Anda di halaman 1dari 11

BAB I

PENDAHULUAN
A. Latar Belakang
Budaya adalah harta kekayaan serta menjadi identitas bagi setiap daerah.
sehingga atas dasar itulah kenapa melestarikanya merupakan sesuatu yang
penting. Kita ketahui bersama bahwa hakikat dari pada kehidupan ini tidak pernah
terlepas dari budaya. Ketika kita menggali lebih dalam lagi bahwa konsep dari
pada budaya itu bukan hanya soal perayaan atau upacara-upacara ritual yang
mempunyai filosofi tersendiri bagi daerahnya,dan juga bukan hanya pakaian adat
istiadatnya tetapi karakter pada setiap manusia itu juga merupakan salah satu
budaya. Kenapa demikian? Karena konsep dari pada kehidupan manusia setiap
daerah itu berbeda-beda. Sehingga hal ini lahirlah suatu keberagaman dalam
budaya.

Jika berbicara masalah buadaya ada beberapa hal yang menjadi unsur
unsurnya diantaranya agama,bahasa,pakaian adat istiadat,mata pencaharian dan
sejenisnya. Tetapi topik pembicaraan yang kami tuntaskan pada kepenulisan
makalah ini ialah pakaian adat Bima atau yang dikenal dengan sebutan Rimpu.
Budaya rimpu di daerah bima itu sendiri sudah mulai pupus,hangus,dan musnah.
Lain halnya pada masa dimana nilai-nilai luhur itu masih terpelihara dengan baik.
Pada saat itu budaya rimpu dijadikan sebagai alat pakaian sehari-hari tanpa ada
rasa malu untuk mengenakannya bagi setiap pemakainya. Dan sekarang karena
perkembangan zaman budaya rimpu sudah tidak semurni seperti dahulu, artinya
hanya sebagian desa yang ada di daerah bima yang memakainya. Dan itu realistis
karena hampir setiap media masa mengatakan bahwa budaya rimpu itu mulai
pupus dan terkikis.

B. Rumusan Masalah
1. Bagaimana Sejarah Lahirnya Rimpu Bima?
2. Apa Pengertian Budaya Rimpu Bima?
3. Apa saja Jenis Budaya Rimpu Bima?
4. Apa saja Nilai-nilai dan Keistimewaan Budaya Rimpu Bima?
C. Tujuan
Makalah ini ditulis dengan tujuan agar pembaca mengetahui apa itu
Budaya Rimpu Bima ,baik meliputi sejarah,defenisi,jenis-jenisnya serta makna
yang terkandung didalamnya serta atas dasar apa budaya rimpu tersebut mulai
punah dan terkikis. Dengan harapan semoga budaya rimpu bima tetap dikenal
melalui tradisi tulisan, karena apapun bentuknya kebudayaan adalah identias yang
tidak boleh di musnahkan.
BAB II
PEMBAHASAN
A. Sejarah Lahirnya Rimpu
Awal pertama kali munculnya Rimpu di Bima (mbojo) seiring dengan
masuknya penyebaran islam pada hari kamis, tanggal 05 juli 1640 M, atau
bertepatan dengan tanggal 15 Rabi’ul awal 1050 H. Rimpu Mbojo Merupakan
busana adat tradisional yang mengenakan perkembangan adat harian yang
telah mendasari munculnya perkembangan masa kesultanan sebagai identitas
wanita muslim Mbojo pada zaman dulu. Di mana masyarakat Mbojo pada waktu
penyebaran ajaran islam, rimpu menjadikan suatu polararitas keagamaan
mereka dalam rangka mengembangkan suku budaya.
Masuknya Rimpu dibima sangatlah kental setelah muncul peradaban dan
penyebaran islam di suatu wilayah bima, Kabupaten bermata kota Maja Labo
Dahu. Dimana wanita dan mbojo memakai rimpu setelah datangnay pedagang
islam ke bima dengan mengidentikan pakaian Arab. Arab yang dikenal sebagai
agama islam yang patuh dianut. Konon, Rimpu menjadi salah satu pra sejarah
bima setelah munculnya ajaran islam oleh kedua datuk dibanda dan Datuk Ri
Tiro. Selain bima, kedua datuk ini dikenal sebagai tokoh utama yang menyebar
agama islam di pulau Sulawesi
Masyarakat Bima (Mbojo), Rimpu menjadi salah satu struktur sejarah
sosial pada saat itu. Ini menjadi sebuah toleransi wanita mbojo maupun para
lelaki untuk meningkatkan kebudayaan dan ajaran yang dianut oleh mereka saat
itu.1

1
https://www.researchgate.net/publication/326668530
B. Pengertian Budaya Rimpu Bima

Rimpu adalah cara berbusana masyarakat Bima yang menggunakan


sarung khas Bima. Rimpu merupakan rangkaian pakaian yang menggunakan dua
lembar (dua ndo`o) sarung. Kedua sarung tersebut untuk bagian bawah dan bagian
atas. Rimpu ini adalah pakaian yang diperuntukkan bagi kaum perempuan,
sedangkan kaum lelakinya tidak memakai rimpu tetapi ”katente” (menggulungkan
sarung di pinggang). Sarung yang dipakai ini dalam kalangan masyarakat Bima
dikenal sebagai Tembe Nggoli (Sarung Songket). Kafa Mpida (Benang Kapas)
yang dipintal sendiri melalui tenunan khas Bima yang dikenal dengan Muna.
Sementara sarung songket memiliki beberapa motif yang indah. Motif-motif
sarung songket tersebut meliputi nggusu waru (bunga bersudut delapan), weri
(bersudut empat mirip kue wajik), wunta cengke (bunga cengkeh), kakando
(rebung), bunga satako (bunga setangkai), sarung nggoli (yang bahan bakunya
memakai benang rayon).

Keberadaan rimpu ini sendiri sangat sakral bagi orang bima. Karena ini
menjadi bukti serta sejarah awal masuknya agama islam di Bima. Gaya adat yang
telah dikembangkan oleh masyarakat Bima tersebut menandakan kemajuan
berfikir suatu masyarakat. Kesadaran perempuan untuk menjaga harga diri,
keluarga merupakan naluri dasar seorang perempuan.

Secara spesifik budaya ini dapat kita jumpai di kalangan perempuan Arab
dengan apa yang kita kenal dengan “Niqob” atau dalam bahasa Indonesia
“Cadar”– menyadari sebagai kewajiban bagi seorang perempuan muslimah.
Budaya rimpu mulai dikenal sejak masuknya Islam di Dompu, Bima yang dibawa
oleh tokoh-tokoh agama dari Gowa Makassar. Meskipun di masyarakat Gowa
sendiri tidak mengenal budaya rimpu sehingga budaya rimpu merupakan hasil
dari kebudayaan kaum perempuan di Bima yang sampai sekarang masih
dilakukan.
Busana rimpu yang menjadi salah satu budaya berbusana suku mbojo
sekarang hampir punah, hal itu di sebabkan karena masyarakat Dompu-Bima,
sudah jarang menggunakan rimpu untuk menutup aurat, hal itu disebabkan sudah
banyak busana menutup aurat yang lebih bermoderen yang bermunculan. Ibu-ibu
yang sudah menikah/berkeluarga yang dulunya selalu menggunakan rimpu untuk
berbusana menutup aurat sekarang sudah banyak yang beralih menggunakan
jilbab. Begitupun perempuan yang belum menikah seakarang tidak lagi
menggunakan rimpu, mereka memakai rimpu pada saat ada acara atau ivent
tertentu saja yang diadakan.

Karena apabila memakai rimpu, para perempuan yang masih gadis itu
merasa malu sehingga mereka lebih menggunakan jilbab untuk menutup auratnya
ketimbang menggunakan rimpu yang menjadi budaya berbusana suku mbojo.
Rimpu merupakan sebuah budaya dalam busana pada masyarakat Dompu-Bima
(Dou Dompu Mbojo). Budaya "rimpu" telah hidup dan berkembang sejak
masyarakat Dompu-Bimaada. Rimpu merupakan cara berbusana yang
mengandung nilai-nilai khas yang sejalan dengan kondisi daerah yang bernuansa
Islam.Rimpu adalah cara berbusana masyarakat Dompu-Bima yang
menggunakan sarung khas.2

2
http://etheses.uinmataram.ac.id/694/1/Nurhasanah%20Novia%20153141082.pdf
C. Jenis-jenis Rimpu
1. Rimpu Mpida

Rimpu Mpida ini adalah jenis rimpu yang dipakai oleh perempuan yang belum
menikah atau masih gadis. Hal ini bermakna bahwa keberadaannya sangat
tersembunyi dan bertujuan untuk menghindari terjadinya tatapan secara langsung
oleh laki-laki yang bukan Mahramnya.

2. Rimpu Colo

Rimpu Colo ini adalah jenis rimpu yang dipakai oleh kaum perempuan
yang sudah menikah, artinya keberadaannya ditengah kehidupan masyarakat
sudah tidak terikat lagi terhadap pandangan yang bukan mahramnya.
D. Nilai Keistimewaan dari Budaya Rimpu
1. Nilai Agama
Busana budaya Rimpu tentu sudah sangat kental dengan nilai
keagamaan sebagai mana dalam agama islam bahwasanya kita sebagai kaum
perempuan diwajibkan untuk menutup aurat.dan rimpu bukan hanya dipakai
sebatas penutup aurat saja,tetapi filosofi terlahirnya budaya rimpu itu yang
lebih penting.
Secara sadar masyarakat menerima Islam sebagai identitas. Islam
sebagai sebuah identitas di pahami dengan melahirkan corak warna budaya
yang mengandung norma yang tinggi, tanpa menghilangkan substansi
ajaranya. Rimpu adalah adat atau budaya yang dilahirkan dari proses interaksi
tersebut. Dan dalam hal ini juga nilai intelekual yang melekat adalah
mengaktualisasikan dari pada hablu minalloh.

2. Nilai Sosial

Memakai rimpu bukan hanya sekedar mengarkan ketaatan akan


keagamaan,tetapi juga menggambarkan adat kepada manusia itu sendiri. hal
ini diajarkan bagaimana dia harus berpenampilan sopan dan berperilaku serta
sadar akan fungsi,dan kedudukannya sebagai manusia. Dan di disini nilai
yang terkandung didalamnya ialah aktualisasi hablu minannas.

3. Identitas Kebudayaan

Sebagai pakaian ciri khas daerah tentu pakaian rimpu ini merupakan
identitas budaya. Karena pakaian rimpu ini merupakan pakaian yang terlahir
serta dicetuskan oleh para leluhur daerah bima. Dan dari ketiga nilai-nilai
tersebut tidak terlepas dan dipadukan dalam prinsip dan falsafah orang Bima
yaitu “ MAJA LABO DAHU,NGGAHI RAWI PAHU” Maja labo dahu
(malu dan takut) untuk berbuat keburukan, baik mencakup hubungannya
dengan Allah dan hubungannya dengan manusia.dan Nggahi Rawi Pahu
(kebersamaan,solidaritas,realistis) hal ini menggambarkan sifat dan karakter
orang bima yang tingkat solidaritas dan persaudaraannya yang sangat tinggi.

E. Makna Falsafah “Maja Labo Dahu” Masyarakat Bima

Bima adalah salah satu daerah yang berada di wilayah Provinsi Nusa
Tenggara Barat. Terdapat beberapa suku di NTB, suku-suku ini terangkum dalam
satu kata populer “SASAMBO”: Sasak, Samawa, dan Mbojo. Suku Sasak berada
di pulau Lombok, dan dua suku lainnya, Samawa dan Mbojo di pulau Sumbawa.
Bima sendiri merupakan sebuah kabupaten di pulau Sumbawa. Di sinilah suku
Mbojo berada. Berdasarkan sejarah pada tahun 1621 dinyatakan lahir sebagai
kerajaan Islam (Chambert Loir dan Salahuin, 2000). Suku mbojo memiliki
falsafah hidup “Maja Labo Dahu”. Jika dikaji, falsafah ini memiliki nilai-nilai
yang berdasarkan syariat Islam, selain itu dibuktikan pula dari bentuk pakaian adat
“Rimpu”: pakaian menutup kepala dan seluruh tubuh, yang terlihat hanya mata
atau wajahnya saja, sama halnya dengan pakaian yang di syariatkan islam yaitu
Jilbab.
Maja Labo Dahu bagi masyarakat Bima merupakan warisan budaya yang
amat berharga untuk dijadikan sebagai pedoman dalam menjalankah
kehidupannya dalan bermasyarakat guna mewujudkan kebahagiaan dunia dan
akhirat. Nilai-nilai yang terkandung dalam ungkapan “Maja Labo Dahu”
sesungguhnya berasal dari nilai-nilai keislaman. Pada masa kesultanan Bima,
“Maja Labo Dahu” menjadi sumber kekuatan bathin, bagi pemerintah dan rakyat
dalam mengemban tugas. Mungkin inilah salah satu yang membuat kesultanan
Bima pernah mencapai kejayaan dalam waktu yang cukup lama. Jika kita
meninjau secara lughatan dan maknawi, “Maja” berasal dari bahasa Bima yang
artinya “Malu”.maksudnya adalah setiap individu dan masyarakat Bima akan
malu ketika melakukan perbuatan yang keluar dari syariat Islam itu sendiri
misalnya mencuri, berjudi, bezina atau pun hal-hal yang akan merusak
hubungannya dengan manusia, alam bahkan dengan Tuhannya sendiri. dalam
hadits nabi pun mengatakan yang artinya “Malu sebagian dari Iman”
(HR.Bukhori).
Adapun “Labo” artinya dan atau serta. Sedangkan “Dahu” artinya takut,
hampir memmiliki interpretasi makna yang sama dengan kata Maja (Malu) artinya
setiap individu dan masyarakat bima harus menanamkan dalam dirinya rasa takut
yang sebesar-besarnya untuk melakukan perbuatan-perbuatan yang diluar dari
koridor Tuhannya. Bahkan karena Bima memiliki budaya rantau maka setiap
masyarakat Bima yang merantau mereka akan malu dan takut untuk kembali ke
daerah asalnya sebelum mereka sukses.3

3
http://etheses.uinmataram.ac.id/694/1/Nurhasanah%20Novia%20153141082.pdf)
BAB III
PENUTUP
A. Kesimpulan
Budaya rimpu merupakan cara yang berpakaian yang merupakan ciri khas
masyarakat Bima. Rimpu bagi kaum wanita di Bima dibedakan sesuai status. Bagi
gadis, memakai memakai Rimpu Mpida yang artinya seluruh anggota badan
terselubung kain sarung dan hanya mata yang dibiarkan terbuka. Ini sama saja
dengan penggunaan cadar pada kaum wanita muslim. Caranya, sarung yang ada
dililit mengikuti arah kepala dan muka kemudian menyisakan ruang terbuka pada
bagian mata. Sedangkan bagi kaum wanita yang telah bersuami memakai Rimpu
Colo. Dimana bagian muka semua terbuka. Caranya pun hamper sama, sedangkan
untuk membuat rok, sarung yang ada cukup dililitkan pada bagian perut dan
membentuknya. Perempuan-perempuan Bima enggan untuk keluar rumah jika
tidak menggunakan Rimpu, ini bukan saja sekedar budaya, tapi impelementasi
dari syariat Islam.

B. Saran
Kami selaku penyusun sepenuhnya menyadari bahwa kepenulisan
makalah ini masih belun sempurna. Oleh karena itu, kami mengharapkan saran
dan kritiknya yang bersifat membangun demi kelengkapan dan kesempurnaannya.
DAFTAR PUSTAKA

Henri Chambert Loir, Kerajaan Bima dalam Sastra dan Sejarah, Jakrata,
Kepustakaan Populer Gramedia, 2004
Hilir M Ismail, Sejarah Kebudayaan Masyrakat Bima, Mataram : Lengge
Press, 2005
Malik Hasan Mahmud, Gusu Waru, Mataram : Lengge Press 2005
Nurfati, Mengenal Budaya Rimpu Pada Perempuan Bima : 2010 (tidak
diterbitkan makalah pada diskusi kebudayaan diselenggarakan
oleh forum prepuan Bima)

Mariam Siti, Hukum Adat dan Undang-Undang Bandar Bima, Mataram :

Lengge 2004

Anda mungkin juga menyukai