terus-terusan
menangis seperti itu. Dansayasaya ingin merawatnya
Bu Bagus : cukup Surti. Cukup! Kau bukan ibu kandungnya aku.. ibu kandungnya. Aku
yang telah mengandung dia selama 9 bulan. Aku juga mempertaruhkan nyawaku agar dia bisa
lahir ke dunia ini. Kau tidak berhak atas dia. Selama apapun kau merawatnya kamu tetap bukan
ibu kandungnya. Aku yang berhak memiliki dia. Jadi kembalikan dia padaku, kembalikan
Sementara itu, diluar rumah bu Tejo tampak sari dan teman-temannya yang sedang
mendengarkan pembicaraan Bu bagus dan Bu surti. Sari tidak tahan mendengar semua ini dan ia
ingin segera masuk ke rumah bu Tejo namun dihalangi oleh teman-temannya.
Bu Bagus : baik Nyah saya akan memenuhi permintaan Nyonya. Saya tahu saya bukan ibu
kandungnya dan hanya nyonya yang berhak memiliki Sari. Tapi biarlah Sari yang memilih
diantara kita siapa ibu yang terbaik untuknya
Tiba-tiba Sari masuk setelah berusaha dicegah oleh teman-temannya. Bersamaan dengan
ini, Dewi, teman Wulan pingsan karena shock dan takut.
Sari :Assalamulaikum (dengan lemas menghampiri Bu Surti), Bu.Sari sudah mendengar
semua yang ibu bicarakan ,kenapa ibu merahasiakan ini dari Sari Bu..?
Bu Surti :maafkan Ibu nak, Ibu tidak berniat membohongimu selama ini, tapi ibu tidak mau
kehilanganmu. Dialah ibu kandungmu, ikutlah bersamanya Sari
Bu Bagus :Sari..aku adalah ibumu, bukan wanita itu. Kemarilah Sari dia tidak sebaik yang
kau kira.
(berbicara kepada Bu Surti) dasar wanita tidak tahu diri, tidak tahu terima kasih
Sari

berbicara kepada Bu Surti dan tidak menghiraukan Bu Bagus) tapi,..ibu Sari hanyalah

ibu seorang. Sari sayang sama ibu, sungguh-sungguh menyayangi ibu. Apa ibu tidak menyayangi
Sari lagi.?

Bu Surti tidak nak, jangan berkata seperti ituibu selalu menyayangimu, dari kecil ibu
mengasuhmu dan selalu menyayangimu seperti anak ibu sendiri. Tapi bagaimanapun juga dia
adalah ibu kandungmu yang berhak atas dirimu ( kemudian Bu Surti berdiri).
Bu Bagus : hai.Surti sialan, jangan kau kotori pikiran anakku. Kau memang benar-benar
wanita jahat, tidak tahu diri..dasar wanita mandul, bisamu hanya merampas anak orang!!!
Bu Sari : maafkan ibu nak.ibu sudah tidak tahan mendengar semua ini. Ibu tidak seharusnya
diantara kalian..ibu hanya menjadi beban dan penghalang. Sari., kau adalah anak yang baik.
Kembalilah padanya, ibu sangat bahagia engkau telah menjadi bagian hidupku. Meskipun
tanpamu, ibu akan mencoba jalani hidup ini. kembalilah nak.!ibu mohon padamu. ( kemudian
Bu surti pergi meninggalkan Sari dan bu Bagus)
Sari : ibu..Sari tidak mau bu., saya ingin bersama ibu. ( sambil menangis)
Bu Bagus : kembalilah pada ibu nak! aku adalah ibu kandungmu
Sari : (terdiam)
Bu Bagus : Sari kau tak perlu menangisi wanita itu, Surti hanyalah wanita miskn yang telah
merampasmu dariku. Kemarilah Sari..ibu sangat rindu dan sangat sayang padamu.
Sari : kau..benarkah kau menyayangiku??? Tidak.tidak aku tidak mau kembali padamu.
Bagiku ibuku adalah Bu surti.
Bu Bagus : tapi aku telah melahirkan kamu nak, bukan buruh cuci itu.
Sari : baik, jika kau memang ibu kandungku apa yang kau berikan padaku selama ini?
Bukankah kamu hanya sibuk ke Perancis mencari harta saja.
Bu Bagus : jangan berkata seperti itu pada ibu nak, kamu tidak tahu
bagaimana penderitaanku selama ini. Ibu membanting tulang siang dan malam agar kamu bisa di
pandang oleh masyarakat, agar kamu tidak dicemooh sebagaimana kamu anak seorang buruh
cuci.

Sari : Aku memang tidak tahu penderitaanmu selama ini, yang aku tahu dan aku rasakan ibu
Surti adalah ibu kandungku, dia yang selama ini merawatku, membesarkanku dan telah
memberikan kasih sayangnya kepadaku.
Bu Bagus : sari, akulah ibu kandungmu.bukan wanita itu, dia hanyalah seorang pembantu
yang telah menculik kamu .
Sari : omong kosong itu semua, aku bahagia hidup degan ibu surti.
Bu Bagus : bahagia kamu bilang, bagaimana mungkin kamu bisa bahagia hidupmiskin bersama
wanita itu, apa yang dia punya? Dia hanya seorang buruh cuci lalu bagaimana dengan
kebutuhanmu sehari-hari, bagaimana pendidikanmu. Apa kamu tidak ingin belajar di luar Negeri
seperti anak Bu Tejo. Dan itu tidak bisa diberikan oleh wanita itu.
Sari : materi terus yang kamu katakan!..muak..muak aku mendengarnya! Sebenarnya ibu
macam apa kamu ini!
Bu Bagus : oh anakku, teganya kamu berkata seperti itu pada ibu kandungmu sendiri.
Sari : asal kamu tahu, bagiku harta bukanlah segala-galanya dan kasih sayang seorang ibu telah
aku rasakan dari ibu Surti, dia adalah kebahagiaanku selama ini. Dan saat ini juga aku
memutuskan untuk ikut dengan bu Surti saja.
Sari pergi meninggalkan Bu Bagus dan Bu Bagus menangis menatap kepergian Sari.
Bu Bagus :tidak Nak. Jangan lakukan itu pada ibu Sari(teriak), oh Tuhan, mengapa
ini semua terjadi
padaku. Anak yang aku lahirkan lebih memilih orang lain dari pada aku. Apa arti semua ini
(sambil melepas semua perhiasannya) semua harta, kekuasaan, dan popularitas yang aku
dapatkan tidak bisa membawa anakku kembali ke pangkuanku. Aku menyesal.aku sungguh
menyesal ( sambil duduk bersimpuh). Kalau tahu akhirrnya akan seperti ini aku tidak akan
pernah menyia-nyiakan anakku, maafkan aku anakku. Maafkan ibu yang tidak tahu diri ini. (Bu
Tejo menghampiri Bu Bagus dan berusaha menenangkannya)

Naskah pementasan Teater SENYAWA


(Jakarta - Bandung, 2-8 November 2007)
Diadaptasi dari cerita pendek karya Lian Kagura yang berjudul Perempuan Telaga
Duka
Sutradara: Meiliana Komalarini
Casting : Divisi Script & Casting Teater SENYAWA
Script Writer: Lia Octavia, Meiliana Komalarini, Lilyani Taurisia, Yanuardi
PEREMPUAN TELAGA DUKA
Cast:
Nama

Peran

-----------------------------------------------------------------------------------------------Heni

Narrator 1

Lia Octavia

Narrator 2

Yanuardi

Paijo

Lilyani

Retno (Guretno Ridiansih)

Fiyan Arjun

Widodo (mantan kekasih Retno)

Sutarni

Ponirah (Ibu Paijo)

Lamuna

Subroto (Kepala Sekolah)

Ani

Sulastri (istri Kepala Sekolah)

Furqon/Ervan

Bejo / nama keren Joe


(anak Subroto & Sulastri)

Ayya

Ustadz Abdullah

Aira

Aini (istri Ustadz Abdullah)

Barida

Supinah / nama keren Vina


(anak Ust Abdullah & Aini)

Ria

Sumiati / nama keren Mita

(anak Ust Abdullah & Aini)


Billy Antoro

Riandi (guru/teman seprofesi Paijo)

Echa

Sri (murid Paijo)

Rina

Wati (murid Paijo)

Puji

Suti (murid Paijo)

Nabilah

Atun (murid Paijo)

Bunga

Parinem (murid Paijo)

Character:

1)

Paijo: lugu, polos, sopan, pendiam, introvert, patuh pada ibu, suka
memendam perasaan yang bergejolak, mengaji pada Ustadz Abdullah,
pendidikan Madrasah Ibtidaiyah, anak laki-laki satu-satunya

2)

Retno: periang, ceria, friendly, tergantung pada Widodo, tetapi berubah


seratus delapan puluh derajat ketika Widodo menghilang; kosong, separuh
jiwanya hilang, bengong, suka termenung-menung di tepi telaga

3)

Widodo: romantis, penyayang, care, sering menasehati Retno

4)

Ponirah: cerewet, bersuara keras, kata-kata yang menusuk, terlalu sayang


pada Paijo, melarang Paijo pergi merantau

5)

Subroto: sahabat almarhum ayah Paijo, lulusan dari kota yang menjadi
kepala sekolah, karena alm ayah Paijo sahabatnya, maka ia merekrut Paijo
menjadi guru dengan pendidikan Paijo yang hanya setingkat SMA,
mendukung Ponirah dengan alasan Paijo anak laki-laki satu-satunya yang
harus menjaga ibunya

6)

Sulastri: cerewet, gemar ngerumpi, teman ngerumpi Ponirah, gemar


membanggakan anaknya yang banyak uang setelah pergi merantau,
mendorong Ponirah dengan sangat keras agar mengijinkan Paijo pergi
merantau

7)

Bejo: teman Paijo dari kecil, bergaya norak ala kota, suka mengatakan halhal yang hiperbola, nyeleneh, senga, sok bergaya, kasar, suka menyakiti Paijo
dengan kata-kata kasar, sombong

8)

Ustadz Abdullah: guru mengaji di musholla tempat biasa Paijo shalat, suka
kotbah dan menceramahi serta menggurui, menjadi tempat curhat Paijo
karena Paijo tidak punya orang yang dianggap pas sebagai tempat curhat

9)

Aini: tidak begitu cerewet, teman ngerumpi Ponirah & Sulastri, suka
menceramahi teman-teman ngerumpinya karena ia sering mendengar
ceramah suaminya, jadi ia hapal luar kepala, berusaha tidak memihak pada
Ponirah atau Sulastri dan sangat membangga-banggakan suaminya yang
seorang ustadz

10) Supinah & Sumiati: teman Paijo dari kecil, bergaya norak asal kota, sok,
gaul, suka menggosip dan mengata-ngatai Paijo yang pendiam, mereka
merantau ke kota menjadi PSK di sana tanpa diketahui orang tuanya
11) Riandi: seorang guru PNS yang sedang menjalani masa dinas 2 tahun di
desa terpencil tempat tinggal Paijo, bete dan bosan dengan suasana desa,
sering curhat tentang bete-nya pada Paijo, mendorong Paijo dengan halus
agar merantau
12) Sri: murid yang gaul, suka meminta perhatian Paijo dan suka bikin masalah
di kelas (trouble maker)
13) Wati: sahabat Sri yang mengikuti saja apa-apa yang dilakukan dan
diperintahkan Sri
14) Suti: murid yang kutu buku dan pendiam, tapi diam-diam ia mengidolakan
Paijo
15) Atun: murid Paijo yang anggota Rohis dan taat beribadah
16) Parinem: murid Paijo yang ingin tahunya besar dan banyak bertanya hal-hal
yang tidak perlu ditanyakan pada Paijo sehingga Paijo sering kehabisan
kesabaran bila menghadapinya
BABAK I
Tentang Sepenggal Kisah Cinta Retno Sehingga Telaga Itu Terkenal
Sebagai Telaga Duka
Scene 1:
(Narrator mendeskripsikan suasana di tepi telaga duka yang tenang dn hening.
Hanya ada suara gemericik air dan kicau burung. Saat Retno dan Widodo biasa
bertemu di sana)
Narrator 1 : Di punggung ngarai sebuah gunung, di mana burung-burung masih
gemar bernyanyi, angin sejuk membelai dedaunan yang rimbun, hening, tenang.
Hanya gemericik air yang jernih yang terdengar, terdapat sebuah telaga, dengan
bebatuan dan rumput-rumput ilalang yang tumbuh di sekeliling tepiannya. Di bawah
langit senja yang kian memerah, menjadi saksi bisu dua insan yang sedang
mengurai cinta.

(Dilanjutkan dengan dialog antara Retno & Widodo yang menggambarkan karakter
Widodo yang romantis, penyayang, care dan sering menasehati Retno, sehingga
Retno menjadi merasa tergantung padanya) Dialog Widodo dan Retno dalam
bentuk puisi
(Retno dan Widodo berdiri di pinggir telaga)
Widodo
: (tersenyum gembira) Duhai bidadariku, kau tampak cantik sekali sore
ini. Aku begitu merindukanmu. Siang, malam, bahkan mentaripun enggan beranjak
ke peraduannya, ingin berlama-lama menatap wajahmu yang jelita dan anginpun
ingin membelai rambutmu yang hitam.
Retno
: (tersenyum gembira) Oh Kakanda Widodo, engkaupun terlihat gagah
sore ini. Aku juga sangat menantikan saat-saat berjumpa denganmu. Meniti hari,
bersama-sama menatap merahnya langit senja, hanya kita berdua, disaksikan oleh
nyanyian burung-burung dan sejuknya air telaga ini. Aku begitu bahagia
Widodo
: (bingung) Akupun demikian, Dik Retno. Tetapi, mengapa matamu
terlihat sembab? Apa yang terjadi? Apakah kau habis menangis?
Retno
: (tersipu malu) Ah Kakanda Widodo, aku menangis bukan karenamu.
Tetapi karena begitu merindukanmu. Terutama di malam-malam dingin yang tak
berawan, bintang enggan menari dengan rembulan. Aku sungguh kesepian
tanpamu. Aku selalu teringat padamu. Aku sungguh tak sabar ingin berjumpa
denganmu. Aku ingin selalu bersamamu. Aku tidak mau membagimu dengan
seorangpun.
Widodo
: (memegang kedua bahu Retno)Dik Retno, bersabarlah. Sabar itu
adalah pelita hati, penghias akhlak dan penenang jiwa. Percayalah, buah kesabaran
itu manis rasanya. Bukankah aku selalu datang menjumpaimu di sini? Dan ingatlah
selalu pada Sang Maha Kasih, karena Ia-lah kita dapat selalu berjumpa di sini.
Retno
: (Memegang tangan Widodo)Ya benar, Kakanda Widodo. Kau benar.
Kau selalu benar. Tetapi aku seringkali ingin memutar dunia ini lebih cepat sehingga
waktu berpacu mengalahkan segala rasa dan membawaku ke senja dimana aku
dapat bertemu denganmu. Dan aku berharap waktu berhenti selamanya, saat aku
bersamamu.
Widodo
: (tersenyum) Sabar dan ikhlaslah dalam menjalani hari. Ikhlas
menunggu saat-saat bahagia kan menjelang. Berjanjilah padaku kau tidak akan
menangis lagi?
Retno
: (meletakkan tangan kanan di dada) Aku berjanji, Kakanda. Apapun
yang kau katakan adalah titah bagiku.

Widodo
: Aku sayang padamu, Dik Retno. Terimalah bunga mawar ini sebagai
tanda kasihku yang tulus padamu. (Widodo memberikan bunga mawar merah pada
Retno)
(mereka berdua, duduk bersisian di tepi telaga)
Narrator 1 : Di atas bebatuan, di bawah pohon beranting dan berdaun lebat,
bersama-sama menyaksikan ratu malam menurunkan tirai hitamnya, menutupi
langit senja yang kian memudar bersama mentari.
Scene 2:
(Menceritakan tentang Widodo dan Retno yang berjanji untuk bertemu di telaga
duka pada senja keesokan harinya. Dialog Widodo dan Retno dalam bentuk puisi
Widodo
: Dik Retno, tak terasa sudah hampir seribu senja kita habiskan
bersama di tepi telaga ini. Apakah kau tidak bosan duduk di sini bersamaku?
Retno
: (bingung) Bosan? Bagaimana mungkin aku bosan bila bersamamu,
Kanda? Lihatlah rumpun-rumpun bunga yang meliuk lembut ditiup angin, langit
merah mengarak senja, burung-burung terbang rendah kembali ke sarangnya, dan
permukaan air telaga ini tampak begitu jernih dan tenang. Setenang hatiku bila
bersamamu.
Widodo
: Lega hatiku mendengarnya. Dik Retno, apakah engkau bersedia
untuk menungguku di sini esok hari? Aku hendak membicarakan sesuatu yang
sangat penting denganmu.
Retno
: (tersenyum penuh semangat)Tentu saja, Kanda. Apapun yang kau
katakan adalah titah bagiku. Aku akan menunggumu di sini, esok hari, kala
cakrawala mulai membiaskan merah saganya, kala mentari mulai mengatupkan
kelopak matanya, hingga Kanda datang menemuiku di sini.
Widodo
: (memohon) Dan maukah engkau berdandan yang paling cantik
untukku? Aku sangat suka bila melihatmu mengenakan kebaya putih dan kain lurik
cokelat, dengan gelang di pergelangan tanganmu. Dan aku sangat suka bila engkau
mengurai rambut panjangmu yang hitam.
Retno
: (tersenyum penuh semangat) Tentu saja, Kanda. Apapun yang kau
minta akan aku turuti. Kata-katamu adalah titah bagiku.
Widodo

: (serius) Dan kau menungguku di sini sampai aku datang?

Retno
: (sambil memandangi telaga) Aku akan selalu menunggumu di sini
Kanda. Hingga butir-butir pasir tidak lagi menyentuh pantai. (menghadap ke
Widodo) Apa yang akan engkau bicarakan padaku, Kanda?

Widodo
: Sabar, Dik Retno. Tunggulah hingga esok senja menjelang. Kau akan
mengetahuinya. Sesuatu hal yang akan mengubah masa depanmu untuk
selamanya.
Scene 3:
(Pada senja esok harinya, Retno datang ke telaga duka dengan berdandan rapi,
menunggu kedatangan Widodo di tepi telaga, tetapi Widodo tidak datang-datang.
Retno duduk di tepi telaga hingga malam tiba.
Retno
: (lelah) Duhai kekasihku tercinta, di manakah engkau berada
sekarang? Aku sudah duduk menunggumu di sini, di tepi telaga ini. Aku
menunggumu datang untuk mendengarmu mengatakan hal penting itu. Lihatlah,
aku sudah mengenakan kebaya putih dan kain lurik cokelat kesukaanmu.
Rambutkupun sudah tergerai mewangi, hingga kupu-kupu beterbangan dan kunangkunang menari di sekitarku, dan senjapun tersenyum menatapku. Tetapi engkau
belum datang juga.
Narator1 : Senja esok harinya
Narrator 1 : Senja telah kembali memeah di ufuk barat, menyapa insan yang
tengah menunggu cinta
Retno
: (duduk-berdiri-duduk di atas batu) Duhai Kanda Widodo di manakah
engkau berada? Mengapa hingga kini engkau tidak datang-datang juga? Kesalahan
apa yang aku lakukan sehingga engkau tidak lagi datang menemuiku? Aku selalu
menuruti kata-katamu. Kata-katamu adalah titah bagiku. Engkau berada di mana?
Narator 1 : Beberapa senja kemudian
Narrator 1 : Senja tak bosan-bosannya datang ke haribaan dunia. Entah
kehadirannya diharapkan atau tidak, ia selalu setia menghampiri dan menyelimuti
buana dengan selendang merahnya. Namun, bukan senja yang ditunggu, melainkan
kedatangan cinta sang kekasih.
Retno
: (menangis sambil duduk di atas batu) Kanda Engkau ada di mana
sekarang? Aku begitu merindukanmu Aku ingin bersamamu mendengar suara
lembutmu melihat senyummu Kemanakah engkau, Kanda??? Engkau ke
manaaaa???
Narator 1: Beberapa senja kemudian
Narrator 1 : Senja kembali datang. Datang membawa asa. Pergi membawa rindu.
Dan malam menghias dengan putus asa dan air mata.
Retno
: ( Retno duduk terbengong-bengong) Kanda Widodo, sudah hampir
seratus senja telah berlalu. Daun-daun menjadi kering dan berguguran ke tanah,
nyanyian burung-burung terdengar serak, angin bertiup sangat dingin,

membekukan hatiku, yang kian membiru, di dalam rindu. Dan telaga ini, Telaga
Dukaku, menjadi saksi bisu, kerinduan hatiku, padamu, kekasihku
Narrator 1 : Sepi membalutnya dalam kesunyian yang abadi. Di dalam penantian
yang tiada berujung. Sepi yang melebur dalam rindu. Rindu yang beku.
Membekukan segala rasa, menghempaskan segala asa.
BABAK II
Tentang kehidupan Paijo sehingga ia ingin bunuh diri di telaga duka
Scene 1:
(Menceritakan mengenai kondisi psikologis Paijo yang mendapat tekanan dari
lingkungannya) Narrator dalam bentuk puisi
Narrator 2 : Di sisi lain ngarai itu, di punggung gunung yang sama, di bawah
langit senja yang sama, laki-laki muda merajut hari, di dalam dunia yang jarang
tersenyum padanya. Sepenuh hati menahan rasa, akan asa dan angan-angan yang
terbuang. Akan mimpi yang tak pernah menjadi miliknya. Tak dapat banyak
berharap. Dunia tidak memberi banyak tempat luang di dalam keberadaannya.
Mengiris, menyayat perasaan. Hingga ia dekap segala luka yang bercucuran
mengalir dari hati seputih kertas.
Narator:

membuat

puisi

tentang

tekanan-tekanan

yang

sangat

menghimpitnya hingga terbawa tidur (belum dibuat)


Narrator 2

: tak kuasa hati menanggung, beban jiwa yang kian menghimpit. Hari-

hari kering, bahkan mimpipun berbunga bangkai, terus mengejarnya hingga ke


ujung waktu.
(Narator: menjelaskan siapa tokoh Ponirah)
Narrator 2 : Dalam hangatnya belaian dan kasih sayang ibu, tercurah pada
permata hati satu-satunya, setelah belahan jiwa telah lama berpulang pada Sang
Cinta. Mendekap erat buah hati, walau kadang ia lupa, buah hati tercinta telah
beranjak dewasa. Cinta seorang ibu, yang mengalahkan dalamnya samudera,
luasnya jagad raya dan tingginya cakrawala.
Ponirah : (menyiapkan sarapan) Le! Ayo sarapan!
Paijo
: (langkah tak bersemangat menuju meja makan sambil membawa tas
kerjanya) Bu, saya ingin ke kota. Ingin mengadu nasib. Siapa tahu hidup kita bisa

lebih baik. Lihat teman-teman SMA-ku. Mereka sudah bisa mengangkat kehidupan
keluarganya.
Ponirah : (sambil duduk) Le, bukan ibu nggak kasih. Ibu hargai niat baikmu...,tapi
ibu nggak ingin kamu seperti Bejo, Supinah atau Sumiati. Gaya mereka berlebihan.
Paijo

: (menggaruk kepala yang tidak gatal)Tapi Bu...

Ponirah : (meletakkan gelas di meja)Sudahlah! Kamu kowe tega meninggalkan ibu


sendiri di desa?
Paijo

: (memohon) Bukan begitu Bu...

Ponirah : (marah)Ya sudah di desa saja! Tugasmu banyak di desa ini! Menjaga ibu
untuk ayahmu! Membalas budi baik pak Subroto yang telah memberimu pekerjaan
di sekolahnya Meningkatkan kecerdasan anak-anak di desa ini! Membangun desa
ini!
(Paijo kembali posisi tidur)
Scene 2:
Narator: mejelaskan siapa tokoh Bejo, Supinah dan Sumiati.
Narrator 2 : Sahabat, apakah Sahabat yang dulunya pernah mewarnai jalan
bersama-sama, tertawa dan menangis bersama, tetapi setelah pernah terpisah
jarak dan waktu, seakan menjadi orang asing yang tak bisa dikenali lagi
(Bejo, Supinah, dan Sumiati bertemu di jalan besar)
Bejo

: Cie...Pinah, ponsel baru nih!

Supinah : (memainkan ponsel di depan wajahnya) Tentu saja baru! Hidup gua kan
makmur. Bentar-bentar! Lo panggil gua apa?Pinah! Kampung banget! Nama gua
sudah ganti jadi Vina! Ingat baik-baik di otak lo yang paling waras!
Bejo : Maaf deh Vina! (menoleh ke arah Sumiati) lo ganti nama juga?
Sumiati : Ya iya lah! Lo pikir? Kalo pekerjaan gua pembantu, gak ganti nama sih
pantas!
Bejo : Trus apa?
Sumiati : (kesal) Panggil gua Mita! Jangan sampai...
(Paijo menuju sekolah sambil membawa tas dan bertemu mereka bertiga di tengah
perjalanannya)
Paijo : (kaget) Apa kabar?

Bejo : Baik!
Paijo : (Paijo memperhatikan baju Bejo) Wah, Bejo keren banget ya..!
Bejo : (kesal) Gila lo ya! Tampang keren gini masih aja lo panggil Bejo. Sudah ganti
jadi Joe! Ingat itu!
Supinah : (mencibir) Mo kemana Pai?
Paijo : (malu-malu) Ke sekolah
Sumiati : (mencibir) Masih ngajar Pai?
Paijo : Iya.
Bejo : Masih betah hidup di desa? Memang gak punya rencana ke kota? Kayak kita
ini! Emang lo gak ingin membahagiakanibu dan diri sendiri dengan berlimpah
materi? Jakarta adalah jawabannya!
Supinah : betul tuh Pai! Gua heran, lo katanya pintar, tapi kenapa untuk pilihan
yang satu ini bodoh banget!
Sumiati : gua yakin dengan kepintaran yang lo miliki dalam beberapa bulan sudah
dapat mengumpulkan uang banyak.
Paijo : (kepala tertunduk) Saya ingin...
Bejo : (menyela) Ya sudah! Ayo ke Jakarta! Apa butuh bantuan?
Paijo : (menghindar sambil melihat jam tangannya) Maaf, saya harus ke sekolah.
Ntar terlambat!
(Paijo kembali tidur)

Scene 3:
Narator : menjelaskan siapa tokoh Riandi.
Narrator 2 : Resah, gelisah, saat jiwa terpenjara di tempat yang tidak disukai,
tempat yang tidak semestinya. Hasrat ingin segera pergi meninggalkan
pegunungan nan asri, meninggalkan tawa riang anak-anak desa yang polos dan
lugu. Namun apa daya, kaki sudah terantai pada secarik perjanjian, yang takkan
bisa diubah.
(Riandi masuk kamar Paijo)
Riandi : (duduk di sisi tempat tidur Paijo) Lemes banget Pak!

Paijo : (membuka matanya dan duduk di tempat tidur) Eh, pak Riandi.
Riandi : (sedih) Waktu di desa terasa berjalan sangat lambat. Kalau tau jadi PNS gak
enak kayak begini...saya nggak akan ambil. Lebih baik jadi guru ke rumah-rumah di
Jakarta.
Paijo : (polos) Bukankah Bapak sudah melakukannya?
Riandi : Memang! Tapi, di desa bayarannya kecil. Pake singkong, pisang, ubi....sudah
bosan! (diam sejenak sambil wajahnya mendongak ke atas) Coba kalau di Jakarta,
sekali datang dibayar Rp 50000,- setiap hari bisa makan enak
(Paijo tersenyum getir)
Riandi : Paijo kamu pintar! Sayang, kalau kamu habiskan di desa terpencil ini! Saya
yakin jika ke Jakarta, kamu bisa lebih hebat dari sekarang ini
(Paijo makin tertunduk dengan lesu lalu kembali tidur)
Scene 4:
Narator : menjelaskan tokoh Sri, Atun, Parinem, Wati, dan Suti.
Narrator 2 : Gadis-gadis muda, berkerumun bak kupu-kupu di taman bunga,
penuh semangat, penuh gairah, di masa muda nan cemerlang, tak sabar ingin
segera memenuhi pundi jiwa dengan ilmu. Mimpi dan asa berbaur. Tunas muda
yang tengah merekah.
(Sri, Atun, Parinem, Wati, dan Suti masuk ke kamar Paijo)
Sri : (senyum) Siang Pak!
Paijo : (senyum terpaksa) Siang anak-anak!
Parinem : (mendekati Paijo) Para Guru mngatakan, Bapak sakit. Bener?
Paijo : (bingung) Ah, tidak!
Sri : (lega) Baguslah kalo Bapak baik-baik saja!
Parinem : Pak, kami boleh tanya sesuatu gak?
Paijo : (terpaksa senyum) Tentu saja boleh
Parinem : Bener gak sih Pak kalo hidup di Jakarta enak?
Sri : (manja, memegang lengan baju Paijo) Bener gak sih Pak? Setelah selesai
sekolah, orang tua saya menyuruh saya ke Jakarta. Biar bisa bantu adik-adik.
Maksudnya ibu, sekalian dapat jodoh orang kota gitu

Atun : (menepuk bahu Sri) Yang sopan bicaranya!


Suti : Biarkan pak Paijo berbicara!
Paijo : (berusaha tersenyum) Tentu saja enak! Katanya, jadi pemulung saja bisa
kaya.
Parinem : (penasaran) Trus kenapa Bapak masih di desa?
(bersamaan Atun, Suti, Sri, dan Wati memukul tubuh Parinem)
Parimen : (kesal sambil mengelus-elus lengannya) Sakit!

Narator : menjelaskan tentang kepala sekolah.


Narrator 2 : Persahabatan lama jadi jaminan, memberi pekerjaan bagi keturunan
sang sahabat. Karena kasihan atau karena budi yang perlahan-lahan memudar
seiring berlarinya waktu?
(Subroto masuk ke kamar Paijo)
Subroto : (penasaran) Ada apa ini?
(Sri, Parinem, Atun, Wati, Suti, dan Paijo terdiam)
(semua murid pergi tergesa-gesa)
Subroto : (merangkul pundak Paijo) Sudahlah jangan kamu dengarkan perkataan
mereka. Omongan anak-anak! Tempatmu di sini! Membangun desa ini. Kamu tahu
alasanku mempekerjakan kamu di sekolah ini meski kamu bukan lulusan pendidikan
guru?
(Paijo terdiam sambil memandang Subroto dengan pandangan bingung)
Subroto : Bapakmu minta agar aku membantunya menjaga keluarganya. Ia ingin
kamu tetap di desa. Menjaga ibumu...hanya kamu anak mereka.
Paijo : Tapi Bejo...
Subroto : Ah! Bejo memang susah di atur. Saya juga inginya ia jadi guru saja, tapi ...
ia ingin ke Jakarta. Entah kerja apa di sana. Kalau di tanya selalu saja menghindar.
(tertunduk sebentar) kamu dilahirkan untuk desa ini.
(Paijo kembali tidur di tempat tidurnya)
Scene 5:
Narator : menjelaskan tokoh Sulastri dan Aini.

Narrator 2 : Seiring dengan pertambahan usia dan berkurangnya bukan berarti


kebijaksanaan dan pemahaman akan arti kehidupan juga semakin bertambah.
Bukankah mereka yang pandai adalah mereka yang mengaku dirinya bodoh,
daripada mereka yang mengaku pintar padahal sebenarnya mereka tidak tahu apaapa?
(Ponirah sedang ngobrol dengan Sulastri dan Aini, sedangkan Paijo memandangi
mereka dari kejauhan)
Sulastri : Lagi sibuk Yu?
Ponirah : (mendongakkan wajah sambil tersenyum lebar) Eh, Yu Sulastri dan Yu Aini.
Darimana mau kemana?
Aini : (mengeluarkan bungkusan) Saya ingin kasih ini. Oleh-oleh dari anak-anak
saya.
Ponirah : (menerima) terima kasih! Sukses ya di Jakarta?
Aini : Alhamdulillah Yu! Bawa banyak barang-barang. Trus bisa kasih saya uang lagi.
Ponirah : (tersenyum) Wah, senang dong! Kerja apa di Jakarta?
Aini : (bingung) katanya bagian jasa.
Ponirah : (penasaran) Jasa apa?
Aini : Aduh! Saya lupa tanya. Pasti kerjaannya halal la! Kan sejak kecil diberi ilmu
agama yang baik oleh bapaknya. Gak mungkin mereka terjerumus!
Ponirah: (kesal. Lalu mengalihkan ke Sulastri) Gimana kabar Bejo?
Sulastri : (tersenyum) Baik Yu! Sekarang dia sudah bisa membelikan saya motor.
Ponirah : (kesal) Mana motornya? Kok nggak dipakai?
Sulastri : (tersipu malu) Belum bisa naik motor. (sombong) Tapi, itu nggak penting
Yu. Yang penting Bejo mampu belikan saya motor. Hebat ya anak saya?
Ponirah : (kesal) Iya, hebat!
Sulastri : Gimana kabar Paijo? Nggak ada niata mengikuti jejak Bejo? Sayang kan
wong lanang di rumah saja.
Ponirah : Dia temani saya di sini. Lagipula saya tidak ingin Paijo jadi orang yang
berlebihan.
Sulastri : (bingung) Berlebihan? Maksud Yu?

Ponirah : Biasa, kalau baru pulang dari kota suka pake barang-barang mewah yang
sebenarnya belum di butuhkan untuk kehidupan di desa.
Sulastri : (kesal) Kalau kita punya kenapa nggak! Tapi... tujuan Bejo ke kota untuk
belajar hidup mandiri.
Ponirah : Setahu saya mandiri seseorang nggak bisa dilihat dari keberadaan dia
hidup, tapi apa yang dilakukan untuk hidup.
Aini : (tangan kiri memegang bahu kanan Sulastri dan tangan kanan memegang
bahu Ponirah) Sudahlah! Tiap orang punya jalannya masing-masing. Nggak salah
Bejo belajar mandiri di kota dan nggak salah juga Paijo tetap di desa.
(Paijo sedih mendengar ucpan mereka. Lalu segera kembali tidur)
Narrator 2 : Hari demi hari berwarna kelabu. Menahan kekesalan yang kian
menggigit. Ingin rasanya memberontak, memalingkan jiwa rapuhnya ke dalam
masa dan lembar-lembar kertas kehidupan yang kian menguning. Hati ini kian
memberontak. Menggedor-gedor jiwa. Ingin keluar. Ingin menjerit. Melengking. Dan
pergi. Sejauh mungkin. Meninggalkan tawa renyah dunia yang terdengar kian
sengau dan sumbang. Kemanakah kan dibawa hati yang kian terpenjara?
BABAK III
Awal Paijo bertemu Retno hingga saling berkirim surat
Scene 1:
Narator : menjelaskan tokoh ustadz.
Narrator 1 : Bilakah seorang guru, disebut guru, apabila ia dilebihkan sedikit
ilmu, dilebihkan sedikit derajat, dilebihkan sedikit kedudukan, daripada hamba yang
lain? Nikmatkah itu? Ataukah ujian?
(Ustadz masuk kamar ketika Paijo sedang bengong di atas tempat tidurnya)
Ustadz : (mendekati Paijo) Kamu kenapa? Bapak liat kamu murung terus!
Paijo : (tersenyum terpaksa) Ah, tidak ada apa-apa.
Ustadz : (penasaran) kamu bisa bohongi semua orang, tapi tidak saya. Ceritakanlah,
siapa tahu saya bisa bantu.
(Paijo memandang ragu pada Ustadz)
Ustadz : (memaksa) Ngomong saja! Rahasia terjamin!
Paijo : (bingung) Pak, dimana kah seorang Pria seharusnya berada?

Ustadz : (bingung) Di depan! Menjadi pemimpin!


Paijo : (bingung) Lalu apa yang harus dipilih pemimpin itu jika dihadapkan dua
pilihan. Nama baik atau bakti pada orang tua.
Ustadz : (bingung) Mmm...pilihan yang sulit. Kamu hanya perlu merenungkan. Saya
yakin kamu bisa menemukan jawabannya. Mulai sekarang lebih dekatkan diri pada
Allah. Jangan pernah tinggalkan sholat lima waktu! Pelajari Al Quran dan rajinlah
bangun malam!
(azan)
Ustadz : (berdiri) Ayo kita Sholat! Sudah masuk waktu sholat!
Paijo : (menengadahkan wajahnya dengan raut bingung) Baik!
Scene 2:
(Monolog puisi Paijo pulang dari musholla di senja hari. Berjalan termangu-mangu
menuju telaga)
Paijo
: (bingung) Siapakah yang dapat mendengar teriakan jiwaku? Yang
tengah menjerit-jerit di dalam ruang kalbuku? Kemanakah akan kubawa segala
gundahku? Apakah dapat kutenggelamkan bersama sinar merah matahari? Jauh ke
dalam telaga duka yang sunyi? Atau terbang dibawa angin yang bertiup dingin?
Lepas Bebas Menjauh menuju senja???
(Paijo hendak menceburkan diri ke dalam telaga, tapi ia melihat Retno yang duduk
di seberang telaga)
Paijo
: (penasaran) Siapakah dia? Apa yang ia pandang? Apakah ia terlena
pada jernihnya air telaga duka ini? Telaga dukaku yang hendak menelan semua
sepiku. Apakah ia sama kesepiannya seperti aku? Siapakah namanya? Dan kenapa
ia duduk di sana? Di tepi telaga tanpa melakukan apa-apa? Hanya menatap senja
yang kian memerah? Ya Tuhan, katakanlah padaku siapa dia?
Narator : Keesokan senja.
Narrator 1 : Hari telah berganti. Waktu terus berdentang. Mengganti seribu kisah,
memupus sejuta lara dan cairkan rindu yang kian membiru.
Paijo
: (Paijo kembali datang ke telaga itu, mengintip dari balik rumpun
bambu dan alang-alang) Wahai telaga duka, tempatku meleburkan gelisah tanpa
bekas, hanyut tersedot nyanyian kupu-kupu. Rasa ini telah berbunga. Bunga cinta
yang mendatangkan pelangi berjuta rasa. Bongkahan penghapus segala lara di
dalam jiwa. Engkau, engkau perempuan di seberang sana, engkau yang datang dan
pergi bersama senja, kau warnai hatiku yang merana. Mengapa setiap sore engkau
duduk di tepi telaga itu?
Scene 3:

Opening oleh monolog puisi Retno yang menanti Widodo dan monolog-monolog
puisi Paijo yang jatuh cinta pad Retno yang membuat ia tiap sore ke telaga dan
kemudian mereka saling berkirim surat
Retno
: Senja ini, samakah seperti kemarin? Atau kemarinnya lagi? Atau
kemarin dan kemarinnya lagi? Air di telaga ini masih jernih, alang-alang itu masih
tumbuh di sekitar telaga, dan daun-daun kian berguguran, berserak di bawah
kakiku yang tanpa alas. Kemanakah dapat kulabuhkan penantian ini? Bilakah alam
berbaik hati membalikkan telapak tangannya untukku, memundurkan jarum jam
hingga aku kembali ke masa itu? Masa-masa bahagia penuh cinta? Penuh senyum
dan cahaya? Tahukah engkau, Kanda, aku masih di sini Menunggu kedatanganmu
di sini Kebayaku sudah tidak putih lagi Cokelat kini warnanya Kain lurikku
bukan lagi cokelat Hitam kini warnanya
Paijo menatap Retno dari balik alang-alang di seberang telaga duka
Paijo
: PerempuanSiapakah engkau? Mengapa dengan menatap wajahmu
yang cantik dibias merah senja, merekahkan segala rasa di dalam dada?
Menghilangkan resah dan gelisah? Tuhan sungguh aku tidak menyangka
Bertemu dengannya di sini, saat hatiku meniti tepian keputus-asaan, Kau lemparkan
bingkisan kejutan ke dalam pangkuanku, Ya Tuhan Manis Semanis madu
Berbungkus merah dan berpita biru Merdu Semerdu nyanyian burung-burung
hinggap di pundaknya Cinta Mengapa tiap sore engkau selalu duduk di tepi
telaga itu? Dengan apakah aku dapat mengetahui siapa dirimu?
Paijo memberanikan diri mengirim surat pada Retno, dilanjutkan dengan surat
menyurat antara Paijo dan Retno (dialog surat-surat ditulis oleh Mbak Lily & Mas
Adi, ditutup dengan surat Paijo yang menyatakan cinta pada Retno)
Surat Paijo 1:
Kepada engkau yang termenung di telaga ini, aku selalu melihatmu kala senja hari
di sini. Yang membuat dirimu terlihat lebih indah dari semuanya. Kau bagai mentari
senja nan indah, seindah sore ini. Aku ingin mengenalmu. Mengenal tawa dan
senyummu. Kelakarmu, tangismu dan bahagiamu.
Duhai engkau, biarkan aku sedikit tahu banyak tentangmu. Sampai aku tak
terbelenggu dengan rasa penasaranku. Tolong, janganbiarkan aku menunggu
mengenalmu lebih lama lagi.
Ttd
Paijo
Surat Retno 1:

Siapakah engkau? Di manakah gerangan dirimu berada? Dari tepi telaga ini, aku tak
dapat menangkap sosokmu. Betapa beruntungnya engkau masih bisa melihat
indahnya mentari senja. Karena bagiku, langit senja ini semerah hatiku. Paijo... kau
boleh panggil aku Retno...
Ttd
Retno
Surat Paijo 2:
Aku tahu kini, retno namamu. Nama itulah yang membuatku menjadi penasaran.
Membuatku seolah tak ingin mengenal orang lain selain dirimu. Jika boleh aku tahu,
mengapa kau selalu bersemayam di senja hari? Di mana kau saat mentari bersinar
atau kala langit berselimut bintang? Aku ingin melihatmu di setiap waktuku jika
akubisa. Namun senja membatasiku. Retno, aku senang bisa berkenalan denganmu.
Ttd
Paijo
Surat Retno 2:
Duhai Paijo... tahukah engkau? Senja ini adalah haribaanku. Telaga ini adalah altar
atas dukaku. Mentari dan rembulan tak ebrarti lagi. Karena siang malamku tlah
terkubur bersama asa. Dan engkau, Paijo, apa yang membuatmu datang ke telaga
ini? Apa yang merunut langkahmu hingga terdampar di senja ini?
Ttd,
Retno
Surat Paijo 3:
Retno... Sebenarnya, aku memiliki sebuah keinginan. Hasratku untuk dapat terbang
jauh dari sini. Bagai burung, aku ingin bebas. Ngin kulihat segala indahnya lintangd
an bujur bumi. Ingin kujamah segala sakit yang mungkin ada di belahan kutub sana.
Ingin kutorehkan sejarah hidupku pada delapan penjuru mata angin. Namun...
Seseorang menentangku. Yang pada telapak kakiknya lah surgaku berada. Yang
dengan darahnyalah aku hidup. Retno... Aku hanya ingin hidupku, apa itu salah?
Bila hidupku bukan lagi milikku, lantas untuk apa lagi aku ada di dunia?
Surat Retno 3:
Jangan pernah berfikir seperti itu...ersabarlah, Paijo... Sabar itu adalah pelita hati,
penghias akhlak dan penenang jiwa. Percayalah, buah kesabaran itu manis rasanya.
Dan ingatlah selalu kepada Sang Maha Kasih. Karena Dia-lah kita bisa bertemu di
sini, hanya melalui secarik kertas. Ikhlaslah dalam menjalani hari-harimu, Paijo...

Ttd
Retno
Surat Paijo 4:
Makasih Senja, atas nasehatmu. Itu menyegarkan otakku. Membangkitkan
semangatku lagi. Betapa dalam hatimu, betapa luas pikiranmu. Betapa segalamu
telah terbitkan rasa dalam relungku. Senja, belakangan ini aku terus memikirkan
tentangmu. Aku selalu ingin melihatmu, meski hanya sebatas mata memandang.
Apakah aku mungkin jatuh hati terhadapmu, Senja? Ini membuatku bingung,
bayanganmu tlah mengisi hariku. Rasa yang perlahan bergetar saat pertama
kutatap wajahmu. Kini ia menganak sungai, beriak-riak di jiwaku. Tapi suka tak suka
aku harus mengatakan ini padamu. Sujud ampunku di kakimu, atas kelancanganku
memelihara rasa ini. Namun sungguh, aku tak sanggup lagi mendustai hati. Retno,
aku mencintaimu. Aku menyukaimu. Maukah kamu menjadi kekasihku? Menjadi
belahan jiwaku?
Ttd,
Paijo
BABAK IV
Surat-surat Paijo yang menumpuk, Paijo menanti-nanti Retno hingga
Retno diketemukan dalam keadaan membusuk
Scene 1:
Surat-surat Paijo menumpuk, tidak dibalas lagi dan Retno menghilang dari telaga
Narrator 2 : Senja kian tua. Surat-surat penghantar cinta Paijo pada Retno kian
menumpuk sampai ke bulan. Yang dipuja kini menghilang di dalam rindu yang tak
terbilang
(Monolog Paijo dalam puisi yang merasa kehilangan)
Paijo
: (duduk di atas batu dengan wajah putus asa)Kemanakah ia?
Sakitkah? Atau marahkah ia setelah membaca surat terakhirku padanya? Sehingga
ia tidak mau lagi berkirim surat denganku? Tahukah ia, betapa rinduku ini dapat
mengalahkan tingginya ngarai di desa kita? Mengalahkan tingginya langit senja?
Mengalahkan tingginya mentari yang beranjak ke peraduannya? Mengalahkan
jauhnya kerlip bintang-bintang? Dan mengalahkan dalamnya telaga duka ini?
Tahukah ia, wajahnya bertaburan di dalam mimpiku? Di dalam anganku? Curahan
hatiku yang mengerti jiwaku? Belahan jiwaku? Tahukah ia, aku merindukan
melihatnya duduk, di sana, di tepi telaga itu, dengan kecipak kakinya di permukaan
air, termenung di dalam kesunyian???
(Paijo pulang ke rumahnya dengan perasaan linglung dan langkah gontai)

Scene 2:
Paijo baru selesai shalat, minta petunjuk pada Allah (dengan nada marah) tentang
keberadaan Retno monolog puisi Paijo
Paijo
: (mengangkat kedua tangannya hingga sejajar dengan wajah dengan
raut memaksa)Ya Allah Yang Maha Mengetahui apa-apa yang tersembunyi dan
yang tidak tersembunyi, bagaimana dapat kulalui hari tanpanya? Tanpa dia yang
menjadi tempat curahan hatiku? Bahagiaku? Cintaku? Mengapa ia menghilang
begitu saja setelah membaca surat pernyataan rasaku padanya? Mengapa?
Mengapa Ya Allah? Mengapa begitu banyak jawaban yang tidak terjawab? Mengapa
Kau membiarkanku kebingungan dalam kerinduan yang kian menyesakkan ini?
Mengapa Kau membiarkan aku tenggelam di dalam duka yang kian menyeretku ke
dalam keputus asaan? Mengapa? Aku ingin jawaban-Mu, Ya Allah. Bukan
pertanyaan. Jawaban. AKU INGIN JAWABAN. DI MANAKAH RETNO BERADA KINI? AKU
INGIN JAWABAN-MU SEKARANG JUGA. SEKARANG!!!
(terdengar suara riuh di luar rumah Paijo dan derap langkah yang terburu-buru)
Scene 3:
(Ponirah ke luar rumah. Terbengong-bengong melihat keramaian)
Ponirah : (menarik tangan Bejo) Ada apa kok pada Melayu?
Bejo : (berhenti) Ada mayat wanita mengapung di telaga. Sudah bau dan
membusuk!
(Bejo kembali dalam kerumunan dan Ponirah masuk ke dalam rumah)
Ponirah : (nafas terengah-engah) Paijo, ayo ke telaga. Kata orang ada mayat wanita
yang sudah bau dan membusuk.
(tanpa komentar Paijo langsung lari menuju telaga)
Paijo tidak dapat berkata-kata. Ia terlongong-longong menatap mayat Retno
Narrator 2 : Manusia Yang selalu perlu waktu untuk memahami dan mengerti
hikmah di balik setiap peristiwa yang tergurat di atas kanvas kehidupan dunia
bahwa kadang kala segala sesuatunya tidak harus selalu membutuhkan
jawaban melainkan pemahaman
Paijo

: Inikah jawaban-Mu untukku, Ya Allah???

(dengan terbata-bata)
********The End*********

Anda mungkin juga menyukai