Disusun oleh:
Lisker Siagian (2211230004)
Yingka Sagala (2212530005)
Kami menyadari sepenuhnya bahwa makalah ini masih jauh dari sempurna dikarenakan
terbatasnya pengalaman dan pengetahuan yang kami miliki. Oleh karena itu, kami
mengharapkan segala bentuk saran serta masukan bahkan kritik yang membangun dari berbagai
pihak. Akhirnya kami berharap semoga makalah ini dapat memberikan manfaat bagi
perkembangan dunia pendidikan.
PENDAHULUAN
A. Latar belakang
Agama mendapatkan kekuatan yang terus bertahan dari keyakinan, bahwa yang sakral
berada di belakang norma-norma sosialnya. Durkheim, berpendapat bahwa kekuatan keagamaan
hanyalah sentimen-sentimen yang di inspirasikan oleh kelompok kepada anggotanya, tetapi
diproyeksikan ke luar kesadaran yang di alami mereka dan di manifestasikan, kekuatan
keagamaan bergantung pada hubungan yang tidak dapat di pisahkan antara pandangan dunia
keagamaan dan kelompok-kelompok keagamaan.1 Secara sosio-historis, agama tidak
mendahului politik, tetapi politiklah yang mendahului agama. Agama diperlakukan oleh para
teoretikus sosial sebagai sumber stabilitas politik. Agama harus tetap relevan bagi kehidupan,
tetapi tidak boleh kehilangan nilai-nilai transendensi kehidupannya karena proses peleburan
tersebut yang menyebabkan terjadinya berbagai dinamika politik dan agama.
Agama tanpa adanya rasionalitas dapat menghancurkan sisi kemanusiaan, karena agama
memang bisa menyelamatkan hidup banyak orang, tetapi juga telah banyak dosa yang telah
dilakukan atas nama agama. Agama juga merupakan salah satu kekuatan pemotivasi yang paling
berbahaya dalam perilaku manusia, hal itu terjadi karena agama merupakan memori kolektif dan
politik merupakan tindakan kolektif. Keduanya adalah sumber identitas, norma-norma, dan
batas-batas. Ketika mereka hampir tidak dapat dibedakan dalam sebuah budaya politik, yakni
ketika politik menjadi bersifat penyelamatan dan agama semata-mata menjadi instrumen negara,
lahirlah sistem totaliter yang paling represif.2 Bukan saja ketakutan pada ancaman kekuasaan
yang besar kalau mereka tidak patuh, tapi terutama ketakutan untuk bertanggungjawab, karena
itulah banyak manusia, sadar atau tidak sadar, cenderung menyerahkan kebebasannya kepada
kekuasaan. Seperti pada agama, di mana manusia merasa sudah selesai kalau dia mengikuti saja
ajaran agama tanpa bertanya dan manusia ini membenarkan dirinya dengan mengatakan bahwa
agama dan kitab-kitab sucinya merupakan wahyu ilahi yang tidak perlu bahkan, tidak layak
untuk di pertanyakan. Doktrin agama yang terlalu berlebihan bisa menjadi bumerang bagi
kelanggengan hidup berbangsa dan bernegara.
Agama tidak akan menggantikan hukum sipil dan agama tidak akan menggantikan
hukum positif. Seperti perpecahan kekristenan pada abad ke 15, ketika gereja katolik roma
menjual surat pengakuan dosa (Indulgensia) yang menyebabkan pemberontakan Martin Luther,
sehingga menjadikan kekristenan terpecah menjadi katolik dan protestan. Seperti ketika gereja
berkuasa atas raja-raja di Eropa, tetapi raja Inggris pada satu titik tidak mau berada di bawah
kekuasaan gereja, karena bukan gereja yang berada di atas raja, tetapi raja yang berada di atas
gereja, sehingga raja menunculkan agama yang berada di bawah raja yaitu gereja Anglikan3.
Sama halnya dengan pemikiran Karl Marx yang menganggap gereja “bekerja sama” dengan
kaum kapitalis untuk semakin menekan kaum ploletar, itulah yang membuat Marx dianggap
Atheis karena mengeluarkan pernyataan bahwa agama adalah candu masyarakat “Religion is a
opium of society”. Karena itulah agama dan politik seperti sekeping mata uang yang tak dapat di
pisahkan, kadang mereka saling bertengkar, kadang mereka berkerjasama dan kadang mereka
saling menguasai satu sama lain.
B. Tujuan
*Tujuan makalah ini yaitu untuk mengetahui bagaimana gereja membutuhkan politik dan
sebaliknya
*Agar peserta didik memiliki pengetahuan, keterampilan, dan sikap membangun hidup yang
semakin beriman
*Membantu peserta didik dalam membangun kehidupan beriman bersama Tuhan. Membangun
hidup beriman Kristiani berarti membangun kesetiaan pada Injil Yesus Kristus, yang memiliki
keprihatinan tunggal, yakni Kerajaan Allah
"Tuhan kita adalah Tuhan yang menyelamatkan dengan tinggal dan berjuang dalam suka
duka hidup kita, begitu pula kita mengikuti Dia bukan dengan menjauh, tetapi dengan berjuang
dalam suka-duka kondisi politik kita dewasa ini."
Kalau ditanya, apa sumbangan hierarki bagi orang Katolik yang terjun dalam bidang politik?
Jawabannya, memberikan etika politik yang sesuai dengan AJARAN SOSIAL GEREJA. Nota
Pastoral Konferensi Waligereja Indonesia bulan November tahun 2003 membahas keadilan
sosial bagi semua dari segi politik dengan mempertimbangkan kenyataan sosial-politik di
Indonesia. KWI menyampaikan beberapa prinsip etika politik sebagai berikut:
Prinsip ini menegaskan bahwa manusia mempunyai nilai dalam dirinya sendiri dan tak
pernah boleh diperalat. Bukankah manusia diciptakan menurut citra Allah, diperbarui oleh Yesus
Kristus yang dengan karya penebusan-Nya mengangkat manusia menjadi anak Allah? Istilah
SDM (Sumber Daya manusia) yang sering digunakan tidak boleh mengabaikan kebenaran bahwa
nilai manusia tak hanya terletak dalam kegunaannya. Martabat manusia Indonesia harus dihargai
sepenuhnya dan tak boleh diperalat untuk tujuan apapun, termasuk tujuan politik.
2. KEBEBASAN
Kebebasan adalah hak setiap orang dan kelompok, bebas dari segala bentuk ketidakadilan
dan bebas untuk mengembangkan diri secara penuh. Setiap warga amat membutuhkan kebebasan
dari ancaman dan tekanan, bebas dari kemiskinan yang membelenggunya, dan juga kebebasan
untuk berkembang menjadi manusia seutuhnya. Kekuasaan negara perlu diingatkan akan salah
satu tanggung jawab utamanya untuk melindungi warga negara dari ancaman kekerasan, baik
yang berasal dari sesama warga maupun dan terutama dari kekuasaan negara.
3. KEADILAN
Dalam tradisi Indonesia, sikap solider terungkap dalam semangat gotong royong dan
kekeluargaan yang menurut pepatah lama berbunyi, “ringan sama dijinjing, berat sama dipikul.”
Nilai solidaritas semakin mendesak untuk diwujudkan dalam konteks dunia modern. Untuk
masyarakat di mana banyak orang mengalami perlakuan dan keadaan tidak adil, solider berarti
berdiri pada pihak korban ketidakadilan, termasuk ketidakadilan struktural. Selain itu, perlu
dikembangkan juga solidaritas antar daerah dan usaha untuk mencegah kesempitan egoisme
kelompok.
5. SUBSIDIARITAS
6. FAIRNESS
Prinsip fairness atau sikap fair tidak mudah diungkapkan dalam bahasa Indonesia. Prinsip
fairness menjamin terciptanya aturan yang adil dan sikap taat padanya; dihormatinya pribadi dan
nama baik lawan politik; dijaganya pembedaan wilayah privat dari wilayah publik; disadari dan
dilaksanakannya kewajiban sebagai pemenang suatu kontes politik untuk memperjuangkan
kepentingan dan kesejahteraan seluruh rakyat Indonesia.
7. DEMOKRASI
Dalam sistem demokrasi, kedaulatan rakyat berada di tangan rakyat. Demokrasi sebagai
sistem tidak hanya menyangkut hidup kenegaraan, melainkan juga hidup ekonomi, sosial, dan
kultural. Dalam arti itu, demokrasi dimengerti sebagai cara-cara pengorganisasian kehidupan
bersama yang paling mencerminkan kehendak umum dengan tekanan pada peran serta,
perwakilan, dan tanggung jawab. Demokrasi tidak dengan sendirinya menghasilkan apa yang
diharapkan. Di Indonesia, salah satu badan yang paling terlibat dalam pelaksanaan demokrasi
ialah DPR RI dan DPRD. Sesudah Pemilihan Umum 2004, muncul lembaga baru, yaitu DPD
(Dewan Perwakilan Daerah). Ternyata lembaga-lembaga itu kurang berfungsi dalam mewakili
kepentingan masyarakat luas, bahkan dalam banyak hal justru menghambat tercapainya tujuan
demokrasi. Dalam masyarakat kita, tampak kecenderungan meminggirkan kelompok-kelompok
minoritas dengan alasan-alasan yang kurang terpuji. Keputusan yang menyangkut semua warga
negara diambil sekedar atas suara mayoritas, dengan mengabaikan pertimbangan-pertimbangan
yang mendasar, matang, dan berjangka panjang.
8. TANGGUNG JAWAB
Singkatnya, konsep politik menurut ajaran Gereja Katolik itu lugas dan sederhana, hanya
2 kata, yaitu “kesejahteraan umum” (common good, atau bahasa Latin-nya bonum commune).
Politik menurut Gereja Katolik adalah memperjuangkan terwujudnya kesejahteraan bersama itu.
Politik menurut ajaran Gereja Katolik adalah perjuangan untuk membuat kinerja kekuasaan
mengarah pada kesejahteraan bersama. Dalam perjuangan inilah etika politik menjadi amat
penting. Pembusukan politik terjadi persis karena kinerja kekuasaan tak lagi punya kaitan dengan
pencapaian kesejahteraan bersama, dan etika politik dilanggar. Politik menjadi seperti hutan
rimba, mengandaikan siapa yang kuat, dialah yang menang. Dalam pengertian ini, bonum
commune-nya di mana? Tidak ada kan? Nah, menurut saya, hukum rimba politik adalah
kehidupan politik yang telah menjadi busuk. Disebut busuk karena para pemegang kekuasaan
telah melorot jadi makelar, koruptor, buaya darah, perampok, pencuri, dan semacamnya. Artinya,
mereka tidak lagi memakai otoritas untuk mewujudkan kesejahteraan bersama. Maka, kampanye
“jangan pilih politisi busuk” sangat patut didukung. Dalam arti ini, orientasi politik umat Katolik
perlu terarah pada perjuangan untuk mencegah kandidat mana pun yang punya rekor hanya
mengusung kepentingan sempit, sektarian, golongannya sendiri, dan tidak punya rekor
memperjuangkan kepentingan serta kesejahteraan umum secara inklusif. Kepentingan sempit itu
bisa saja kepentingan ekonomi, sosial, etnis, agama, ras, budaya, dan sebagainya.
Melihat situasi sekarang ini, banyak orang Katolik lalu justru menjauh dan tidak mau
terlibat. Padahal, panggilan Kristiani adalah persis terjun ke dalam kondisi carut-marut ini dan
memperjuangkan sekuat tenaga agenda kesejahteraan umum itu. Tuhan kita adalah Tuhan yang
menyelamatkan dengan tinggal dan berjuang dalam suka duka hidup kita, begitu pula kita
mengikuti Dia bukan dengan menjauh, tetapi dengan berjuang dalam suka-duka kondisi politik
kita dewasa ini.
BAB III
PENUTUP
Kesimpulan
Berdasarkan pembahasan diatas maka dapat disimpulkan bahwa gereja membutuhkan
politik untuk menggali pemahaman iman katolik menyangkut politik dan dapat menjadi
pendorong keberanian untuk menerjemahkannya secara pas ke dalam realitas konkret. Artinya,
terurai pemahaman yang jelas dan pasti menyangkut sikap iman untuk menjadikan politik
sebagai keharusan pelayanan. Meningkatkan prakarsa dan partisipasi politik dalam
pengembangan karakter bangsa dan Negara yang beradab dan imaniah. Sedangakan Politik
membutuhkan Gereja untuk menjadi garam dan terang, bertanggung jawab untuk memelihara
dan menumbuhkan kesatuan dan persatuan antara umat yang berbeda agama.
DAFTAR PUSTAKA
____ https://adoc.pub/relasi-gereja-dan-politik-tinjauan-etika-k
____ https://www.google.com/search?client=ms-android-oppo-rvo2&sxsrf
____https://www.google.com/search?q=tujuan+politik+dalam+gereja&client=ms-
android-oppo-rvo2&biw