Anda di halaman 1dari 19

MAKALAH

 TRADISI GREBEG SEKATEN


Disusun Guna Memenuhi Tugas Mata Kuliah Bahasa Daerah

Dosen Pengampu : Dewi Wulandari, M.Sn.

Disusun Oleh :
Umi Nur Azizah
NIM 23040190137

PROGRAM STUDI PENDIDIKAN GURU MADRASAH IBTIDAIYAH


FAKULTAS TARBIYAH DAN ILMU KEGURUAN
INSTITUT AGAMA ISLAM NEGERI SALATIGA
2021
KATA PENGANTAR

Puji dan syukur kami panjatkan kepada Allah SWT karena berkat rahmat
dan hidayah-Nyalah kami diberikan kesehatan sehingga makalah ini dapat
diselesaikan. Makalah yang membahas tentang ‘’TRADISI GREBEG

SEKATEN’’.

Kami sangat berharap makalah ini dapat berguna dalam rangka menambah
wawasan serta pengetahuan kita mengenai bab tersebut. Kami juga menyadari
sepenuhnya bahwa di dalam makalah ini terdapat kekurangan dan jauh dari kata
sempurna. Oleh sebab itu, kami berharap adanya kritik, saran dan usulan demi
perbaikan makalah yang telah kami buat di masa yang akan datang, mengingat
tidak ada sesuatu yang sempurna tanpa saran yang membangun.
Semoga makalah ini dapat dipahami bagi siapapun yang membacanya.
Sekiranya makalah yang telah disusun ini dapat berguna bagi kami sendiri
maupun orang yang membacanya. Sebelumnya kami mohon maaf apabila terdapat
kesalahan kata-kata yang kurang berkenan dan kami memohon kritik dan saran
yang membangun demi perbaikan di masa depan.

Boyolali, 15 Mei 2021

Penyusun

i
DAFTAR ISI

KATA PENGANTAR....................................................................................i

DAFTAR ISI..................................................................................................ii

BAB I PENDAHULUAN

A. Latar Belakang......................................................................................1
B. Rumusan Masalah.................................................................................2
C. Tujuan Penulisan...................................................................................2

BAB II PEMBAHASAN

A. Sejarah Tradisi Grebeg Sekaten............................................................3


B. Pelaksanaan Tradisi Grebeg Sekaten....................................................6
C. Makna Tradisi Grebeg Sekaten.............................................................9
BAB III PENUTUP

A. Kesimpulan.........................................................................................15
B. Saran...................................................................................................15

DAFTAR PUSTAKA....................................................................................16

ii
BAB I

PENDAHULUAN

A. Latar Belakang
Indonesia merupakan bangsa yang memilki keanekaragaman.
Mulai dari bahasa, suku, budaya dan sebagainya. Keragaman budaya atau
“cultural diversity” adalah keniscayaan yang ada di bumi Indonesia.
Keragaman budaya di Indonesia adalah sesuatu yang tidak dapat
dipungkiri keberadaannya. Masyarakat Indonesia juga terdiri dari berbagai
kebudayaan daerah bersifat kewilayahan yang merupakan pertemuan dari
berbagai kebudayaan kelompok sukubangsa yang ada didaerah tersebut.
Dengan jumlah penduduk 200 juta orang dimana mereka tinggal tersebar
di pulau-pulau di Indonesia yang memiliki letak geografis yang berbeda-
beda. Mulai dari pegunungan, tepian hutan, pesisir, dataran rendah,
pedesaan, hingga perkotaan. Hal ini juga berkaitan dengan tingkat
peradaban kelompok-kelompok sukubangsa dan masyarakat di Indonesia
yang berbeda.
Sejak runtuhnya kerajaan Majapahit pada tahun 1400 M, agama
Islam mulai tumbuh di Tanah Jawa. Hal ini ditandai dengan munculnya
kerajaan Demak di Jawa Tengah. Kerajaan Demak merupakan kerajaan
Islam pertama dan terbesar di pantai utara Jawa(pesisir). Pada
perkembangannya, muncul pula Kerajaan Pajang, selanjutnya Mataram,
Kartasura dan yang terakhir Surakarta Hadiningrat. Seiring penyebaran
ajaran agama Islam yang semakin luas, kerajaan-kerajaan tersebut
memiliki andil yang besar. Terlebih kelima kerajaan tersebut merupakan
kerajaan Islam. Secara otomatis pedoman dalam melaksanakan kegiatan
sehari-hari bersumber dari ajaran agama Islam.
Selain sebagai pusat syiar agama Islam, keraton juga turut
menyumbangkan andil dalam lahirnya tradisi-tradisi kebudayaan.
Pencampuran berbagai budaya menyebabkan ragam upacara-upacara
tradisi semakin beragam. Antara budaya Islam, kejawen, dan juga tradisi
Hindhu-Budha sebagai sisa-sisa dari budaya Kerajaan Majapahit berbaur

1
menjadi satu. Proses akulturasi tersebut terjadi seiring berjalannya waktu.
Salah satu contoh upacara tradisi yang berhubungan dengan budaya Islam
adalah upacara sekatenan di keraton Surakarta Hadiningrat. Upacara
tersebut merupakan upacara peringatan hari kelahiran Nabi Muhammad
SAW. Upacara tersebut berhasil menyedot antusiasme masyarakat untuk
menyaksikan jalannya upacara. Hal ini merupakan tradisi keraton yang
ditunggu-tunggu oleh masyarakat Solo dan sekitarnya.
B. Rumusan Masalah
1. Bagaimanakah sejarah dari Tradisi Grebeg Sekaten?
2. Bagaimanakah prosesi pelaksanaan Tradisi Grebeg Sekaten?
3. Bagaimanakah makna yang terkandung dalam Tradisi Grebeg
Sekaten?
C. Tujuan Penulisan
Tujuan dari latar belakang dan rumusan masalah diatas dapat disimpulkan
tujuan pembuatan makalah ini sebagai berikut:
1. Dapat mengetahui bagaimanakah sejarah dari Tradisi Grebeg Sekaten
2. Dapat mengetahui bagaimanakah prosesi pelaksanaan Tradisi Grebeg
Sekaten
3. Dapat mengetahui dan memahami bagaimanakah makna yang
terkandung dalam Tradisi Grebeg Sekaten

2
BAB II
PEMBAHASAN
A. Sejarah Tradisi Grebeg Sekaten
Sekaten merupakan sebuah upacara keraton yang dilaksanakan
selama tujuh hari. Konon, asal-usul upacara ini telah muncul sejak zaman
Kerajaan Demak. Upacara ini sebenarnya merupakan perayaan hari
kelahiran Nabi Muhammad SAW. Menurut cerita rakyat, kata sekaten
berasal dari istilah kredo dalamagama Islam, yaitu Syahadatain. Sekaten
berhubungan erat dengan proses Islamisasi di Tanah Jawa. Dahulu kala,
pada saat Kerajaan Demak ada Wali Songo yang sedang menyebarkan
ajaran Agama Islam.
Mereka menggunakan berbagai macam cara berdakwah,
diantaranya menggunakan media budaya. Pada waktu itu orang Jawa
masih menganut paham Hindhu, kepercayaan Animisme dan Dinamisme
yang masih kuat. Para ulama sepakat untuk mengislamkan masyarakat
Jawa. Sebelum Islam masuk, masyarakat Jawa sudah gemar akan gamelan.
Gamelan biasanya dipakai sebagai pengiring dalam pertunjukan wayang,
pengiring gendhing Jawa. Maka oleh para wali menggunakan gamelan
sebagai media dakwah.
Sunan Kalijaga dan Sunan Bonang adalah tokoh yang
menggunakan cara berdakwah tersebut. Pada saat perayaan Maulid Nabi
Muhammad SAW, Sunan Kalijaga berencana mengadakan pertunjukan
wayang kulit sekaligus untuk menarik perhatian orang-orang agar
memeluk agama Islam. Setiap tahun sekali, di Masjid Agung yaitu di
bulan Maulud diadakan tablik akbar atas prakarsa Sunan Kalijaga. Untuk
melihat pertunjukan wayang tersebut, tiketnya hanya satu yaitu
mengucapkan dua kalimat syahadat. Itu artinya memeluk agama Islam.
Maka tradisi itu lah muncul kata syahadatain dalam perayaan Maulid Nabi.
Karena berjalannya waktu, pengucapan oleh orang Jawa pada kata
syahadatain mulai berger dan menjadi sekaten. Upacara ini dilaksanakan
pada setiap tanggal 5 Mulud (bulan Jawa) atau Rabiul Awal (bulan

3
Hijriyah). Sekaten dilaksanakan di alun-alun utara Surakarta dan
Yogyakarta. Perayaan sekaten bertepatan dengan hari raya Maulid Nabi,
yang merupakan tradisi lanjutan dari para wali. Gamelan ditabuh saat
sekaten dengan maksud untuk menarik perhatian masyarakat. Sekaten
dilaksanakan juga untuk memperingati kelahiran Nabi Muhammad SAW.
Tujuan diadakannya sekaten ini adalah untuk menggugah keimanan agar
menghayati perintah Nabi. Berikut rangkaian upacaranya:
Pada hari pertama, upacara diawali saat malam hari dengan iring-
iringan abdi Dalem (punggawa keraton) bersama-sama dengan dia set
gamelan Jawa. Gamelan tersebut bernama Kyai Nagawilaga dan Kyai
Guntur Madu. Iring-iringan ini bermula dari pendhapa Pancaniti menuju
Masjid Agung di alun-alun utara dengan dikawal oleh prajurit keraton.
Kyai Nagawilaga akan menempati akan menempati sisi utara dari amsjid
Agung, sementara Kyai Gunturmadu akan berada di Pagongan sebelah
selatan masjid. Kedua set gamelan akan dimainkan secara bersamaan
sampai dengan tanggal 11 bulan Mulud selama 7 hari berturut-turut. Pada
malam terakhir, kedua gamelan ini akan dibawa pulang ke dalam keratin.
Dua hari sebelum acara Grebeg Muludan, diadakan acara Tumplak
Wajik. Acara ini digelar di halaman Istana Magangan pada pukul 16.00
sore. Tumplak Wajik merupakan acara kotekan atau permainan lagu
dengan memakai kentongan, lumpang (alat untuk menumbuk padi) dan
berbagai peralatan lain. Lagu-lagu yang dimainkan dalam acara ini adalah
lagu Jawa popular seperti Lompong Keli, Tundhung Setan, Owal Awil,
dan lagu rakyat lainnya. Dengan kotekan, menandai awal pembuatan
Gunungan yang akan diarak pada saat acara Grebeg Muludan nantinya.
Acara puncak sekaten ini ditandai dengan dilaksanakannya Grebeg
Muludan pada tanggal 12 mulai jam 08.00 pagi. Tanggal 12 Mulud
merupakan hari kelahiran Nabi Muhammad SAW. Sebuah gunungan yang
terbuat dari beras, makanan dan buah-buahan serta sayur-sayuran akan
dibawa dari istana kerajaan Mataram kemudian dibagikan kepada
masyarakat. Prosesi ini dikawal oleh 10 kompi prajurit keratin yaitu

4
Wirabraja, Daeng, Patangpuluh, Jagakarya, Prawiratama, Nyutra,
Ketanggung, Mantrijero, Surakarsa, dan Bugis. Masyarakat percaya,
bahwa Gunungan ini akan membawa berkah bagi mereka. Bagian
Gunungan yang dianggap sakral ini akan dibawa pulang dan ditanam di
sawah atau lading supaya terhindar dari malapetaka serta menyebabkan
tanah menjadi subur untuk ditanami.
Wali Sanga menggunakan sekaten sebagai sarana memperkenalkan
Agama Islam pada masyarakat Demak. Perayaan sekaten turut andil dalam
penyebaran Agama lslam di Pulau Jawa. Para wali memanfaatkan sekaten
untuk penyebaran Agama Islam. Perayaan sekaten turut mempercepat
proses Islamisasi di Pulau Jawa. Jadi, sekaten digunakan untuk
menyampaikan ajaran Islam melalui kebudayaan.
Istilah sekaten berasal dari kata syahadatain yang berarti dua
kalimat syahadat, yaitu  Aku bersaksi  bahwa tiada Tuhan selain Allah dan
Nabi Muhammmad utusan Allah. Penyelenggaraan perayaan sekaten yang
menjadi,  mulai diselenggarakan pada masa Kerajaan Demak dibawah
pimpinan Raden Patah dengan bimbingan Wali Sanga. Acara sekaten
kemudian diteruskan oleh Sultan Demak selanjutnya yaitu Pati
Unus lalu Sultan  Trenggono.
Pada perayaan sekaten, gamelan yang sangat disukai masyarakat
dijadikan alat musik, hal ini menarik masyarakat untuk datang. Gamelan
sekaten masih menyisakan pertanyaan manakah gamelan yang berasal dari
warisan Prabu Brawijaya V dan Sunan Kalijaga, karena Kraton
Yogyakarta dan Kraton Solo memiliki sepasang gamelan. Gamelan
sekaten sebagai pusaka kerajaan ikut berpindah tangan mengikuti
kekuasaan mulai dari Demak, Pajang, Mataram lslam. Kemudian Mataram
lslam dipecah menjadi dua yaitu Kasultanan Ngayogyakarta dan
Kasunanan Surakarta, gamela sekaten juga dibagi dua.

B. Pelaksanaan Tradisi Grebeg Sekaten

5
Setelah menjadi sultan di Ngayogyakarto Hadiningrat, Sri Sultan
Hamengkubuwono I untuk pertama kalinya menyelenggarakan upacara
perayaan sekaten. Sultan Hamengkubuwono I yang mempunyai perhatian
terhadap tata cara dan adat keraton bermaksud meneruskan tradisi yang
sudah ada sejak sebelumnya. Sekaten pada masa Pemerintahan
Hamengkubuwono I melibatkan seisi keraton, aparat kerajaan, seluruh
lapisan masyarakat, dan mengharuskan pemerintah kolonial berperan serta.
Pada masa tersebut rakya hidup aman, tentram dan sejahtera. Upacara
kerajaan seperti sekaten juga mencerminkan kemuliaan, kewibawaan
keraton, kehidupan, dan tingkat kebudayaan keraton.
Keraton berfungsi sebagai pusat tradisi dan kebudayaan Jawa.
Perayaan sekaten juga terus dilangsungkan oleh sultan sesudahnya sampai
sekarang pada masa Sri Sultan Hamengkubuwono X. Walaupun dalam
keadaan gawat seperti ketika Belanda membuat kemelut dengan
menurunkan tahta Sri Sultan Hamengkubuwono II, digantikan Sri Sultan
Hamengkubuwono III, sekaten teta dilangsungkan. Secara garis besar
rangkaian upacara sekaten adalah:
1. Perayaan sekaten diawali dengan slametan atau wilujengan
yang bertujuan untuk mencari ketenraman dan ketenangan.
Slametan ini dimulai dngan pembuatan uborampai sampai
perlengkapan gunungan. Ini juga sekaligus menandai
pembukaan pasar malam sekaten. Pada bagian ini
masyarakat banyak berkunjung untuk mencari hiburan atau
membelui makanan yang dijual.
2. Satu minggu sebelum puncak acara sekaten gamelan
dikeluarkan dari keraton dibawa ke Masjid Agung,
kemudian diletakkan di Pagongan Utara dan Pagongan
Selatan atau miyos gongso. Selama satu minggu gamelan
Kiai Guntur Madu dan Kanjeng Kiai Ngawila dibunyikan
terus kecuali pada saat adzan dan hari jumat.

6
3. Upacara numlak wajig yang bertempat di magangan kidul.
Upacara ini menandai pembuatan gunungan wadon.
Upacara numplak wajik diiringi gejok lesung tujuannya agar
pembuatan gunungan wadon berjalan lancar.
4. Miyos Dalem di Masjid Agung Yogyakarta. Acara ini
dihadiri oleh Sultan, pembesar keraton, para bupati, abdi
dalem dan masyarakat, selain itu juga dihadiri wisatawan
yang ingin menyaksikan. Pada acara ini dibacakan riwayat
hidup Nabi Muhammad Miyos Dalem berakhir dengan
Kondor Gongso atau gamelan dibawa masuk lagi ke
keraton.
5. Puncak acara dari perayaan Sekaten adalah grebeg maulid,
yaitu keluarnya sepasang gunungan dari Mesjid Agung seusai
didoakan oleh ulama Kraton. Masyarakat masih percaya bahwa
siapapun yang mendapatkan gunungan tersebut, akan
dikaruniai kebahagiaan dan kemakmuran. Kemudian tumpeng
tersebut diperebutkan oleh ribuan warga masyarakat. Mereka
meyakini bahwa dengan mendapat bagian dari tumpeng akan
mendatangkan berkah bagi mereka, karena itu mereka saling
berebut. Selain di Yogyakarta grebeg maulud ini juga ada
di Surakarta, Banten dan Cirebon.
Sekaten tidak hanya menjadi milik kerajaan saja, tetapi juga rakyat
biasa. Bagi sebagian besar masyarakat Yogyakarta baik yang di perkotaan
maupun pedesaan dari berbagai lapisan sosial, memandang sekaten
sebagai sesuatu yang penting dan merupakan upacara khas kejawen
dengan hikmah dan berkah, merupakan kebanggaan daerah serta
mengingatkan pada sejarah kerajaan Mataram lslam yang didirikan
Panembahan Senopati.
Bagi keraton, sekaten tetap di teruskan dan memiliki makna
tersendiri. Makna religius berkaitan dengan kewajiban Sultan menyiarkan
Agama lslam, sesuai dengan gelarnya, yaitu Sayidin Panatagama yang

7
berarti pemimpin tertinggi agama. Dari sejarahnya berkaitan dengan
keabsahan Sultan dan kerajaannya sebagai pewaris dari Panembahan
Senopati dengan kerajaan Mataram lslamnya dan lebih jauh lagi masih
keturunan raja-raja dari masa kerajaan Hindu-Budha (Majapahit). Makna
kultural yaitu berkaitan dengan Sultan sebagai pemimpin suku Jawa.
Pada mulanya, fungsi sekaten merupakan media penyampaian
dakwah Agama Islam melalui kebudayaan oleh Wali Sanga pada masa
Kerajaan Demak. Sekaten merupakan pengganti dan penyesuaian tradisi
yang sudah ada sebelumnya. Jadi fungsi utama sekaten sebagai syiar
Agama Islam melalui sarana kebudayaan. Para Wali Sanga dengan cerdas
memanfaatkan kebudayaan sebagai sarana dakwah.
Namun sekarang dengan perubahan jaman, nilai itu meluntur tapi
tidak hilang, juga lebih menonjolkan fungsi baru yaitu sisi komersil,
ekonomi dan hiburan. Salah satu sisi baru dari sekaten yang menonjol
adalah dilihat secara ekonomi. Yaitu penyelenggaraan sekaten dikemas
dalam Pasar Malam Perayaan Sekaten atau biasa disingkat PMPS, yang
dimulai sejak pemerintahan Sri Sultan Hamengkubuwono IX. Pasar
malam ini diselenggarakan selama sebulan di alun-alun selatan dengan
berbagai hiburan, stan penjualan, stan promosi, makanan minuman,
pertunjukan seni. Pasar malam selama sebulan di alun-alun selatan
menjadi semacam pesta bagi rakyat. Di pasar malam sekaten terdapat
hiburan rakyat yang sulit ditemui seperti ombak banyu, tong setan dan
berbagai permainan lainnya. Pada hiburan seperti itu antusiasme
masyarakat cukup tinggi, karena permainan seperti itu sulit ditemui dan
kebutuhan akan hiburan.
Perubahan dan perkembangan penyelenggaraan sekaten, juga
bergesernya makna sekaten tidaklah mengapa karena tidak menghilangkan
esensi sekaten. Perubahan tersebut tak terelakkan karena perubahan cara
berpikir masyarakat, perubahan kebutuhan dan berubahnya jaman.
Perkembangan sekaten juga menyesuaikan dengan situasi dan kondisi

8
yang dihadapi. Perubahan ini menguntungkan dan memberi manfaat pada
banyak pihak.
Penyelenggaraan sekatenpun menjadi aset pariwisata daerah.
Sekatenpun menjadi wisata tidak hanya bagi warga Yogyakarta saja tapi
juga dari luar Yogyakarta, terbukti ketika perayaan sekaten banyak
wisatawan dari luar daerah yang datang ke Yogyakarta untuk melihat
sekaten. Ini menunjukkan bahwa sekaten merupakan aset wisata yang
menarik.
Dari sisi ritual sekaten tetap terpelihara dan masih mendapat
perhatian terutama oleh generasi tua. Bagi masyarakat terutama generasi
tua yang masih percaya memaknai sekaten sebagai sarana mencari berkah,
sehingga mereka berebut gunungan. Sekaten merupakan wujud akulturasi
kebudayaan yang terus bertahan dan berkembang melewati berbagai jaman
sampai sekarang, maka harus tetap dilestarikan. Sekaten merupakan
fenomena budaya yang unik, menarik dan langka yang berkaitan dengan
berbagai hal. Sekaten juga mengandung berbagai makna. Makna lama
sudah semakin memudar tapi muncul makna baru dari sekaten.
C. Makna Tradisi Grebek Sekaten
Perayaan sekaten sebagai upacara tradisional keagamaan islam
merupakan ekspresi masuk dan tersosialisasinya islam ke bumi nusantara.
Tradisi sekaten mengandung tiga dimensi penting yaitu, kulturisasi,
religious, dan historis (Sultan,12 Mei 2004). Sekaten yang menganut
sejarahnya merupakan upacara tradisional keagamaan Islam dalam
membentuk akhlak dan budi luhur tetap dilestarikan oleh para pengganti
Sri Sultan Hamengkubuwana I (Soelarto,1996: 19). Dengan adanya dua
pernyataan di atas kita dapat mengambil kesimpulan bahwa nilai sekaten
mmempunyai peran penting dalam dakwah Islam, karena dalam
menyebarkan suatu agama dalam masyarakat yang sangat meninggikan
adat tidaklah mudah, seperti apa yang terjadi pada negri ini di awal
masuknya Ajaran Islam.

9
Hindu-Budha merupakan suatu kepercayaan awal yang masuk ke
Indonesia sebelum islam datang. Hal tersebut terbukti ketika kita mulai
merunut kembali sejarah pada abad silam ketika agama atau kepercayaan
mulai berkembang di Indonesia. Pada abad ke-4 hindu datang dengan
segala kebudayaan dan ajarannya yang meninggalkan bukti sejarah berupa
Candi Prambanan, Candi Tikus, dan candi-candi bercorak hindu lainnya.
Pada abad selanjutnya Budha pun mulai masuk dan berkembang ke
nusantara dan yang terakhir adalah Islam. Islam datang dibawa oleh para
pedagang Gujarat, Arab, dan Persi melalui berbagai cara seperti
perdagangan atau perkawinan. Untuk mengenalkan Islam yang datangnya
setelah Hindu-Budha bukanlah suatu hal yang mudah. Kiprah para wali
(Penyebar Islam di Pulau Jawa) atau yang lebih dikenal dengan Walisanga
sangatlah penting karena mereka memiliki siasat tersendiri untuk
memperkenalkan Islam kepada masyarakat Indonesia yang masih kental
dengan kepercayaan lamanya yaitu Hindu-Budha, ditambah dengan
keadaan masyarakat Jawa yang terkenal dengan sifatnya yang konservatif
dan sulit menerima ajaran baru apalagi yang bertentangan dengan Adat
Jawa.
Di awal berdirinya Keraton Yogyakarta Hadiningrat inilah para
leluhur islam mengenalkan agamanya yang dimasukkan dalam budaya
Hindu-Budha dan jawa yang sering dikenal dengan sebutan Islam
Abangan atau Islam Kejawen tanpa meninggalkan pokok-pokok ajaran
Islam itu sendiri. Salah satu cara memasukkan islam dalam budaya jawa
yaitu dengan diadakannya upacara-upacara adat yang dilakukan setiap
hari-hari besar agama islam. Seperti upacara adat yang terkenal di
Yogyakarta adalah Upacara Sekaten.
Sekaten dilaksanakan guna memperingati hari kelahiran Nabi
Muhammad SAW. Dewasa ini nilai sekaten yang merupakan salah satu
jalan dakwah Islam mulai mengalami degradasi karena saat ini sekaten
hanya dipandang sebagai suatu hiburan masyarakat baik lokal maupun
interlokal. Salah satu sarana dakwah para wali dalam mengembangkan

10
Islam di ranah jawa ini adalah dengan sekaten. Sekilas mendengar nama
sekaten sama sekali tidak mengisyaratkan suatu ritual yang berbau Islam.
Akan tetapi sekaten sebenarnya sarat makna dan mengandung nilai Islami.
Sekaten sendiri memiliki makna dalam bahasa jawa yang berarti
sekati yang artinya adalah setimbang. Tentunya diharapkan agar manusia
bisa menimbang hal yang baik dan yang buruk. Sehingga ketika kita
menyebut kata sekaten kita selalu diingatkan agar selalu berhati-hati dalam
menimbang suatu hal. Sekaten diperkenalkan oleh Raden Patah di Demak
pada abad 16. Saat  itu orang jawa beralih memeluk Agama Islam dengan
mengucap syahadatain. Oleh karena itu, penggunaan  nama sekaten pada
perayaan itu sangat terkenal. Perayaan sekaten ini menjadi salah satu
perayaan turun temurun di Keraton Yogyakarta sehingga menjadi
perayaan tahunan yang juga dirayakan oleh masyarakat.
Sejarah sekaten ini berawal dari Kerajaan Mataram yang
beribukota di Surakarta tahun 1755 yang kemudian pecah menjadi 2, ialah
Kasunanan Surakarta yang beribukota di Sala di bawah pimpinan Sri
Sultan Pakubuwana III dan Kasultanan Yogyakarta yang beribukota di
Ambarketawang Gamping, kemudian pindah di kota Yogyakarta di bawah
pimpinan Sultan Hamengkubuwana X. Pemecahan Kerajaan Mataram
menjadi 2 ditentukan dalam perjanjian Gianti.
Sekaten yang menjadi salah satu bentuk upacara adat Keraton
Kasultanan Yogyakarta pertama kali diadakan oleh Sri Sultan
Hamengkubuwana I. Sehingga sejarah sekaten menjadi bagian yang tak
terpisahkan dari sejarah berdirinya Kraton Yogyakarta. Sri Sultan
berkehendak menyelenggarakan upacara yang selalu diselenggarakan oleh
raja-raja sebelumnya. Hal ini sebagai usaha melestarikan adat dan
menunjukkan sikap tradisional orang jawa dalam memuliakan leluhurnya.
Adanya upacara sekaten juga ini tidak bisa terlepas dari peran
penting Masjid Agung Demak yang didirikan oleh Walisanga pada tahun
1477 M. Awalnya masjid ini hanya berfungsi sebagai tempat interaksi
antara Allah dengan hambanya. Seiring berjalannya waktu masjid ini

11
menjadi multi fungsi karena digunakan sebagai ajang kegiatan keagamaan,
tempat musyawarah para wali, dan sebagai prasarana penyelenggaraan
perayaan sekaten yang merupakan perayaan Maulid Nabi Muhammad
SAW yang bertepatan pada tanggal 12 bulan Maulid.
Sekaten bukan saja upacara yang berlangsung dalm waktu yang singkat,
tetapi sekaten melalui beberapa ritual yang tertata rapi dan penuh makna.
Di bawah ini adalah serangkaian prosesi dari awal mulainya upacara
sekaten dimulai sampai penutup.
1. Perayaan Upacara Sekaten diawali dengan diadakannya slametan atau
wilujengan yang memiliki tujuan untuk mencari ketenangan. Dengan
adanya slametan ini berarti dimulali lah pembuatan gunungan.
Perayaan ini juga menjadi pertanda akan adanya kegiatan pasar malam
perayaan sekaten. Pasar malam ini berlangsung kurang lebih 40 hari
sebelum perayaan grebeg maulud tiba.
2. Satu minggu sebelum puncak acara, merupakan adat kebiasaan yang
harus dilakukan yaitu mengeluarkan gamelan pusaka dibawa ke Masjid
Agung Yogyakarta untuk diletakkan di pagongan utara dan pagongan
selatan atau miyos gongso. Selama satu minggu gamelan dibunyikan
terus kecuali hari Jum’at.
3. Rangkaian upacara sekaten yang kedua ialah Upacara Numplak Wajik,
upacara ini sebagai awal dimulainya pembuatan gunungan wadon.
Upacara ini diawali dengan iringan gejog lesung yang dilakukan oleh
abdi dalem konco gladhak. Tujuannya agar dalam pembuatan
gunungan wadon dapat berjalan lancar. Sebelum upacara dimulai
diberi sesaji oleh abdi dalem agar dalam pembuatan gunungan ini tidak
mengalami hambatan. Kemudian upacara siap dimulai.
4. Acara selanjutnya dilaksanakan miyos dalem di Masjid Agung
Yogyakarta. Acara ini dihadiri oleh Sri Sultan, pembesar keraton, para
bupati, abdi dalem keraton, dan mas jogja. Miyos dalem ini merupakan
pembacaan sirotun nabi (Riwayat hidup Nabi Muhammad). Sebelum
miyos dimulai Sri Sultan menyebar udhik-udhik di depan pintu

12
pagongan selatan dan pagongan utara. Miyos dalem berakhir dengan
ditandai pelaksanaan kondur gongsu atau gamelan dibawa masuk lagi
ke keraton. Pada saat miyos ini Sri Sultan menuju ke masjid agung
didahului 4 bergodo prajurit. Prosesi ini menandai berakhirnya
pelaksanaan upacara sekaten yang akan mencapai puncak acara pada
keesokan harinya.
5. Sebagai rangkaian upacara terakhir dari tradisi sekaten yaitu puncak
acara grebeg maulud, yang ditandai dengan dikeluarkannya hajad 6
gunungan tepat tanggal 12 bulan Maulud. Gunungan dibawa ke masjid
untuk didoakan yang dipimpin oleh penghulu dan kemudian gunungan
menjadi rebutan masyarakat yang menonton.
Sekaten yang seharusnya menjadi sarana dakwah bernafaskan religi,
sejarah, dan kultur kini seakan hanya menjadi pelengkap saja dan tiada
lagi menjadi prioritas. Hal ini menjadikan suatu fenomena yang ironis
terkait dengan tujuan awal para wali dan leluhur penggagas terlaksananya
sekaten sebagai upacara adat ajang penyebaran Agama Islam. Jika kita
sedang menyaksikan upacara sekaten ada baiknya jika kita juga
menyempatkan diri untuk menela’ah makna dan nilai-nilai religi, sejarah,
dan kebudayaan yang tersirat dalam setiap ritualnya.
1. Nilai Religi
Di dalam salah satu ritual sekaten ada sesi pembacaan riwayat Nabi
Muhammad sebagai salah satu utusan Allah yang diperntahkan
sebagai rahmatan lil alamien yang memiliki kepribadian dan
akhlak yang mulia, sehingga upacara tradisional ini sangat
berperan dalam membentuk akhlak dan budi pekerti luhur. Tradisi
ini pun dimulai sebagai upacara religius keislaman yang bercorak
kejawen dengan segala hikmah dan berkah.
2.   Nilai Sejarah
Di lihat dari sejarahnya sekaten tidak bisa terlepas dari peran para
wali sebagai penyebar agama islam di Pulau Jawa yang
menjadikan sekaten suatu sarana dakwah Islam dan berkaitan

13
dengan keberadaan sultan sebagai ahli waris dari Kerajaan
Mataram sebagai pencetus awal diadakannya sekaten. Sehingga
yang harus dilakukan untuk merealisasikan nilai-nilai sejarah
adalah dengan tetap memaknai sekaten sebagai media dakwah dan
menerapkan nilai-nilai itu dalam kehidupan sehari-hari.
3. Nilai Budaya
Nilai sekaten sangat relevan dengan kebudayaan, karena sekaten
merupakan percampuran antara kebudayaan jawa, Hindu-Budha,
dan islam. Dimana kebudayaan jawa sangat gemar sekali
menyelipkan makna tersirat dalam bentuk simbol atau lambang
pada setiap kejadian penting, dan kebudayaan Hindu-Budha yang
peribadatannya sangat erat dengan ritual-ritual. Hal ini lah yang
menjadi inspirasi para wali dalam mengemas ajaran Islam dalam
budaya Jawa, Hindu dan Budha yang terangkai dalam upacara adat
sekaten. Di dalam sekaten ada yang disebut gunungan yang
mempunyai arti lambang kemakmuran, digunakan sirih yang
mengeluarkan warna merah yang berarti diharapkan bisa
menyadarkan manusia akan dirinya, nginang memiliki makna
dapat membuat awet muda, dan telur merah sebagai lambang dari
kehidupan.

14
BAB III

PENUTUP

A. Kesimpulan
Sekaten merupakan sebuah upacara keraton yang dilaksanakan
selama tujuh hari. Konon, asal-usul upacara ini telah muncul sejak zaman
Kerajaan Demak. Upacara ini sebenarnya merupakan perayaan hari
kelahiran Nabi Muhammad SAW. Menurut cerita rakyat, kata sekaten
berasal dari istilah kredo dalamagama Islam, yaitu Syahadatain. Sekaten
berhubungan erat dengan proses Islamisasi di Tanah Jawa. Dahulu kala,
pada saat Kerajaan Demak ada Wali Songo yang sedang menyebarkan
ajaran Agama Islam.
Mereka menggunakan berbagai macam cara berdakwah,
diantaranya menggunakan media budaya. Pada waktu itu orang Jawa
masih menganut paham Hindhu, kepercayaan Animisme dan Dinamisme
yang masih kuat. Para ulama sepakat untuk mengislamkan masyarakat
Jawa. Sebelum Islam masuk, masyarakat Jawa sudah gemar akan gamelan.
Gamelan biasanya dipakai sebagai pengiring dalam pertunjukan wayang,
pengiring gendhing Jawa. Maka oleh para wali menggunakan gamelan
sebagai media dakwah.
B. Saran
Penulis menyadari bahwa makalah ini masih banyak kekurangan.
Untuk kedepannya penulis akan menjelaskan makalah secara lebih fokus
dan detail dengan sumber yang lebih banyak dan dapat dipertanggung
jawabkan. Kritik dan saran yang membangun dari para pembaca sangat
dibutuhkan bagi kami.

15
DAFTAR PUSTAKA

Notosusanto, Nugraha. 2008. Sejarah Nasional Indonesia 3, Jakarta : Balai


Pustaka.
Soekmono. 1973. Pengantar Sejarah Kebudayaan Indonesia 3. Jakarta:
PENERBIT KANISIUS.
2014. Sekaten dan Grebeg Maulud. [Serial online].
http://indahnyaduniashare.blogspot.com/2014/02/sekaten-dan-grebeg-
maulud.html. [Diakses pada tanggal 16 Mei 2021].
2012. Makalah Sejarah Grebeg Maulud. [Serial online].
http://rutamirizky.blogspot.com/2012/11/makalah-sejarah-grebeg-
maulud.html. [Diakses pada tanggal 16 Mei 2021].
2012. Sekaten Sebagai Sarana Dakwah Islam. [Serial online].
http://vicky-nurul.blogspot.com/2012/02/sekaten-sebagai-sarana-dakwah-
islam-di.html. [Diakses pada tanggal16 Mei 2021].
2013. Upacara Sekaten. [Serial online].
https://ruryarvianto.wordpress.com/2013/01/01/upacara-sekaten/. [Diakses
pada tanggal 16 Mei 21].

16

Anda mungkin juga menyukai