Anda di halaman 1dari 8

Suku Nias

Tari Perang diperagakan di halaman tengah pedesaan tradisional. Foto koleksi Tropenmuseum,
Amsterdam

Suku Nias merupakan gugusan penduduk yang hidup di pulau Nias. Dalam bahasa aslinya, orang Nias
menamakan diri mereka "Ono Niha" (Ono = anak/keturunan; Niha = manusia) dan pulau Nias sbg "Tanö
Niha" (Tanö = tanah).

Suku Nias merupakan penduduk yang hidup dalam anggota yang terkait hukum budaya dan kebudayaan
yang sedang tinggi. Hukum hukum budaya Nias secara umum dikata fondrakö yang mengatur segala
bidang kehidupan mulai dari lahir sampai kematian. Penduduk Nias kuno hidup dalam tipu daya budi
megalitik dibuktikan oleh peninggalan sejarah berupa ukiran pada batu-batu akbar yang sedang
ditemukan di wilayah pedalaman pulau ini sampai sekarang. Kasta : Suku Nias mengenal sistem kasta(12
tingkatan Kasta). Dimana tingkatan kasta yang tertinggi merupakan "Balugu". Untuk mencapai tingkatan
ini seseorang mesti mampu melakukan pesta akbar dengan mengundang ribuan orang dan
menyembelih ribuan ekor ternak babi selama berhari-hari.

Asal Usul
Mitologi

Tari Perang

Menurut penduduk Nias, salah satu mitos asal usul suku Nias bersumber dari sebuah pohon kehidupan
yang dikata "Sigaru Tora`a" yang terletak di sebuah tempat yang bernama "Tetehöli Ana'a". Menurut
mitos tersebut di atas mengatakan kedatangan manusia pertama ke Pulau Nias dimulai pada zaman Raja
Sirao yang memiliki 9 orang Putra yang disuruh keluar dari Tetehöli Ana'a karena memperebutkan
Takhta Sirao. Ke 9 Putra itulah yang dianggap dijadikan orang-orang pertama yang menginjakkan kaki di
Pulau Nias.
Pakaian

Sanggar Museum memakai pakaian kulit kayo.

Pakaian tradisional Nias dinamakan "Baru Oholu" untuk pakaian pria dan "Baru Ladari" atau "Baru Isitö"
untuk pakaian wanita. Pakaian tradisional biasanya merah atau kuning dan dikombinasikan dengan
warna hitam dan emas. Pada zaman dulu orang-orang di Nias tidak memiliki akses ke tekstil seperti
kapas. Mereka membuat pakaian dari kulit pohon atau dengan menenun serat-serat dari kulit pohon
atau rumput. Pakaian laki-laki terdiri dari rompi yang pada dasarnya cokelat atau hitam dan dihiasi
ornamen kuning, merah dan hitam. Pakaian wanita hanya terdiri dari selembar kain yang melilit
pinggang dan tanpa baju atas, tapi dihiasi dengan gulungan gelang kuningan dan anting besar.

Kulit kayu dari pohon oholu untuk membuat cawat (saombö) dan rompi (baru oholu) untuk laki-laki.
Rompi juga bisa dibuat dari serat kulit pohon disebut isitö. Itu dipercaya bahwa siapa pun mengenakan
pakaian tenun dengan serat isitö menjadi sangat kuasa. Jaket dan rompi yang berkualitas lebih rendah
terbuat dari serat rumput disebut ladari. Serat isitö juga digunakan untuk menenun rok (U'i) dan kain
untuk wanita. Katun lembut (afasi niha) yang jarang digunakan bisa dipintal dan ditenun untuk menutupi
bagian-bagian tertentu.

Senjata

Pedang Tologu

Pedang Tologu adalah salah satu senjata tradisional nias. Pedang Tologu bukanlah sembarang pedang
yang biasa kita ketahui, pedang Tologu di yakini memiliki kekuatan gaib yang dapat melindungi
pemiliknya, kesaktian pedang Tologu berasal dari  rago atau semacam bola yang berada dekat gagang
pedang nya. Rago itu biasanya terbuat dari kuku atau taring binatang buas seperti harimau, singa atau
buaya yang di  bentuk menyerupai bola. Ada juga yang hanya menggunakan rotan. Rago atau bola yang
berada dekat gagang pedang itu diyakini dapat menyalurkan kekuatan magis kepada si pemilik pedang. 
Untuk menambah kesan keperkasaan, keberingasan, dan kekuatan pedang Tologu, pada bagian gagang
atau tangkai pedang di beri ukiran yang berbentuk kepala monster.
Rumah Adat Nias Omo Hada dan Omo Sebua,

Rumah Adat Nias adalah salah satu dari sekian banyak rumah adat yang ada di Indonesia. Indonesia
merupakan salah satu negara di dunia yang dikenal sebagai sebuah negara yang mempunyai
keanekaragaman budaya yang sangat banyak ragamnya dan menarik untuk dipelajari. Salah satu
kelebihan dari keanekaragaman budaya tersebut adalah menjadikan Indonesia mempunyai beragam
rumah adat yang berbeda-beda.

Salah satu rumah adat yang ada di Indonesia adalah Rumah Adat Nias. Rumah adat ini
mempunyai bentuk dan desain dari bangunan yang unik dan sangat menarik mata. Dibalik keunikannya
tersebut, ternyata rumah adat ini mempunyai kelebihan. Agar Anda bisa mengetahui apa saja yang
menjadi keunikan dan kelebihan Rumah Adat Nias, maka artikel kali ini akan membahas mengenai:

1. Keunikan Rumah Adat Nias


1. Konstruksi Bangunan Tanpa Paku
2. Tahan Terhadap Gempa
3. Proses Pembangunan Selama 4 Tahun
2. 3 Model Rumah Adat Nias Sesuai Daerahnya
1. Rumah Adat Nias Selatan
2. Rumah Adat Nias Tengah
3. Rumah Adat Nias Utara
3. Perbedaan Rumah Adat Nias Omo Hada dan Omo Sebu
4. alat musik

Doli-Doli Gahe

Doli Doli Gahe (mantabz)

Alat musik ini biasanya digunakan pada saat di ladang. Doli doli Gahe adalah alat musik yang terdiri dari 
4 (empat) kayu yang berbeda nadanya. Alat musik ini dimainkan dengan cara dipukul menggunakan alat
pemukul berupa kayu kecil (tongkat pendek). Pada awalnya alat musik ini dimainkan dengan cara
diletakkan atau disusun diatas kaki namun seiring berjalannya waktu kini alat musik ini bisa dimainkan
dimana saja dengan posisi berdiri.
Lagu tradisional

1. Hendri Hendri

Hendri Hendri adalah jenis lagu yang sering dinyanyikan dalam acara pesta pernikahan ataupun pesta
adat.

Lagu hendri hendri adalah lagu yang syairnya berupa kata-kata sambutan dan juga komentar kepada
pengunjung.

2. Miti - Miti

Miti miti adalah jenis lagu yang memiliki genre hampir dengan seriosa.

Tarian

Tari Moyo

Gambar Tari Moyo

Tari Moyo atau disebut juga sebagai tari elang merupakan salah satu seni tari tradisional yang berasal
dari pulau Nias, provinsi Sumatra Utara, Indonesia. Secara etimologi, Moyo dalam bahasa Nias berarti
burung elang. Hewan unggas tersebut adalah ilham bagi masyarakat nias dalam menciptakan gerakan
tarian ini yang menggambarkan seekor burung elang yang mengepakkan sayapnya, tanpa mengenal
lelah, menaklukkan sesuatu yang bermakna bagi sesamanya dan dirinya sendiri. Pada dasarnya tari
moyo menceritakan tentang sukacita seorang ibu atas kepulangan anaknya dari peperangan. Tarian ini
juga melambangkan keuletan dan semangat secara bersama dalam mewujudkan sesuatu yang dicita-
citakan.[1]

Di Kepulauan Nias sendiri, setiap daerah memiliki versi Tari Moyo yang berbeda-beda, mulai dari asal-
usul, ragam gerak, hingga musik pengiringnya. [2]

Tari Moyo dalam pandangan Antropologi merupakan suatu bentuk ekspresi diri yang didefinisikan
sebagai praktik kultural sekaligus sebagai ritual sosial. Tari Moyo memiliki fungsinya tersendiri baik
secara kultural maupun secara sosial. Selain itu, Tari Moyo tidak hanya memiliki unsur estetika semata,
tetapi juga ada unsur sosiologis dan aspek sejarah yang melatarbelakanginya. Tari Moyo memiliki sifat
tekstual atau memiliki bentuk secara fisik yang dapat dilihat, didengar, dan dialami oleh indera serta
ditelaah atau dianalisis berdasarkan konsep pemahamannya. Sebuah pertunjukan merupakan
perpaduan antara berbagai aspek penting yang menunjang seperti lakon, pemain, busana, iringan,
tempat pentas dan penonton. Dalam perspektif ini, pertunjukan Tari Moyo juga memiliki beberapa
unsur pendukung yang dapat dijabarkan antara lain; pelaku pertunjukan, tata busana dan tata rias,
setting atau waktu dan tempat pertunjukan, pola lantai, serta gerak tari dan instrumen pengiring.
Kesemua hal ini merupakan faktor yang mendukung keberhasilan pertunjukan Tari Moyo, yang
merupakan bagian dari Technology of Enchantment. [2]
Makanan

1. Harinake

Kuliner satu ini khusus yang boleh makan hidangan dari daging babi. Sumber

Sekilas hidangan bernama Harinake ini memang bikin ngiler. Yap, rasanya memang terkenal enak. Tapi,
kuliner ini terbuat dari daging babi cincang yang diiris dengan ukuran kecil-kecil dan tipis-tips.

Bagi wisatawan yang tidak makan daging babi bisa puasa terlebih dahulu. Bagi wisatawan yang makan
daging babi wajib sekali mencicipi kuliner yang satu ini.

Harinake sendiri merupakan makanan khas Nias yang biasanya disajikan untuk menghormati tamu dan
mertua. Biasanya disajikan satu ekor babi lalu dicincang

Kerajinan

Bola nafo adalah wadah untuk bahan makan sirih orang Nias yang terbentuk dari anyaman kulit
daun. Bola nafo terdiri dari dua suku kata yaitu bola dan afo. Bola adalah tempat, sedangkan afo adalah
lima ramuan yang sering disebut sebagai tradisi makan sirih bagi orang Nias, yaitu ari tawuö (daun
sirih), betua (kapur), gambe (daun gambir), bago (tembakau), dan fino (buah pinang).[1] Biasanya, bola
nafo dikalungkan pada leher patung Ina Mbanua. Ina Mbanua adalah dewi yang dimuliakan masyarakat
suku Nias sebagai lambang kesuburan. Makan sirih sudah menjadi tradisi yang dilakukan setiap hari oleh
semua kalangan umur. Makan sirih mempunyai makna yaitu, sebagai bentuk penyatuan pikiran yang
berbeda, menghindari perpecahan dan membangun harapan. Karena itu, makan sirih merupakan tahap
awal dalam kegiatan pertemuan adat, keluarga, dan acara besar masyarakat Nias. [2]

Bola Nafo dibuat oleh perempuan di setiap kampung di Nias yang digunakan untuk kebutuhan sendiri
atau dijual sebagai barang kerajinan di pasar-pasar tradisional dan toko souvenir untuk para wisatawan.
Bola nafo biasanya juga dihiasi dengan simbol dan motif dari Nias yang memiliki makna tersendiri.
Contohnya seperti motif Ni'otarawa yang digunakan oleh bangsawan, sementara motif Ni'ohulayo
digunakan oleh masyarakat umum.[3] Kini Bola nafo beralih fungsi sebagai penyimpanan emas, dompet,
dan tempat menyimpang uang
Upacara Adat
Lompat batu

Lompat batu (Hombo Batu) adalah praktek budaya Nias yang unik. Ini juga terkenal oleh orang Indonesia
karena, upacara lompat batu Nias digambarkan pada uang lama seribu rupiah. Awalnya upacara lompat
batu adalah sebagian dari ritual inisiasi  pria muda untuk diterima sebagai orang dewasa dan prajurit.
Ketinggian piramida batu lompat itu adalah di antara 1,8 meter sampai 2,2 meter. Lompat ini dilakukan
tanpa alas kaki dan latihan berulang-ulang diperlukan sebelum mencoba lompat ini. Keterampilan untuk
melompat benda yang tinggi dikembangkan sebagai teknik pertempuran. Dalam serangan mendadak,
prajurit bisa melompati tembok pertahanan di desa musuh. Banyak desa di selatan masih memiliki
susunan batu untuk upacara ini.

SISTEM KEKERABATAN MASYARAKAT NIAS

a.  Garis Keturunan

Suku bangsa Nias mengikuti garis keturunan patrilineal, yaitu mengikuti hitungan hubungan kekerabatan
melalui laki-laki. Anak laki-laki maupun perempuan mengikuti garis keturunan ayah. Apabila anak laki-
laki kawin,  biasanya tinggal dirumah orangtuanya dalam waktu satu, dua, tiga tahun sampai lahir anak
pertama. Tapi, anak perempuan yang sudah kawin harus keluar dari rumah orangtuanya mengikuti
suaminya.

Suku bangsa Nias yang berasal dari satu satu garis keturunan disebut sisambua mado.  Mereka diikat
oleh pertalian darah yang dihitung melalui laki-laki. Setiap nenek moyang dan keluarga keturunannya
memiliki  atia nadu.  Sampai generasi yang kesembilan perkawinan diantara keturunannya dilarang
untuk generasi selanjutnya perkawinan diantara keturunannya tidak menjadi masalah lagi.

Hanya saja persyaratan harus dipenuhi yakni; memisahkan atia nadu keturunan  tersebut dari


kumpulan atia nadu nenek moyang dan membayar pemisahan itu dengan memotong babi sebesar
4 alisi. Babi tersebut diberikan oleh pihak laki-laki. Jadi dengan terjadinya perkawinan ini berarti kawin
dalam lingkungan marga atau mado yang sama. Itulah sebabnya di daerah Nias kita jumpai suami/istri
yang marganya sama.

b. Kelompok Kekerabatan

Kelompok kekerabatan orang Nias terkecil adalah sangambatö yaitu keluarga batih, tetapi kelompok
yang penting adalah  sangambatö sebua,  yakni keluarga besar virilokal yang terdiri dari keluarga batih
senior ditambah lagi dengan keluarga batih putra-putranya yang tinggal serumah, sehingga berupa
sebuah rumah tangga  dan satu kesatuan ekonomis. Gabungan–gabungan dari sangambatö sebua  dari
satu leluhur disebut Mado (di Nias Utara, Timur dan Barat) atau Gana (di Nias Tenggara di Nias Selatan).

Fungsi kelompok keluarga dari kedua belah pihak ini, paling menonjol dalam upacara peralihan dari
tingkat hidup remaja ketingkat hidup berkeluarga. Jadi, apabila anak sangambatö  tadi terutama anak
perempuan kawin maka yang banyak memegang peranan ialah keluarga dari pihak suami. Mulai dari
awal upacara sampai berakhir, mereka yang menjadi penghubung antara pihak laki-laki dan orangtua
perempuan serta yang menentukan segala sesuatu yang berhubungan dengan upacara tersebut.
Mereka ini merupakan kelompok kekerabatan yang disebut menurut dekatnya dengan sangambatö tadi.
Kelompok keluarga yang paling dekat yaitu yang sekandung dan sepupu dihitung dari garis keturunan
pihak laki-laki yang disebut Iwa.

Saudara sepupu tingkat kedua disebut Huwa dan saudara-saudara tingkat seterusnya disebut banua.


Dari kelompok kekerabatan banua yang menerima hak dalam upacara-upacara adat ialah Salawa dan
stafnya. Selain dari kelompok kekerabatan diatas, masih ada satu kelompok kekerabatan dari pihak
suami yaitu kelompok-kelompok saudara perempuan yang sudah kawin beserta keluarga mereka
masing-masing, yang disebut fadono atau ono alawe,  termasuk keluarga yang mengawini anaknya
perempuan.

Fungsi dari fadono berbeda dengan Iwa, Huwa dan Banua. Kelompok kekerabatan ini merupakan


pekerja dalam upacara yang dilaksanakan olehsangambatö tadi. Itulah sebabnya dalam
pembagian urakha  yang menjadi bagian mereka adalah tangan/kedua kaki sebelah muka sebagai
lambang kecekatan.

Keluarga dari pihak istri merupakan suatu kelompok kekerabatan yang disebut uwu. Jadi dari merekalah
sumber hidup anak-anak sangambatö itu, hal inilah yang menjadikan derajat uwu lebih tinggi
kedudukannya dari semua kelompok kekerabatan tadi dan selalu mendapat penghormatan yang
tertinggi dari ngambatö tersebut. Selain itu keluarga yang memberi istri bagi anak laki-
laki sangambatö merupakan satu kekerabatan yang disebut sitenga bö’ö. Kelompok ini diundang
apabila sangambatö mengawinkan anaknya, mengaadakan pesta kematian atau pesta adat lainnya.

c. Sopan Santun Kekerabatan

Semua anggota keluarga dan kerabat boleh saling menyapa, hanya saja cara menyapa di bedakan
kepada yang lebih tua, daripada yang lebih muda. Kepada yang lebih tua harus lebih hormat daripada
yang lebih muda umurnya. Antara mertua dengan menantunya perempuan dan antara mertua dengan
menantunya laki-laki mempunyai hubungan yang erat sama seperti hubungan orangtua dengan anak
kandungnya. Demikian juga diantara yang beripar yaitu suami dengan istri saudara laki-laki istrinya atau
istri dengan saudara perempuan suaminya dianggap seperti saudara kandung. Tidak ada garis pemisah
antara mereka, boleh bebas berbicara, hanya saja yang muda harus menghormati yang lebih tua.
Kelakar diantara kedua kelompok di atas boleh tapi harus dalam batas-batas kesopanan. Yang tidak
bebas berkelakar ialah antara suami dengan saudara perempuan istrinya.

Kelompok keluarga pihak istri lebih-lebih orangtua atau saudara laki-laki istri mendapat penghormatan
yang lebih tinggi dari kelompok keluarga lainnya. Kalau mereka baru pertama kali datang/berkunjung
kerumah saudara perempuannya, mereka harus memotong seekor anak babi minimal satu alisi. Tidak
ada alasan tidak ada persediaan, harus dicari biarpun berutang. Selain memotong anak babi biasanya
pemilik rumah tersebut haruslah memberikan oleh-oleh/bawaan berupa satu ekor anak babi. Jika tidak
dia akan merasa malu terhadap tetangga dan orang sekampungnya apalagi kalau mereka mengetahui
kepergiannya itu.   Itu sebabnya pihak keluarga istri jarang datang kerumah anak perempuan, jika
dilihatnya anaknya itu masih diperkirakan belum baik jalan hidupnya/sengsara.

Perlu juga diketahui bahwa babi yang disuguhkan sebagai lauk, tidaklah dipotong secara sembarangan,
karena yang disuguhkan dari babi itu adalah rahangnya beserta daging yang senyawa dengan rahang
tersebut, jerohan atau alakhaö dan beberapa potong daging pahanya serta rusuknya. Inilah makanan
penghormatan yang paling tertinggi, karena rahang atau simbi merupakan lambang sangkutan atau
tempat bergantung. Cara memasak daging babi itu menurut adat hanya direbus saja bersama garam
sedikit.

Jika fadono atau ono alawe yang datang dan baru pertama kali datang atau jika dia telah panen maka ia
akan membawa olöwöta/molöwö atau membawa bingkisan makanan) berupa daging anak babi yang
sudah direbus, nasi dan afo atau sirih kemudian ia akan dijamu dengan memotong seekor anak babi,
tetapi yang lebih ditonjolkan untuk disuguhkan yakni kaki babi depan atau tangan babi bersama simbi.
Tangan melambangkan kecekatan, jadi yang disuruh-suruh. Jika mereka pulang harus
diserahkan manu atau ayam dan satu ekor anak babi bersama bingkisan makanan.
Penghormatan  diantara anggota kerabat, orang lain atau tamu  haruslah memberi salam yakni
ya’ahowu disusul dengan penyuguhan afo disusul dengan menyediakan minuman dan makanan. Kata
ya’ahowu di pergunakan saat bertemu dengan siapa saja yang berasal dari Nias.

Anda mungkin juga menyukai