Anda di halaman 1dari 6

“RIMPU”

Rimpu merupakan sebuah budaya dalam dimensi busana pada


masyarakat Bima . Budaya "rimpu" telah hidup dan berkembang sejak masyarakat
Bima menerima islam yang dibawa oleh orang melayu melalui hubungan antara
kerajaan Bima dengan Goa. Rimpu merupakan cara berbusana yang mengandung
nilai-nilai khas yang sejalan dengan kondisi daerah yang bernuansa Islam.

Sejarah Rimpu

Paska perjanjian Bungaya tahun 1667 di Kerajaan Gowa, eksodus


besar-besaran terjadi pada kelompok yang tidak mau tunduk pada VOC.
Kelompok itu di pimpin oleh para Karaeng, Penghulu dan Dato, mereka berpencar
di segala penjuru Nusantara. Rombongan penghulu serta kaum melayu lainnya
memilih Bima di Pulau Sumbawa.

Akibat banjir kemudian mereka pindah dan menempati Tolobali dan diberi
nama Kampung Melayu. Berawal dari kampung ini semua seni budaya Bima
tumbuh dan berkembang mulai dari tarian, kuliner, hingga cara berpakaian
mempengaruhi kehidupan orang Bima.

Biasanya para wanita melayu lebih mengurung diri dalam rumah, dan di
dalam rumah mereka dibuatkan loteng khusus untuk melihat suasana luar rumah,
tradisi ini juga membaur dengan masyarakat lokal sehingga tiap rumah panggung
di Bima akan dibuatkan Taja (loteng) untuk para wanitanya. Jika mereka ingin ke
pasar atau ke rumah kerabatnya mereka akan mengenakan sarung untuk menutup
badan mereka yang di sebut Rimpu.

Rimpu adalah memakai sarung dengan melingkarkannya pada kepala dimana


yang terlihat hanya wajah dengan menggunakan sarung khas Bima. Umumnya,
kaum perempuan memakai rimpu untuk menutup auratnya sebagaimana ajaran
islam telah mengajarkan bahwa setiap kaum perempuan yang sudah aqil balik
harus menutup auratnya di hadapan orang yang bukan mahromnya. Rimpu
merupakan rangkaian pakaian yang menggunakan dua lembar (dua ndo`o) sarung.
Kedua sarung tersebut untuk bagian bawah dan bagian atas. Rimpu ini adalah
pakaian yang diperuntukkan bagi kaum perempuan, sedangkan kaum lelakinya
tidak memakai rimpu tetapi ”Katente Tembe” (menggulungkan sarung di
pinggang). Sarung yang dipakai ini dalam kalangan masyarakat Bima-Dompu
dikenal sebagai Tembe Nggoli dan Tembe Songke (Sarung Songket). Kafa Mpida
(Benang Kapas) yang dipintal sendiri melalui tenunan khas Bima-Dompu yang
dikenal dengan muna. Sementara sarung songket memiliki beberapa motif yang
indah. Motif-motif sarung songket tersebut meliputi nggusu waru (bunga bersudut
delapan), weri (bersudut empat mirip kue wajik), wunta cengke (bunga cengkeh),
kakando (rebung), bunga satako (bunga setangkai), sarung nggoli (yang bahan
bakunya memakai benang rayon).

Ada dua jenis busana rimpu yang di gunakan oleh perempuan Dompu-Mbojo,
Bagi perempuan yang belum menikah memakai busana rimpu hanya keliatan
bagian mata dan telapak tangannya saja ( rimpu mpida ), sedangkan bagi
perempuan yang sudah menikah atau berkeluarga memakai busana rimpu boleh
keliatan bagian wajah ( rimpu colo ). Adanya perbedaan penggunaan rimpu antara
yang masih gadis dengan yang telah bersuami, sebenarnya secara tidak langsung
menjelaskan pada masyarakat terutama kaum pria tentang status wanita, apakah
wanita tersebut sudah berkeluarga atau masih gadis.

Rimpu mpida & Rimpu colo

Penggunaan rimpu mulai ramai di tanah Bima mulai dari tahun 1920-an dan
itupun hanya di lakukan oleh wanita di Rasanae sekarang Kota Bima, kemudian
menyebar ke seluruh pelosok Bima. Keunikan dari budaya berbusana suku mbojo
ini harus tetap di lestarikan, agar tidak punah sehingga generasi selanjutnya tau
makna dari berbusana rimpu.

Busana rimpu yang menjadi salah satu budaya berbusana suku mbojo
sekarang hampir punah, karena masyarakat Dompu-Bima, sudah jarang
menggunakan rimpu untuk menutup aurat, hal itu disebabkan sudah banyak
busana menutup aurat yang lebih bermoderen yang bermunculan. Ibu-ibu yang
sudah menikah / berkeluarga yang dulunya selalu menggunakan rimpu untuk
berbusana menutup aurat sekarang sudah banyak yang beralih menggunakan
jilbab. Begitupun perempuan yang belum menikah seakarang tidak lagi
menggunakan rimpu.

Kita ketahui bersama bahwa budaya rimpu tersebut sudah jarang di gunakan
oleh kaum perempuan, sehingga generasi muda selanjutnya kurang paham dengan
pakaian berbusana rimpu. Oleh karena itu, salah satu solusi dari masyarakat dan
pemerintah Bima saat ini yaitu dengan memperkenalkan rimpu melalui
acara-acara atau event-event besar seperti pada saat acara memperingati hari jadi
kesultanan Bima dan diperkenalkan juga pada saat acara Tambora menyapa dunia.
Busana rimpu akan lebih dikenal semua orang bukan hanya suku mbojo saja yang
tau bahkan orang dari daerah lain juga akan mengetahui keunikan berbusana dari
suku mbojo ini.

Jadi, nilai-nilai pancasila yang terkandung pada kebudayaan rimpu ini adalah
terdapat pada sila pertama dan sila terakhir. Sila pertama yaitu ketuhanan yang
maha esa. Mayoritas penduduk bima beragama islam yaitu sekitar 97%. Rimpu
telah membantu masyarakat Bima khususnya kaum wanita untuk menutup
auratnya yang dimana sesuai dengan ajaran islam yaitu setiap kaum perempuan
yang sudah aqil balik harus menutup auratnya di hadapan orang yang
bukan mahromnya. Kemudian sila terakhir yaitu keadilan sosial bagi seluruh
rakyat Indonesia. Definisi adil adalah dimana semua orang mendapat hak menurut
kewajibannya. Jadi, kewajiban perempuan adalah menutup aurat dan perempuan
bebas mengekspresikan bagaimana caranya dalam menutup aurat salah satunya
adalah memakai rimpu. Selain itu, dengan memakai rimpu, sangat membantu
kaum hawa dalam bersosialisasi atau berinteraksi dengan lingkungannya karena
tidak ada lagi keresahan hati yang takut auratnya dilihat oleh kaum adam yang
bukan mahromnya.
TUGAS PENDIDIKAN PANCASILA
“ KEBUDAYAAN DAERAH “

Nama : Dinniatum Magfirah

Kelas :H

Nim : 195040201111008

Nama Dosen : Anwar Hidayat,M.H

UNIVERSITAS BRAWIJAYA
FAKULTAS PERTANIAN

MALANG

2019

Anda mungkin juga menyukai