Anda di halaman 1dari 31

KATA PENGANTAR

Puji dan syukur saya panjatkan kepada Tuhan yang Maha Esa yang telah memberikan
rahmat serta hidayah-Nya sehingga saya dapat menyelesaikan makalah saya tentang “SUKU
NIAS”.
Saya ingin mengucapkan terimakasih kasih kepada Bapak Drs. Kamarlin Pinem, M.Si
yang telah membimbing kami dalam pembuatan makalah ini serta kepada semua pihak baik
yang secara langsung maupun tidak langsung telah membantu saya dalam penyusunan makalah
ini.
saya sadar bahwa makalah ini masih jauh dari kata sempurna dan penuh
kekurangan. Maka dari itu, kritik maupun saran yang sifatnya membangun dari berbagai pihak
sangat saya perlukan demi menyempurnakan makalah ini. Akhir kata saya berharap makalah
ini dapat menjadi bahan informasi yang menambah wawasan dan dapat berguna bagi kita
semua.
DAFTAR ISI

Kata Pengantar............................................................................................................... i
Daftar Isi........................................................................................................................ ii
Bab I Pendahuluan........................................................................................................ 1
A. Latar Belakang................................................................................................ 1
B. Rumusan Masalah........................................................................................... 2
C. Tujuan Pembelajaran....................................................................................... 2
Bab II Pembahasan........................................................................................................ 3
A. Lokasi Lingkungan Alam dan Demografi.......................................................... 3
B. Asal Mula Manusia dan Sejarah...................................................................... 4
C. Bahasa.......................................................................................................... 17
D. Sistem Teknologi........................................................................................... 18
E. Sistem Mata Pencaharian............................................................................... 20
F. Organisasi Sosial........................................................................................... 21
G. Sitem Pengetahuan........................................................................................ 25
H. Kesenian....................................................................................................... 26
I. Sistem Religi.................................................................................................. 30
Bab III Penutup............................................................................................................ 32
A. Kesimpulan................................................................................................... 32
B. Saran............................................................................................................ 32
Daftar Pustaka.............................................................................................................. 33
BAB I
PENDAHULUAN

A. Latar Belakang
Indonesia merupakan negara dengan beragam suku, budaya, ras, agama, dan glan.
Dengan berbagai keragamannya membuat banyak pihak tertarik untuk mengenal lebih dalam
tentang setiap keragaman tersebut. Dalam hal ini setiap manusia diperhadapkan pada masalah
5W+1H yaitu apa, siapa, dimana, kapan, mengapa dan bagaimana. Mengapa demikian? Karena
dengan mengetahui jawaban dari pertanyaan itu maka seseorang itu akan merasa lebih puas
dan semakin tertarik untuk mengenal lebih dalam tentang keragaman itu.
Dalam hal ini saya juga mengambil satu topik pembahasan dari sekian banyak
keragaman suku di Indonesia yaitu “SUKU NIAS”. Saya membahas topik ini karena saya juga
merupakan suku asli Nias, sehingga sebagai penduduk asli saya pun merasa sangat tertarik
untuk mengupas lebih dalam tentang suku saya sendiri dan berbagai aspek-aspek yang
berkaitan di dalamnya.
Pulau Nias yang terletak di sebelah barat pulau Sumatra lebih tepatnya terletak kurang
lebih 85 mil laut dari Sibolga, daerah Provinsi Sumatera Utara ini dihuni oleh suku Nias atau
mereka menyebut diri mereka “Ono Niha” yang masih memiliki budaya megalitik. Pulau yang
memiliki penduduk mayoritas Kristen protestan telah dimekarkan menjadi empat kabupaten
dan 1 kota, yaitu Kabupaten Nias, Kabupaten Nias Selatan, Kabupaten Nias Barat, Kabupaten
Nias Utara, dan Kota Gunungsitoli.
Pulau yang memiliki luas wilayah 5.625 kilometer persegi ini memiliki keindahan alam
dan pantai yang begitu mempesona. Selain itu beragam aspek lain baik dalam sisi kesenian,
budaya atau kebiasaan, makanan, kepercayaan dan lain lain terdapat di Pulau Nias. Sehingga
dengan berbagai keragamannya ini banyak warga negara asing sering mengunjungi pulau ini
untuk tujuan wisata dan juga penelitian. Yang tentunya hal ini dpaat menambah eksistensi Suku
Nias di negara luar.
B. Rumusan Masalah
Adapun rumusan masalah penulisan makalah ini adalah:
1. Bagaimana lokasi lingkungan alam dan demografi suku Nias?
2. Bagaimana asal mula manusia dan sejarah suku Nias?
3. Apa bahasa yang biasa dipergunakan di suku Nias?
4. Bagaimana sistem teknologi yang digunakan di suku Nias?
5. Apa saja sistem mata pencaharian masyarakat suku Nias?
6. Bagaimana kehidupan organisasi sosial di suku Nias?
7. Bagaimana sistem pengetahuan masyarakat di suku Nias?
8. Bagaimanakah kesenian yang berkembang di suku Nias?
9. Bagaimana dengan sistem religi yang dianut oleh masyarakat di suku Nias?

C. Tujuan Penulisan
Adapun tujuan penulisan makalah ini adalah:
1. Untuk memberikan penjelasan bagaimana lokasi lingkungan alam dan demografi suku Nias?
2. Untuk memberikan penjelasan bagaimana asal mula manusia dan sejarah suku Nias?
3. Untuk memberikan penjelasan apa bahasa yang biasa dipergunakan di suku Nias?
4. Untuk memberikan penjelasan bagaimana sistem teknologi yang digunakan di suku Nias?
5. Untuk menambah wawasan kita tentang apa saja sistem mata pencaharian masyarakat suku
Nias?
6. Untuk menambah wawasan kita tentang bagaimana kehidupan organisasi sosial di suku Nias?
7. Untuk mengetahui bagaimana sistem pengetahuan masyarakat di suku Nias?
8. Untuk mengetahui bagaimanakah kesenian yang berkembang di suku Nias?
9. Untuk memberikan penjelasan bagaimana dengan sistem religi yang dianut oleh masyarakat
di suku Nias?
BAB II
PEMBAHASAN
SUKU NIAS

A. Lokasi Lingkungan Alam dan Demografi


Pulau Nias yang terletak di sebelah barat pulau Sumatra lebih tepatnya terletak kurang
lebih 85 mil laut dari Sibolga ,daerah Provinsi Sumatera Utara. Pulau dengan luas wilayah
5.625 km2 ini berpenduduk 700.000 jiwa yang dihuni oleh suku Nias atau mereka menyebut
diri mereka Ono Niha yang masih memiliki budaya megalitik. Pulau yang memiliki penduduk
mayoritas Kristen protestan telah dimekarkan menjadi empat kabupaten dan 1 kota, yaitu
Kabupaten Nias, Kabupaten Nias Selatan, Kabupaten Nias Barat, Kabupaten Nias Utara, dan
Kota Gunungsitoli.
Pulau yang memiliki luas wilayah 5.625 kilometer persegi ini memiliki keindahan alam
dan pantai yang begitu mempesona. Banyak objek wisata yang dapat dikunjung dipulau Nias,
Nias memiliki Pantai yang bias mengimbangi pantai – pantai di Bali seperti pantai pantai yang
ada di Nias Utara, Nias Barat, dan Gunung Sitoli. Wisata budaya juga menjadi prioritas para
pelancong baik wisatawan domestik maupun mancanegara.
Akan tetapi pada 26 Desember 2004, gempa bumi Samudera Hindia 2004 terjadi di
wilayah pantai barat pulau ini sehingga memunculkan tsunami setinggi 10 meter di daerah
Sirombu dan Mandrehe. Korban jiwa akibat insiden ini berjumlah 122 jiwa dan ratusan
keluarga kehilangan rumah. Lalu pada 28 Maret 2005, pulau ini kembali diguncang gempa
bumi, tadinya diyakini sebagai gempa susulan setelah insiden desember 2004 di Aceh, namun
kini peristiwa tersebut merupakan gempa bumi terkuat kedua didunia sejak 1965. Sedikitnya
638 orang dilaporkan tewas serta ratusan bangunan hancur.
Akibat bencana alam yang melanda Pulau Nias berbagai pihak turut ikut serta
memberikan berbgai bantuan untuk masyarakat Nias baik dari dalam negeri maupun luar
negeri. Dalam bentuk makanan, minuman, air bersih, pakaian, obat-obatan dan pembangunan
rumah gratis untuk masyarakat yang rumahnya hancur total akibat bencana alam tersebut.
Seiring dengan perkembangannya setelah bencana alam yang melanda Pulau Nias,
berbagai perubahan-perubahan pun terjadi baik dari aspek fisik maupun non fisik. Seperti
pembangunan-pembangunan yang semakin memadat, pembukaan berbagai lapangan kerja,
sarana dan prasarana pendidikan yang semakin berkembang, wisata alam yang semakin
diperbahurui menjadi lebih menarik sehingga hal ini membuat eksistensi Pulau Nias menjadi
lebih meningkat dan semakin dikenal baik dalam negeri maupun luar negeri.
B. Asal Mula Manusia dan Sejarah
1.1.MITOS PENCIPTAAN
1.1.1.Versi Pertama
Menurut mitos dalam syair hoho (sastra lisan Nias kuno) yang berkembang di Pulau
Nias, alam semesta beserta seluruh isinya merupakan ciptaan Lowalangi. Lowalangi
menciptakan langit dengan cara mengaduk-aduk angin yang beraneka warna dan kekuasaaan
dalam kegelapan dengan menggunakan tongkat gaib yang disebut sihai . Proses pengadukan
berlangsung selama beberapa hari. Hasilnya terciptalah langit yang memiliki beberapa lapisan
dan masing-masing lapisan dihubungkan dengan sebuah tangga. Lapisan terakhir atau sering
disebut lapisan ke-9 adalah tempat tinggal manusia dan makhluk hidup lain yang disebut
Teteholi Ana’a yang letaknya sangat jauh dari Pulau Nias. Pada lapisan inilah Lowalangi
menciptakan sebatang pohon kehidupan yang disebut Sigaru Tora'a . Pohon itu kemudian
berbuah dan buahnya dierami oleh seekor laba-laba emas selama 9 (sembilan) bulan, yang juga
merupakan ciptaan Lowalangi. Dari buah yang dierami tersebut menetaslah sepasang ‘dewa’
pertama di alam semesta. Mereka adalah Tuhamora'aangi Tuhamoraana'a yang berjenis
kelamin laki-laki dan Burutiraoangi Burutiraoana'a yang berjenis kelamin perempuan. Namun,
karena sepasang ‘dewa’ itu tidak mengikuti perintah Lowalangi maka mereka dikeluarkan dari
Teteholi Ana’a dan ditempatkan di suatu tempat yang bernama Tatembari Ana’a , dan tempat
tersebut masih berada di langit lapisan terakhir. Setelah berada di Tatembari Ana’a sepasang
‘dewa’ ini beranak cucu dan pada be berapa keturunan berikutnya lahirlah seseorang yang
bernama Langi Sagörö sebagai manusia pertama.
1.1.2 Versi Kedua
Manusia diciptakan oleh Lowalangi dari buah atau biji pohon yang tumbuh dari jantung
makhluk hidup pertama, lalu berbagai dewa keluar dari buah lain dari bagian pohon tersebut,
di antaranya Lature, Barasi-Lulu dan Baliu.
Saat dua buah terbawah masih sangat kecil, Lature berkata pada Barasi-Lulu dan Baliu
bahwa buah-buah paling bawah ini miliknya. Tapi Baliu berkata "Kalau kamu bisa membuat
manusia dari buah-buah ini, mereka milikmu, jika tidak berarti bukan milikmu,".Lature pun
mencoba untuk membuat manusia tetapi tidak berhasil. Lalu Lowalangi memberikan sebuah
‘alat’ ke Barasi-Lulu untuk membuat manusia dan dengan ‘alat’ inipun Barasi-Lulu tidak
mampu membuat manusia namun berhasil membuat tubuh manusia yaitu laki-laki dan
perempuan tanpa nyawa. Kemudian Lowalangi memberikan kepada Baliu angin sambil
berkata, "masukkan semua angin itu ke dalam tubuh manusia itu melalui mulutnya, bila seluruh
angin dapat terserap maka manusia itu akan hidup abadi dan bila hanya sebagian maka
umurnya tergantung pada jumlah angin yang masuk." Baliu melakukan perintah Lowalangi
dan manusia itu pun menjadi hidup, namun tidak semua angin yang dimasukkan ke dalam
tubuh manusia itu terserap. Lalu Baliu memberikan nama kepada manusia itu, yaitu
Tuhamora'aangi Tuhamoraana'a yang berjenis kelamin laki-laki2 dan Burutiraoangi
Burutiraoana'a yang berjenis kelamin perempuan. Jadilah mereka sebagai manusia pertama.

1.2. PENGHUNI PERTAMA PULAU NIAS


1.2.1. Syair Hoho
Pada bagian sebelumnya telah dijelaskan bahwa dari sepasang dewa ciptaan Lowalangi
pada beberapa keturunan kemudian lahirlah manusia yang bernama Langi Sagörö. Langi
Sagörö memiliki 2 (dua) orang istri. Istri pertama, bernama Rici Akhi Langi atau Siric,
melahirkan bela. Istri kedua bernama NazariaWalangi atau Sinaria, melahirkan Nadaoya .
Suatu hari Langi Sagörö memerintahkan kedua anaknya tersebut turun ke bumi menggunakan
liana lagara (sejenis tumbuhan berupa tali yang sangat kuat dan biasanya merambat pada batang
pohon). Karena liana lagarayang digunakan bela telah rapuh, maka dia tersangkut di atas pohon
dan akhirnya memilih untuk tetap tinggal di atas pohon. Inilah yang kemudian disebut sebagai
Sowanua atau Ono Mbela. Ono Mbela dikenal memiliki kulit yang putih dan berparas cantik.
Sowanua berasal dari dua kata yaitu “so” dan “banua”(wanua). So berarti pemilik atau
penguasa dan Banua (wanua) berarti kampung. Jadi Sowanua mengandung arti sebagai pemilik
kampung atau penduduk asli yang juga dapat diartikan sebagai orang yang terlebih dahulu
datang di suatu daerah sebelum orang lain datang.
Sowanua atau Bela merupakan pemilik atau penguasa segala jenis binatang hutan atau
binatang liar, misalnya: babi hutan, kijang, rusa, kancil, landak, trenggiling, berbagai unggas
dan lain-lain. Itulah sebabnya pada zaman dahulu kala para pemburu binatang di hutan selalu
meminta izin kepada Sowanua atau Bela sebelum berburu. Permohonan izin tersebut
diwujudkan dalam bentuk memberikan persembahan kepada Sowanua atau Bela. Sowanua
atau Bela dikategorikan sebagai dewa hutan yang bertakhta di atas pohon dan ada juga sebagian
yang menggambarkan mereka sebagai leluhur orang jahat.
Sebutan Sowanua maupun Bela merupakan bukti pengakuan dan penghormatan
pendatang bagi manusia-manusia primitif. Proses perkembangan terjadi ketika para pendatang
semakin maju dan ‘manusia primitif’ kalah bersaing dengan para pendatang baru yang
memiliki berbagai keahlian dan pengetahuan. Sowanua atau Bela sebagai manusia primitif
semakin terdesak dan terpinggirkan dan pada akhirnya mereka dianggap sebagai makhluk halus
atau setan.
Dalam buku E.E.W.G. Schröder “ Nias, Ethnograpische, geographische en historische
aanteekeningen en studien” Brill, Leiden, Vol. I., Teks Boek III. – Historie, 1917 yang dikutip
Kazwini (1203– 1283), lahir di Kazvin, Adzarbaydjan seorang kalifah terakhir dinasti Abassid
di Bagdad mengatakan bahwa masyarakat di pulau Niyan (maksudnya pulau Nias) hidup
telanjang. Mereka berkulit putih dan sangat cantik. Karena kecantikan yang luar biasa itu,
mereka menjauhkan diri dan tinggal bersembunyi di bukit-bukit karena takut diketahui.
Lalu anak Ibu Sinaria yang bernama Nadaoya hidup dan menetap di dalam gua-gua.
Secara fisik Nadaoya berbeda dengan Sowanua / Ono Mbela. Nadaoya memiliki kepala dan
tubuh yang lebih besar dengan kulit berwarna gelap. Baik Sowanua / Ono
Mbela.maupun nadaoya yang merupakan anak dari Langi Sagörö merupakan penghuni
pertama Pulau Nias.
Sejalan dengan itu, dalam syair-syair hoho lain yang berkembang di Pulau Nias, dikenal
ada 3 (tiga) jenis manusia yang merupakan penghuni pertama dan dipercaya sebagai nenek
moyang masyarakat Nias. Jenis manusia itu adalah Niha Safusi Uli, Niha Sebua Gazuzu , dan
Lani Ewöna.
Niha Safusi Uli adalah kelompok manusia berkulit putih dan cantik yang tinggal di atas
pohon. Dalam hoho mereka disebut Ono Mbela . Niha Sebua Gazuzu adalah kelompok manusia
yang memiliki kepala besar yang tinggal di gua-gua. Dalam hoho mereka disebut Nadaoya.
Lani Ewöna adalah kelompok manusia yang sebenarnya yang disebut “ono niha” (anak
manusia). Kelompok terakhir ini sudah memiliki keahlian dan pengetahuan yang lebih tinggi
dari kedua pendahulunya.
Ono Mbela dan Nadaoyasudah menghuni Pulau Nias jauh sebelum “ono niha” datang
ke pulau ini. Ono Mbela dan Nadaoya kemudian kalah bersaing dengan para pendatang dan
seringkali “dibodohi” karena dianggap lebih rendah dan bukan berasal dari golongan manusia.
Akibat dominasi dari kelompok pendatang maka baik Ono Mbela maupun Nadaoya mulai
terdesak dan akhirnya menghilang atau lenyap dan bahkan mungkin membaur dengan para
pendatang.
Menurut teori persebaran kebudayaan leluhur ‘ono niha’ berasal dari daratan Cina
bagian Selatan, tepatnya wilayah Yunan. Hal ini merupakan hasil kajian secara linguistik dan
arkeologi. Masyarakat Nias yang disebut ‘ono niha’ termasuk penutur bahasa Austronesiayang
bermigrasi dari Yunan secara bergelombang sekitar 3500 tahun sebelum Masehi hingga awal-
awal Masehi. Ada juga hipotesis yang mengatakan bahwa kedatangan grup etnis “manusia”ke
Nias boleh jadi sekitar tahun 1250 M sampai dengan tahun 1416 M yang dikaitkan dengan
koloni Cina di Singkuang. Ketrampilan orang Nias dalam membuat patung kayu, menhir,
benda-benda megalitik lainnya, serta teknik bertani dan beternak kemungkinan diwarisi dari
orang-orang Yunan yang datang ke pulau ini. Hipotesis ini bertambah kuat jika melihat
peralatan dan gaya arsitektur di Nias. Secara tegas Elio Modigliani dalam bukunya “ Un Viagio
Nias” (1890), mengatakan bahwa leluhur orang Nias datang dari seberang lautan secara
bergelombang yang berasal dari Indostan, atau dari Indocina –Vietnam sekarang.
Orang-orang Yunan tersebut diperkirakan tiba di Nias melalui Pelabuhan Singkuang,
Tapanuli Selatan. Secara geografis kota Singkuang terletak persis di sebelah Utara pantai barat
Sumatera. Mereka kemudian bergerak ke arah Barat dan sampai di wilayah Lahusa dan Gomo.
Kedatangan orang-orang Yunan dengan kemampuan teknologi yang lebih maju inilah yang
disinyalir telah mendesak keberadaan Ono Mbela dan Nadaoya.Karena kalah bersaing dalam
memperebutkan sumber daya alam, mereka lama-kelamaan menjadi punah.
Di lain pihak, FM Schitger dalam bukunya berjudul "Forgotten Kingdoms" mengatakan
bahwa berdasarkan kebiasaan-kebiasaan dan adat-istiadat di Pulau Nias dalam hal mendirikan
batu / megalith sewaktu mengadakan pesta, maka ada kemungkinan masyarakat Nias memiliki
nenek moyang yang sama atau paling tidak berasal dari daerah yang sama dengan suku Naga
dan Khassi di negara Birma.
Sejak kedatangan “ ono niha ”, maka böwö (adat-istiadat), goi-goi(hukum),
fondrakö(peneguhan hukum) dan nga’ötö niha(silsilah) mulai menjadi perhatian di pulau Nias.
Pada waktu itu budaya kerja seperti, beternak babi, ayam, membuka ladang dan berkebun,
penghormatan terhadap nenek moyang, teristimewa terhadap orang tua dan penyembahan
patung-patung mulai dikenal di pulau Nias. Juga mengenal pandai besi, pembangunan rumah,
pengukiran patung dan pemahatan batu megalit. Mereka menjunjung tinggi penghormatan
kepada nenek moyang, dan melantunkan tutur syair-syair pemujaan.
Dari uraian di atas, maka kemungkinan besar nenek moyang masyarakat Nias yang
disebut ‘ ono niha ’ adalah apa yang mereka sebut Lani Ewöna Kemungkinan Lani Ewöna
inilah yang merupakan imigran yang berasal dari Yunan, Cina bagian Selatan. Walaupun
demikian, tidaklah tertutup kemungkinan bahwa keturunan Lani Ewönadapat saja kawin
dengan keturunan Sowanua yang disebut juga Ono Mbela dan Nadaoy. Apalagi bila
diperhatikan ciri-ciri fisik masyarakat Nias secara umum yang berkulit putih, mata agak sipit,
bertubuh gempal dan pendek. Perkembangan selanjutnya tentu hampir tidak ada lagi kelompok
etnis lain yang menjadi pesaing keturunan Lani Ewönadi Pulau Nias.
Selanjutnya tradisi lisan mengungkapkan bahwa pusat kerajaan Nias yang pertama
adalah di Börönadu(sebuah desa yang sekarang merupakan wilayah Kecamatan Gomo) dan
masyarakatnya mendiami tanah di sepanjang Sungai Gomo. Dari sinilah akhirnya mereka
mulai berpindah dan menyebar ke seluruh Pulau Nias. Konon, nenek moyang masyarakat
Gunung Sitoli dan sekitarnya merupakan keturunan penduduk Börönadu yang bernama
Lase dan nenek moyang masyarakat Teluk Dalam dan sekitarnya adalah keturunan orang
Börönadu yang bernama Sadawamölö. Tradisi lisan ini juga dilengkapi dengan pendapat
M.G.Thomsen dalam bukunya yang berjudul “Famareso Ngawalö Huku Föna Awö Gowe
Nifasindro (Megalith kultur) ba Danö Nias” (1976) yang menyebutkan bahwa perpindahan
marga-marga besar dari Börönaduke tempat-tempat lain di Pulau Nias berlangsung antara 26
sampai 40 generasi yang lalu dengan perhitungan 1 (satu) generasi sama dengan 25 tahun.
Telambanua dan keluarganya pindah dari Börönadukira-kira 40 generasi yang lalu. Laia dan
keluarganya pindah dari Börönadu38 generasi yang lalu. Ndruru dan keluarganya pindah dari
Börönadu36 generasi yang lalu. Zebua dan keluarganya pindah dari Börönadu38 generasi yang
lalu. Hulu dan keluarganya pindah dari Börönadu 26 generasi yang lalu.
Sejak proses persebaran tersebut, kelompok-kelompok keluarga besar di Nias mulai
terbentuk yang pada akhirnya memunculkan bibit-bibit persaingan dan permusuhan antar
sesama penghuni Pulau Nias. Sebagai contoh, penduduk Börönadu menginformasikan bahwa
orang-orang yang meninggalkan Börönadu adalah mereka yang tidak menghormati adat dan
leluhur. Persaingan tersebut sampai saat ini kadang-kadang masih terasa. Suasana interaksi
antar marga dan antar kampung diwarnai egosentrisme, yaitu melihat marga atau kampung
yang lain selalu dari perspektif marga dan kampung sendiri. Setiap marga berusaha
menampilkan dirinya sebagai marga dengan identitas yang paling unggul. Harga diri seseorang
ditentukan oleh berapa jumlah kepala babi dan kepala manusia dari marga lain yang telah
dipenggal.
1.2.2. Penelitian Ilmiah
Berdasarkan hasil penelitian Badan Arkeologi Medan, di Nias ditemukan jejak-jejak
manusia prasejarah yang meninggalkan artefak-artefak di gua-gua, salah satunya yang terkenal
adalah di Gua Tögi Ndrawa(Desa Lölöwanu Niko‘otanö, Kecamatan Gunung Sitoli).Jejak
kehidupan tersebut dapat ditemukan melalui alat-alat tulang dan batu berupa serpih, batu pukul,
dan pipisan. Selain itu, juga ditemukan sisa-sisa vertebrata yang terdiri dari ikan ( pisces), ular
(ophodia), kura-kura (rodentia), kelelawar (chiroptera), hewan berkuku genap (artiodactyla),
dan cangkang moluskadari kelas gastropoda dan pelecypoda.
Penelitian ilmiah terakhir yang dilakukan untuk mengetahui asal-usul masyarakat suku
Nias adalah penelitian Deoksiribo Nukleat Acid (DNA). Penelitian ini dilakukan oleh dua
peneliti asal Belanda, yakni ahli genetika Professor Ingo Kennerknecht dari University of
Münster, Jerman, dan Mannis van Oven, mahasiswa S-3 bidang Biologi Molekuler Forensik,
Erasmus MC-University Medical Center Rotterdam, Belanda. Professor Ingo Kennerknecht
mengumpulkan 407 sampel darah atau air liur orang Nias dari 11 klan atau marga yang tersebar
di Nias bagian Utara, Tengah hingga Selatan. Pengambilan sampel dilakukan dalam kurun
waktu tahun 2002 dan 2003. Sampel kemudian dikirim ke laboratorium di Jerman untuk
ekstraksi DNA, lalu ekstraksi DNA tersebut dibawa ke Rotterdam untuk selanjutnya
dianalisis.oleh Professor Ingo dan Mannis Van Oven.
Hasil analisis menunjukkan bahwa perbedaan genetik orang Nias khususnya dari garis
keturunan ayah termasuk kategori rendah atau dengan kata lain DNA orang Nias tidak begitu
bervariasi. Hanya dua marka genetik kromosom Y yang ditemukan, yaitu O-M119 dan O-
M110. Kedua marka genetik ini hanya ditemukan pada suku bangsa asli Taiwan yang memulai
penyebaran ras Austronesia ke berbagai belahan dunia seperti Madagaskar, Asia Tenggara,
Papua, hingga Easter Island.
Sebagai perbandingan, Mannis van Oven juga menganalisis darah orang Karo dan
orang Batak sebagai etnis yang secara geografis berdekatan dengan Pulau Nias. Hasil
analisisnya menunjukkan bahwa DNA orang Karo dan orang Batak lebih bervariasi. Selain itu
marka genetik kromosom Y yang ditemukan yaitu O-M119 dan O-M110 sama sekali tidak
terdapat pada sampel darah orang Karo dan orang Batak. Hal ini mengindikasikan bahwa nenek
moyang orang Nias berbeda dengan nenek moyang orang Karo maupun orang Batak.
Selanjutnya dengan membandingkan DNA 1.500 sampel dari 38 populasi dari Asia
Timur, Asia Tenggara, Melanesia, Polinesia, dan Australia, hasil analisis menunjukkan
keseragaman DNA orang Nias. Secara genetik (DNA) orang Nias paling mirip dengan populasi
dari Taiwan dan Filipina.
Secara internal, hasil analisis menunjukkan bahwa semua sampel yang diteliti memiliki
haplogrup O-M119. Walaupun demikian berdasarkan analisis STR kromosom Y, penyempitan
genetik orang Nias memicu perbedaan yang sangat kuat di antara 11 klan atau marga orang
Nias yang dijadikan sampel. Ternyata secara genetika, orang di Nias di bagian Utara dan
Tengah sangat berbeda dengan orang Nias di bagian Selatan. Orang Nias di bagian Utara dan
Tengah hanya memiliki marka genetik O-119. Sedangkan orang Nias bagian Selatan, sama-
sama mewarisi marka genetik O-110 yang dominan pada kromosom Y mereka.
Dari analisis mtDNA, ada 18 haplogrup yang ditemukan. Haplogrup ini berkaitan
dengan penyebaran orang Taiwan. Hampir semua haplogrup mtDNA yang terdeteksi di Nias
sama dengan suku asli Asia bagian Timur dan hanya sekitar 2% haplogrup yang mungkin
berasal dari Asia Tenggara. Meskipun demikian, ruang distribusinya tidak seekstrem pada hasil
kromosom Y.
Semua tipe kromosom Y dan hampir semua tipe mtDNA di Nias bisa dihubungkan
dengan nenek moyang ras Austronesia yang sebagian besar berasal dari Taiwan, yang
kemudian melewati Filipina dan menyebar ke Pulau-pulau di Asia Tenggara sekitar 4.000-
5.000 tahun lalu. Data ini didukung juga dengan bahasa Nias yang masuk dalam rumpun bahasa
Austronesia.
Walaupun demikian, hasil penelitian ini masih memerlukan tindaklanjut karena
kesamaan DNA orang Nias dengan Taiwan hanya 40 persen dan sebagian kecil di Filipina. Hal
ini mengindikasikan bahwa sisanya berasal dari daerah lain. Orang Nias justru bertalian darah
dengan penduduk Taiwan, yang terpaut jarak 3.500 kilometer ke arah Timur Laut.
Dari hasil penelitian ini, Mannis Van Oven menduga orang Nias mewarisi gen mereka
dari orang Taiwan yang bermigrasi ke Indonesia melalui Filipina menuju Kalimantan dan
Sulawesi. Gelombang migrasi manusia modern ini sebenarnya dimulai dari Afrika. Gelombang
ini sampai di Taiwan 6.000 tahun lalu. Proses aliran gen hingga mencapai Nias 1.000-2.000
tahun kemudian. Rute ini didukung bukti kemiripan DNA suku Nias dengan penduduk Filipina.
Orang Nias kemungkinan besar berasal dari Taiwan sekitar 4000-5000 tahun yang lalu.
1.3.LEGENDA SIRAO SEBAGAI LELUHUR MASYARAKAT NIAS
1.3.1.Versi Pertama (Sirao Memiliki 3 Anak)
Eduard Fries, seorang misionaris dan pelukis yang tinggal di Nias selama hampir 16
tahun (1904– 1920) menulis buku dalam bahasa Nias berjudul“Nias– Amuata Hulo Nono
Niha” yang terbit tahun 1919. Pada halaman 52-53 buku tersebut, Fries menulis sebagai
berikut:
“........ sasese latoeriaigö föna, ba ja’ia wa no moedada föna niha moroi ba zi sagötö
jawa sotöi “Teteholi ana’a“; töi ndra toeara Zirao, ba töloe nahia dania sitaro ononia: toea Hia ,
ba noi’agö noeloe Gomo, si so na “börö nadoe” iroegi ma’öchö; Daeli, ba isawa Nono Waembo
baoeloe Nidanoi; ba toea Gözö, ba jöoe so nahania. Te toehonia sa, wa tenga ha samboea
gatoemboecha Nono Niha, me no töloe nahia ba zowoelo föna niha sato; ba itoegoe ara, ba
itoegoe faroekaroeka sa’ae, irege dania afonoe niha hoelo andre. Ba heza si’ai la’otarai ira toea
föna, na moroi ba danö Batak, ba na moroi ba hoelo bö’ö, ba ma na faondra ba da’e zolojo
si’oroi ba hoelo tanö bö’ö, ba lö’ö sa’atö oroma. Ba he lafa’oli wanötöi nqa’ötö, saracha 24-30
wa’oya, ba lö tatoe sa’atö, na doehoe da’ö ba na lö’ö; awai sa göi nirongoda ba niha bö’ö, ha
nisoera Niha Persia föna sotöi Soleiman, si no möi koemoli ba hoelo Hindria andre ba ndrö
850 fr. Kr.; no itörö göi hoelo Nias (nifotöinia hoelo “Nian”) ba no so ba da’e fönania niha
sagamoe’i, si no tö’ölö wangai högö iwa’ö. Tobali lö lala sa’ae iada’e wanechegö si’ai böröta
Nono Niha, baero wanechegö hewisa nga’eoe mboto fabaja chalachala mbawa Nono Niha: ma
atö tola dania lasoe’agö tödöra sanqila watahögö, hewisa mbörö wa no fabö’öbö’ö si’ai Nono
Niha, he wa’ae hatö samboea soi ira ba wa’ara. Andrö no lafatenge ba ndröfi 1910 moroi ba
danö Hoelöndra sijefo zi no to’ölö wangaloei simanö, sotöi Dr. Kleinweg de Zwaan,
sanörönörö tanöda ba wanoesoe’a misa boto niha; tenga sa fameta’oe niha geloeaha halöwönia
no andrö, ha ba wanechegö da’ö fefoe, wa no i’ohalöwögoi, ba lö ahori moetanö ba zoera zi no
isöndra .
Artinya adalah:
“Yang sering diceritakan dahulu kala ialah bahwa dulunya telah diturunkanmanusia
dari suatu tempat di lapisan atas bumi yang bernama Teteholi Ana’a. Nama leluhur mereka
adalah Sirao. Mereka ditempatkan pada 3 (tiga) tempat, yaitu: LeluhurHia menempatihulu
Gomo, lokasi tempat dimana ‘börö nadu’ berada sampai sekarang; LeluhurDaeli menuju
Onoawembo di Hulu Nidanoi, dan Leluhur Gözöberada di bagian Utara. Barangkali intinya
adalah bahwa orang Nias bukan berasal dari satu keturunan, karena sejak zaman dahulu
manusia sudah mendiami tiga lokasi. Lama kelamaan, ketiga puak itu bercampur dan
bertambah banyak sampai akhirnya Nias dipenuhi oleh manusia. Dan dari mana leluhur mereka
datang, apakah dari tanah Batak, atau dari pulau lain, atau apakah merupakah hasil ‘pertemuan’
para pelayar dari pulau lain, tidaklah jelas. Dan biarpun disebutkan silsilah yang 24-30 generasi
banyaknya, kita tidak tahu apakah itu benar atau tidak. Yang kita tahu dari sumber asing
hanyalah tulisan seorang Persia bernama Soleiman, yang pernah datang ke kepulauan Hindia
ini pada tahun 850 sesudah masehi; Soleimanpernah juga singgah di Nias (yang disebutnya:
“Nian”). Soleiman mengisahkan bahwa di Nias dia menemukan orang-orang yang biasa
memenggal kepala manusia. Jadi saat ini tidak ada jalan lain untuk menelusuri asal usul orang
Nias, selain penelitian terhadap sosok dan raut muka orang Nias, mana tahu dari situ para
peneliti bisa menjelaskan mengapa sosok dan rupa orang Nias berbeda-beda, walaupun mereka
telah membaur cukup lama sehingga menjadi satu suku bangsa. Untuk itu pada tahun 1910 dari
Negeri Belanda diutuslah seseorang yang ahli di bidang itu yang bernama Dr. Kleinweg de
Zwaan yang mengelilingi Pulau Nias untuk mengukur fisik orang Nias; pekerjaannya bukan
untuk menakut-nakuti orang, tetapi untuk mencoba mengetahui hal-hal yang disebutkan di atas.
Hasil usaha Dr.Kleinweg de Zwaan ini belum seluruhnya dibukukan”.

1.3.2.Versi Kedua (Sirao Memiliki 9 Anak dan 1 Cucu)


Menurut mitologi Nias, alam serta seluruh isinya adalah ciptaan Lowalangi. Langit
yang diciptakannya berlapis sembilan. Setelah selesai menciptakan semua itu, beliau kemudian
menciptakan satu pohon kehidupan yang disebut Tora’a. Pohon itu kemudian berbuah dua
buah, yang setelah dierami seekor laba-laba emas, yang juga merupakan ciptaan Lowalangi,
menetaslah sepasang dewa pertama di alam semesta ini. Mereka ini bernama Tuhamora’aangi
Tuhamoraana’ayang berjenis laki-laki dan Burutiraoangi Burutiraoana’a yang berjenis
perempuan. Keturunan sepasang dewa pertama ini kemudian mendiami sembilan lapis langit.
Untuk menciptakan sesuatu itu, Lowalangi mempergunakan udara dari berbagai warna sebagai
bahannya. Warna-warna itu ia aduk dengan tongkat gaib yang disebut sihai.
Salah satu keturunan sepasang dewa pertama itu, yang bernama Sirao kemudian
menjadi raja di langit lapisan pertama, yang terletak paling dekat dengan bumi. Nama langit
lapisan pertama ini Teteholi Ana’a. Sirao ini mempunyai tiga orang istri, dan dari mereka itu
masing-masing diperoleh tiga orang anak laki-laki. Di antara kesembilan orang putra Sirao itu,
timbul pertentangan untuk memperebutkan takhta Raja Sirao yang sudah lanjut usia itu dan
hendak mengundurkan diri sebagai raja. Adapun anak-anak Sirao tersebut adalah :
1) Hiawalangi Sinada
2)Gözö Helahela Danö
3)Daeli Bagambolangi
4)Hulu Börödanö
5)Bawuadanö
6)Zangaröfa
7)Lakindrolai Sitambalina
8)Sifusö Kara
9)Luomewöna
Ada juga versi yang lain, yaitu:
1)Bawuadanö
2)Zangaröfa
3)Bela
4)Simanga Buaweto Alitö
5)Samadu Sonamo Dalö
6)Hia Walangi Adu alias Hia Walangi Luo
7)Gözö Hela-hela Danö
8)Daeli Sanau Talinga alias Daeli Sanau Tumbo
9)Luomewöna
Selain itu ia mempunyai seorang cucu yang merupakan anak dari Luo Mewona yang
bernama Silogu Hiambanua (anak Luo Mewona).
Ketika Sirao sudah mulai tua, maka ia selalu memikirkan siapa di antara anak-anaknya
yang akan menggantikannya menjadi raja kelak di kemudian hari. Anak-anaknya yang
berjumlah 9 (sembilan) orang tersebut semuanya berkambisi menjadi raja. Oleh sebab itu Sirao
mengadakan lomba ketangkasan menari di atas tombak bermata mata sembilan yang
dipancangkan di suatu lapangan di depan istana. Sayembara itu ternyata dimenangkan oleh
putranya yang bungsu, bernama Luo Mewöna.Kebetulan sekali putra bungsu inilah anak yang
paling dikasihi oleh Raja Sirao dan juga sangat dihormati rakyatnya. Hal ini dikarenakan ia
memiliki sifat-sifat yang rendah hati, walaupun sebenarnya ia adalah seorang yang gagah
perkasa dan sangat bijaksana. Sifat-sifat ini juga terlihat sewaktu ia sedang mengikuti
sayembara itu. Oleh karenanya ia segera dikukuhkan menjadi raja diTeteholi Ana’a,
menggantikan ayahnyaSirao yang sudah lanjut usia.
Untuk menenteramkan kedelapan putranya yang lain,Sirao kemudian mengabulkan
permohonan mereka untuk diturunkan ke bumi yang dalam hal ini Pulau Nias. Selain itu, untuk
mengawasi tingkah laku abang-abangnya itu, raja Luo Mewöna menurunkan juga putera
sulungnya yang bernama Silögu Banuadi Hiambanua Onomandra,di negeri Ulu Moro’ö, yang
terletak di Kecamatan Mandrehe sekarang di Kabupaten Nias Barat.
Dari 8(delapan) orang putraSirao yang diturunkan, ada 4 (empat) orang yang tidak
selamat, yaitu: Bawuadanö, Zangaröfa, Lakindrolai Sitambalina, dan Sifusö Kara atau dalam
versi yang lain disebut Bawuadanö, Zangaröfa, Bela, dan Simanga Bua Weto Alitö.
Bawuadanö diturunkan ke bumi yang luas, dan jatuh persis di tengah-tengah pusaran
bumi, sehingga ia menjadi PENOPANG BUMI yang dalam bahasa Niasnya dikatakan “Da'ö
Zanaya Tanö Sisagörö, Da'ö Zanaya Tanö Sebolo”.Itulah sebabnya dalam kepercayaan
masyarakat Nias kuno, seseorang dilarang mengucapkan sumpah palsu dengan menyebutkan
nama Bawuadanö, sebab ia akan marah kalau seseorang melakukan sumpah palsu dengan
menyebut namanya, sehingga orang tersebut dalam waktu yang tidak terlalu lama pasti akan
mati. Bawuadanö dikenal juga sebagai Laturadanö yang karena terlalu berat tubuhnya sewaktu
diturunkan, terus menembus bumi dan menjelma menjadi ular besar. Dialah yang menjadi
penadah bumi. Jika timbul perang dan ada darah manusia yang merembes ke dalam tanah
mengenai tubuhnya, maka ia sangat marah dan menggoyang-goyangkan tubuhnya hingga
terjadi gempa bumi. Untuk menghentikan gempa bumi itu,orang Nias berseru, “Biha Tuha!
Biha Tuha!” Artinya: “Sudah Kakek! Sudah Kakek!” Ucapan itu diserukan sebagai tanda insaf
dan tidak membunuh lagi.
Zangaröfa diturunkan ke bumi yang luas dan jatuh di tengah-tengah air sehingga ia
menjadi PENGUASA AIR. Itulah sebabnya dalam kepercayaan masyarakat Nias kuno
seseorang dilarang membuang air besar di sungai karena Zangaröfa akan marah apabila sumber
airnya kotor. Apabila dilanggar maka dapat menyebabkan kecelakaan / hanyut (ahani) atau
tidak mendapatkan ikan (lö ahulu) kalau hendak mencari ikan di sungai.
Bela diturunkan ke bumi yang luas dan jatuh di atas pohon yang besar sehingga ia
menjadi PENGUASA POHON . Itulah sebabnya dalam kepercayaan masyarakat Nias kuno,
seseorang dilarang keluar rumah kalau sedang hujan campur panas (teu sino) dan setelahteu
sino biasanya akan dilanjutkan dengan angin kencang dan hujan lebat, sebab Bela sedang
marah karena hutannya banyak yang dirusak, sehingga ia kekurangan tempat berteduh. Orang
yang keluar rumah saat itu bisa-bisa sakit yang disebut tesafo, dan akibat hujan deras beserta
angin kencang maka dapat menyebabkan pepohonan bertumbangan dan banjir.
Simanga Bua Weto Alitö atau Samadu Sonamo Dalö diturunkan ke bumi yang luas dan
jatuh di atas batu yang besar sehingga ia menjadi GURU ILMU HITAM di Nias. Simanga Bua
Weto Alitö atau Samadu Sonamo Dalö dipercayai sebagai kakeknya Laowömaru yang punya
cita-cita menghubungkan dataran Nias dengan dataran Sumatera namun tidak sempat karena
dia keburu meninggal. Selanjutnya, dari kedelapan putra Sirao itu, ada 4 (empat) orang dapat
diturunkan dengan selamat, sehingga menjadi leluhur mado (marga) orang Nias zaman
sekarang. Mereka ini adalah:
1) Hiawalangi Sinada atau disebut juga Hia Walangi Adu atau Hia Walangi Luo dan sering
disingkat “Hia” diturunkan ke bumi yang luas dan jatuh di daerah Gomo tepatnya di Börönadu.
Hingga saat ini perkampungan Börönadu masih dihuni penduduk dan di sana masih dapat
dilihat peninggalan kuno megalitkultur, seperti kuburan Hia, tugu-tugu batu, dan sebagainya
yang di antaranya ada yang berumur 3000-4000 tahun. Setelah Hia diturunkan ke bumi, maka
bumi Nias di bagian Selatan menjadi miring. Hia adalah leluhur marga Hia, Laia, Waruwu,
Harefa, Telaumbanua, Gulö, Mendröfa, dan lain-lain.
2) Gözö Hela-hela Danö, atau disingkat “Gözö”diturunkan ke bumi dan jatuh di daerah bagian
Utara Pulau Nias tepatnya di barat laut Hilimaziaya Kecamatan Lahewa kemudian mendirikan
perkampungan pertamanya yang diberi nama Hili Gözö. Sekarang tinggal puing dengan bukti
peninggalannya sepasang Tugu Batu. Setelah Gözö diturunkan ke bumi, maka bumi Nias
melengkung seperti bungkuk udang. Gözö merupakan leluhur marga Baeha, Dawölö, dan lain-
lain.
3) Daeli Bagambolangi atau disebut juga Daeli Sanau Talinga atau Daeli Sanau Tumbo sering
disingkat menjadi “Daeli” diturunkan ke bumi yang luas dan jatuh di Tölamaera di Talu
Nidanoi. Kini tinggal puing, dengan bukti peninggalannya Kuburan Daeli bernisan batu. Daeli
termasuk anak kesayangan dari Raja Sirao, maka ketika Daeli diturunkan ke bumi Pulau Nias
bersamanya diikutsertakan seperangkat perhiasan emas dan perak, peralatan tombak dan
pedang serta berbagai alat timbangan (raewe-raewe ana’a, raewe-raewe balaki, raewe-raewe
firö, mburusa, gari, afore, lauru, bawali’era). Setelah Daeli diturunkan ke bumi, maka bumi
Nias menjadi rata dan tidak lagi melengkung. Daeli merupakan leluhur marga Daeli, Gea,
Larosa, dan lain-lain.
4) Hulu Borodano atau Hulu saja, yang diturunkan di suatu tempat di Laehuwa, (di tepi sungai
Oyo), kecamatan Alasa. Saat ini di sana tinggal puing dengan bukti peninggalannya beberapa
tugu batu. Hulu merupakan leluhur marga Hulu, Nazara, Zaluchu, dan lain-lain.
5) Selain itu, ada seorang cucu Sirao yaitu putera sulung dari Luomewöna yang turut diturunkan
ke bumi dengan selamat yaitu Silögubanua. Silögubanua atau disingkat Silögu diturunkan di
bumi di sebelah Barat Pulau Nias dan mendirikan perkampungan pertamanya di Hiambua (di
sebelah Timur Sungai Oyo). Saat ini sebagian masih dihuni oleh penduduk dan masih terdapat
peninggalan kuno beberapa Tugu Batu. Silögubanua merupakan leluhur marga Zebua, Zai,
Zega, dan Iain-lain.
Perkampungan pertama 5 (lima) orang leluhur inilah yang menjadi pusat penyebaran
penduduk secara bergelombang menurut waktu lalu mendirikan pemukiman baru. Pemukiman
baru itu juga menjadi pusat kedua penyebaran penduduk. Demikian seterusnya hingga
memenuhi pelosok Pulau Nias dan bahkan sampai di Kepulauan Hinako (sebelah barat) dan
Kepulauan Batu (sebelah tenggara).
Pada mulanya, sebagai identitas masing-masing keturunan dari 5 (lima) orang leluhur
mereka memakai istilah ono (anak). Misalnya: Ono Hulu, Ono Gea, Iraono Lase, dan
sebagainya. Tetapi pada masa Pemerintahan Belanda salah satu kebijakan waktu itu adalah
penerbitan surat pas yaitu semacam Kartu Penduduk. Maka sejak itulah mulai dipergunakan
istilah mado (marga).Mado bukan hanya diambil dari nama leluhur pertama, tetapi juga dari
nama leluhur berikutnya yang lebih terkenal atau memiliki kejayaaan pada
masanya.Demikianlah hingga sampai saat ini kita mengenal bermacam-macam mado
masyarakat Nias, misalnya:
 Mado dari keturunan Hia adalah: Hia, Laia, Waruwu, Harefa, Telaumbanua, dan lainnya
 Mado dari keturunan Gözö adalah: Baeha, Dawölö, dan lainnya
 Mado dari keturunan Hulu adalah: Hulu, Nazara, Zaluchu, dan lainnya
 Mado dari keturunan Daeli adalah: Daeli, Gea, Larosa, dan lainnya
 Mado dari keturunan Silögubanua adalah: Zebua, Zai, Zega, dan lainnya.

C. Bahasa
Bahasa yang mayoritas digunakan oleh masyarakat suku Nias adalah “Li Ono
Niha” artinya Bahasa Nias.
Bahasa Nias termasuk dalam rumpun bahasa Melayu – Polinesia tetapi
agak berbeda dengan bahasa Nusantara lainnya, karena sifatnya yang vocal yaitu
tidak mengenal konsonan di tengah maupun di akhir kata. Bahasa Nias mempunyai
huruf bunyi tunggal (vokal) yang khas yaitu yang bunyinya hampir sama dengan e
pepet atau eu dalam bahasa sunda.
Logat dan intonasi bunyi bahasa Nias berbeda–beda yaitu karena memiliki
dua logat, antara lain logat Nias Utara dan Nias Selatan atau Tello. Logat pertama
dipergunakan di Nias bagian utara, timur, dan barat yang menggunakan pengaruh
logat bahasa Nias Utara antara lain di daerah pedalaman dan daerah pantai memiliki
cirri khas. Logat yang kedua di Nias bagian tengah, selatan dan Kepulauan Batu
yang mendapat mengaruh bahasa logat Nias bagian Selatan yaitu di daerah
pedalaman dengan intonasi yang lebih tegas dan penekanan bunyi konsonan lebih
sering.
Contoh bahasa Nias – Indonesia :
• Kata Benda :
- bada gahe = sepatu - dadaoma = tempat duduk
- tori-tori = kipas - bato = tempat tidur
- faku = cangkul - ana’a = emas
- ambala = selimut - batere = baterai
- embe = ember - diala = jala

• Kata Sifat :
- aila = malu - ewawa = kecewa
- onekhe = pintar - abe’e = keras
- faetasa = tenang - dodo = ragu - ragu
- adumo = takut - alimago = saying
- ame’ela = khawatir - akhari dodo = rindu

• Kata Kerja :
- mamabaso = membaca - umano = nyanyi
- fahao = mengajarkan - famawa = menjual
- fadani = memunguti - faigi = melihat
- faga = memanggang - fakha = memotong

D. Sistem Teknologi
Orang Nias yang berkebudayaan megalitik sudah mengenal teknologi mengenai
pertukangan logam sejak zaman prasejarah. Misalnya, pandai membuat jenis-jenis
pedang dan golok perang yang disebut seno gari dan telogu. Dari segi ketajaman,
keampuahan, dan keindahan bentuk, senjata-senjata tajam buatan Nias tidak kalah
dengan mandau yang dibuat oleh Dayak
Orang Nias juga memiliki keahlian dan keterlampilan dalam seni membangun
pemukiman, seni ukir, dan seni tari sangat khas. Keahlian orang Nias yang khas ini
diwariskan secara turun temurun sehingga keasliannya masih dapat dipertakankan.
Namun adanya pergeseran niali akibat pengaruh budaya luan membuat keakhlian
khas yang dimiliki orang Nias tidak begitu berkembang terutama dalam seni
membuat perkakas atau ornament-ornamen dalam keperluan rumah tangga.
Industri yang berkembang di Nias berupa kerajinan rumah seperti : kerajinan
anyaman, topi, tikar, karung dan bagian-bagian ornament untuk bagian-bagian
rumah. Industri lainnya berupa industri perkakas logam seperti pedang, tombak,
golok dan cangkul.
Sistem teknologi pada suku Nias sama halnya seperti yang terjadi pada suku-
suku lain yang terdapat di negara Indonesia yaitu seiring dengan perkembangan
zaman mengalami perubahan-perubahan. Contohnya dalam segi peralatan rumah
tangga yang digunakan zaman dulu dan zaman sekarang.
Zaman dulu peralatan rumah tangga yang sering digunakan adalah
 Bowoa tanö - periuk dari tanah liat, alat masak tradisional
 Figa lae - daun pisang yang dipakai untuk menjadi alas makanan
 Halu (alat menumbuk padi)
 Lösu – lesung
 Gala - dari kayu seperti talam
 Sole mbanio - tempat minum dari tempurung
 Katidi - anyaman dari bamboo
 Niru (Alat untuk menapik beras untuk memisahkan dedak)
 Haru - sendok nasi
 Famofu - alat niup api untuk memasak
 Fogao Banio (alat pemarut kelapa)
Berbeda halnya dengan sekarang yang semakin menggunakan barang-barang
elektronik seperti reskuker, dispenser, kulkas, blender dll.
Begitu pula dari segi pembuatan makanan dan minuman yang sekarang jenis
makanan dan minuman di suku Nias semakin beragam dengan berbagai perpaduan-
perpaduan agar lebih menarik dan memiliki rasa yang enak dengan penggunaan
sistem teknologi yang semakin canggih. Dulunya, makanan dan minuman yang
terkenal di Nias adalah
Makanan Khas Nias:
 Bae – Bae
 Gowi Nihandro (Gowi Nitutu ; Ubi tumbuk)
 Harinake (daging babi cincang dengan cacahan yang tipis dan kecil-kecil)
 Godo-godo (ubi / singkong yang diparut, dibentuk bulat-bulat kemudian direbus
setelah matang di taburi dengan kelapa yang sudah di parut)
 Köfö-köfö(daging ikan yang dihancurkan, dibentuk bulat dan
dijemur/dikeringkan/diasap)
 Ni'owuru (daging babi yang sengaja diasinkan agar bisa bertahan lama)
 Ratigae (pisang goreng)
 Tamböyö (ketupat)
 löma (beras ketan yang dimasak dengan menggunakan buku bambu)
 Gae nibogö (pisang bakar)
 Kazimone (terbuat dari sagu)
 Wawayasö (nasi pulut)
 Gulo-Gulo Farö (manisan dari hasil sulingan santan kelapa)
 Bato (daging kepiting yang dipadatkan dalam bentuk bulat agar dapat bertahan
lama; terdapat di Kepulauan Hinako)
 Nami (telur kepiting dapat berupa nami segar atau yang telah diasinkan agar awet,
dapat bertahan hingga berbulan-bulan tergantung kadar garam yang ditambahkan)
Minuman khas nias:
 Tuo nifarö (tuak) adalah minuman yang berasal dari air sadapan pohon nira (dalam
bahasa Nias "Pohon Nira" = "töla nakhe" dan pohon kelapa (dalam bahasa Nias
"Pohon Kelapa" = "töla nohi") yang telah diolah dengan cara penyulingan.
Umumnya Tuo nifarö mempunyai beberapa tingkatan (bisa sampai 3 (tiga) tingkatan
kadar alkohol). Dimana Tuo nifarö No. 1 bisa mencapai kadar alkohol 43%.
 Tuo mbanua / Sataha (minuman tuak mentah yang berasal dari air sadapan pohon
kelapa atau pohon nira yang telah diberi 'laru' berupa akar-akar tumbuhan tertentu
untuk memberikan kadar alkohol).

E. Sistem Mata Pencaharian


Mata pencaharian orang Nias, kecuali yang tinggal di daerah pantai adalah pada
umumnya bercocok tanam yakni di ladang (sabae’e) dan di sawah (laza). Lahan di
Pulau Nias tergolong memiliki daya guna yang besar bila system pendayagunaan
dikembangkan. Hal ini di sebabkan oleh iklim di daerah Nias sangat menunjang
untuk lahan pertanian karena memiliki curah hujan yang tingg sehingga banyak juga
orang Nias yang hidup dari bertani.
Mata pencaharian lainnya adalah berburu di hutan, menangkap ikan di sungai,
beternak dan bertukang. Hasil peternakan utama di Nias adalah babi. Selain itu
diternakkan pula kambing dan kerbau yang biasanya diusahakan oleh orang Nias
yang beragama Islam.
Nias juga memiliki hutan tropik yang beraneka ragam jenis tanaman dan
relative tidak homogen. Banyak dijumpai tanaman perkebunan seperi cengkeh, kopi,
karet dan Nilam. Dan yang menjadi hasil olahan penduduk antara lain berupa
minyak nilam, kopi, kopra dan minyak kelapa. Minyak nilam dari Nias juga diekspor
setelah diproses di Medan sebagai bahan kosmetik. Sedangkan kpra dan kopi di
pasarkan keluar pulau Nias namun masih dalam jumlah yang kecil karena
keterbatasan sarana dan prasarana angkutan (distribusi barang yang terbatas).
Selain itu seiring dengan perkembangan pengetahuan yang dimiliki oleh
masyarakat, sekarang banyak masyarakat yang berprofesi sebagai pegawai negeri
dan lembaga pemerintahan lainnya.

F. Organisasi Sosial
Dalam kebudayaan suku Nias pemberian salam kepada sesama sangat tinggi
nilainya terhadap satu dengan yang lain. Bila seseorang tidak bersapaan atau
memberi salam kepada yang lain, maka diantara kedua belah pihak sudah terjadi
disintegrasi sosial yang mungkin disebabkan oleh sifat, gaya, cara jalan, tutur
bahasa, cara berpakaian atau penataan rambutnya yang kurang diterima oleh
kebanyakan orang. Jika sifat di atas tidak ada maka relasi mereka menjadi lebih
akrab sehingga setiap bertemu selalu menyapa dengan ucapan “Ya’ahowu” (salam
khas Nias) yang dilanjutkan dengan kata “Yae nafoda” atau bologö dödöu, lö afoda”
(ini sirih kita atau maaf kita tidak punya sirih). Dalam situasi tersebut kedua belah
pihak saling memakan sirih. Setelah itu baru diakhiri dengan salam kembali dan kata
“ya’ami ba lala” (selamat jalan) sebagai kata perpisahan.
Beberapa kebiasaan mendasar :
a. Persiapan Orang yang hendak bertamu
Wanita yang sudah dinamai “Si no lafatö turu” atau “sino lafotu” (sudah
berkeluarga dengan tahap-tahap adat) pergi bertamu baik kepada orang yang sudah
dikenal maupun kepada orang yang belum dikenal selalu mempersiapkan diri dari
rumah berupa penghormatan. Sebelum berangkat dari rumah bila seorang bapak
yang pergi dia mengatakan kepada istrinya “biz(d)i nafogu ua” (persiapkan sirih
saya dulu), saya mau pergi kepada Ama Warisan. Lalu ibu mempersiapkan sirih dan
memberikanna di “Naha nafo” (Kempit sirih). Setelah siap dipersiapkan baru bapak
mengambil dan disimpanny dalam kantongnya. Dalam perjalanan, setiap orang yang
bertemu kepadanya selalu memberi salam “Ya’ahowu” dan mengambil sirih yang
telah dipersiapkan dari rumah dan diberikan kepada orang yang bertemu dengan dia
mengatakan “Yae nafoda ” (ini sirih kita). Setelah selesai baru melanjutkan
perjalanan di mana tujuan pertamanya. Bila seorang ibu rumah tangga yang hendak
bertamu baik pergi kepada “Sitenga bö’ö” (kerabat) maupun kepada orang lain,
terlebih dahulu mempersiapkan sirih yang ditempatkan di “Naha Nafo” (kempit
sirih), dan setiap orang yang hendak bertemu selalu memberi salam “Ya’ahowu”
terus bersalaman dan baru menyungguhkan sirih satu dengan yang lain
b. Kebiasaan bila tamu datang di rumah
Bila seseorang datang di rumah untuk bertamu selalu dimulai dengan kata
salam “Ya’ahowu” dan dilanjutkan sikap bersalaman. Kemudian disambung dengan
kata “ Yae nafoda” (ini sirih kita) atau bologö dödöu Lö’afoda (ma’af tidak ada sirih
kita). Baru ibu rumah tangga menyuguhkan sirih kepada para tamu. Pada saat saling
mungunyah sirih yang disuguhkan timbal balik, ibu rumah tangga berkata: “Hadia
göda Ga’a atau Baya?” (apa makanan kita?) dan sebagainya, “Hana wamikaoniga?”
(Kenapa kalian mengundang kami?). Tamu yang datang menjawab: “Lö hadöi,
möiga manörö-nörö manö” (tidak ada, hanya sekedar jalan-jalan saja).” Dari kata
seorang ibu di atas, itu bukan berarti menghendaki supaya ada makanan dengan
bertanya “apa makanan kita.” Tetapi sapaan untuk menindak lanjuti kata seterusnya
supaya ada keakraban dan nampak lebih dekat. Begitu sebaliknya dengan jawaban
dari tamu yang mengatakan “hanya jalan-jalan saja’ atau “meminta makanan kami”.
Itu semua kedua belah pihak hubungan mereka lebih kekeluargaan. Hal ini juga tidak
dikatakan kepada orang yang tidak dikenal sama sekali. Kedua hal ini baik sebagai
tamu atau tuan rumah mempunyai tujuan yang berbeda dari pada ungkapan pertama
tadi. Setelah beberapa saat baru tamu memberitahukan apa tujuan yang sebenarnya
dan tuan rumah baru berbicara yang sebenarnya sesuai dengan tujuan yang
dikehendaki oleh tamu. Setelah selesai pembicaraan baru dilanjutkan dengan kata
“mofanöga” (permisi, kami pergi). Tuan rumah tidak terus mengizinkan pergi tetapi
harus “Lasaisi” artinya kita tahan mereka untuk menunggu makan. Dengan kata
“Tabase’ö öda idanö ua” (mari kita minum dulu) atau tabase’ö öda wakhe safusi ua
hana wa aösö-aösö sibaikö” (mari kita tunggu makanan kita nasi putih dulu, kenapa
tergesa-gesa sekali) “Ha walö diwo-diwoda” (hanya saja, tidak ada lauk pauk
kita). Kata-kata di atas sikap tamu bisa menunggu bisa juga tidak. Karena hanya
merupakan basa basi. Dilanjutkan dengan kata maaf tidak ada lauk pauk kita. Itu
hanya menunjukkan kerendahan hati walaupun kenyataannya lauk-pauk mereka
anak babi yang tambun, ayam atau “Ni’owuru” (daging babi yang sudah digarami).
c. Kebiasaan waktu makan
Pada hari biasa mereka makan tiga kali sehari. Pagi hari mereka makan
“Sinanö” (umbi-umbian) siang hari mereka makan “umbi-umbian” dan nasi sebagai
“Fangazökhi dödö” (makanan yang menyenangkan). Pada malam harinya mereka
makan seperti makan siang. Sehingga setiap hari mereka rutin makan nasi dua kali
sehari. Pada hari minggu mereka makan dua kali sehari makan sebelum pergi ke
gereja dan pada malam harinya. Pada saat makan sedang berlangsung tidak boleh
ngomong-ngomong karena marah “Sobawi” (yang selalu menegur anggota keluarga
bila melalaikan ketertiban di rumah).
Makanan nasi ini lebih tinggi nilainya dari pada makanan yang lain. Bila makan
tidak boleh tersisa dan dibuang begitu saja. Kemudian kalau dimasak harus pakai
ukuran apakah Tumba (jumba), Hinaoya (liter), kata (tekong) dan lain-lain serta
tidak boleh “Lafasösö” (dipadatkan) dalam periuk, tidak boleh dipukul-pukul
pinggir periuk dengan sendok. Semua pantangan ini apabila tidak ditaati maka bisa
berakibat marah “Sibaya Wache” (pemilik dari pada nasi tersebut) seandainya marah
akibatnya bila menanam padi tidak subur dan tidak menghasilkan banyak buah serta
banyak mendatangkan berbagai wabah penyakit dan bila dimasak “Lö mo’ösi”
(artinya walaupun satu jumba dimasak tetapi hasil masakan nampak seperti satu
liter).
d. Kebiasaan suami-istri bila pergi bersama
Orang Nias pada masa dulu bila pasangan suami-istri itu pergi bersama
mempunyai norma adat tertentu yang mana bila pergi bersama kemana saja baik ke
ladang, ke sawah, pergi kepada paman atau pergi pada pesta-pesta selalu laki-laki di
belakang dan perempuan di depan. Hal ini menunjukkan bahwa wanita itu adalah
istrinya, yang wajar mendapat perlindungan dari berbagai gangguan, yang dicintai,
yang dikasihani, serta menunjukkan rasa tanggung jawab sebagai suami. Bila
seseorang anak muda jalan bersama dengan saudaranya perempuan atau perempuan
yang lain tetapi mereka berjalan bersama laki-laki ke belakang dan perempuan ke
depan itu adalah merupakan ejekan kepada orang yang melihat. Mereka mengatakan
apakah mereka itu suami-istri? Atau kenapa orang itu pergi seperti suami istri? Ini
juga suatu tanda kepada publik bahwa dari letak jalan seseorang mereka bisa
mengetahui bahwa itu adalah suami-istri.
e. Penghormatan dengan kata “Ya’ahowu” dan “pemberian sirih” dalam porsi adat.
Menurut porsi adat perkawinan yang telah dituturkan dalam acara “Fanika
Era-era mböwö” (suatu acara yang menguraikan tentang silsilah keturunan dari pada
pihak penganten perempuan yang diberitahukan secara formal kepada pihak
penganten laki-laki mulai dari famili terdekat sampai kepada yang terjauh serta
beban-beban yang harus ditanggung dalam hidupnya sesuai dengan hubungan
kekerabatan). “Hönö mböwö no awai, Hönö mböwö no tosai” (ribuan jujuran sudah
selesai, ribuan jujuran masih tersisa), artinya tanggung jawab terhadap mertua dan
sanak famili dalam bentuk beban-beban tidak pernah putus sampai seumur hidup.
Karena itu kemampuan penghormatan dengan harta benda sangat terbatas dalam
bentuk “Böwö”, maka diberi kelonggaran untuk mengatasi hal tersebut, yaitu
jangankan penghormatan dengan harta materi tetapi penghormatan dengan kata-kata
sapaan “Ya’ahowu” dan “Fame’e afo” (pemberian sirih) kepada “Sitenga bö,ö” dan
lain-lain, maka itu sudah cukup yang setara nilainya dengan empat alisi babi, dan
dianggap sudah lunas utangnya yang telah dituturkan dalam acara “Fanika era-era
mböwö”. Dewasa ini kebiasaan tersebut sudah tidak ada lagi, penghormatan berupa
harta materi maupun penghormatan dengan kata-kata sudah hampir tidak ada lagi.
Kita tidak tau bahwa dari kata-kata kita itu sudah ada nilainya yang lebih dari
“böwö” atau makanan. Inilah yang dikatakan “Ho maigö ami li moroi ba gö” artinya
dengan penghormatan kata-kata itu sudah cukup senang dan berharga.

Di Pulau Nias dalam kebudayaan masyarakat dikenal istilah kasta. Dimana


tingkatan kasta yang tertinggi adalah "Balugu" dan untuk mencapai tingkatan ini
seseorang harus mampu melakukan pesta besar dengan mengundang ribuan orang
dan menyembelih ribuan ekor ternak babi selama berhari-hari. Adapun beberapa
rincian kasta yang terdapat di Pulau Nias antara lain :
1. Si’ulu (Balugu/Salaŵa), yaitu: golongan masyarakat yang mempunyai kedudukan
tertinggi secara turun-temurun, akan tetapi pengukuhannya melalui proses
pelaksanaan pesta kebesaran (Owasa/Fa’ulu). Bangsawan yang telah memenuhi
kewajiban adatnya melalui proses Owasa/Fau’ulu disebut Si’ulu Si Ma’awai dan
menjadi Balö Zi’ulu yaitu bangsawan yang memerintah;
2. Ere, yaitu: para pemimpin agama kuno. Sering juga, oleh karena kepintaran
seseorang dalam hal tertentu, maka dia disebut Ere, umpamanya Ere Huhuo yaitu
seseorang yang sangat pintar dalam berbicara terutama menyangkut adat-istiadat.
Secara garis besar terdapat 2 (dua) macam ere, yaitu: Ere Börönadu dan Ere Mbanua;
3. Si’ila, yaitu: kaum cerdik-pandai yang menjadi anggota badan musyawarah desa.
Mereka yang selalu bermusyawarah dan bersidang (Orahu) pada setiap masalah-
masalah yang dibicarakan dalam desa, dipimpin oleh Balö Zi’ulu dan Si’ulu lainnya;
4. Sato, yaitu: Masyarakat biasa (masyarakat kebanyakan) juga sering disebut Ono
mbanua atau si fagölö-gölö atau niha si to’ölö;
5. Sawuyu (Harakana), yaitu: golongan masyarakat yang terendah. Mereka berasal
dari orang-orang yang melanggar hukum dan tidak mampu membayar denda yang
dibebankan kepadanya berdasarkan keputusan sidang badan musyawarah desa.
Kemudian mereka ditebus oleh seseorang (biasanya para bangsawan), oleh
karenanya semenjak itu mereka menjadi budak (abdi) bagi penebus mereka. Mereka
juga berasal dari orang-orang yang tidak mampu membayar utang-utangnya, orang-
orang yang diculik atau orang-orang yang kalah dalam perang, kemudian mereka
menjadi budak.

G. Sistem pengetahuan
Sistem Pengetahuan yang dimiliki suku Nias sudah cukup berkembang. Dulunya mereka
mengetahui akan kesadaran waktu di dalam kehidupan. Suku Nias juga memiliki ahli astrologi
yang dikenal sebagai orang Boronadu atau Sibihasa. Orang ini memberikan keterangan musim
tanam atau tunai telah tiba dalam pertanian. Waktu dalam suku bangsa Nias di kenal sebagai
suatu pengertian yang ada hubunganya dengan bintang tertentu yang disebut madala. Madala
selain menunjukkan nama bintang, juga memberikan pengertian tentang pembagian waktu.
Madala fajar menunjukkan waktu fajar menyingsing, madala laluwo menunjukkan waktu
tengah hari, dan madala tanobi menunjukkan waktu matahari tenggelam.
Waktu dalam hari dalam hari dihubungkan dengan posisi peredaran matahari. Ahulo
menunjukkan waktu matahari terbit. Laluo menunjukkan waktu matahari tepat diatas (siang
hari), Mamoka dodoga’i menunjukkan waktu kulit jantung pisang terkelupas (kira – kira pukul
02.00 sampai pukul 03.00 siang hari). Moliriri atau molili rago menunjukkan waktu sore ketika
binatang tonggeret berbunyi. Tano Owi yang menunjukkan waktu menjelang malam atau
petang hari.
Mereka juga menggunakan pengetahuan waktu dalam perkembangan untuk
mempermudah hidup. Diantaranya pada bidang pertanian yaitu untuk mengetahui musim
tanam dan panen. Ketika musim tanam padi di tandai apabila bintang madala sifelejara tepat di
tengah bumi pada waktu malam hari, dan apabila kedudukannya berada di tempat matahari
terbit, hal itu menunjukkan bahwa musim menuai telah tiba.
Selain mengetahui pentingnya kesadaran akan waktu, orang Nias juga memiliki
pengetahuan mengenai pengecoran perunggu, pandai emas, seni pahat batu dan ukiran kayu
juga telah dimiliki orang Nias sejak lama yang diwariskan secara turun temurun.
Selain itu, seiring dengan perkembangan pengetahuan yang dimiliki oleh masyarakat,
banyak orangtua yang menyekolahkan anaknya hingga keperguruan tinggi negeri baik yang
ada dalam daerah sendiri, diluar Pulau Nias, bahkan di luar negeri, sehingga saat ini banyak
masayarakat Nias yang sudah memiliki gelar sarjana baik S1, S2, dan S3 dengan berbagai
profesi pekerjaan.

H. Kesenian
Dalam kebudayaan suku Nias terdapat berbagai jenis kesenian-kesenian budaya yang
menjadi kebanggaan masyarakat antara lain:
1. Lompat Batu

2. Tari Perang

3. Maena

4. Tari Moyo

5. Tari Mogaele

6. Sapaan Yaahowu

7. Fame ono niahalo (pernikahan)

8. Omohada (rumah adat)

9. Fame'e toi nono nihalo(pemberian nama bagi perempuan yang sudah menikah)

Dalam budaya Ono Niha terdapat cita-cita atau tujuan rohani hidup bersama
yang termakna dalam salam “Ya’ahowu” (dalam terjemahan bebas bahasa
Indonesia “semoga diberkati”). Dari arti Ya’ahowu tersebut terkandung makna:
memperhatikan kebahagiaan orang lain dan diharapkan diberkati oleh Yang Lebih
Kuasa. Dengan kata lain Ya’ahowu menampilkan sikap-sikap: perhatian,
tanggungjawab, rasa hormat, dan pengetahuan. Jika seseorang bersikap demikian,
berarti orang tersebut memperhatikan perkembangan dan kebahagiaan orang lain :
tidak hanya menonton, tanggap, dan bertanggungjawab akan kebutuhan orang lain
(yang diucapkan : Selamat – Ya’ahowu), termasuk yang tidak terungkap, serta
menghormatinya sebagai sesama manusia sebagaimana adanya. Jadi makna yang
terkandung dalam “Ya’ahowu” tidak lain adalah persaudaraan (dalam damai) yang
sungguh dibutuhkan sebagai wahana kebersamaan dalam pembangunan untuk
pengembangan hidup bersama.

Pakaian Adat Suku Nias


Pakaian adat suku Nias dinamakan Baru Oholu untuk pakaian laki-laki dan
Õröba Si’öli untuk pakaian perempuan. Pakaian adat tersebut biasanya berwarna
emas atau kuning yang dipadukan dengan warna lain seperti hitam, merah, dan putih.
Adapun filosofi dari warna itu sendiri antara lain:
o kuning yang dipadukan dengan corak persegi empat (Ni’obakola) dan pola Warna
bunga kapas (Ni’obowo gafasi) sering dipakai oleh para bangsawan untuk
menggambarkan kejayaan kekuasaan, kekayaan, kemakmuran dan kebesaran.
o Warna merah yang dipadukan dengan corak segi-tiga (Ni’ohulayo/ ni’ogöna) sering
dikenakan oleh prajurit untuk menggambarkan darah, keberanian dan kapabilitas
para prajurit.
o Warna hitam yang sering dikenakan oleh rakyat tani menggambarkan situasi
kesedihan, ketabahan dan kewaspadaan.
o Warna putih yang sering dikenakan oleh para pemuka agama kuno (Ere)
menggambarkan kesucian, kemurnian dan kedamaian.
Jenis-Jenis Alat musik yang sering digunakan dalam suatu acara yaitu:
1.Göndra
2.Faritia
3.Aramba
I. Sistem Religi
Kebudayaan Nias merupakan salah satu kebudayaan Nusantara yang bebas dari
pengaruh Hindu – Budha maupun Islam. Orang Nias mengalami banyak perubahan
dalam hal kepercayaan dan agamanya. Dahulu kepercayaan orang Nias percaya pada
system yang bersumber pada kekuatan alam dan roh leluhur dan juga dua kekuatan
super natural, yang menampakkan diri sebagai gejala-gejala alam dan arwah leluhur
mereka. Kekuatan adikodrati (super-natural) bersumber pada gejala-gejala alam
yang memiliki nama sesuai dengan tempat atau system kekuatannya.
Para leluhur Nias kuno menganut kepercayaan animisme murni. Mereka
mendewakan roh-roh yang tidak kelihatan dengan berbagai sebutan, misalnya:
Lowalangi, Laturadanö, Zihi, Nadoya, Luluö dan sebagainya. Dewa-dewa tersebut
memiliki sifat dan fungsi yang berbeda-beda. Selain roh-roh atau dewa yang tidak
kelihatan dan tidak dapat diraba tersebut di atas, mereka juga memberhalakan roh-
roh yang berdiam di dalam berbagai benda berwujud, misalnya: berbagai jenis
patung, (Adu Nama, Adu Nina, Adu Nuwu, Adu Lawölö, Adu Siraha Horö, Adu
Horö dll) yang dibuat dari bahan batu atau kayu dan juga percaya pada pohon
tertentu, misalnya: Fösi, Böwö, Endruo, dll. Oleh karena masyarakat Nias percaya
terhadap banyak dewa, maka sering disebut bahwa orang Nias kuno menganut
kepercayaan politheisme.
Dalam acara pemujaan dewa-dewa tersebut, mereka menggunakan berbagai
sarana misalnya: Dukun atau pemimpin agama kuno (Ere) sebagai perantara dalam
menyampaikan permohonan selalu memukul fondrahi (tambur) pada saat
menyampaikan permohonan dalam bentuk syair-syair kuno (Hoho) atau mantera-
mantera. Selain itu, para ere juga mempersiapkan sesajen, misalnya: sirih dan
makanan lainnya untuk dipersembahkan kepada para dewa agar apa yang dimohon
dapat dikabulkan. Sesajen dalam bentuk makanan (babi, ayam, telur) disertai
kepingan emas juga diberikan supaya upacara pember-halaan itu sempurna dan
permohonan dikabulkan. Persembahaan dalam bentuk korban makanan dapat
dibagi-bagi kepada orang yang hadir, akan tetapi setelah upacara penyembahan
selesai, emas sering kali menjadi porsi ere pada akhirnya.
Banyak benda-benda mati yang dipercayai seolah-olah hidup dan memiliki kekuatan
supernatural (sakti) sehingga dijadikan jimat sebagai sumber dan penambah
kekuatan/kekebalan. Dari bebatuan, misalnya: Sikhöri Lafau, Kara Zi’ugu-ugu,
Kara Mboli, Öri Zökha dan sebagainya. Sesama manusia juga di-ilah-kan. Hal ini
tergambar dari ungkapan seperti: Sibaya ba sadono Lowalani (Lowalangi) ba guli
danö. Artinya: Paman (saudara laki-laki sekandung dari ibu) dan orang tua
merupakan jelmaan Tuhan yang hadir di bumi. Maka tidak heran kalau dalam tradisi
kuno sebelum agama baru masuk di Nias, patung leluhur (Adu Zatua) selalu dibuat
untuk kemudian diberhalakan. Kepercayaan dalam bentuk ani-misme-politheisme
ditinggalkan oleh masyarakat setelah para misionaris menyebarkan agama di Nias.
Pembuatan patung-patung dilarang, karena hanya dipandang dari sisi teologis saja,
sementara pesan moral dan nilai seni di dalam berbagai patung (ukiran dan pahatan)
itu tidak dihiraukan.
Pemusnahan patung-patung secara besar-besaran dilakukan pada masa adanya
gerakan ‘Fangesa Dödö Sebua’ (pertobatan massal) sejak tahun 1916 sampai dengan
tahun 1930 yang dimotori oleh para misionaris Kristen dari Eropa yang menganut
pandangan “Christ against Culture” (Kristus menentang Kebudayaan). Serta
berbagai pengabaran injil yang dilakukan oleh para misionaris deninger di kepulauan
Nias.
Saat ini religi orang Nias yang berlaku pada masa dahulu sudah tidak sama lagi
dengan yang sekarang. Karena sekarang sebagian besar orang Nias sudah beragama
Kristen Protestan. Namun ada agama lain yang juga mempunyai penganut di Nias
adalah agama Islam, Katolik, dan Budha.

BAB III
PENUTUP

A. Kesimpulan
Suku Nias merupakan salah satu suku di Indonesia yang
mempunyai kebudayaan yang masih terjaga. Mereka dapat memelihara
kebudayan aslinya yang diturunkan oleh nenek moyangnya sejak ratusan
tahun yang lalu. Meskipun saat ini mereka juga sangat terbuka terhadap
perkembangan zaman globalisasi dan dapat menyatukan kebudayaan luar
terhadap kebudayaan aslinya tanpa menghilangkan kebudayaan yang asli.
Berbagai hal dapat dinikmati ketika mengunjungi kepulauan ini, baik
dari segi keindahan alamnya yang saat ini sangat terkenal dengan pantai
sorake nya yang memiliki ombak yang besar sama halnya seperti di pantai
hawai dan salah satunya lagi adalah tradisi lompat batu. Tradisi ini sudah
lama di miliki oleh orang Nias, namun sampai sekarang mereka tetap
mempertahankan tradisi tersebut. Dan tradisi Lompat batu ini menjadi salah
satu obyek wisata yang terkenal di Indonesia. Pulau Nias juga bisa lebih
dikenal karena tradisi lompat batu ini.
Terhadap pendatang, masyarakat Nias sangat ramah, terbuka dan
selalu berusaha untuk menjelaskan tentang hal-hal yang dioertanyakan oleh
si pendatang. Masyarakat Nias juga terbuka terhadapkritik dan saran yang
diberikan terhadap perubahan yang lebih baik demi perbaikan sukunya.

B. Saran
Dengan berbagai penjelasan dalam makalah ini tentang suku Nias,
saya sebagai pembuat makalah ini sangat berharap semoga makalah ini
bisa menjadi sumber penambah wawasan kita tentang suku Nias dan
berbagai kebudayaan didalamnya. Dan juga saya berharap dengan salah
satu suku yang saya bahas dapat menjadi motivasi bagi kita untuk semakin
menjaga kelestarian keberagaman suku-suku dan kebudayaan lain yang
ada di Indonesia.

Anda mungkin juga menyukai