Anda di halaman 1dari 5

Nama : Syahrara Raudatul Jannah

Asal : Bima, NTB


Prodi : D-III MTL B

Analisis Causa Materialis Pancasila dari Bima, NTB

Bima dikenal dengan nama Mbojo yang berasal dari kata babuju yaitu tanah
yang tinggi yang merupakan busut jantan yang agak besar, tempat bersemayamnya
raja-raja ketika dilantik dan disumpah, yang terletak di kamopung Dara. Sedangkan
namn Bima, merupakan nama leluhur raja-raja Bima yang pertama. Dulunya, Bima
merupakan kerajaan terpenting di Pulau Sumbawa maupun Di kawasan Sunda Kecil
pada Kurun waktu abad ke 17-19. Kerajaan Bima dalam perkembangannya banyak
melakukan hubungan dengan Makasar. Bima terletak di tengah-tengah jalur maritim
yang melintasi Kepulauan Indonesia, sehingga menjadi tempat persinggahan penting
dalam jaringan perdagangan dari Malaka ke Maluku. Beberapa kebudayaannya adalah
1. Tradisi Kalondo Lopi
Kalondo Lopi merupakan sebuah tradisi penurunan kapal ke laut. Tradisi ini sudah
dilakukan saat sebuah kapal mulai dikerjakan sampai sebuah kapal selesai dibangun.
Proses pembuatan perahu dimulai dengan doa pada malam hari sebelum dimulainya
pembuatan kapal. Pada keesokan harinya ketika kapal mulai dibuat guru doa
melafaskan zikir “ La ilaha Illalah, Muhammadurrasulullah “.
Bagi warga Sangiang, perahu atau kapal dengan laut merupakan sebuah kesatuan.
Laut tidak akan berarti tanpa kapal, kapal pun tidak akan berarti tanpa laut. Filosofi
inilah yang mendasari tradisi Kalondo Lopi. Antara laut dan kapal harus merupakan
satu kesatuan, bahkan ketika kapal hampir selesai awak kapal harus ikut membantu
menyelesaikan pembuatan kapal dengan tujuan awak kapal itu dapat menyatu dengan
kapalnya. Prinsip kesatuan menjadi utama dalam hal ini. Oleh karena filosofi ini,
tradisi Kalondo Lopi dikenal dengan prosesi mengawinkan kapal dengan laut. Tradisi
ini juga merupakan cara warga Sangiang untuk berdoa menggantungkan harapan
kepada Tuhan atas keselamatan dan ketentraman saat melaut.
Sebenarnya proses pembuatan kapal oleh warga Sangiang diawali dengan ritual awal
pembuatan kapal. Ritual ini dinamakan sambung kayu. Ritual dilaksanakan harus hari
Senin. Ritual ini dilakukan dengan doa selamatan yang dipimpin para tetua dan tokoh
agama setempat. Selamatan menggunakan beberapa makanan berupa nasi lemang,
tembakau, sirih pinang, pisang, dan sepuluh ekor ayam. Saat selamatan mengundang
warga sekitar untuk memakan makanan yang dimasak oleh para wanita di rumah
pemilik perahu. Selamatan dirangkai dengan untaian doa selamat dan kalimat
sahadad. Doa selamatan biasanya dilakukan pada malam hari sebelum keesokan
paginya dimulai proses pembuatan perahu.
Causa Materialis yang dapat diambil dari tradisi kalondo lopi adalah :
 Sila Pertama, Ketuhanan Yang Maha Esa karena berkaitan dengan Tuhan
dimana tradisinya diiringi dengan untaian do’a selamat dan syahadad sebagai
ungkapan rasa syukur atas nikmat yang dikaruniakan-Nya.
 Sila Kedua, Kemanusiaan Yang Adil dan Beradab karea berkaitan dengan
manusia yaitu sebagai makhluk social dimana untuk menyelesaikan sebuah kapal
harus dengan bantuan banyak orang yaitu para awak kapal.
 Sila Ketiga, Persatuan Indonesia karena satu kesatuan dimana untuk
menurunkan kapal harus satu pemikiran dari para awak kapal agar dapat
menggerakkan kapalnya (menurunkan kapal) sesuai dengan yang diharapkan.
 Sila Kelima, Keadilan social bagi seluruh rakyat Indonesia juga mengandung
unsur gotong royong dan tolong menolong.
2. Tradisi Teka ra ne’e
Tradisi teka ra ne,e merupakan adat istiadat yang dilakukan oleh
masyarakat ketika akan melakukan proses perkawinan. Tujuan dari tradisi teka ra
ne’e adalah untuk meringankan beban pemilik hajat perkawinan adat pada
masyarakat Desa Boro Kecamatan Sanggar Kabupaten Bima. Urutan kegiatannya
yaitu Musyawarah keluarga dan tokoh masyarakat ( Mbolo Weki ) dimanDalam
bahasa Bima, Kata Mbolo bermakna bundar atau melingkar.
Sedangkan Weki bermakna kumpulan, kerumunan, atau sekelompok. Dalam arti
sederhana Mbolo Weki berarti sebuah musyawarah diantara lingkungan keluarga,
atau kegiatan berkumpul yang dilakukan untuk tujuan mempererat hubungan antar
keluarga.Weki biasanya diselenggarakan untuk mempersiapkan suatu acara
penting dari sebuah keluarga suku Bima. Misalnya acara pernikahan, dalam
tradisi Mbolo Weki pada persiapan acara penikahan perwakilan keluarga yang
hadir akan memberikan bantuan berupa uang ataupun beberapa kebutuhan kepada
keluarga yang akan menyelenggarakan hajatan untuk membantu persiapan acara
pernikahan tersebut.Teka Ra Ne e yang dalam bahasa Indonesia adalah gotong-
royong sudah menjadi budaya bagi masyarakat bima. Tujuannya untuk membantu
dan meringankan keluarga yang berhajat. Tradisi ini sudah berlangsung lama dan
menjadi salah satu ikon budaya gotong royong di tanah Bima. Teka Ra Ne e sudah
dilakukan secara turun-temurun dan tidak bisa dihilangkan dikalangan masyarakat
Bima. Setiap Desa atau wilayah berbeda cara pelaksanaanya tergantung adat dan
tradisi masing-masing Desa, Rasa persatuan dan kebersamaan dikalangan
masyarakat khususnya Desa Boro Kecamatan Sanggar Kabupaten Bima hingga
saat ini masih terus lestari, salah satu yang hingga saat ini masih kukuh dilakukan
yakni Teka Ra Ne e yaitu sebuah tradisi untuk saling membantu ketika ada warga
yang menggelar hajatan. Sejak pagi hingga malam hari sel ama waktu tiga hari,
warga setempat terutama kaum ibu-ibu datang berbondong-bondong ketempat
yang berhajat.tentu saja mereka yang datang tidak dengan tangan
kosong.umumnya warga membawa beras, pakaian dan hasil panen seperti pisang
dan sebagainya.tetapi khususnya di Desa Boro orang-orang hanya membawa beras
dan uang. Pada masa lalu seseorang yang berhajat melapor kepada tetua adat atau
kepala kampung tentang rencannya menggelar hajatan.kepala kampung
menugaskan seseorang untuk memberikan kabar tentang hajatan tersebut door to
door dari rumah ke rumah.beberapa hari sebelum dilaksanakan hajatan istri kepala
kampung dan beberapa orang perempuan datang ke rumah yang berhajat untuk
memukul lesung atau yang dikenal dengan kareku kandei. Hal itu di lakukan
sebagai tanda bahwa hajatan akan di mulai. Tetapi seiring berkembangnya jaman
Teka Ra Ne e ini tidak perlu lagi melapor kepada kepala kampung. Keluarga yang
berhajat menunjuk salah satu dari anggota keluarganya untuk memberi tahukan
warga bahwa ada acara teka ra ne eSedangkan nilai-nilai karakter bangsa yang
terkandung gotong royong, religius, kedamaian, kesopanan/disiplin, kerja keras,
toleransi dan keharmonisan. Adapun proses teka ra ne’e yaitu seagai berikut :
a. Musyawarah keluarga dan tokoh masyarakat setempat untuk menentukan hari
pelaksanaannya,
b. kaboro haju ka’a (mengumpulkan kayu bakar) di lakukan oleh kaum pria
memakai Benhur (Cidomo) dan juga truk di atas perbukitan atau pegunungan
yang dilakukan secara bersma-sama
c. Ti’a haju ka’a (membelah kayu bakar yang besar ) supaya menjadi potongan
kecil agar bisa di pakai) kegiatan ini juga di lakukan oleh kaum laki-laki,
d. Ndua undangan (menyebarkan undangan) atau ngoa lampa edi
(memberitahukan dengan berjalan kaki)
e. Memilih ina pangaha (wanita yang berperan penting dalam pembuatan jajan).
Adapun causa materialisnya, yaitu :
 Ketuhanan Yang Maha Esa mengandung nilai religius dan toleransi.
 Kemanusiaan Yang Adil dan Beradap mengandung nilai kemanusiaan
yaitu saling menghargai sehingga terciptanya rasa perdamaian.
 Kerakyatan Yang Dipimpin Oleh Hikmat Kebijaksanaan Dalam
Permusyawaratan/Perwakilan ditandai dengan adanya musyawarah untuk
mencapai kesepakatan.
 Keadilan Sosial Bagi Seluruh Rakyat Indonesia mengandung nilai
gotong royong dan kerja keras.
3. Rimpu
Pakaian Rimpu adalah pakaian adat khas dari Suku Bima yang
mendiami wilayah NTB tepatnya di Kabupaten Bima dan Kabupaten Dompu.
Rimpu digambarkan dengan memakai sarung yang melingkar pada kepala
dimana yang terlihat hanya wajah pemakainya. Di mana sarung yang satu
dikenakan di bagian bawah dan sarung satunya lagi dililitkan sebagai penutup
bagian atas sedemikian rupa, sehingga hanya mata yang terlihat. Terdapat dua
jenis Rimpu, yakni:
a. Rimpu Colo
Rimpu Colo adalah sarung khas atau tembe nggoli yang dilingkarkan
menjadi penutup kepala. Di mana tanpa menutup wajah perempuan. Kain
tenun sarung tersebut memiliki beragam warna yang cerah dan bermotif
khas sarung tenun tangan. Biasanya busana tersebut dipakai pada
perempuan yang sudah menikah.
b. Rimpu Mpida
Rimpu Mpida merupakan busana menutup aurat perempuan hingga
menutup wajah, kecuali mata yang dibiarkan terbuka. Busana tersebut
menjadi simbol bahwa pemakaian adalah perempuan yang belum
diperistrikan oleh seorang laki-laki. Dilansir dari situs Kementerian
Pendidikan dan Kebudayaan (kemdikbud), adanya perbedaan penggunaan
Rimpu yang masih gadis dengan yang telah bersuami sebenarnya secara
tidak langsung menjelaskan kepada masyarakat terutama kaum pria
tentang status wanita apakah wanita tersebut sudah berkeluarga atau masih
gadis. Inilah yang unik dari budaya Rimpu. Rimpu merupakan budaya
dalam busana pada masyarakat Bima. Baca juga: Cara Menghargai Jasa
Pahlawan dan Meneladani Sikapnya Budaya Rimpu sudah ada dan hidup
serta berkembang sejak masyarakat Kota Bima ada. Sekarang busana
Rimpu hampir punah karena masyarakat sekarang sudah jarang
menggunakan Rimpu untuk menutup aurat. Karena banyak busana
penutup aurat yang lebih modern bermunculan seperti jilbab atau
kerudung.
Adapun causa materialis dari rimpu adalah :
 Ketuhanan Yang Maha Esa yaitu diwujudkan dengan menutup
aurat sebagai bentuk ketaatan kepada Allah Subhanahu Wa Ta’ala.
 Persatuan Indonesia yaitu ditandai degan adanya rasa nasionalisme
atau cinta tanah air yaitu dengan melesarikan kebudayaan local
yaitu kebiasaan mengunakan sarung tenun dalam aktifitas social.

Anda mungkin juga menyukai