Anda di halaman 1dari 11

MAKALAH

TRADISI MEGENGAN: AKULTURASI BUDAYA ISLAM JAWA

Disusun Guna Memenuhi Tugas Mata Kuliah: Filsafat Budaya

Dosen Pengampu: Nurul Baiti Rohmah, M. Hum.

Disusun oleh:

1. Ulfatul Qo’idah (126307202047)


2. Kurnia Aldi Zuliawan (126307202053)
3. Betran Febriansah (126307203076)

SEJARAH PERADABAN ISLAM IV-B

FAKULTAS USHULUDDIN ADAB DAN DAKWAH

UIN SAYYID ALI RAHMATULLAH TULUNGAGUNG

MARET 2022
KATA PENGANTAR

Assalamu’alaikum Wr. Wb

Segala puji syukur kami panjatkan kepada Allah SWT. atas rahmat dan karunia-Nya, kami
dapat menyelesaikan tugas penulisan makalah dengan judul “TRADISI MEGENGAN:
AKULTURASI BUDAYA ISLAM JAWA”, mata kuliah Filsafat Budaya dengan tepat waktu.
Tak lupa sholawat serta salam tercurahkan kepada junjungan kita Nabi Muhammad SAW. yang
syafa’atnya kita nanti-nantikan kelak.

Dalam penulisan makalah ini kami menyampaikan ucapan terimakasih yang sebesar-
besarnya kepada semua pihak yang membantu penyelesaian makalah, khususnya kepada Dosen
pengampu mata kuliah Filsafat Budaya, Ibu Nurul Baiti Rohmah, M.Hum. yang telah
mempercayakan tugas ini kepada kami, sehingga kami berkesempatan untuk menyelesaikan
makalah ini.

Dalam penulisan makalah ini kami menyadari banyak kekurangan baik pada teknik
penulisan maupun materi. Untuk itu, kritik dan saran dari semua pihak sangat kami harapkan
guna penyempurnaan makalah ini.

Terimakasih,

Wassalamu’alaikum Wr. Wb.

Tulungagung, 02 April 2022

Penyusun

i
DAFTAR ISI

COVER
KATA PENGANTAR i

DAFTAR ISI ii

BAB I PENDAHULUAN 1

A. Latar Belakang 1
B. Rumusan Masalah 2
C. Tujuan Penulisan 2

BAB II PEMBAHASAN 3

A. Pengertian Tradisi Megengan. 3


B. Pelaksanaan Tradisi Megengan. 3
C. Makna yang Terkandung dalam Tradisi Megengan. 5

BAB III PENUTUP 7

A. Kesimpulan 7
B. Saran 7

DAFTAR PUSTAKA 8

ii
BAB I

PENDAHULUAN

A. Latar Belakang

Indonesia adalah negara kepulauan yang penuh akan keragaman budaya, ras, suku
bangsa, kepercayaan, agama, dan bahasa. Dari keaneragaman tersebut melahirkan berbagai
keindahan yang memiliki ciri khas masing-masing. Salah satunya adalah tradisi megengan, yang
merupakan percampuran antara budaya Jawa dan Islam. Akulturasi dalam tradisi megengan
terjadi karena Islam dalam proses penyebarannya melakukan dekonstruksi terhadap nilai-
nilainya tetap tidak menghilangkan wujud dari tradisi tersebut.1

Tradisi megengan ini banyak dikenal di wilayah Jawa Timur dan Jawa Tengah dari
zaman dahulu hingga sekarang. Hanya saja dalam pelaksanaannya di setiap wilayah atau daerah
mempunyai cara masing-masing dalam ritual pelaksanaan budaya megengan ini. Hakikatnya,
tradisi megengan ini dilaksanakan guna menyambut datangnya bulan Suci Ramadhan bagi umat
Islam. Tradisi megengan ini dilaksanakan sebelum awal bulan Ramadhan, tepatnya hari-hari
terakhir pada bulan Sya’ban.

Bisa dikatakan, bahwa tradisi megengan merupakan wujud dari rasa syukur serta
permohonan do’a umat Islam kepada Allah Swt. Rasa syukur karena telah dipertemukan di bulan
Suci Ramadhan, dan permohonan agar diberikan kekuatan, kesehatan, kelancaran juga
keselamatan dalam melaksanakan ibadah di bulan Suci Ramadhan tersebut.

Dalam makalah ini, penulis berusaha memaparkan sedikit materi tentang megengan, agar
kita sebagai generasi penerus mampu melaksanakan dan melestarikan tradisi budaya turun-
temurun dari para terdahulu.

1
Ridho, A. (2019). Tradisi Megengan dalam Menyambut Ramadhan Living Qur‟an Sebagai Kearifan Lokal
Menyemai Islam di Jawa. Jurnal Literasiologil. Vol. 1(2): hal. 24-50.

1
B. Rumusan Masalah
Dari latar belakang di atas, maka rumusan masalah pada makalah ini yaitu:
1. Apakah pengertian tradisi megengan?
2. Bagaimanakah pelaksanaan tradisi megengan?
3. Apakah makna yang terkandng dalam tradisi megengan?
C. Tujuan Penulisan
1. Guna mengetahui pengertian dari tradisi megengan.
2. Guna mengetahui bagaimana pelaksanaan dari tradisi megengan.

Guna mengetahui makna apa saja yang terkandung dalam tradisi megengan

2
BAB II

PEMBAHASAN

A. Pengertian Tradisi Megengan.


Tradisi yang hingga saat ini masih menjadi corak keberagamaan masyarakat
Indonesia khususnya tanah Jawa adalah tradisi megengan.2 Dalam Islam terdapat delapan
bulan yang dinyatakan sebagai bulan suci, yaitu bulan Muharram (Suro), Shafar (Sapar),
Rabi‟ul Awwal (Mulud), Rajab (Rejeb), Sya‟ban (Ruwah), Ramadhan (Poso),
Dzulqa‟dah (Selo), dan Dzulhijjah (Besar). Delapan bulan tersebut mempunyai arti
penting bagi masyarakat Jawa, oleh karenanya harus diperingati. Pada bulan-bulan
tersebut dilaksanakan banyak ritual atau perayaan untuk memperingatinya.3
Megengan secara lughawi berarti menahan. Misalnya dalam ungkapan megeng
nafas, artinya menahan nafas, megeng hawa nafsu artinya menahan hawa nafsu dan
sebagainya. Di dalam konteks puasa, maka yang dimaksud adalah menahan hawa nafsu
selama bulan puasa. Secara simbolik, bahwa upacara megengan berarti menjadi penanda
bahwa akan memasuki bulan puasa sehingga harus menahan hawa nafsu, baik yang
terkait dengan makan, minum, hubungan seksual dan nafsu lainnya. Dengan demikian,
megeng berarti suatu penanda bagi orang Islam untuk melakukan persiapan secara khusus
dalam menghadapi bulan yang sangat disucikan di dalam Islam. Ttradisi kebanyakan
menggunakan medium slametan meskipun namanya sangat bervariasi.
B. Pelaksanaan Tradisi Megengan.
Tradisi megengan memang sangat khas di Jawa. Tradisi ini biasanya dilaksanakan
menjelang puasa. Tradisi ini sungguh-sungguh merupakan tradisi yang khas,  yang tidak
dimiliki oleh Islam di tempat lain. Tradisi ini ditandai dengan upacara selamatan
seadanya sebagai tanda akan masuknya bulan puasa yang diyakini sebagai bulan yang
suci dan penuh dengan keberkahan.

2
Muntoha, Pemikiran dan Peradaban Islam, Yogyakarta: UII Press, 1998), cet. I, h. 7
3
Ridho, A. (2019). Tradisi Megengan dalam Menyambut Ramadhan Living Qur‟an Sebagai Kearifan Lokal
Menyemai Islam di Jawa. Jurnal Literasiologil. Vol. 1(2): hal. 30.

3
Sama dengan tradisi-tradisi lain di dalam Islam Jawa, maka tradisi ini juga tidak
diketahui secara pasti siapa yang menciptakan dan mengawali pelaksanaannya. Tetapi
tentu ada dugaan kuat bahwa tradisi ini diciptakan oleh walisanga khususnya Sunan
Kalijaga.
Tradisi megengan ini pada umumnya diikuti oleh semua masyarakat daerah
setempat, dalam wilayah RT atau RW. Tradisi megengan ini merupakan salah satu
bentuk tradisi dan ritual yang dilaksanakan untuk memohon kepada Allah agar diberi
kekuatan lahir dan batin dalam menghadapi dan melaksanakan puasa di bulan Ramadhan,
juga mengirim doa atau mendoakan para leluhur yang telah meninggal dunia atau biasa
disebut kirim leluhur.
Berkenaan dengan pelaksanaan megengan ini ada beberapa variasi. Diantaranya
yang pertama, megengan dilaksanakan di salah satu rumah tokoh masyarakat sekitar. Jadi
mereka para warga membawa ambengan ke rumah salah satu tokoh masyarakat tersebut,
kemudian mereka berkumpul dan di ijabkan bersama-sama. Atau ada juga mereka
memberikan ambengan kepada tetangga secara bergantian. Kedua, ritual megengan
dilaksanakan di masjid atau mushola dengan membawa ambengan dan dirangkaikan
dengan ibadah yang lain semisal sholat berjamaah maupun pengajian.4
Setiap daerah dalam pelaksanaan megengan pasti memiliki ciri khas masing-
masing. Di masyarakat Sumbergempol, tradisi megengan biasanya dilakukan di rumah
masing-masing warga, dari satu rumah ke rumah yang lain dan dalam waktu sekitar
sembilan sampai sepuluh hari menjelang ramadhan. Terkadang dalam satu hari tradisi
megengan ini dilakukan di puluhan rumah warga. Dalam tradisi megengan ini terdapat
ambengan atau sedekah, yaitu nasi beserta lauk pauknya, antara lain ketan (jadah), apem,
kacang, tahu tempe, telur, ayam, dan serundeng.
Pada pelaksanaannya, warga yang akan melaksanakan megengan mengundang
tetangga-tetangga sekitar pada waktu yang telah ditentukan. Setelah para undangan
datang, kemudian dilanjutkan membaca kalimat thayyibah yaitu surat al-Fatihah, al-
Ikhlas, al-Falaq dan al-Nas, kemudian dilanjutkan ayat kursi dan do’a yang dipimpin oleh

4
Pianto, Heru Arif. EKSISTENSI BUDAYA MEGENGAN DALAM KUATNYA GEMPURAN ARUS GELOMBANG
MODERNISASI DI PACITAN. Jurnal Penelitian Ilmu Sejarah, Sosial dan Budaya. Volum 1 Nomor 1 Januari 2022.
Hlm.10.

4
sesepuh. Biasanya sebelum kalimat thayyibah diucapkan, sesepuh yang
memimpin ritual tradisi ini menyampaikan pembukaan atau biasa disebut ngajatna dalam
masyarakat Jawa.
Namun seiring dengan perkembangan zaman, dalam melaksanakan megengan ini
ada beberapa warga yang sudah tidak memegang teguh pendirian para leluhurnya.
Terbukti dengan beberapa macam ambengan atau menu yang tidak lengkap sebagaimana
tradisi sebelumnya yang dilakukan oleh leluhurnya. Hal ini bisa dilihat pada tradisi
megengan yang dilaksanakan di Bendiljati Kulon Sumbergempol. Sebagaimana yang
diinformasikan oleh Ahmad bahwa:
“Ada sebagian kecil dari masyarakat lingkungan sini yang melaksanakan
megengan, tetapi sudah tidak seperti para pendahulunya, misalnya ambengan
(berkat) yang disajikan dan diberikan kepada undangan, lauk pauknya ada yang
tidak sama, berbeda.”5

Dalam pandangan warga Sumbergempol khususnya, sebenarnya tidak ada


persoalan atau hal-hal negatif yang akan terjadi jika mereka tidak melakukan tradisi
megengan ini. Bagi orang yang melakukan megengan tidak akan terkena bencana atau
musibah, berdosa atau lainnya. Tetapi karena tradisi megengan ini sudah merupakan
tradisi yang turun temurun dan dipandang baik serta tidak bertentangan dengan ajaran
Islam, maka tradisi ini tetap dipegang teguh dan tetap dilaksanakan setiap tahunnya.

Tradisi megengan ini pada kenyataannya tidak hanya dilaksanakan di Kabupaten


Tulungagung saja, tetapi di kabupaten-kabupaten lainnya juga ada dan masih tetap
melaksanakan tradisi megengan. Dan secara khusus pada umumnya mereka yang
melakukan tradisi megengan ini adalah kaum nahdliyyin (warga NU).

C. Makna yang Terkandung dalam Tradisi Megengan.


1. Makna Permohonan Maaf bagi Sesama.
Tradisi megengan memiliki acara khusus yang dikenal oleh masyarakat
Jawa yaitu, selamatan. Umumnya acara selamatan merupakan acara makan
bersama, dimana makan yang akan dibagikan sudah diberi doa-doa. Tujuan dari
pelaksanaan selamatan adalah agar terhindar dari bala’. Dalam megengan terdapat
5
Hasil wawancara dengan Bapak Ahmad pada tanggal 13 Agustus 2009.

5
ciri-ciri makanan kue apem. Kue apem adalah makanan tradisional yang masih
bertahan hingga kini dan sering digunakan pada acara sakral masyarakat
khususnya masyarakat Jawa. Kue apem sering dijadikan jajanan dalam acara doa-
doa pada kematian seseorang atau disebut dengan tahlilan. Kue apem dalam
tradisi megengan dinilai sebagai simbol permohonan maaf seseorang kepada
sesama manusia khususnya dalam persiapan memasuki bulan suci Ramadhan.
2. Makna Saling Berbagi antar Sesama.
Acara selamatan dalam acara megengan merupakan bentuk rasa syukur
karena masih diberi kesempatan melaksanakan Ramadhan. Menurut (Ridho,
2017) tradisi megengan merupakan pengalaman Nabi Muhammad mengenai
anjuran bersedekah kepada orang lain. Simbol selametan digambarkan dengan
pembuatan makanan atau nasi berkat yang dibawa ke masjid atau musholla untuk
mendapat doa-doa. Selanjutnya makanan atau nasi berkat tersebut dibagikan
kepada tetangga dan masyarakat sekitar. Berbagi kepada sesama menunjukkan
rasa syukur seseorang terhadap rezeki yang diperoleh dari Tuhan Yang Maha Esa.
3. Makna Melestarikan Agama Islam.
Dalam konteks dakwah Islam, kegiatan tradisi megengan merupakan
sarana untuk memperkenalkan agama Islam sekaligus menyebarkan agama Islam
di kalangan masyarakat luas. Dakwah Islam melalui tradisi mulai diperkenalkan
pada masa walisongo, yaitu Sunan Bonang.6 Pada masa Sunan Bonang, terdapat
tradisi duduk melingkar yang dilakukan oleh masyarakat setempat dengan duduk
melingkar dan terdapat makanan sebagai bentuk rasa syukur yang dikenal dengan
Panca Makara. Seiring dengan perkembangan Islam model dakwah yang
digunakan juga berubah. Model dakwah menjadi bermacam-macam dan lebih
terbuka. Contohnya adalah melalui dakwah di ruang terbuka seperti masjid,
musholla, maupun media sosial yang banyak ditemukan di era sekarang.

6
Ridho, A. (2019). Tradisi Megengan dalam Menyambut Ramadhan Living Qur‟an Sebagai Kearifan Lokal
Menyemai Islam di Jawa. Jurnal Literasiologil. Vol. 1(2):

6
BAB III

PENUTUP

A. Kesimpulan
Indonesia dengan keberagamannya melahirkan keindahan, salah satunya adalah
tradisi megengan yang mana merupakan akulturasi dari budaya Islam dan Jawa.
Megengan secara lughawi berarti menahan. Misalnya dalam ungkapan megeng nafas,
artinya menahan nafas, megeng hawa nafsu artinya menahan hawa nafsu dan sebagainya.
Di dalam konteks puasa, maka yang dimaksud adalah menahan hawa nafsu selama bulan
puasa. Secara simbolik, bahwa upacara megengan berarti menjadi penanda bahwa akan
memasuki bulan puasa sehingga harus menahan hawa nafsu, baik yang terkait dengan
makan, minum, hubungan seksual dan nafsu lainnya.
Tradisi megengan ini merupakan salah satu bentuk tradisi dan ritual yang
dilaksanakan untuk memohon kepada Allah agar diberi kekuatan lahir dan batin dalam
menghadapi dan melaksanakan puasa di bulan Ramadhan, juga mengirim doa atau
mendoakan para leluhur yang telah meninggal dunia atau biasa disebut kirim leluhur.
Makna yang terkandung dalam tradisi megengan ini diantaranya sebagai bentuk
permohonan maaf antar sesama, makna berbagi antar sesame, dan makna melestarikan
agama Islam.
B. Saran
Kami menyadari banyak kekurangan dari segi materi maupun penulisan dalam
makalah ini. Untuk itu kami sebagi penulis makalah, memohon kesediaan pembaca untuk
memberikan kritik dan saran sebagai perantara penyempurnaan makalah ini. Semoga
makalah ini dapat memberikan manfaat bagi kita semua.

7
DAFTAR PUSTAKA

Aibak, Kutbuddin. FENOMENA TRADISIMEGENGAN DI TULUNGAGUNG. Millah Vol. X,


No. 1, Agustus 2010. Hlm, 70-86.

Fauzi Himma Shufya. MAKNA SIMBOLIK DALAM BUDAYA “MEGENGAN” SEBAGAI


TRADISI PENYAMBUTAN BULAN RAMADHAN (STUDI TENTANG DESA KEPET,
KECAMATAN DAGANGAN). JURNAL ILMIAH DINAMIKA SOSIAL 6 (1) 2022.
Hlm, 94-102.

Hasil wawancara dengan Bapak Ahmad pada tanggal 13 Agustus 2009.

Muntoha, Pemikiran dan Peradaban Islam, Yogyakarta: UII Press, 1998), cet. I, h. 7

Pianto, Heru Arif. EKSISTENSI BUDAYA MEGENGAN DALAM KUATNYA GEMPURAN


ARUS GELOMBANG MODERNISASI DI PACITAN. Jurnal Penelitian Ilmu Sejarah,
Sosial dan Budaya. Volum 1 Nomor 1 Januari 2022. Hlm.10.

Ridho, A. (2019). Tradisi Megengan dalam Menyambut Ramadhan Living Qur‟an Sebagai
Kearifan Lokal Menyemai Islam di Jawa. Jurnal Literasiologil. Vol. 1(2): hal. 24-50.

Anda mungkin juga menyukai