Anda di halaman 1dari 10

ETIKA POLITIK GEREJA KATOLIK

Disusun oleh:
Lisker Siagian (2211230004)
Yingka Sagala (2212530005)

Dosen Pengampu: Yakobus Ndona

Program Studi Seni Pertunjukan


Fakultas Bahasa dan Seni
Universitas Negeri Medan
MEDAN
2022
DAFTAR ISI
KATA PENGANTAR...............................................................................................................................
DAFTAR ISI..............................................................................................................................................
PENDAHULUAN.....................................................................................................................................
1.1 Latar Belakang.....................................................................................................................................
1.2 Tujuan..................................................................................................................................................
PEMBAHASAN........................................................................................................................................
KESIMPULAN.........................................................................................................................................
DAFTAR PUSTAKA................................................................................................................................
KATA PENGANTAR
Puji dan Syukur senantiasa kami panjatkan kehadirat Allah SWT yang telah
melimpahkan rahmat dan karunia-Nya, sehingga kami dapat menyelesaikan makalah ini guna
memenuhi tugas kelompok untuk mata kuliah Agama Katolik dengan judul : Etika Politik
Gereja Katolik. Kami menyadari bahwa dalam penulisan makalah ini tidak terlepas dari bantuan
banyak pihak yang dengan tulus memberikan doa, saran dan kritik sehingga makalah ini dapat
terselesaikan.

Kami menyadari sepenuhnya bahwa makalah ini masih jauh dari sempurna dikarenakan
terbatasnya pengalaman dan pengetahuan yang kami miliki. Oleh karena itu, kami
mengharapkan segala bentuk saran serta masukan bahkan kritik yang membangun dari berbagai
pihak. Akhirnya kami berharap semoga makalah ini dapat memberikan manfaat bagi
perkembangan dunia pendidikan.

Medan 10 Oktober 2022


BAB I

PENDAHULUAN
A. Latar belakang

Agama mendapatkan kekuatan yang terus bertahan dari keyakinan, bahwa yang sakral
berada di belakang norma-norma sosialnya. Durkheim, berpendapat bahwa kekuatan keagamaan
hanyalah sentimen-sentimen yang di inspirasikan oleh kelompok kepada anggotanya, tetapi
diproyeksikan ke luar kesadaran yang di alami mereka dan di manifestasikan, kekuatan
keagamaan bergantung pada hubungan yang tidak dapat di pisahkan antara pandangan dunia
keagamaan dan kelompok-kelompok keagamaan.1 Secara sosio-historis, agama tidak
mendahului politik, tetapi politiklah yang mendahului agama. Agama diperlakukan oleh para
teoretikus sosial sebagai sumber stabilitas politik. Agama harus tetap relevan bagi kehidupan,
tetapi tidak boleh kehilangan nilai-nilai transendensi kehidupannya karena proses peleburan
tersebut yang menyebabkan terjadinya berbagai dinamika politik dan agama.

Agama tanpa adanya rasionalitas dapat menghancurkan sisi kemanusiaan, karena agama
memang bisa menyelamatkan hidup banyak orang, tetapi juga telah banyak dosa yang telah
dilakukan atas nama agama. Agama juga merupakan salah satu kekuatan pemotivasi yang paling
berbahaya dalam perilaku manusia, hal itu terjadi karena agama merupakan memori kolektif dan
politik merupakan tindakan kolektif. Keduanya adalah sumber identitas, norma-norma, dan
batas-batas. Ketika mereka hampir tidak dapat dibedakan dalam sebuah budaya politik, yakni
ketika politik menjadi bersifat penyelamatan dan agama semata-mata menjadi instrumen negara,
lahirlah sistem totaliter yang paling represif.2 Bukan saja ketakutan pada ancaman kekuasaan
yang besar kalau mereka tidak patuh, tapi terutama ketakutan untuk bertanggungjawab, karena
itulah banyak manusia, sadar atau tidak sadar, cenderung menyerahkan kebebasannya kepada
kekuasaan. Seperti pada agama, di mana manusia merasa sudah selesai kalau dia mengikuti saja
ajaran agama tanpa bertanya dan manusia ini membenarkan dirinya dengan mengatakan bahwa
agama dan kitab-kitab sucinya merupakan wahyu ilahi yang tidak perlu bahkan, tidak layak
untuk di pertanyakan. Doktrin agama yang terlalu berlebihan bisa menjadi bumerang bagi
kelanggengan hidup berbangsa dan bernegara.

Agama tidak akan menggantikan hukum sipil dan agama tidak akan menggantikan
hukum positif. Seperti perpecahan kekristenan pada abad ke 15, ketika gereja katolik roma
menjual surat pengakuan dosa (Indulgensia) yang menyebabkan pemberontakan Martin Luther,
sehingga menjadikan kekristenan terpecah menjadi katolik dan protestan. Seperti ketika gereja
berkuasa atas raja-raja di Eropa, tetapi raja Inggris pada satu titik tidak mau berada di bawah
kekuasaan gereja, karena bukan gereja yang berada di atas raja, tetapi raja yang berada di atas
gereja, sehingga raja menunculkan agama yang berada di bawah raja yaitu gereja Anglikan3.
Sama halnya dengan pemikiran Karl Marx yang menganggap gereja “bekerja sama” dengan
kaum kapitalis untuk semakin menekan kaum ploletar, itulah yang membuat Marx dianggap
Atheis karena mengeluarkan pernyataan bahwa agama adalah candu masyarakat “Religion is a
opium of society”. Karena itulah agama dan politik seperti sekeping mata uang yang tak dapat di
pisahkan, kadang mereka saling bertengkar, kadang mereka berkerjasama dan kadang mereka
saling menguasai satu sama lain.
B. Tujuan
*Tujuan makalah ini yaitu untuk mengetahui bagaimana gereja membutuhkan politik dan
sebaliknya

*Agar peserta didik memiliki pengetahuan, keterampilan, dan sikap membangun hidup yang
semakin beriman

*Membantu peserta didik dalam membangun kehidupan beriman bersama Tuhan. Membangun
hidup beriman Kristiani berarti membangun kesetiaan pada Injil Yesus Kristus, yang memiliki
keprihatinan tunggal, yakni Kerajaan Allah

Manfaat yang dapat kita peroleh dari makalah ini adalah

*Mengetahui pengertian dari Gereja dan Politik

*Memahami bagaimana gereja dan politik sama-sama membutuhkan

*Mengetahui peran Gereja terhadap Politik dan sebaliknya


BAB II
ISI
ETIKA POLITIK GEREJA KATOLIK

"Tuhan kita adalah Tuhan yang menyelamatkan dengan tinggal dan berjuang dalam suka
duka hidup kita, begitu pula kita mengikuti Dia bukan dengan menjauh, tetapi dengan berjuang
dalam suka-duka kondisi politik kita dewasa ini."

Kalau ditanya, apa sumbangan hierarki bagi orang Katolik yang terjun dalam bidang politik?
Jawabannya, memberikan etika politik yang sesuai dengan AJARAN SOSIAL GEREJA. Nota
Pastoral Konferensi Waligereja Indonesia bulan November tahun 2003 membahas keadilan
sosial bagi semua dari segi politik dengan mempertimbangkan kenyataan sosial-politik di
Indonesia. KWI menyampaikan beberapa prinsip etika politik sebagai berikut:

1. HORMAT TERHADAP MARTABAT MANUSIA

Prinsip ini menegaskan bahwa manusia mempunyai nilai dalam dirinya sendiri dan tak
pernah boleh diperalat. Bukankah manusia diciptakan menurut citra Allah, diperbarui oleh Yesus
Kristus yang dengan karya penebusan-Nya mengangkat manusia menjadi anak Allah? Istilah
SDM (Sumber Daya manusia) yang sering digunakan tidak boleh mengabaikan kebenaran bahwa
nilai manusia tak hanya terletak dalam kegunaannya. Martabat manusia Indonesia harus dihargai
sepenuhnya dan tak boleh diperalat untuk tujuan apapun, termasuk tujuan politik.

2. KEBEBASAN

Kebebasan adalah hak setiap orang dan kelompok, bebas dari segala bentuk ketidakadilan
dan bebas untuk mengembangkan diri secara penuh. Setiap warga amat membutuhkan kebebasan
dari ancaman dan tekanan, bebas dari kemiskinan yang membelenggunya, dan juga kebebasan
untuk berkembang menjadi manusia seutuhnya. Kekuasaan negara perlu diingatkan akan salah
satu tanggung jawab utamanya untuk melindungi warga negara dari ancaman kekerasan, baik
yang berasal dari sesama warga maupun dan terutama dari kekuasaan negara.

3. KEADILAN

Keadilan merupakan keutamaan yang membuat manusia sanggup memberikan kepada


setiap orang atau pihak lain apa yang merupakan haknya. Dewasa ini, perjuangan untuk
memperkecil kesenjangan sosial-ekonomi semakin mendesak untuk dikedepankan, demikian
juga perjuangan untuk melaksanakan fungsi sosial modal bagi kesejahteraan bersama. Mendesak
juga penggunaan modal untuk pengembangan sektor ekonomi riil, sambil menemukan cara-cara
ajar judi ekonomi dalam bentuk spekulasi keuangan dikontrol untuk mendukung bertumbuh dan
berkembangnya wirausaha-wirausaha kecil dan menengah, menciptakan lembaga dan hukum-
hukum yang adil. Yang tidak kalah mendesak adalah penegakan hukum.
4. SOLIDARITAS

Dalam tradisi Indonesia, sikap solider terungkap dalam semangat gotong royong dan
kekeluargaan yang menurut pepatah lama berbunyi, “ringan sama dijinjing, berat sama dipikul.”
Nilai solidaritas semakin mendesak untuk diwujudkan dalam konteks dunia modern. Untuk
masyarakat di mana banyak orang mengalami perlakuan dan keadaan tidak adil, solider berarti
berdiri pada pihak korban ketidakadilan, termasuk ketidakadilan struktural. Selain itu, perlu
dikembangkan juga solidaritas antar daerah dan usaha untuk mencegah kesempitan egoisme
kelompok.

5. SUBSIDIARITAS

Menjalankan prinsip subsidiaritas berarti menghargai kemampuan setiap manusia, baik


pribadi maupun kelompok untuk mengutamakan usahanya sendiri, sementara pihak yang lebih
kuat siap membantu seperlunya. Apabila kelompok yang lebih kecil dengan kemampuan dan
sarana yang dimiliki bisa menyelesaikan masalah yang dihadapi, kelompok yang lebih besar atau
pemerintah/negara tidak perlu campur tangan. Dalam keadaan kita sekarang, hubungan subsidier
berarti menciptakan relasi baru antara pusat dan daerah dalam hal pembagian tanggung jawab
dan wewenang, hubungan kemitraan dan kesetaraan antara pemerintah, organisasi-organisasi
sosial dan warga negara, kerja sama serasi antara pemerintah dan swasta. Kecenderungan
etatisme yang menonjol dalam Rencana Undang-Undang yang disebarkan di masyarakat dan
Undang-Undang yang disahkan oleh DPR RI akhir-akhir ini berlawanan dengan prinsip
subsidiaritas ini.

6. FAIRNESS

Prinsip fairness atau sikap fair tidak mudah diungkapkan dalam bahasa Indonesia. Prinsip
fairness menjamin terciptanya aturan yang adil dan sikap taat padanya; dihormatinya pribadi dan
nama baik lawan politik; dijaganya pembedaan wilayah privat dari wilayah publik; disadari dan
dilaksanakannya kewajiban sebagai pemenang suatu kontes politik untuk memperjuangkan
kepentingan dan kesejahteraan seluruh rakyat Indonesia.

7. DEMOKRASI

Dalam sistem demokrasi, kedaulatan rakyat berada di tangan rakyat. Demokrasi sebagai
sistem tidak hanya menyangkut hidup kenegaraan, melainkan juga hidup ekonomi, sosial, dan
kultural. Dalam arti itu, demokrasi dimengerti sebagai cara-cara pengorganisasian kehidupan
bersama yang paling mencerminkan kehendak umum dengan tekanan pada peran serta,
perwakilan, dan tanggung jawab. Demokrasi tidak dengan sendirinya menghasilkan apa yang
diharapkan. Di Indonesia, salah satu badan yang paling terlibat dalam pelaksanaan demokrasi
ialah DPR RI dan DPRD. Sesudah Pemilihan Umum 2004, muncul lembaga baru, yaitu DPD
(Dewan Perwakilan Daerah). Ternyata lembaga-lembaga itu kurang berfungsi dalam mewakili
kepentingan masyarakat luas, bahkan dalam banyak hal justru menghambat tercapainya tujuan
demokrasi. Dalam masyarakat kita, tampak kecenderungan meminggirkan kelompok-kelompok
minoritas dengan alasan-alasan yang kurang terpuji. Keputusan yang menyangkut semua warga
negara diambil sekedar atas suara mayoritas, dengan mengabaikan pertimbangan-pertimbangan
yang mendasar, matang, dan berjangka panjang.
8. TANGGUNG JAWAB

Bertanggung jawab berarti mempunyai komitmen penuh pengabdian dalam pelaksanaan


tugas. “Tanggung jawab atas” disertai dengan “tanggung jawab kepada”. Bagi politisi dengan
tanggung jawab berarti kinerja yang sebaik-baiknya demi tercapainya tujuan negara, dan
mempertanggungjawabkan pelaksanaan tugas itu kepada rakyat. Tanggung jawab hanya bisa
dituntut apabila kebijakan umum pemerintah terumus jelas dalam hal prioritas, program, metode,
dan pendasaran filosofisnya. Atas dasar kebijakan umum ini, wakil rakyat dan kelompok-
kelompok masyarakat bisa membuat evaluasi pelaksanaan kinerja pemerintah dan menuntut
pertanggungjawaban. Bagi warga negara, tanggung jawab berarti berperan serta dalam
mewujudkan tujuan negara sesuai dengan kedudukan masing-masing.

Singkatnya, konsep politik menurut ajaran Gereja Katolik itu lugas dan sederhana, hanya
2 kata, yaitu “kesejahteraan umum” (common good, atau bahasa Latin-nya bonum commune).
Politik menurut Gereja Katolik adalah memperjuangkan terwujudnya kesejahteraan bersama itu.
Politik menurut ajaran Gereja Katolik adalah perjuangan untuk membuat kinerja kekuasaan
mengarah pada kesejahteraan bersama. Dalam perjuangan inilah etika politik menjadi amat
penting. Pembusukan politik terjadi persis karena kinerja kekuasaan tak lagi punya kaitan dengan
pencapaian kesejahteraan bersama, dan etika politik dilanggar. Politik menjadi seperti hutan
rimba, mengandaikan siapa yang kuat, dialah yang menang. Dalam pengertian ini, bonum
commune-nya di mana? Tidak ada kan? Nah, menurut saya, hukum rimba politik adalah
kehidupan politik yang telah menjadi busuk. Disebut busuk karena para pemegang kekuasaan
telah melorot jadi makelar, koruptor, buaya darah, perampok, pencuri, dan semacamnya. Artinya,
mereka tidak lagi memakai otoritas untuk mewujudkan kesejahteraan bersama. Maka, kampanye
“jangan pilih politisi busuk” sangat patut didukung. Dalam arti ini, orientasi politik umat Katolik
perlu terarah pada perjuangan untuk mencegah kandidat mana pun yang punya rekor hanya
mengusung kepentingan sempit, sektarian, golongannya sendiri, dan tidak punya rekor
memperjuangkan kepentingan serta kesejahteraan umum secara inklusif. Kepentingan sempit itu
bisa saja kepentingan ekonomi, sosial, etnis, agama, ras, budaya, dan sebagainya.

Melihat situasi sekarang ini, banyak orang Katolik lalu justru menjauh dan tidak mau
terlibat. Padahal, panggilan Kristiani adalah persis terjun ke dalam kondisi carut-marut ini dan
memperjuangkan sekuat tenaga agenda kesejahteraan umum itu. Tuhan kita adalah Tuhan yang
menyelamatkan dengan tinggal dan berjuang dalam suka duka hidup kita, begitu pula kita
mengikuti Dia bukan dengan menjauh, tetapi dengan berjuang dalam suka-duka kondisi politik
kita dewasa ini.
BAB III
PENUTUP
Kesimpulan
Berdasarkan pembahasan diatas maka dapat disimpulkan bahwa gereja membutuhkan
politik untuk menggali pemahaman iman katolik menyangkut politik dan dapat menjadi
pendorong keberanian untuk menerjemahkannya secara pas ke dalam realitas konkret. Artinya,
terurai pemahaman yang jelas dan pasti menyangkut sikap iman untuk menjadikan politik
sebagai keharusan pelayanan. Meningkatkan prakarsa dan partisipasi politik dalam
pengembangan karakter bangsa dan Negara yang beradab dan imaniah. Sedangakan Politik
membutuhkan Gereja untuk menjadi garam dan terang, bertanggung jawab untuk memelihara
dan menumbuhkan kesatuan dan persatuan antara umat yang berbeda agama.
DAFTAR PUSTAKA
____ https://adoc.pub/relasi-gereja-dan-politik-tinjauan-etika-k
____ https://www.google.com/search?client=ms-android-oppo-rvo2&sxsrf
____https://www.google.com/search?q=tujuan+politik+dalam+gereja&client=ms-
android-oppo-rvo2&biw

Anda mungkin juga menyukai