Puji dan syukur saya panjatkan kepada Tuhan yang Maha Esa yang telah memberikan
rahmat serta hidayah-Nya sehingga saya dapat menyelesaikan makalah saya tentang “SUKU
NIAS”.
Saya ingin mengucapkan terimakasih kasih kepada Bapak Drs. Kamarlin Pinem, M.Si
yang telah membimbing kami dalam pembuatan makalah ini serta kepada semua pihak baik
yang secara langsung maupun tidak langsung telah membantu saya dalam penyusunan makalah
ini.
saya sadar bahwa makalah ini masih jauh dari kata sempurna dan penuh
kekurangan. Maka dari itu, kritik maupun saran yang sifatnya membangun dari berbagai pihak
sangat saya perlukan demi menyempurnakan makalah ini. Akhir kata saya berharap makalah
ini dapat menjadi bahan informasi yang menambah wawasan dan dapat berguna bagi kita
semua.
DAFTAR ISI
Kata Pengantar............................................................................................................... i
Daftar Isi........................................................................................................................ ii
Bab I Pendahuluan........................................................................................................ 1
A. Latar Belakang................................................................................................ 1
B. Rumusan Masalah........................................................................................... 2
C. Tujuan Pembelajaran....................................................................................... 2
Bab II Pembahasan........................................................................................................ 3
A. Lokasi Lingkungan Alam dan Demografi.......................................................... 3
B. Asal Mula Manusia dan Sejarah...................................................................... 4
C. Bahasa.......................................................................................................... 17
D. Sistem Teknologi........................................................................................... 18
E. Sistem Mata Pencaharian............................................................................... 20
F. Organisasi Sosial........................................................................................... 21
G. Sitem Pengetahuan........................................................................................ 25
H. Kesenian....................................................................................................... 26
I. Sistem Religi.................................................................................................. 30
Bab III Penutup............................................................................................................ 32
A. Kesimpulan................................................................................................... 32
B. Saran............................................................................................................ 32
Daftar Pustaka.............................................................................................................. 33
BAB I
PENDAHULUAN
A. Latar Belakang
Indonesia merupakan negara dengan beragam suku, budaya, ras, agama, dan glan.
Dengan berbagai keragamannya membuat banyak pihak tertarik untuk mengenal lebih dalam
tentang setiap keragaman tersebut. Dalam hal ini setiap manusia diperhadapkan pada masalah
5W+1H yaitu apa, siapa, dimana, kapan, mengapa dan bagaimana. Mengapa demikian? Karena
dengan mengetahui jawaban dari pertanyaan itu maka seseorang itu akan merasa lebih puas
dan semakin tertarik untuk mengenal lebih dalam tentang keragaman itu.
Dalam hal ini saya juga mengambil satu topik pembahasan dari sekian banyak
keragaman suku di Indonesia yaitu “SUKU NIAS”. Saya membahas topik ini karena saya juga
merupakan suku asli Nias, sehingga sebagai penduduk asli saya pun merasa sangat tertarik
untuk mengupas lebih dalam tentang suku saya sendiri dan berbagai aspek-aspek yang
berkaitan di dalamnya.
Pulau Nias yang terletak di sebelah barat pulau Sumatra lebih tepatnya terletak kurang
lebih 85 mil laut dari Sibolga, daerah Provinsi Sumatera Utara ini dihuni oleh suku Nias atau
mereka menyebut diri mereka “Ono Niha” yang masih memiliki budaya megalitik. Pulau yang
memiliki penduduk mayoritas Kristen protestan telah dimekarkan menjadi empat kabupaten
dan 1 kota, yaitu Kabupaten Nias, Kabupaten Nias Selatan, Kabupaten Nias Barat, Kabupaten
Nias Utara, dan Kota Gunungsitoli.
Pulau yang memiliki luas wilayah 5.625 kilometer persegi ini memiliki keindahan alam
dan pantai yang begitu mempesona. Selain itu beragam aspek lain baik dalam sisi kesenian,
budaya atau kebiasaan, makanan, kepercayaan dan lain lain terdapat di Pulau Nias. Sehingga
dengan berbagai keragamannya ini banyak warga negara asing sering mengunjungi pulau ini
untuk tujuan wisata dan juga penelitian. Yang tentunya hal ini dpaat menambah eksistensi Suku
Nias di negara luar.
B. Rumusan Masalah
Adapun rumusan masalah penulisan makalah ini adalah:
1. Bagaimana lokasi lingkungan alam dan demografi suku Nias?
2. Bagaimana asal mula manusia dan sejarah suku Nias?
3. Apa bahasa yang biasa dipergunakan di suku Nias?
4. Bagaimana sistem teknologi yang digunakan di suku Nias?
5. Apa saja sistem mata pencaharian masyarakat suku Nias?
6. Bagaimana kehidupan organisasi sosial di suku Nias?
7. Bagaimana sistem pengetahuan masyarakat di suku Nias?
8. Bagaimanakah kesenian yang berkembang di suku Nias?
9. Bagaimana dengan sistem religi yang dianut oleh masyarakat di suku Nias?
C. Tujuan Penulisan
Adapun tujuan penulisan makalah ini adalah:
1. Untuk memberikan penjelasan bagaimana lokasi lingkungan alam dan demografi suku Nias?
2. Untuk memberikan penjelasan bagaimana asal mula manusia dan sejarah suku Nias?
3. Untuk memberikan penjelasan apa bahasa yang biasa dipergunakan di suku Nias?
4. Untuk memberikan penjelasan bagaimana sistem teknologi yang digunakan di suku Nias?
5. Untuk menambah wawasan kita tentang apa saja sistem mata pencaharian masyarakat suku
Nias?
6. Untuk menambah wawasan kita tentang bagaimana kehidupan organisasi sosial di suku Nias?
7. Untuk mengetahui bagaimana sistem pengetahuan masyarakat di suku Nias?
8. Untuk mengetahui bagaimanakah kesenian yang berkembang di suku Nias?
9. Untuk memberikan penjelasan bagaimana dengan sistem religi yang dianut oleh masyarakat
di suku Nias?
BAB II
PEMBAHASAN
SUKU NIAS
C. Bahasa
Bahasa yang mayoritas digunakan oleh masyarakat suku Nias adalah “Li Ono
Niha” artinya Bahasa Nias.
Bahasa Nias termasuk dalam rumpun bahasa Melayu – Polinesia tetapi
agak berbeda dengan bahasa Nusantara lainnya, karena sifatnya yang vocal yaitu
tidak mengenal konsonan di tengah maupun di akhir kata. Bahasa Nias mempunyai
huruf bunyi tunggal (vokal) yang khas yaitu yang bunyinya hampir sama dengan e
pepet atau eu dalam bahasa sunda.
Logat dan intonasi bunyi bahasa Nias berbeda–beda yaitu karena memiliki
dua logat, antara lain logat Nias Utara dan Nias Selatan atau Tello. Logat pertama
dipergunakan di Nias bagian utara, timur, dan barat yang menggunakan pengaruh
logat bahasa Nias Utara antara lain di daerah pedalaman dan daerah pantai memiliki
cirri khas. Logat yang kedua di Nias bagian tengah, selatan dan Kepulauan Batu
yang mendapat mengaruh bahasa logat Nias bagian Selatan yaitu di daerah
pedalaman dengan intonasi yang lebih tegas dan penekanan bunyi konsonan lebih
sering.
Contoh bahasa Nias – Indonesia :
• Kata Benda :
- bada gahe = sepatu - dadaoma = tempat duduk
- tori-tori = kipas - bato = tempat tidur
- faku = cangkul - ana’a = emas
- ambala = selimut - batere = baterai
- embe = ember - diala = jala
• Kata Sifat :
- aila = malu - ewawa = kecewa
- onekhe = pintar - abe’e = keras
- faetasa = tenang - dodo = ragu - ragu
- adumo = takut - alimago = saying
- ame’ela = khawatir - akhari dodo = rindu
• Kata Kerja :
- mamabaso = membaca - umano = nyanyi
- fahao = mengajarkan - famawa = menjual
- fadani = memunguti - faigi = melihat
- faga = memanggang - fakha = memotong
D. Sistem Teknologi
Orang Nias yang berkebudayaan megalitik sudah mengenal teknologi mengenai
pertukangan logam sejak zaman prasejarah. Misalnya, pandai membuat jenis-jenis
pedang dan golok perang yang disebut seno gari dan telogu. Dari segi ketajaman,
keampuahan, dan keindahan bentuk, senjata-senjata tajam buatan Nias tidak kalah
dengan mandau yang dibuat oleh Dayak
Orang Nias juga memiliki keahlian dan keterlampilan dalam seni membangun
pemukiman, seni ukir, dan seni tari sangat khas. Keahlian orang Nias yang khas ini
diwariskan secara turun temurun sehingga keasliannya masih dapat dipertakankan.
Namun adanya pergeseran niali akibat pengaruh budaya luan membuat keakhlian
khas yang dimiliki orang Nias tidak begitu berkembang terutama dalam seni
membuat perkakas atau ornament-ornamen dalam keperluan rumah tangga.
Industri yang berkembang di Nias berupa kerajinan rumah seperti : kerajinan
anyaman, topi, tikar, karung dan bagian-bagian ornament untuk bagian-bagian
rumah. Industri lainnya berupa industri perkakas logam seperti pedang, tombak,
golok dan cangkul.
Sistem teknologi pada suku Nias sama halnya seperti yang terjadi pada suku-
suku lain yang terdapat di negara Indonesia yaitu seiring dengan perkembangan
zaman mengalami perubahan-perubahan. Contohnya dalam segi peralatan rumah
tangga yang digunakan zaman dulu dan zaman sekarang.
Zaman dulu peralatan rumah tangga yang sering digunakan adalah
Bowoa tanö - periuk dari tanah liat, alat masak tradisional
Figa lae - daun pisang yang dipakai untuk menjadi alas makanan
Halu (alat menumbuk padi)
Lösu – lesung
Gala - dari kayu seperti talam
Sole mbanio - tempat minum dari tempurung
Katidi - anyaman dari bamboo
Niru (Alat untuk menapik beras untuk memisahkan dedak)
Haru - sendok nasi
Famofu - alat niup api untuk memasak
Fogao Banio (alat pemarut kelapa)
Berbeda halnya dengan sekarang yang semakin menggunakan barang-barang
elektronik seperti reskuker, dispenser, kulkas, blender dll.
Begitu pula dari segi pembuatan makanan dan minuman yang sekarang jenis
makanan dan minuman di suku Nias semakin beragam dengan berbagai perpaduan-
perpaduan agar lebih menarik dan memiliki rasa yang enak dengan penggunaan
sistem teknologi yang semakin canggih. Dulunya, makanan dan minuman yang
terkenal di Nias adalah
Makanan Khas Nias:
Bae – Bae
Gowi Nihandro (Gowi Nitutu ; Ubi tumbuk)
Harinake (daging babi cincang dengan cacahan yang tipis dan kecil-kecil)
Godo-godo (ubi / singkong yang diparut, dibentuk bulat-bulat kemudian direbus
setelah matang di taburi dengan kelapa yang sudah di parut)
Köfö-köfö(daging ikan yang dihancurkan, dibentuk bulat dan
dijemur/dikeringkan/diasap)
Ni'owuru (daging babi yang sengaja diasinkan agar bisa bertahan lama)
Ratigae (pisang goreng)
Tamböyö (ketupat)
löma (beras ketan yang dimasak dengan menggunakan buku bambu)
Gae nibogö (pisang bakar)
Kazimone (terbuat dari sagu)
Wawayasö (nasi pulut)
Gulo-Gulo Farö (manisan dari hasil sulingan santan kelapa)
Bato (daging kepiting yang dipadatkan dalam bentuk bulat agar dapat bertahan
lama; terdapat di Kepulauan Hinako)
Nami (telur kepiting dapat berupa nami segar atau yang telah diasinkan agar awet,
dapat bertahan hingga berbulan-bulan tergantung kadar garam yang ditambahkan)
Minuman khas nias:
Tuo nifarö (tuak) adalah minuman yang berasal dari air sadapan pohon nira (dalam
bahasa Nias "Pohon Nira" = "töla nakhe" dan pohon kelapa (dalam bahasa Nias
"Pohon Kelapa" = "töla nohi") yang telah diolah dengan cara penyulingan.
Umumnya Tuo nifarö mempunyai beberapa tingkatan (bisa sampai 3 (tiga) tingkatan
kadar alkohol). Dimana Tuo nifarö No. 1 bisa mencapai kadar alkohol 43%.
Tuo mbanua / Sataha (minuman tuak mentah yang berasal dari air sadapan pohon
kelapa atau pohon nira yang telah diberi 'laru' berupa akar-akar tumbuhan tertentu
untuk memberikan kadar alkohol).
F. Organisasi Sosial
Dalam kebudayaan suku Nias pemberian salam kepada sesama sangat tinggi
nilainya terhadap satu dengan yang lain. Bila seseorang tidak bersapaan atau
memberi salam kepada yang lain, maka diantara kedua belah pihak sudah terjadi
disintegrasi sosial yang mungkin disebabkan oleh sifat, gaya, cara jalan, tutur
bahasa, cara berpakaian atau penataan rambutnya yang kurang diterima oleh
kebanyakan orang. Jika sifat di atas tidak ada maka relasi mereka menjadi lebih
akrab sehingga setiap bertemu selalu menyapa dengan ucapan “Ya’ahowu” (salam
khas Nias) yang dilanjutkan dengan kata “Yae nafoda” atau bologö dödöu, lö afoda”
(ini sirih kita atau maaf kita tidak punya sirih). Dalam situasi tersebut kedua belah
pihak saling memakan sirih. Setelah itu baru diakhiri dengan salam kembali dan kata
“ya’ami ba lala” (selamat jalan) sebagai kata perpisahan.
Beberapa kebiasaan mendasar :
a. Persiapan Orang yang hendak bertamu
Wanita yang sudah dinamai “Si no lafatö turu” atau “sino lafotu” (sudah
berkeluarga dengan tahap-tahap adat) pergi bertamu baik kepada orang yang sudah
dikenal maupun kepada orang yang belum dikenal selalu mempersiapkan diri dari
rumah berupa penghormatan. Sebelum berangkat dari rumah bila seorang bapak
yang pergi dia mengatakan kepada istrinya “biz(d)i nafogu ua” (persiapkan sirih
saya dulu), saya mau pergi kepada Ama Warisan. Lalu ibu mempersiapkan sirih dan
memberikanna di “Naha nafo” (Kempit sirih). Setelah siap dipersiapkan baru bapak
mengambil dan disimpanny dalam kantongnya. Dalam perjalanan, setiap orang yang
bertemu kepadanya selalu memberi salam “Ya’ahowu” dan mengambil sirih yang
telah dipersiapkan dari rumah dan diberikan kepada orang yang bertemu dengan dia
mengatakan “Yae nafoda ” (ini sirih kita). Setelah selesai baru melanjutkan
perjalanan di mana tujuan pertamanya. Bila seorang ibu rumah tangga yang hendak
bertamu baik pergi kepada “Sitenga bö’ö” (kerabat) maupun kepada orang lain,
terlebih dahulu mempersiapkan sirih yang ditempatkan di “Naha Nafo” (kempit
sirih), dan setiap orang yang hendak bertemu selalu memberi salam “Ya’ahowu”
terus bersalaman dan baru menyungguhkan sirih satu dengan yang lain
b. Kebiasaan bila tamu datang di rumah
Bila seseorang datang di rumah untuk bertamu selalu dimulai dengan kata
salam “Ya’ahowu” dan dilanjutkan sikap bersalaman. Kemudian disambung dengan
kata “ Yae nafoda” (ini sirih kita) atau bologö dödöu Lö’afoda (ma’af tidak ada sirih
kita). Baru ibu rumah tangga menyuguhkan sirih kepada para tamu. Pada saat saling
mungunyah sirih yang disuguhkan timbal balik, ibu rumah tangga berkata: “Hadia
göda Ga’a atau Baya?” (apa makanan kita?) dan sebagainya, “Hana wamikaoniga?”
(Kenapa kalian mengundang kami?). Tamu yang datang menjawab: “Lö hadöi,
möiga manörö-nörö manö” (tidak ada, hanya sekedar jalan-jalan saja).” Dari kata
seorang ibu di atas, itu bukan berarti menghendaki supaya ada makanan dengan
bertanya “apa makanan kita.” Tetapi sapaan untuk menindak lanjuti kata seterusnya
supaya ada keakraban dan nampak lebih dekat. Begitu sebaliknya dengan jawaban
dari tamu yang mengatakan “hanya jalan-jalan saja’ atau “meminta makanan kami”.
Itu semua kedua belah pihak hubungan mereka lebih kekeluargaan. Hal ini juga tidak
dikatakan kepada orang yang tidak dikenal sama sekali. Kedua hal ini baik sebagai
tamu atau tuan rumah mempunyai tujuan yang berbeda dari pada ungkapan pertama
tadi. Setelah beberapa saat baru tamu memberitahukan apa tujuan yang sebenarnya
dan tuan rumah baru berbicara yang sebenarnya sesuai dengan tujuan yang
dikehendaki oleh tamu. Setelah selesai pembicaraan baru dilanjutkan dengan kata
“mofanöga” (permisi, kami pergi). Tuan rumah tidak terus mengizinkan pergi tetapi
harus “Lasaisi” artinya kita tahan mereka untuk menunggu makan. Dengan kata
“Tabase’ö öda idanö ua” (mari kita minum dulu) atau tabase’ö öda wakhe safusi ua
hana wa aösö-aösö sibaikö” (mari kita tunggu makanan kita nasi putih dulu, kenapa
tergesa-gesa sekali) “Ha walö diwo-diwoda” (hanya saja, tidak ada lauk pauk
kita). Kata-kata di atas sikap tamu bisa menunggu bisa juga tidak. Karena hanya
merupakan basa basi. Dilanjutkan dengan kata maaf tidak ada lauk pauk kita. Itu
hanya menunjukkan kerendahan hati walaupun kenyataannya lauk-pauk mereka
anak babi yang tambun, ayam atau “Ni’owuru” (daging babi yang sudah digarami).
c. Kebiasaan waktu makan
Pada hari biasa mereka makan tiga kali sehari. Pagi hari mereka makan
“Sinanö” (umbi-umbian) siang hari mereka makan “umbi-umbian” dan nasi sebagai
“Fangazökhi dödö” (makanan yang menyenangkan). Pada malam harinya mereka
makan seperti makan siang. Sehingga setiap hari mereka rutin makan nasi dua kali
sehari. Pada hari minggu mereka makan dua kali sehari makan sebelum pergi ke
gereja dan pada malam harinya. Pada saat makan sedang berlangsung tidak boleh
ngomong-ngomong karena marah “Sobawi” (yang selalu menegur anggota keluarga
bila melalaikan ketertiban di rumah).
Makanan nasi ini lebih tinggi nilainya dari pada makanan yang lain. Bila makan
tidak boleh tersisa dan dibuang begitu saja. Kemudian kalau dimasak harus pakai
ukuran apakah Tumba (jumba), Hinaoya (liter), kata (tekong) dan lain-lain serta
tidak boleh “Lafasösö” (dipadatkan) dalam periuk, tidak boleh dipukul-pukul
pinggir periuk dengan sendok. Semua pantangan ini apabila tidak ditaati maka bisa
berakibat marah “Sibaya Wache” (pemilik dari pada nasi tersebut) seandainya marah
akibatnya bila menanam padi tidak subur dan tidak menghasilkan banyak buah serta
banyak mendatangkan berbagai wabah penyakit dan bila dimasak “Lö mo’ösi”
(artinya walaupun satu jumba dimasak tetapi hasil masakan nampak seperti satu
liter).
d. Kebiasaan suami-istri bila pergi bersama
Orang Nias pada masa dulu bila pasangan suami-istri itu pergi bersama
mempunyai norma adat tertentu yang mana bila pergi bersama kemana saja baik ke
ladang, ke sawah, pergi kepada paman atau pergi pada pesta-pesta selalu laki-laki di
belakang dan perempuan di depan. Hal ini menunjukkan bahwa wanita itu adalah
istrinya, yang wajar mendapat perlindungan dari berbagai gangguan, yang dicintai,
yang dikasihani, serta menunjukkan rasa tanggung jawab sebagai suami. Bila
seseorang anak muda jalan bersama dengan saudaranya perempuan atau perempuan
yang lain tetapi mereka berjalan bersama laki-laki ke belakang dan perempuan ke
depan itu adalah merupakan ejekan kepada orang yang melihat. Mereka mengatakan
apakah mereka itu suami-istri? Atau kenapa orang itu pergi seperti suami istri? Ini
juga suatu tanda kepada publik bahwa dari letak jalan seseorang mereka bisa
mengetahui bahwa itu adalah suami-istri.
e. Penghormatan dengan kata “Ya’ahowu” dan “pemberian sirih” dalam porsi adat.
Menurut porsi adat perkawinan yang telah dituturkan dalam acara “Fanika
Era-era mböwö” (suatu acara yang menguraikan tentang silsilah keturunan dari pada
pihak penganten perempuan yang diberitahukan secara formal kepada pihak
penganten laki-laki mulai dari famili terdekat sampai kepada yang terjauh serta
beban-beban yang harus ditanggung dalam hidupnya sesuai dengan hubungan
kekerabatan). “Hönö mböwö no awai, Hönö mböwö no tosai” (ribuan jujuran sudah
selesai, ribuan jujuran masih tersisa), artinya tanggung jawab terhadap mertua dan
sanak famili dalam bentuk beban-beban tidak pernah putus sampai seumur hidup.
Karena itu kemampuan penghormatan dengan harta benda sangat terbatas dalam
bentuk “Böwö”, maka diberi kelonggaran untuk mengatasi hal tersebut, yaitu
jangankan penghormatan dengan harta materi tetapi penghormatan dengan kata-kata
sapaan “Ya’ahowu” dan “Fame’e afo” (pemberian sirih) kepada “Sitenga bö,ö” dan
lain-lain, maka itu sudah cukup yang setara nilainya dengan empat alisi babi, dan
dianggap sudah lunas utangnya yang telah dituturkan dalam acara “Fanika era-era
mböwö”. Dewasa ini kebiasaan tersebut sudah tidak ada lagi, penghormatan berupa
harta materi maupun penghormatan dengan kata-kata sudah hampir tidak ada lagi.
Kita tidak tau bahwa dari kata-kata kita itu sudah ada nilainya yang lebih dari
“böwö” atau makanan. Inilah yang dikatakan “Ho maigö ami li moroi ba gö” artinya
dengan penghormatan kata-kata itu sudah cukup senang dan berharga.
G. Sistem pengetahuan
Sistem Pengetahuan yang dimiliki suku Nias sudah cukup berkembang. Dulunya mereka
mengetahui akan kesadaran waktu di dalam kehidupan. Suku Nias juga memiliki ahli astrologi
yang dikenal sebagai orang Boronadu atau Sibihasa. Orang ini memberikan keterangan musim
tanam atau tunai telah tiba dalam pertanian. Waktu dalam suku bangsa Nias di kenal sebagai
suatu pengertian yang ada hubunganya dengan bintang tertentu yang disebut madala. Madala
selain menunjukkan nama bintang, juga memberikan pengertian tentang pembagian waktu.
Madala fajar menunjukkan waktu fajar menyingsing, madala laluwo menunjukkan waktu
tengah hari, dan madala tanobi menunjukkan waktu matahari tenggelam.
Waktu dalam hari dalam hari dihubungkan dengan posisi peredaran matahari. Ahulo
menunjukkan waktu matahari terbit. Laluo menunjukkan waktu matahari tepat diatas (siang
hari), Mamoka dodoga’i menunjukkan waktu kulit jantung pisang terkelupas (kira – kira pukul
02.00 sampai pukul 03.00 siang hari). Moliriri atau molili rago menunjukkan waktu sore ketika
binatang tonggeret berbunyi. Tano Owi yang menunjukkan waktu menjelang malam atau
petang hari.
Mereka juga menggunakan pengetahuan waktu dalam perkembangan untuk
mempermudah hidup. Diantaranya pada bidang pertanian yaitu untuk mengetahui musim
tanam dan panen. Ketika musim tanam padi di tandai apabila bintang madala sifelejara tepat di
tengah bumi pada waktu malam hari, dan apabila kedudukannya berada di tempat matahari
terbit, hal itu menunjukkan bahwa musim menuai telah tiba.
Selain mengetahui pentingnya kesadaran akan waktu, orang Nias juga memiliki
pengetahuan mengenai pengecoran perunggu, pandai emas, seni pahat batu dan ukiran kayu
juga telah dimiliki orang Nias sejak lama yang diwariskan secara turun temurun.
Selain itu, seiring dengan perkembangan pengetahuan yang dimiliki oleh masyarakat,
banyak orangtua yang menyekolahkan anaknya hingga keperguruan tinggi negeri baik yang
ada dalam daerah sendiri, diluar Pulau Nias, bahkan di luar negeri, sehingga saat ini banyak
masayarakat Nias yang sudah memiliki gelar sarjana baik S1, S2, dan S3 dengan berbagai
profesi pekerjaan.
H. Kesenian
Dalam kebudayaan suku Nias terdapat berbagai jenis kesenian-kesenian budaya yang
menjadi kebanggaan masyarakat antara lain:
1. Lompat Batu
2. Tari Perang
3. Maena
4. Tari Moyo
5. Tari Mogaele
6. Sapaan Yaahowu
9. Fame'e toi nono nihalo(pemberian nama bagi perempuan yang sudah menikah)
Dalam budaya Ono Niha terdapat cita-cita atau tujuan rohani hidup bersama
yang termakna dalam salam “Ya’ahowu” (dalam terjemahan bebas bahasa
Indonesia “semoga diberkati”). Dari arti Ya’ahowu tersebut terkandung makna:
memperhatikan kebahagiaan orang lain dan diharapkan diberkati oleh Yang Lebih
Kuasa. Dengan kata lain Ya’ahowu menampilkan sikap-sikap: perhatian,
tanggungjawab, rasa hormat, dan pengetahuan. Jika seseorang bersikap demikian,
berarti orang tersebut memperhatikan perkembangan dan kebahagiaan orang lain :
tidak hanya menonton, tanggap, dan bertanggungjawab akan kebutuhan orang lain
(yang diucapkan : Selamat – Ya’ahowu), termasuk yang tidak terungkap, serta
menghormatinya sebagai sesama manusia sebagaimana adanya. Jadi makna yang
terkandung dalam “Ya’ahowu” tidak lain adalah persaudaraan (dalam damai) yang
sungguh dibutuhkan sebagai wahana kebersamaan dalam pembangunan untuk
pengembangan hidup bersama.
BAB III
PENUTUP
A. Kesimpulan
Suku Nias merupakan salah satu suku di Indonesia yang
mempunyai kebudayaan yang masih terjaga. Mereka dapat memelihara
kebudayan aslinya yang diturunkan oleh nenek moyangnya sejak ratusan
tahun yang lalu. Meskipun saat ini mereka juga sangat terbuka terhadap
perkembangan zaman globalisasi dan dapat menyatukan kebudayaan luar
terhadap kebudayaan aslinya tanpa menghilangkan kebudayaan yang asli.
Berbagai hal dapat dinikmati ketika mengunjungi kepulauan ini, baik
dari segi keindahan alamnya yang saat ini sangat terkenal dengan pantai
sorake nya yang memiliki ombak yang besar sama halnya seperti di pantai
hawai dan salah satunya lagi adalah tradisi lompat batu. Tradisi ini sudah
lama di miliki oleh orang Nias, namun sampai sekarang mereka tetap
mempertahankan tradisi tersebut. Dan tradisi Lompat batu ini menjadi salah
satu obyek wisata yang terkenal di Indonesia. Pulau Nias juga bisa lebih
dikenal karena tradisi lompat batu ini.
Terhadap pendatang, masyarakat Nias sangat ramah, terbuka dan
selalu berusaha untuk menjelaskan tentang hal-hal yang dioertanyakan oleh
si pendatang. Masyarakat Nias juga terbuka terhadapkritik dan saran yang
diberikan terhadap perubahan yang lebih baik demi perbaikan sukunya.
B. Saran
Dengan berbagai penjelasan dalam makalah ini tentang suku Nias,
saya sebagai pembuat makalah ini sangat berharap semoga makalah ini
bisa menjadi sumber penambah wawasan kita tentang suku Nias dan
berbagai kebudayaan didalamnya. Dan juga saya berharap dengan salah
satu suku yang saya bahas dapat menjadi motivasi bagi kita untuk semakin
menjaga kelestarian keberagaman suku-suku dan kebudayaan lain yang
ada di Indonesia.