Anda di halaman 1dari 12

HUKUM STUDI PENDESAAN

OLEH

SUDIRMAN LASE (21310157)

FAKULTAS HUKUM

UNIVERSITAS KRISTEN ARTHA WACANA

KUPANG

2023
KARAKTERISTIK BUDAYA NIAS

Suku Nias adalah segolongan masyarakat asli Pulau Nias. Salah satu ciri khas Suku Nias
adalah sebutan untuk diri mereka berupa Ono Niha atau yang berarti anak manusia.

Hirza dalam artikel berjudul Berbagai Ragam Kebudayaan Nias menyebutkan bahwa Suku Nias
dikenal sebagai masyarakat yang kaya akan budaya, seperti tari Maena hingga adat
pernikahannya.

Ciri Khas Suku Nias

Sebagaimana suku lain, masyarakat Nias juga memiliki ciri khas sendiri. Adapun ciri khas Suku
Nias adalah sebagai berikut :

1. Ciri Fisik

Ciri khas Suku Nias yang pertama terletak pada fisiknya. Ciri-ciri tersebut meliputi
rambut yang hitam, bentuk oval, memiliki postur tubuh sedang hingga tinggi, dan berkulit putih.
Ciri-ciri ini tentu membuat masyarakat Nias mudah dikenali. Meskipun kulitnya putih layaknya
orang China, tetapi matanya tidak sipit dan berukuran normal.

2. Kepercayaan

Masyarakat Nias saat ini mayoritas memiliki kepercayaan berupa Injil. Meski begitu,
mereka dahulu memiliki kepercayaan sendiri, yaitu palebegu atau fanambo adu. Kepercayaan
fanambo adu merupakan keyakinan terhadap nenek moyang atau roh leluhur yang diwujudkan
dalam bentuk pahatan kayu atau batu untuk disembah. Selain itu, terdapat pula kepercayaan pada
kekuatan gaib, arwah nenek moyang, dan roh halus. Meski begitu, masyarakat Nias membuat
kepercayaannya agar berwujud yang kemudian dirupakan dalam bentuk patung, pohon, sungai,
dan berbagai contoh lainnya. Saat ini, kepercayaan masyarakat Nias lebih variasi, mulai dari
Kristen Protestan, Islam, Katolik, Hindu, hingga Budha.

3. Pakaian Adat

Pakaian adat Suku Nias bernama Ohalu untuk laki-laki yang memiliki ciri warna emas
dengan perpaduan warna lain, seperti putih, merah, dan hitam. Adapun pakaian adat perempuan
dinamakan Oroba Si'oli dengan ciri warna yang sama. Pembagian warna ini menandakan kasta
dari masyarakat. Misalnya, warna kuning dengan corak persegi dan bunga kapas yang digunakan
oleh kaum bangsawan, merah bercorak segitiga untuk prajurit, hitam untuk petani, dan putih
yang melambangkan para tokoh agama.

4. Rumah Adat

Suku Nias memiliki dua jenis rumah adat, yaitu Omo Hada dan Omo Sebua. Omo Hada
diperuntukkan bagi rakyat biasa dengan bentuk persegi, sedangkan Omo Sebua biasa digunakan
oleh kepala desa yang dibangun di pusat desa. Selain itu, masyarakat Nias Utara, Nias Selatan,
dan Nias Tengah juga memiliki bentuk rumah sendiri. Bentuk rumahnya pun cenderung berbeda.
Masyarakat Nias Utara memiliki bentuk rumah yang bagian atapnya diberi loteng serta jendela
untuk memperkaya ventilasi. Adapun masyarakat Nias Selatan umumnya tinggal di area
perbukitan dengan bentuk persegi panjang dan atap menjorok ke arah jalan. Beda lagi dengan
masyarakat Nias Tengah yang kaya akan seni dekorasi di rumahnya. Misalnya replica binatang
yang berada di bagian depan rumah.

5. Bahasa dan Kebudayaan

Masyarakat Nias dalam bercakap sehari-hari menggunakan bahasa Li Niha yang


memiliki akhiran kata dengan huruf vokal. Selain bahasa, masyarakat Nias juga kaya akan
kebudayaan, seperti upacara pernikahan fame ono nihalo, tarian Maena, lompat batu, dan sapaan
salam Ya'ahowu.

6. Lompat Batu

Lompat batu atau yang dikenal dengan naman fohombo berasal dari bahasa Indonesia
yaitu kata “hombo” yang berarti batu. lompat batu sendiri merupakan olahraga tradisi dari Suku
Nias.Biasanya susunan bangunan batu memiliki tinggi 2 meter dengan ketebalannya 40 cm, dan
kemudian masyarakat Nias harus melompati susunan bangunan tersebut. Tradisi lompat batu ini
digunakan untuk menentukan kedewasaan seorang pemuda apabila berhasil melompati bangunan
batu tersebut. Anak lelaki yang berusia 10 tahun di pulau Nias sudah bersiap untu melakukan
fahombo. Fahombo menjadi ritual yang sangat serius dalam adat istiadat masyarakat suku Nias,
tradisi melompati batu untuk anak lelaki suku Nias dengan menggunakan busana pejuang nias
merupakan status bahwa anak lelaki tersebut sudah dewasa dan memikul tanggung jawab
seorang lelaki.

7. Sapaan Ya’ahowu

Ya’ahowu merupakan sapaan salam yang berasal dari bahasa Nias. Apabila kita
hendak bertamu ke masyarakat Suku Nias maka harus memberi salam ya’ahowu. Ya’ahowu
berasal dari dua kata yang digabungkan menjadi satu. Yaitu ya’a yang berarti terimalah dan
howu yang berarti berkat. Sapaan ya’ahowu ini telah membudaya dan juga turun temurun yang
digunakan sebagai sapaan salam kepada masyarakat Suku Nias.

8. Pernikahan

Pernikahan atau dalam masyarakat Suku Nias sering disebut dengan fame ono nihalo
adalah suatu kebudayaan yang menarik. Yang menjadi unik dari kebudayaan pernikahan ini yaitu
mahar dan jujuran pernikahannya yang sangat tinggi. Perbedaan dari pernikahan ini terdapat
pada gadis yang perawan atau bukan yaitu dengan cara adatnya. Jika gadis perawan maka
adatnya akan luar biasa dan dijadikan sebagai ratu. Sedangkan yang bukan perawan, adatnya
biasa saja, cukup dengan doa dan nyanyian saja.

9. Kesenian Suku Nias

Kesenian dari masyarakat Suku Nias yaitu menyaksikan pertunjukan tarian perang yang
sakral dan membuat tegang para penontonnya. Tari tersebut ditarikan oleh puluhan pria, baik
yang tua maupun yang muda. Berlarian mengelilingi lapangan dengan menggunakan pakaian
adat berwarna hitam dan kuning. Tari ini disebut sebagai tari Fataele yang merupakan
tarian perang khas masyarakat Suku Nias. Pada zaman dahulu, konon katanya masyarakat antar
desa di Nias sering terlibat dalam perang antar desa.Tarian ini berisi teriakan dan nyanyian
dengan hentakan yang mengiringi langkah kaki para penari tersebut.

Penyelesaian kasus pencurian dalam hukum adat nias

A.Penyelesaian secara adat

Alasan memilih jalur hukum adat dalam penyelesaian kasus pencurian adat nias

1. Penyelesaian kasus pencurian yang dilakukan secara adat nias merupakan penyelesaian
perkara adat pada masyarakat adat umumnya didasarkan pada nilai kebersamaan dan juga
mengandung nilai keadilan. Penyelesaian perkara atau sengketa dalam masyarakat hukum
adat didasarkan pada hidup yang dianut oleh masyarakat adat tersebut. Pandangan hidup
masyarakat adat berasal dari nilai, pola pikir, dan norma yang telah dilahhirkan oleh ciri
masyarakat adat nias.
2. Dalam masyarakat adat nias kepentingan bersama merupakan filosofis hidup yang
meresap pada setiap anggota masyarakat. Penyelesaian kasus pencurian secara hukum
adat dilakukan oleh pemerintah adat. Lembaga adat tersebut menjadi alternatif
masyarakat adat untuk mencari keadilan dan mengembalikan keseimbangan yang
terganggu sehingga terciptanya adanya ketentraman dan keharmonisan dalam masyarakat
adat nias.
3. Dalam penyelesaian kasus pencurian merupakan penyelesaian secara adat, dan
berpedoman pada kebiasaan-kebiasaan dalam hukum adat yang secara turun-temurun
dari nenek moyang yang sebelumnya hingga saat ini masih tetap digunakan. Penyelesaian
kasus pencuruian secara hukum adat mengutamakan kesepakatan bersama antara
pemerintah desa, tokoh adat, tokooh agama, dan para pihak yang bersengketa.
Penyelesaian kasus pencurian ini mengutamakan perdamaian kepada para pihak yang
bermasalah.
4. Penyelesaian masalah secara hukum adat sangat penting dalam kehidupan masyarakat
adat karena dengan adanya penyelesaian secara adat, maka kehidupan dalam kelompok
masyarakat tersebut memiliki hubungan yang semakin erat, sehingga tercapai suatu
kehidupan yang harmonis dalam masyarakat.
Kasus Pencurian Dan Tahapan Penyelesaiannya Dalam Hukum Adat Nias

1. Pada tahun 2021 terjadi kasus pencurian di Desa Umbu yang dilakukan oleh Ucok
Ndruru (nama samaran), ucok ndruru mencuri getah karet warga secara berulang-ulang,
namun perbuatannya selama ini tidak diketahui oleh warga setempat sehingga warga
tidak percaya kalau yang mencuri getah karet mereka selama ini adalah ucok ndruru, dan
bukan hanya getah karet saja yang dicuri tetapi buah cokelat dan kelapa warga juga
diambilnya. Hal ini yang membuat warga marah kepada ucok ndruru yang telah mencuri
getah karet mereka.
2. Ketika warga mengetahui bahwa pelaku pencuri getah karet adalah ucok ndruru (nama
samaran), kemudian warga melaporkannya di kantor “SALAWA” (Kantor Desa) untuk
mempertanggungjawabkan perbuatannya.
3. Selanjutnya pelaku pencurian getah karet digiring/dibawa dikantor Desa, kepala desa
beserta para penatua adat (Balugu) memanggil semua warga desa untuk menyelesaikan
kasus ucok ndruru ini karena telah melanggar pidana adat desa.
4. Kemudian setelah pelaku dibawa di kantor desa maka kepala desa beserta para penatua
adat/ Balugu memanggil semua warga desa untuk menyelesaikan kasus Ucok Ndruru
yang telah melanggar hukum adat desa dan memintai keterangan dari si ucok nduru.
Perbuatan pelaku ini merugikan semua warga. Berdasarkan pengakuaanya pelaku
pencurian, perbuatan tersebut dilakukan karena dilatar belakangi faktor ekonomi
keluarganya yang selalu kekurangan sehingga terpaksa pelaku melakukan perbuatan ini
demi memenuhi kebutuhan hidup keluarganya, apalagi pelaku telah berkeluarga dengan
mempunyai 3 (tiga) orang anak. Selain itu juga pelaku terpaksa melakukan perbuatan ini
untuk meluansi utang-utangya kepada warga.
5. Perbuatan tersebut diakui oleh pelaku dihadapan para warga dan penatua adat jika
perbuatan tersebut telah dilakukan berulang kali. Sebenarnya pelaku tidak mempunyai
niat untuk mencuri karena pelaku sadar kalau mencuri pasti dihukum berdasarkan
peraturan desa, perbuatan ini terpaksa pelaku lakukan karena tidak adanya pekerjaan
tetap, apalagi pelaku memiliki utang sehingga ia terpaksa mencuri.
6. Setelah para penatua adat mendengar pengakuan pelaku maka penatua adat mengadakan
musyawarah desa untuk menyelesaikan kasus ini, agar tidak menimbulkan amarah dari
warga.
7. Penatua adat mengumpulkan para perangkat desa dan tokoh adat membicarakan
pemecahan masalah ini. Penatua adat melaksanakan penyelesaian secara musyawarah
denga disaksikan oleh Satua Mbanua dan Kepala Desa dihadapkan para korban dan
anggota masyarakat dan pelaku (keluarga pelaku).
8. Dalam penyelesaian ini, balugu menentukan hukumannya yang diberikan kepada pelaku
sesuai dengan perbuatannya. Penatua adat sebagai Balugu dalam penyelesaian ini harus
betul-betul mengambil keputusan yang baik dan seadil-adilnya agar tidak menimbulkan
amarah dari korban dan juga para warga. Dalam hal ini penatua adat mengambil
keputusan tanpa berpihak kepada pihak yang satu, sehingga keputusan yang diambil oleh
balugu dapat bersifat adil sehingga diterima oleh masyarakat.
9. Selanjutnya balugu menjatuhkan hukuman kepada pelaku sesuai dengan perbuatannya
yang disepakati oleh pelaku (keluarga) dan pihak korban (anggota masyarakat) denga
ganti rugi sebesar Rp. 3.5 juta, 1 (satu) karung beras, 2 (dua) ekor Babi dan uang Rp. 500
ribu untuk biaya administrasi. Kemudian pelaku memberi makan seluruh warga sebagai
bentuk permohonan maaf dan juga sebagai bukti bahwa kasus ini sudah diselesaikan dan
tidak dilanjutkan lagi kepada pihak yang berwajib. Dengan dipenuhinya hukuman yang
diberikan Balugu maka keluarga pelaku terlepas dari ancaman warga, adapun bentuk
hukuman di desa Umbu jika anggota masyarakat melakukan pelanggaran pidana adat
akan diusir oleh warga karena telah merusak nilai-nilai dan norma-norma yang berlaku
didesa tersebut.

Dalam penyelesaian setiap kasus yang terjadi di DesaUmbu, para penatua adat sangat
berperan dalam menyelesaikannya sehingga setiap sengketa/konflik yang terjadi dimasyarakat
akan diserahkan kepada para penatua adat untuk di adili dan diberi keputusan. Di Desa Umbu
jabatan penatua adat terdiri dari tiga tingkatan antara lain :

1. Balugu adalah sebagai kepala adat yang memutuskan segala perkara adat dalam satu
masyarakat kampung, meskipun masih menggunakan sistem musyawarah.
2. Tuha adalah pelaksanaan dari keputusan yang diambil oleh Balugu dalam musyawarah
(eksekutor).
3. Salawa (Kepala Desa) adalah kepala Pemerintah secara formal dalam satu Desa
mempunyai wewenang agar keputusan yang diambil juga dianggap sah secara formal.
Ketiga tingkatan jabatan ini merupakan unsur SATUA MBANUA (Tokoh Adat).

Segala keputusan dari penatua adat sangat dihargai dan dihormati oleh anggota
masyarakat sehingga tetap terjaga hak dan kewajiban para pihak yang bersengketa, pengambilan
keputusan dilakukan secara musyawarah dan tidak memihak. Peradilan adat adalah peradilan
rakyat ditingkat kampung yang menyelesaikan setip perselisihan secra damai dan kekeluargaan
untuk merukunkan kembali para pihak yang saling bertentangan. Di dalam menyelesaikan setiap
perkara perlu dilakukan dengan musyawarah dan mufakat selalu digunakan dalam setiap
penyelesaian sengketa. Dalam penyelesaian delik adat di Desa Umbu maka para pelaku akan
berhadapan dengan Balugu (Hakim Adat). Balugu harus berpegang pada tiga asas pokok antara
lain adalah :

1. Asas Kerukunan adalah suatu asas yang isinya berhubungan erat dengan pandangan dan
sikap orang menghadapi hidup bersama dalam lingkungan dengan sesamanya untuk
mencapai suasana hidup bersama yang aman, tentram, dan sejahtera.
2. Asas kepatutan merupakan asas yang menekankan perhatian kepada cara menemukan
jawaban tentang bagaimana kualitas suatu perkara dan status para pihak dapat
diselamatkan sebaik-baiknya. Inti sasaran utama dari asas ini adalah menghindari para
pihak jatuh kedalam rasa malu.
3. Asas keselarasan adalah asas yang berkaitan dengan cara bagaimana melihat suatu
persoalan itu secara bijaksana, sehingga pemecahan yang diberikan dapat diterima oleh
para pihak dan masyarakat sebagai suatu yang melegakan perasaan, sasaran utama dari
asas ini adalah supaya para pihak dan masyarakat dapat menerima dan merasa puas
terhadap pemecahan yang diberikan.

3. Tata Cara pewarisan dan Pembagian Warisan Pada Masyarakat Adat Nias

Sebagai penganut patrilineal, kelahiran anak laki-laki biasanya dilakukan syukuran besar-
besaran sementara ketika anak perempuan yang lahir terkesan biasa-biasa saja, karena anak laki-
laki sudah pasti sebagai penerus marga, penerus keturunan sementara anak perempuan akan
keluar dari keluarga kerabatnya dan akan mengikuti keturunan atau marga dari suaminya.17
Bukan rahasia umum bahwa masalah ketidaksetaraan antara laki-laki dan perempuan masih
terasa sangat kuat dalam masyarakat adat di Indonesia. Dan sebagai bagian dari Negara Kesatuan
Republik Indonesia, masyarakat adat Nias tidaklah luput dari masalah ketidaksetaraan.

Seperti telah dijelaskan sebelumnya bahwa sampai sekarang pada masyarakat adat Nias
berlaku sistem keturunan dari pihak bapak (Patrilineal) yaitu didasarkan atas pertalian darah
menurut garis bapak. Sehingga hanyalah anak laki-laki yang menjadi ahli waris, karena anak
perempuan dianggap telah keluar dari kerabat bapaknya, jika ia telah kawin.18 Pada masyarakat
adat Nias, apabila seseorang anak perempuan telah menikah maka dianggap telah keluar dari
kekerabatan orang tuanya dan masuk pada kekerabatan suaminya. Oleh karena itu dapatlah
dimengerti bahwa yang meneruskan garis keturunan dalam masyarakat Adat Nias adalah anak
laki-laki saja, sedangkan anak perempuan apabila ia telah kawin maka kekerabatannya akan
beralih kepada kerabat suaminya. Garis keturunan dalam masyarakat Nias ditarik berdasarkan
marga (dalam bahasa Nias disebut Mado) yang mengakibatkan timbulnya hubungan
kekeluargaan yang hidup dalam masyarakat. Misalnya mado Laoli, maka secara terus menerus
dalam keluarga yang memiliki mado Laoli hanya dapat diteruskan dan diwariskan oleh anak
laki-laki, sedangkan anak perempuan ketika menikah (Nias: mongambatὸ, mangowalu, mὸi
nihalὸ), secara otomatis mado Laoli yang lengket pada namanya tidak digunakan lagi.
Terhapusnya marga anak perempuan ketika sudah menikah terlihat dari kebiasaan-kebiasaan
masyarakat adat Nias menggunakan nama alias.19 Salah satu contoh dipaparkan oleh
F.Nehe.yaitu pernikahan antara marga Laoli dan marga Zebua, seorang perempuan bernama
Adinda Laoli, menikah dengan laki-laki yang bernama Laoli MP. Awal berkeluarga saja mereka
berdua akan dipanggil Ama Ndraono yang memiliki arti orang tua dari anak (penggunaan Ama
Ndraono karena mereka masih belum punya anak). Istilah nama alias Ama Ndraono digunakan
secara umum karena laki-laki dan perempuan yang telah menikah tidak boleh lagi dipanggil
namanya seperti pada masa sebelum menikah. Setelah memiliki anak pertama dan diberikan
nama Taokani Noto Laoli¸ maka keluarga tadi akan dipanggil Ama Ina Ina Taokani Noto Laoli.
Penggunaan nama alias diambil dari nama anak sulung laki-laki. Jika anak sulungnya perempuan
maka tidak boleh menggunakan nama alias dari nama anak perempuannya (dulu). Tergantung
keinginan dari keluarga itu sendiri mau dipanggil Ama, Ina apa. Tetapi hal ini tidak
mempengaruhi kedudukannya dalam persoalan warisan.

terdapat beberapa sebutan untuk jenis harta yang dapat diwariskan dalam masyarakat nias
adat, yaitu:

1. Tanah (Tanὸ). Terdiri dari Tanὸ Laza (sawah) dan Tanὸ Sabe’e (tanah kering). Tanὸ
Kabu (tanah kering) terdiri dari Tanὸ Naha Nomo (Tanah untuk Tapak Rumah) dan Tanὸ
Mbenua (tanah yang digunakan untuk perkebunan). Kesemua istilah tanah tersebut
dikenal dengan sebutan dengan Tanὸ Wenua, Tanὸ Mbenua;
2. Rumah (Omo);
3. Emas (Ana’a). Terdiri dari Ana’a Gama-Gama Nina (emas yang dipakai oleh Ibu seperti
kalung, cincin, gelang, anting-anting) dan Ana’a Ni Ndradra (emas Batangan terdiri dari
Topi Emas/tekula ana’a yang sering dipakai oleh perempuan pada acara pernikahan dan
emas batangan dalam bentuk seperti besi ulir);
4. Firὸ (sejenis uang logam, tapi bergambar kaisar Belanda);
5. Rigi (sejenis uang logam, bergambar kaisar Belanda, bentuknya lebih besar dari firὸ,
memiliki warna kuning);
6. Uang (Kefe);
7. Kain atau Pakaian (Nukha);
8. Usaha (fogale), artinya berjualan atau kios dan sejenisnya;
9. Barang berharga seperti piring (cap lonceng), aramba dan gὸndra (gendang dan gong),
faracia (peralatan yang sering dibunyikan pada saat sedang diperjalanan menuju rumah
pengantin perempuan);
10. pedang dan perlengkapannya (perlengkapan perang zaman dulu);
11. kayu rumah (eu nomo hada atau kayu pada rumah adat atau kayu pada rumah orang tua)
dapat menjadi warisan yang dibagi-bagi antara ahli waris, karena kayu tersebut
merupakan kayu terbaik yang tidak akan busuk sampai 3 atau 4 keturunan

Tata cara pembagian harta warisan masyarakat adat nias

Contoh Keluarga Bapak SUDIRMAN LASE Yang barusan melakukan pembagian


hartanya kepada anak-anaknya (pada hari minggu tanggal 29 Mei 2023), menuturkan bahwa
pelaksanaan pembagian warisan tersebut dilakukan mengingat usainya yang sudah 74 Tahun,

sebagai berikut:

AYAH IBU
A B C D E F
Gambar Struktur Keluarga Bapak SUDIRMAN LASE

Keterangan :

Suami/ayah dan Istri/Ibu masih hidup, anak si A, B, C, D, E adalah anak laki-laki, F adalah anak
perempuan. A, B, C, D sudah menikah sedangkan E dan F masih belum menikah. Kemudian si B
sudah meninggal dunia dan memiliki anak 2 orang (kedua-duanya anak laki-laki). Si A, D dan E
adalah Pegawai Negeri Sipili (PNS);

Pada saat pembagian dihadiri oleh sibaya (saudara ibu) dan sibaya pewaris (pamannya pewaris),
istri beserta anak-anak beserta istri masing-masing dan cucunya (ahli waris dan ahli waris
pengganti);

Harta yang ada, antara lain: Rumah 2 unit, Tanah 5 bidang (terdiri dari tanὸ kabu 2 bidang, tanὸ
laza 1 bidang, tanὸ naha nomo (tanah tapak rumah) 2 bidang, Gendang 1 buah, Gong 1 buah,
Faracia 1 set lengkap, piring zaman dulu 4 buah, Firὸ 15 buah, Rigi 20 buah, satu unit usaha, 1
unit mobil L300 pic up bak terbuka dan Emas, utang di Bank Rp.60.000.000 (enam puluh juta
rupiah), piutang Rp. 40.000.000 (empat puluh juga rupiah), dan 15 ekor piutang babi;

Bagian masing-masing sebagai berikut:

1. Si A mendapatkan Rumah 1 unit, Tanὸ kabu 1 bidang, tanὸ laza, tanὸ naha nomo 1
bidang, Gendang dan Gong, Faracia, Piring 2 buah, Firὸ 10 buah, Rigi 10 buah dan
semua Emas, termasuk seluruh utang-piutang;
2. Karena si B telah meninggal dunia maka digantikan oleh anaknya, disebut sebagai fangali
nono, fangali za nema (ahli waris pengganti), antara lain 1 unit rumah, tanὸ kabu 1
bidang, piring 1 buah, Firὸ 5 buah, Rigi 5 buah;
3. Bagian si C, antara lain: 1 unit usaha beserta tanahnya, 1 unit mobil L300;
4. Bagian si D, antara lain: 1 unit tanὸ naha nomo, 5 buah Rigi;
5. Si E tidak mendapatkan apa-apa dari warisan, tetapi Bapak SUDIRMAN LASE memberi
pesan agar pada saat si E menikah, maka semua biaya ditanggung oleh si A, si C, dan si
D. pemberian pesan ini diikuti dengan sumpah seperti masa dulu (la fahὸlu’ὸ). Sumpah
ini sangat berakibat fatal apabila di langgar oleh penerima sumpah;
6. Berhubungan si F anak perempuan, tidak mendapatkan apa-apa. Tetapi pewaris
menitipkan pesan agar pada saat si F menikah, baik si A, C, D dan E wajib memberikan
masing-masing sara batu ana’a (setara dengan emas murni seharga Rp.6.500.000). Pesan
ini disertai dengan sumpah zaman dahulu atau (la fahὸlu’ὸ), agar ahli waris tidak
melanggarnya;
7. Pesan paling terakhir yang juga disertai dengan Hὸlu (sumpah) adalah bahwa seluruh
anak-anaknya bertanggungjawab terhadap hidup mereka sampai pada pengurusan
penguburan mereka. Segala biaya harus ditanggung bersama antara si A, C, D, E dan F.
Pembagian warisan oleh Bapak SUDIRMAN LASE bertujuan agar para ahli waris atau
anak-anaknya kelak tidak meributkan peninggalannya serta memberi kelegaan tersendiri bagi
pewaris. Masalah Vanuri Zatua (bekal orang tua) tidak diragukan lagi karena anak-anaknya telah
disumpahin agar tidak lari dari tanggungjawabnya sebagai anak. Karena apabila sumpah tersebut
dilanggar maka akibatnya sangat fatal (kepercayaan masa dulu).

4. SISTEM PERKAWINAN ADAT NIAS

Indonesia memiliki berbagai macam suku termasuk salah satunya yaitu suku Nias. Pada
dasarnya, Suku Nias merupakan kelompok masyarakat yang hidup di pulau Nias. Tetapi saat ini
suku Nias sudah banyak menyebar ke berbagai daerah.

Tidak sedikit masyarakat suku Nias yang tinggal dan bahkan menetap di kota atau daerah
yang bukan Nias. Meskipun mereka tinggal di kota atau daerah lain, tetapi mereka tidak
meninggalkan adat istiadatnya, karena suku Nias merupakan masyarakat yang hidup dalam
lingkungan adat dan kebudayaan yang masih tinggi. Bahkan dari mulai kelahiran sampai
kematian memiliki hukum adat. Maka dari itu meskipun suku Nias tinggal di tempat atau daerah
lain, ia masih tetap menjunjung tinggi adat atau tradisinya.

ada beberapa langkah dan tahapan yang harus dilakukan dalam adat pernikahan oleh suku
Nias (Terkhususnya adat nias selatan,GOMO) antara lain :

1. Mamaigi niha (mame`eli), Terjemahan harafiah ia melihat orang/memberi suara. Tetapi


maksudnya ialah keluarga laki-laki, sekedar jalan-jalan melihat atau memperhatikan
seorang gadis yang diperkirakan sesuai menjadi calon isteri anak laki-laki mereka.
2. Mame’e laeduru, terjemahan harafiah ialah memberi cincin. Tetapi maksudnya ialah
keluarga laki – laki meninggalkan sebentuk cincin emas kepada keluarga perempuan
sebagai bukti bahwa mereka sah melamar anak gadis di rumah itu. Pengesahan
pertunangan ini baru ditingkat kedua keluarga.
3. Manunu manu, terjemahan harafiah ialah membakar ayam. Tetapi maksudnya ialah
pengesahan pertunangan di tingkat kampung (banua). Kegiatannya ada 3 macam yaitu:
a. Femanga bawi nisila hulu. Terjemahan harafiah ialah hal makan babi yang tulang
punggungnya dibelah dua. Dan mereka memang membelah seekor babi, sebelah untuk
keluarga laki – laki dan sebelah untuk keluarga perempuan. Kegiatan ini mengingatkan
kita pada perjanjian yang sakral. b. Femanga mbawi fanunu manu, terjemahan harafiah
ialah hal makan babi pembakar ayam. Tetapi maksudnya ialah mereka makan babi
bersama untuk pengesahan pertunangan di tingkat desa. c Famaböbö töi, terjemahan
harafiah ialah pengikat nama. Maksudnya, pengetua adat menyebut nama anak laki–laki
dan nama anak perempuan dalam doa. Sebelum agama kristen masuk ke pulau Nias, doa
ini dinaikkan ke arwah para leluhur agar mereka merestui pertunangan ini. Tetapi
sekarang setelah agama Kristen masuk ke pulau Nias, mereka menaikkan doa kepada
Allah Bapa, Allah yang telah menyatakan diri dalam Yesus Kristus, supaya Allah
menjauhkan segala halangan yang mau menghalangi perkawinan kelak.
4. Manofu li, terjemahan harafiah ialah menanyakan kata atau suara. Tetapi maksudnya
ialah keluarga laki-laki menanyakan beban (biaya perkawinan) yang harus mereka pikul
(bayar). Acara ini hanya berupa acara kedua keluarga.
5. Mangötö bongi, terjemahan harafiah ialah menyeberang malam. Tetapi maksudnya ialah
acara membawa beban (jujuran) yang telah disepakati oleh kedua keluarga. Dalam acara
ini kedua keluarga menentukan tanggal pesta perkawinan. Acara ini hanya berupa acara
kedua keluarga.
6. Mamözi aramba, terjemahan harafiah yaitu memukul gong. Mame`e terjemahan
harafiahnya yaitu membuat menangis. Tetapi maksud mamözi aramba (memukul gong)
ialah mengumumkan secara resmi di desa bahwa dikeluarga itu akan dilangsungkan pesta
pernikahan, dan memang dipukul bunyi–bunyian. Bunyi-bunyian yang dibunyikan
sampai hari pesta pernikahan. Bunyi-bunyian itu dibunyikan baik di rumah calon
pengantin perempuan maupun di rumah pengantin laki–laki.
Sedangkan Mame’e (membuat menangis) maksaudnya ialah acara penggembalaan atau
bimbingan kepada calon pengantin perempuan. Dalam acara ini memang calon pengantin
perempuan menangis karena kebanyakan kata–kata penggembalaan, dan bimbingan itu
membuat orang sedih.
7. Molau bawi, terjemahan harafiah yaitu membawa babi. Tetapi maksudnya ialah keluarga
calon pengantin laki-laki membawa dua ekor babi besar yang beratnya 100 kg untuk
keperluan pesta pernikahan. Acara ini dilaksanakan pada sore hari sebelum hari “H”
pesta pernikahan.
8. Falöwa, terjemahan harafiah yaitu pesta maksudnya ialah pesta perkawinan. Ada tiga
acara yang menentukan disamping acara memberi salam, memberi puan (sirih pinang)
dll.,yaitu:
 Fanika gera-era mböwö, terjemahan harafiah yaitu perobekan pikiran budi. Tetapi
maksudnya ialah pihak keluarga pengantin perempuan memberitahukan secara
formil kepada pengantin laki–laki tentang kewajibannya yang berlaku seumur
hidup setelah dia menjadi menantu atau ipar dari keluarga itu.
 Ngona mböwö terjemahan harafiah ialah pamitan adat. Tetapi maksudnya ialah
pengesahan bahwa kewajiban keluarga laki–laki pada berlangsungnya perkawinan
itu semua sudah diterima oleh keluarga perempuan. Hal ini dilambangkan dengan
pemberian konde emas kepada keluarga pengantin perempuan.
 Fondra’u danga nina, tejemahan harafiah ialah hal menjabat tangan ibu (mertua).
Tetapi maksudnya ialah sang menantu (pengantin laki-laki) mengucapkan terima
kasih kepada ibu mertuanya atas jerih payah ibu mertua mengasuh anak gadisnya.
Untuk itu dia mempersembahkan satu kalung emas kepada ibu mertuanya.
 Mame’e gö, terjemahan harafiah yaitu memberi makanan. Tetapi maksudnya
ialah beberapa hari setelah selesai pesta perkawinan, maka keluarga pengantin
perempuan datang menengok anak perempuannya. Dalam acara ini mereka
membawa sekedar makanan.
 Mamuli nukha (manga gahe), Mamuli nukha terjemahan harafiah
yaitu mengembalikan pakaian. Maksudnya pengantin perempuan bersama dengan
suaminya datang ke rumah keluarga perempuan. Tujuannya ialah mengambil
pakaian pengantin perempuan yang masih tinggal. Manga gahe terjemahan
harafiah yaitu makan kaki babi. Tetapi maksudnya ialah perempuan makan bagian
dari babi pesta kawin yang sudah disimpan.

Dewasa ini acara seperti diatas sudah dipadatkan, dengan tujuan jangan banyak waktu
yang dipergunakan. Misalnya acara nomor satu dan dua disatukan menjadi mame`e laeduru.
Acara nomor tiga dan lima disatukan menjadi manunu manu. Acara nomor enam dan tujuh
walaupun berdiri sendiri-sendiri tetapi hanya makan waktu dua hari. Acara nomor delapan tetap
satu hari penuh. Acara nomor sembilan dan sepuluh tetap dilaksanakan tetapi sudah sangat
disederhanakan.

5. b memilih jalur hukum adat apa alasannya

Alasan dari memilih proses penyelesaian sengketa secara adat adalah:

1. Menjaga keharmonisan dan pemulihan relasi antara masyarakat adat setempat


2. Proses penyelesaian sengketa adat dapat menghemat waktu dan biayadari para pihak
yang bersengketa.
3. Untuk mencegah dan menghindari keputusan-keputusan yang bersifat memihak dan
sewenang-wenang yang dapat merugikan salahsatu pihak yang bersengketa.
4. Menjaga, memajukan dan melestarikan adat istiadat dan hukum adat yang hidup di adat
5. Memelihara ketentraman dan ketertiban masyarakat adat; serta mendamaikan
perselisihan masyarakat adat

Anda mungkin juga menyukai