Anda di halaman 1dari 17

ETNIS NIAS

DISUSUN OLEH :
Lisker Siagian (2211230004)
Rivia Dwi Artika (2212230001)
Dosen Pengampu: Nurwani
Mata kuliah: Filsafat Seni

SENI PERTUNJUKAN
FAKULTAS BAHASA DAN SENI
Lokasi dan Keadaan Geografis
Kabupaten Nias adalah salah satu daerah kabupaten di Propinsi Sumatera Utara yang berada
dalam satu pulau yang disebut Pulau Nias. Ibukotanya Kecamatan Gido, dapat ditempuh dengan
perjalanan laut dari Sibolga menggunakan kapal laut atau dengan perjalanan udara dari Medan
menggunakan pesawat udara. Pulau Nias mempunyai jarak ± 85 mil laut dariSibolga (daerah Propinsi
Sumatera Utara). 
 
Luas wilayah Kabupaten Nias adalah  sebesar 1.004,06 km², sejajar dan  berada di sebelah barat Pulau
Sumatera serta dikelilingi oleh Samudera Hindia. Menurut letak geografis, Kabupaten Nias terletakpada
garis 0'12’-0'32’ Lintang Utara(LU) dan 97'-98' Bujur Timur (BT) dekat dengan garis khatulistiwa. 
 
Berdasarkan luas daerah menurut Kecamatan di Kabupaten Nias, luas daerah terbesar adalah Kecamatan
Idanogawo dengan luas 231,61 km atau sekitar 23,07 persen dari total luas Kabupaten Nias,diikuti
KecamatanBawolato dengan luas sebesar 189,75 km atau sekitar 18,9 persen, kemudian Kecamatan Gido
dengan luas sebesar105,68 km atau sekitar 10,53 persen.Sedangkan luas daerah terkecil adalah
Kecamatan Somolo-molo dengan luassebesar 35,39 km atau sekitar 3,52 persen dari total luas wilayah
Kabupaten Nias.
 
Kondisi alam topografi daratanKabupaten Nias sebahagian besarberbukit-bukit sempit dan terjal
sertapegunungan dengan tinggi di atas permukaan laut bervariasi antara 0-800 m, yang terdiri dari dataran
rendahhingga bergelombang, dari tanahbergelombang hingga berbukit-bukit dan dari berbukit hingga
pegunungan.Akibat kondisi alam yang demikian mengakibatkan adanya 67 daerahaliran sungai kecil,
sedang, atau besaryang ditemui hampir di seluruh kecamatan.
Akibat letak Kabupaten Nias dekat dengan garis khatulistiwa, maka curah hujan setiap tahun cukup
tinggi.  Curah hujan yang tinggi setiap tahun mengakibatkan kondisi alam Kabupaten Nias sangat lembab
dan basah dengan jumlah hari hujan tiap bulan rata-rata 23 hari. Di samping itu, keadaan iklim Kabupaten
Nias jugasangat dipengaruhi oleh posisinya yg dikelilingi oleh Samudera Hindia.Kecepatan angin rata-
rata dalam satu tahun sebesar 5,4 knot. Kondisi seperti ini disamping curah hujan yang tinggi
mengakibatkan sering terjadinya badaibesar. Musim badai laut setiap tahun biasanya terjadi antara bulan
September sampai dengan November, tetapi kadang-kadang terjadi juga pada bulan Agustus dan cuaca
bisa berubah secara mendadak. Sedangkan Suhu udara rata-rata di Kabupaten Nias bisa mencapai 26,4 ⁰C
dengan rata-rata maksimum 30,6⁰C dan Minimum 23,3⁰C.  
 

Kebudayaan Suku Nias


Kebudayaan suku Nias, Sumatera Utara sangat menarik untuk kita bahas pada kesempatan kali ini.
Alasan menarik karena di daerah Nias banyak kearifan lokal yang harus Anda ketahui dan dijadikan pelajaran.
Apakah itu budaya yang masih eksis dan sudah tinggal sejarah saja. Ya, gempuran budaya asing sangat
berpengaruh dalam menurunnya rasa memiliki terhadap budaya nusantara. Banyak warga tidak siap dengan
dampak dari globalisasi dan intervensi budaya negara – negara maju. Maka kita sebagai warga negara harus
membuat kesadaran bersama. Mulai dari diri sendiri, keluarg sampai masyarakat secara umum.

Secara umum arti dari budaya adalah kebiasaan yang berlaku di sebuah daerah secara turun temurun. Setiap
warga akan malu jika tidak mengindahkan budaya yang sudah disepakati bersama. Budaya di suatu daerah
secara langsung membentuk identitas atau ciri khas dan menjadi bentuk kearifan lokal.
Apa yang menjadi unsur kebudayaan suku Nias juga menjadi informasi lanjutan guna membuat bahan makalah
untuk keperluan dunia pendidikan. Tidak semua yang ada di Nias merupakan kebudayaan asli. Karena bisa
saja budaya itu datang untuk menghilangkan budaya yang sudah lama ada. Ini namanya pembunuhan budaya.

Contoh kebudayaan suku Nias akan kami paparkan pada artikel berikut ini. Ada beberapa poin yang menarik
untuk kami sampaikan. Pada kesempatan lalu, kami sudah sempat menulis tentang alat musik tradisional Nias.
Dan semoga saja kehadiran artikel kebudayaan suku Nias bisa melangkapi hal – hal yang ada di daerah Nias.

Baiklah, langsung saja kita bahas satu persatu mengenai kebudayaan dari suku Nias yang perlu sama – sama
kita ketahui, apa sajakah itu? Simak informasinya berikut ini.

Budaya Lompat Batu (Fahombo)

Fahombo Nias 

Tradisi Hombo Batu ini merupakan sebuah tradisi di Desa Bawo Mataluo yang digunakan untuk menentukan
kedewasaan seorang pemuda apabila mampu melompat melewati batu dengan mengandalkan kemampuan
fisiknya dan bantuan batu penompang kecil untuk pijakan melompat. Sebelum proses Hombo batu ini akan ada
beberapa upacara adat khas dari suku Nias yang dilakukan terlebih dahulu.

Fahombo, Hombo Batu atau dalam bahasa Indonesia “Lompat Batu” adalah olahraga tradisional Suku Nias.
Olahraga yang sebelumnya merupakan ritual pendewasaan suku Nias ini banyak dilakukan di Pulau Nias dan
menjadi objek wisata tradisional unik dan cukup aneh namun menarik hingga ke seluruh dunia. Mereka harus
melompati susunan bangunan batu setinggi 2 meter dengan ketebalan 40 cm.
Tari Faluaya (perang)

Faluaya atau tari perang adalah sebuah atraksi yang dibawakan oleh para prajurit desa dengan
menggunakan aksesoris dan perlengkapan perang (gama-gama). Dalam atraksi ini kita bisa melihat
bagaimana gerakan-gerakan perang diperagakan dengan kompak dan seirama.

Rumah Adat

Sama halnya dengan kebudayaan suku Bali dan suku-suku lainnya di Indonesia, suku Nias juga
memiliki rumah adat khas yang disebut sebagai Omahoda. Rumah ada Nias ini memiliki bentuk khas dari
tradisi nenek moyang yang selalu membuat rumah untuk membantu melindungi dari berbagai ancaman
lingkungan luar serta hewan buas. Rumah adat Nias ini memiliki bentuk rumah panggung dengan desain dan
arsitek yang sangat luar biasa. Setiap daerah di Nias memiliki bentuk rumah ada yang berbeda satu sama
lainnya.

Dengan adanya perkembangan zaman dan masuknya berbagai pengaruh dari luar Nias menjadikan jumlah
rumah adat yang ada di Nias sekarang sudah sedikit yang bisa di temui. Seperti contohnya yang terdapat
disalah satu desa adat kampung Bawamataluo yang dulunya memiliki banyak rumah-rumah adat Nias namun
sekarang sudah banyak yang mengalami modifikasi dari bentuk aslinya.

Pakaian Adat

Kebudayaan suku nias yang sampai saat ini masih dipertahankan lainnya adalah pakaian adat. Pakaian
adat Nias berwarna emas atau kuning yang dipadukan dengan warna lain seperti merah, hitam, dan putih.
Filosofi warna kuning keemasan pada pakaian adat nias ini untuk melambangkan kejayaan, kemakmuran,
kekuasaan, dan kebesaran. Pakaian ada untuk wanita disebut sebagai Oroba Si’oli dan baru oholu untuk laki
laki.
Upacara Adat

Upacara Adat Nias 

Suku Nias adalah salah satu suku yang masih menjunjung tinggi nilai adat dan istiadat peninggalan leluhurnya.
Hal ini dapat di buktikan dari upacara adat yang masih berlaku sampai sekarang, seperti upacara adat yang
dilangsungkan saat ada peristiwa kelahiran. Tidak cuma itu, ketika ada acara pernikahan, maka biasanya
upacara adat juga digelar oleh masyarakat lokal. Begitu juga dengan terjadi kabar duka berupa kematian dan
upacara adat lainnya.

1. Upacara kelahiran
Tradisi yang biasa di lakukan apabila anak pertama lahir adalah ayah dari anak tersebut berkunjung
kerumah mertua untuk menyampaikan bahwa cucunya telah lahir.
Pada upacara ini mertua diwajibkan membuat pesta dengan memotong babi.
Setelah si anak berumur maksimal 1 bulan, maka si anak akan di beri nama (lafatoro doi).
Upacara ini juga memotong seekor babi untuk pesta keluarga dan masyarakat sekitar. Selanjutnya
penyampaian ke Ere atau Pendeta supaya sianak didoakan agar tetap sehat.

2. Upacara pernikahan
Dalam upacara pernikahan terdapat empat point penting yang harus dilaksanakan.
⇨Famatua (pertunangan)
⇨Fanema bola (penentuan jujuran)
⇨Famekola (penyerahan mahar jujuran)
⇨Falowa (pesta pernikahan)
3. Upacara kematian
Upacara kematian untuk orang tua laki – laki, biasanya pada waktu sakit dilakukan pesta
dengan memotong babi serta mendatangkan ere atau pendeta. Upacara ini ditekankan pada
pemberian makan terakhir bagi orang yang sakit. Dalam upacara ini si anak meminta kemuliaan
terhadap si bapak yang akan meninggal.Pada waktu bapak itu meninggal maka anak pertama
membasuh wajah si bapak dan air sisa lap itu disimpan di dalam botol untuk kemudian disimpan di
rumah yang difungsikan sebagai obat, kekuatan. Kemudian mayat di dudukkan serta ditempatkan di
depan rumah (di sudut kiri) dan dijaga sampai mayat itu habis karena busuk. Setelah daging yang
melekat pada mayat itu habis maka kepala mayat itu diambil dan diletakkan di atas piring,
dibersihkan dengan minyak kelapa lalu ditanam dibawah behu (batu berdiri).
Pemasangan behu itu bersamaan dengan pemasangan batu datar (awina). Muka tengkorak itu
menghadap menghadap ke depan rumah dan diantara tengkorak itu diletakkan binu untuk keperluan
sebagai bantal, pembantu, penjaga. Hal ini memiliki makna bahwa yang meninggal itu memiliki
status sosial yang tinggi. Status sosial itu juga bisa didapatkan jika orang tua yang meninggal diberi
binu pada waktu dikuburkan. Binu yang diambil biasanya yang berumur tua, sedangkan anak – anak
dan wanita tidak diperkenankan menjadi binu.
Jika pada waktu orang tua akan meninggal maka segala pesan – pesannya wajib diikuti kalau tidak
diikuti akan menimbulkan masalah - masalah pada kehidupan anak – anaknya.

4. Upacara Owasa / Faulu


Upacara Owasa / Faulu merupakan rangkaian upacara yang berkaitan dengan struktur sosial
atau pembentukan struktur sosial masyarakat. Nias bagian utara upacara peningkatan status sosial
disebut owasa sedangkan di Nias selatan disebut faulu. Upacara Owasa dibuat dengan pesta yang
bertingkat – tingkat dengan melebihi aturan yang ada yaitu dengan memotong lebih banyak babi
sehingga mendapatkan status sosial yang lebih tinggi dari biasanya. Status sosial itu didapatkan
dalam bentuk gelar / nama kebesaran. Owasa / failu dibagi atas dua bagian yaitu owasa failu bagi
salawa / si’ulu’ dan owasa / faulu bagi masyarakat biasa.

Berikut upacara owasa yang biasanya dilakukan masyarakat biasa.


→ Perkawinan anak laki – laki.
→ Kelahiran anak.
→ Berkebun / memanen.
→ Pesta Owasa Hurukoko, pesta untuk
paman, mertua, keluarga lain yang dekat. Pesta ini dilakukan dengan memotong 3, 6, 12 ekor babi.
→ Pesta dengan membuat rumah dilakukan dengan memotong 12 – 20 ekor babi.
→ Fotohebioboro’i merupakan pesta owasa yang memotong 20 – 20 ekor babi.
→ Mengawinkan anak pertama lelaki dilakukan pesta owasa dengan memotong 30 – 50 ekor babi.
→ Pesta pada waktu orang tua sakit memotong 30 ekor babi.
→ Sudah tua owasa fodreha hua / famalau, pesta yang terlengkap yang disebut balugu.

Tingkatan Upacara owasa yang dilakukan keturunan Balugu / Salawa / Si’ulu


(raja):
→ Owasa Bawango Walu, pesta perkawinan anak laki – laki dengan memotong babi 20 ekor.
→ Owasa Famatoro Do’i Ndraono, melahirkan anak dengan memotong babi 2 ekor.
→ Owasa Aifadao Femana Bua No’i, pekerjaan di ladang dengan memotong babi 1 ekor.
→ Owasa Aifadao Fanano Hurukoko, panen dengan memotong babi 1 ekor.
→ Owasa Aifadao Famazehi Omo dan Famazehi Ana’a, beli emas untuk membuat hiasan istri
dengan memotong babi 3 ekor.
→ Owasa Fotekhe Gioboroi, ambil batu untuk tempat duduk istri (adulomanu), meja bundar yang
kecil / yang lebih besar dari telur ayam (adulomanu) disebut niogadi sedangkan yang lebih besar
dari niogadi disebut nilare.
→ Owasa Fanarai Lata – lata, pesta owasa untuk perempuan membayar untuk mertua perempuan
2,5 alisi, 5 alisi, 15 – 20 ekor potong babi dan membayar sama pamannya 2,5 alisi.
→ Owasa Fatome, owasa untuk laki – laki dan ambil osa – osa 20 ekor.
→ Owasa Fodreha Hua – Fawalau, owasa pemberian behu dan nilare dengan memotong babi 50
ekor.
→ Upacara Fome’ana - Fome’ana merupakan upacara makan bersama yang bertujuan
menghindarkan kerusakan yang menimpa kampung (upacara penolak bala).
Demikian upacara - upacara adat suku nias, tradisi ini sudah ada dari masa leluhur nias kuno dan
diturunkan kepada anak cucu, tapi sebagian upacara adat yang dianggap sudah tidak relevan untuk
masa sekarang ini sudah mulai direvisi.

Asal Usul Budaya, Khas, Marga, Suku NIAS


Secara umum masyarakat Nias dianggap berasal dari sekelompok keturunan suku birma
dan assam, tapi berbeda dengan asal usul orang batak. Ada banyak teori tentang asal usul suku
nias dan belum ada yang dapat memastikan karna mereka aslinya berasal dari lebih dari satu
grup etnik. Perpaduan itu akan menjadi sangat bagus karena gabungan dari beberapa grup
etnik. Ferrad (keturunan perancis) melaporkan bahwa seorang pelancong dari Arab yang
bernama sulaiman menyebutkan banyak perbedaan suku-suku di tahun 851 SM. 
Penggalian di gua Togi Ndrawa (menurut penelitian yang baru dilakukan di Heilberg,
Jerman), atau gua Pelita menunjukkan bahwa masyarakat sudah tinggal disana sejak 7000
tahun yang lalu. Banyak tulisan yang juga mendukung teori tersebut. Contohnya : banyak
masyarakat tinggal di pohon-pohon yang dipanggil Bela dan masyarakat tinggal ditebing yang
dipanggil Nadaoya, menurut kepercayaan masyarakat Nias 2 suku diatas tersebut adalah
sejenis roh-roh, roh terakhir yang jahat.

Di daerah Hinako dan dipulau-pulau Wesi selatan telah ada selama 17-18 generasi yang lalu.
Mereka disebut suku Maru yaitu suku asli orang bugis di nias. Para missionaris menyatakan
bahwa bahasa mereka telah hilang kira-kira 100 tahun yang lalu. Orang aceh datang ke nias kira-
kira 13-14 generasi yang lalu.

Mereka selalu berhubungan satu sama lain sebagai polem di nias. Ketika orang aceh pertama kali
masuk ke desa Foa dengan menyebrangi sungai, masyarakat nias memotong pohon besar dan
menutup jalan keluar. Salah satu tujuan masyarakat nias adalah untuk mempelajari tenaga-
tenaga gaib dan cara berperang dari orang aceh. Orang aceh menguasai daerah itu. Ada 3
bentuk cara berperang di nias, yaitu : simataha dari aceh, starla dari sumbar, dan trapedo yang
merupakan gabungan dari keduanya.

Bangsa Belanda melakukan ekspedisi pertama kalinya di nias tahun 1855, kemudian pada tahun
1863. nias telah dikuasai Belanda tahun 1914.

Pulau paling terkenal rentang sebelah barat Sumatera mungkin Nias. Itu setidaknya yang terbesar
dan paling padat penduduknya. Pada masa VOC, pulau ini dikenal sebagai pengekspor
budak ke Aceh, Padang dan Benkoelen. Dengan cara ini bangsawan dari Nias hierarkis
meraih emas dibutuhkan untuk mahar dan pesta-pesta ritual. Nias adalah masyarakat
pejuang yang tidak hanya diperbudak orang, mereka juga pergi berburu kepala, misalnya
untuk upacara pemakaman seorang bangsawan. Pemerintah kolonial berusaha untuk
mengakhiri ini (P. Boomgaard, 2001). Sekelompok pemburu kepala tenang, Nias “kelompok
pemburu datang untuk menyerahkan diri mereka sendiri” Nias, Sumatera Utara, 1920
sumber: http://collectie.tropenmuseum.nl/

Perdagangan Budak

Nias menjadi sumber penjualan budak-budak, sehingga masyarakat Nias disebut “Laku Niha”
yang artinya manusia yang diminta. Banyak para pedagang ke Gunungsitoli yang terdiri dari 3
suku asli yang berasal dari masyarakat menengah.

Orang Aceh, Sumbar, China dan Eropa membawa budak-budak dari Nias. Didaerah lain banyak
budak-budak yang diambil dari suatu daerah, khususnya dibagian utara. Desa-desa di selatan
lebih melindungi masyarakatnya dan lebih susah untuk dijangkau. Pemerintah kolonial Belanda
mendukung perdagangan budak itu.

Pemerintah Belanda menuliskan disebuah buku bahwa penduduk Nias utara telah
menjadi sedikit akibat dari perdagangan budak. Budak-budak dari Nias dikirim ke
banyak tempat, contohnya mereka dijual ke padang (sumbar) karena untuk melunasi
hutang-hutang. Mereka harus bekerja keras untuk beberapa tahun, yang biasanya sebagai
pelayan sekarang, ada dibeberapa desa yang masyarakatnya berasal dari Nias di Sumbar.
Budak-budak Nias juga dikirim ke Penang, Malaysia. Para Missionaris Khatolik yang tiba
di Nias melaporkan bahwa orang-orang China membawa budak-budak Nias dengan kapal
pada tahun 1820. budak-budak ini menjadi kristen karena diberi kebebasan di Penang.
Lyman, seorang missionaris dari Amerika menyatakan bahwa sebuah kapal Perancis
membawa sebanyak 500 orang budak-budak di tahun 1832.

sumber: http://www.lpamnias.org/sejarah.php

Suku Nias

1954

Suku Nias adalah kelompok masyarakat yang hidup di pulau Nias. Dalam bahasa aslinya, orang
Nias menamakan diri mereka “Ono Niha” (Ono = anak/keturunan; Niha = manusia) dan pulau
Nias sebagai “Tanö Niha” (Tanö = tanah).
Suku Nias adalah masyarakat yang hidup dalam lingkungan adat dan kebudayaan yang masih
tinggi. Hukum adat Nias secara umum disebut fondrakö yang mengatur segala segi kehidupan
mulai dari kelahiran sampai kematian. Masyarakat Nias kuno hidup dalam budaya megalitik
dibuktikan oleh peninggalan sejarah berupa ukiran pada batu-batu besar yang masih ditemukan
di wilayah pedalaman pulau ini sampai sekarang.

Kasta

Suku Nias mengenal sistem kasta (12 tingkatan Kasta). Dimana tingkatan kasta yang tertinggi
adalah “Balugu“. Untuk mencapai tingkatan ini seseorang harus mampu melakukan pesta besar
dengan mengundang ribuan orang dan menyembelih ribuan ekor ternak babi selama berhari-hari.

Asal Usul

Mitologi

Menurut masyarakat Nias, salah satu mitos asal usul suku Nias berasal dari sebuah pohon
kehidupan yang disebut “Sigaru Tora`a” yang terletak di sebuah tempat yang
bernama “Tetehöli Ana’a”. Menurut mitos tersebut di atas mengatakan kedatangan manusia
pertama ke Pulau Nias dimulai pada zaman Raja Sirao yang memiliki 9 orang Putra yang
disuruh keluar dari Tetehöli Ana’a karena memperebutkan Takhta Sirao. Ke 9 Putra itulah yang
dianggap menjadi orang-orang pertama yang menginjakkan kaki di Pulau Nias.

Penelitian Arkeologi

Penelitian Arkeologi telah dilakukan di Pulau Nias sejak tahun 1999 dan hasilnya ada yang
dimuat di Tempointeraktif, Sabtu 25 November 2006 dan di Kompas, Rabu 4 Oktober 2006
Rubrik Humaniora menemukan bahwa sudah ada manusia di Pulau Nias sejak 12.000 tahun
silam yang bermigrasi dari daratan Asia ke Pulau Nias pada masa paleolitik, bahkan ada
indikasi sejak 30.000 tahun lampau kata Prof. Harry Truman Simanjuntak dari Puslitbang
Arkeologi Nasional dan LIPI Jakarta. Pada masa itu hanya budaya Hoabinh, Vietnam yang sama
dengan budaya yang ada di Pulau Nias, sehingga diduga kalau asal usul Suku Nias berasal dari
daratan Asia di sebuah daerah yang kini menjadi negara yang disebut Vietnam.

Marga Nias

Daftar marga Nias

Amazihönö

Baeha, Baene, Bate’e, Bawamenewi, Bawaniwao, Bawo, Bali, Bohalima, Bu’ulölö, Buaya,
Bunawolo, Bulu’aro, Bago

Dachi, Dachi Halawa, Daeli, Dawolo, Dohare, Dohona, Duha

Fau, Farasi,

Gaho, Garamba, Gea, Giawa, Gowasa, Gulö, Ganumba, Gaurifa, Gohae

Halawa, Harefa, Haria, Harita, Hia, Hondro, Hulu, Humendru, Hura

Lafau, Lahagu, Lahomi, La’ia, Laoli, Laowö, Larosa, Lase, Lawolo, Lo’i, Lombu

Maduwu, Manao, Mandrehe, Maruao, Maruhawa, Marulafau, Marundruri, Mendröfa,


Mangaraja,Maruabaya

Nazara, Ndraha, Ndruru, Nehe, Nakhe

Saoiago, Sarumaha, Sihura,

Tafonao, Telaumbanua, Talunohi

Wau, Wakho, Waoma, Waruwu,wehalo,warasi

Zagoto, Zai, Zalukhu, Zamasi, Zamili, Zendroto, Zebua, Zega, Zendratö, Ziliwu, Zoromi

Suku Nias menerapkan sistem marga mengikuti garis ayah (patrilineal). Marga-marga umumnya
berasal dari kampung-kampung pemukiman yang ada.
Sumber : SEKATA SARUMAHA

KULINER TRADISIONAL NIAS


1. Harinake

Kuliner satu ini khusus yang boleh makan hidangan dari daging babi.

Sekilas hidangan bernama Harinake ini memang bikin ngiler. Yap, rasanya memang terkenal
enak. Tapi, kuliner ini terbuat dari daging babi cincang yang diiris dengan ukuran kecil-kecil dan
tipis-tips.

Bagi wisatawan yang tidak makan daging babi bisa puasa terlebih dahulu. Bagi wisatawan yang
makan daging babi wajib sekali mencicipi kuliner yang satu ini.

Harinake sendiri merupakan makanan khas Nias yang biasanya disajikan untuk menghormati
tamu dan mertua. Biasanya disajikan satu ekor babi lalu dicincang. Mau coba?
2. Gowi Nifufu

Gowi Nifufu.

Di masa lampau masyarakat Nias beranggapan bahwa makan pagi, siang dan malam tidak
lengkap jika belum makan ubi sebelum menyantap hidangan utama. Ubi atau Gowi Nifufu
sendiri menjadi hidangan pertama yang dimakan karena pada zaman dulu beras sangat langka
dan mahal.

Sesekali wisatawan bisa mencoba teknik menikmati Gowi Nifufu sebelum makan nasi. Pasti
rasanya unik.

3. Ni’owuru

Asinan daging yang wajib dicoba.


Proses mengasinkan daging dan ikan memang terbukti bisa membuat daging dan ikan bisa tahan
lama. Kalau di daerah lain di Indonesia hanya ikan saja yang diasinkan, tapi di Nias berbagai
daging biasa diasinkan agar awet.

Ni’owuru sendiri merupakan istilah untuk asinan daging babi. Tapi banyak juga daging lain yang
diasinkan seperti ayam, sapi, atau kerbau. Jadi, jika wisatawan ingin mencicipi kuliner yang satu
ini lebih baik bertanya terlebih dahulu dengan penjual tentang jenis daging yang diasinkan.

4. Lehedalo Nifange

Lehedalo Nifange patut dicoba saat ke Nias.

Lehendalo Nifange adalah  kuliner yang cukup terkenal di Nias. Kuliner ini terbuat dari talas
yang direndang. Kuliner satu ini sering menjadi lauk para warga Nias dan biasanya dinikmati
dengan sagu.

Rasanya cukup bikin ngiler meskipun bahannya terbuat dari talas. 


5. Köfö- Köfö

Berupa gula ikan tapi proses memasaknya berbeda.

Köfö- Köfö merupakan kuliner di pulau terpencil di Nias. Bahannya terbuat dari ikan yang telah
dibuang kulitnya dan dimasak dengan santan kelapa setelah digoreng. Kuliner satu ini biasanya
digunakan untuk lauk makan.

Sebenarnya tiap masyarakat Nias punya cara masak tersendiri. Sebelum ikan digoreng ada juga
masyarakat Nias yang menumbuk ikan hingga halus dan mencampurnya dengan telur lalu di
stream.

Hidangan ini cocok untuk jadi hidangan makan siang karena memiliki cita rasa mirip dengan
gulai ikan yang sering jadi hidangan saat makan siang.

6. Hambae Nititi
Hambae Nititi merupakan kuliner yang terbuat dari daging kepiting yang dicampur dengan
santan kelapa. Kuliner yang satu ini biasanya dimasak hingga kering mirip abon. Rasanya sangat
guris.

7. Silio Guro

Bisa dibilang Silio Guro adalah hidangan yang mirip dengan pepes bakar karena Silio Guro
biasanya disajikan dengan dibungkus daun pisan dan di panggang di atas bara api yang
membara. Isiannyayang sendiri daging giling dan kelapa yang telah dibumbui. Yang
membedakan kuliner ini dengan pepes adalah isi Silio Guro adalah berupa daging udang.

Jenis-jenis musik tradisional

Penyani "Hoho" dari desa Hilinawalö di Nias Selatan.

Hoho: Di Telukdalam dinyanyikan oleh 5 atau 7 orang; yang memimpin ialah ere hoho.
Biasanya syairnya terdiri dari perumpuan dan cerita maupun sejarah. Di Nias Utara hoho hanya
dituturkan.
Hendri Hendri: Dinyanyikan pada waktu pernikahan atau pesta tradisional sebagai tanya jawab
bersahut-sahutan antara tamu dan pengunjung. Lagu-lagu bisa sebagai pengantar atau komentar
tentang pengunjung. Awalnya pria dan wanita bernyanyi secara terpisah, tetapi bergabung pada
akhirnya. Akhirnya kelompok kecil perempuan menyanyikan bernada tinggi, lagu yang
dinyanyikan pada semua pernikahan.
Maola: Lagu dari para tamu dan juga sambutan bagi para tamu oleh tuan rumah ketika ada pesta
adat.
Famaola: Terutama di Nias utara. Laki-laki tuan rumah salam tamu sebelum persembahan
sekapur sirih.
Mo’ere: Doa yang dinyanyikan oleh seorang iman sambil memukul tambur (fondrahi).
Gözö-gözö: Seorang bernyanyi sambil bekerja atau sambil berjalan.
Famolaya iraono: Seorang bayi digendong dan diayun dengan nyanyian sederhana (solo).

Anda mungkin juga menyukai