Disusun oleh :
KELOMPOK 9
Ahmad Sohibul Kahfi (F1A020009)
Anggoro Putra Purwoto (F1A020018)
Auha Aziliya (F1A020027)
Baiq Sulistia Furwati (F1A020045)
Dindo Rahmansyah (F1A020054)
FAKULTAS TEKNIK
UNIVERSITAS MATARAM
2021
KATA PENGANTAR
Puji syukur kehadirat Allah SWT yang telah memberikan rahmat dan hidayahnya sehingga
kami dapat menyelesaikan tugas makalah kami yang berjudul Manusia dan Peradaban ini tepat
pada waktunya. Adapun tujuan dari penulisan makalah ini adalah untuk memenuhi tugas dosen
pada mata kuliah Ilmu Sosial dan Budaya Dasar. Selain itu, makalah ini bertujuan untuk
menambah wawasan tentang Manusia dan Peradaban bagi para pembaca dan juga kami sendiri.
Kami menyadari makalah yang kami buat ini masih jauh dari kata sempurna. Oleh karena
itu, kritik dan saran yang membangun akan kami nantikan demi kesempurnaan makalah ini.
Penyu
DAFTAR ISI
Halaman
COVER...........................................................................................................................i
DAFTAR ISI..................................................................................................................ii
KATA PENGANTAR..................................................................................................iii
BAB I PENDAHULUAN...............................................................................................1
BAB II PEMBAHASAN................................................................................................3
3.1 Kesimpulan.............................................................................................................13
3.2 Saran.......................................................................................................................14
DAFTAR PUSTAKA...................................................................................................15
BAB I
PENDAHULUAN
1.1 Latar Belakang
Kita mengenal Indonesia sebagai negara pluralis, di mana kemajemukan hadir dan
berkembang di dalamnya. Sebut saja, suku, ras, budaya, bahkan agama. Kemajemukan yang
terjadi di Indonesia pun tidak terlepas dari kemajuan di berbagai bidang ilmu yang menyentuh
berbagai sendi kehidupan masyarakat Indonesia. Kemajemukan itu telah membawa akibat yaitu
adanya perjumpaan yang semakin intensif antar kelompok kelompok manusia. Salah satunya
adalah pergesekan yang seringkali terjadi di antara agama-agama yang berbeda. Ketika keyakinan
terhadap suatu agama itu cenderung dimutlakkan maka akan sangat berpotensi pada timbulnya
pergesekan atau ketegangan. Apabila hal itu tidak segera diatasi maka semakin lama akan terjadi
benturan yang mengakibatkan terpecah belahnya serta perusakan-perusakan kehidupan manusia
serta mengancam kemajemukan yang telah ada. Ketika memfokuskan pada agama, maka
sesungguhnya ada fenomena yang menarik dalam hubungan antar umat beragama di Indonesia.
Fenomena menarik karena sebagian besar masyarakat Indonesia senantiasa mengkondisikan
dirinya dalam hubungan mayoritas-minoritas, apalagi ketika hal itu dikaitkan dengan urusan
agama. Hal itu sudah terbukti dalam sejarah perjalanan bangsa yang panjang serta pengalaman-
pengalaman konkrit yang hadir dalam realitas masyarakat Indonesia. Realitas itu nampak kembali
melalui peristiwa-peristiwa kemanusiaan yang kini tengah dihadapi oleh seluruh lapisan
masyarakat Indonesia. Meningkatnya radikalisme dalam agama di Indonesia menjadi fenomena
sekaligus bukti nyata yang tidak bisa begitu saja diabaikan ataupun dihilangkan. Radikalisme
keagamaan yang semakin meningkat di Indonesia ini ditandai dengan berbagai aksi kekerasan dan
teror. Aksi tersebut telah menyedot banyak potensi dan energi kemanusiaan serta telah merenggut
hak hidup orang banyak termasuk orang yang sama sekali tidak mengerti mengenai permasalahan
ini. Meski berbagai seminar dan dialog telah digelar untuk mengupas persoalan ini yaitu mulai dari
pencarian sebab hingga sampai pada penawaran solusi, namun tidak juga kunjung memperlihatkan
adanya suatu
titik terang. Fenomena tindak radikalisme dalam agama memang bisa dipahami secara
beragam, namun secara esensial, radikalisme agama umumnya memang selalu dikaitkan dengan
pertentangan secara tajam antara nilai-nilai yang diperjuangkan kelompok agama tertentu dengan
tatanan nilai yang berlaku atau dipandang mapan pada saat itu. Dengan demikian, adanya
pertentangan, pergesekan ataupun ketegangan, pada akhirnya menyebabkan konsep dari
radikalisme selalu saja dikonotasikan dengan kekerasan fisik. Apalagi realitas yang saat ini telah
terjadi dalam kehidupan masyarakat Indonesia sangat mendukung dan semakin memperkuat
munculnya pemahaman seperti itu.
Dalam bahasa manusia diartikan sebagai makhluk yang berpikir dan berakal budi.
Sedangkan secara istilah manusia merupakan konsep atau gagasan yang ada dalam suatu
kelompok tertentu.
Adapun beberapa pendapat mengenai definisi dari manusia itu sendiri.
Menurut Paula J. C. & Janet W. K. Manusia merupakan makhluk yang terbuka, bebas memilih
makna di dalam setiap situasi, mengemban tanggung jawab atas setiap keputusan, yang hidup
secara berkelanjutan, serta turut menyusun pola hubungan antar sesama dan unggul
multidimensional dengan berbagai kemungkinan.
3. Kees Bertens
Menurut Kees Bertens, manusia adalah setiap makhluk yang terdiri dari dua unsur yang satuannya
tidak dapat dinyatakan dalam bentuk apapun.
4. Upanisads
Menurut Upanisads, manusia merupakan sebuah kombinasi dari beberapa unsur kehidupan seperti
roh (atman), pikiran, jiwa, dan prana (tubuh / fisik).
Adapun makna radikalime itu sendiri, radikalisme dalam artian bahasa berarti paham atau
aliran yang mengingikan perubahan atau pembaharuan social dan politikdengan cara kekerasan
atau drastis. Namun, dalam artian lain, esensi radikalisme adalah konsep sikap jiwa dalam
mengusung perubahan. Sementara itu radikalisme menurut pengertian lain adalah inti dari
perubahan itu cenderung menggunakan kekerasan.
Yang dimaksud dengan radikalisme adalah gerakan yang berpandangan kolot dan sering
menggunakan kekerasan dalam mengajarkan keyakinan mereka. Sementara Islam merupakan
agama kedamaian yang mengajarkan sikap berdamai dan mencari perdamaian. Islam tidak pernah
membenarkan praktek penggunaan
kekerasan dalam menyebarkan agama, paham keagamaan serta paham politik.
2.2 Cara Pencegahan Radikalisme Di Kalangan Muda
Pada masa remaja (15-18 tahun) yang merupakan masa peralihan antara masa kehidupan
anak-anak dan masa kehidupan orang dewasa. Pada tahapan ini remaja patuh terhadap pendapat
dan kepercayaan orang lain. Pada tahap ini remaja cenderung ingin mempelajari sistem
kepercayaannya dari orang lain di sekitarnya dan menerima sistem kepercayaan tersebut tanpa
diikuti dengan sikap kritis dalam meyakininya.
Virus ekstrim radikalisme secara tidak sadar terus diberikan di lingkungan sekolah. Pelajar
disiapkan menjadi garda depan kekuatan untuk merealisasikan faham radikalisme di masa
mendatang . Tindak kekerasan radikalisme yang timbul kian marak beredar melalui sosial media.
Perubahan sikap pelajar yang terlibat aksi kekerasan, tawuran, pembullyan, premanisme terhadap
teman, pemicunya karena tidak sepaham.
penyebar benih paham radikalisme dan menjadi penangkal Islam radikal. Studi-studi
mengajarkan fundamentalisme dan radikalisme kepada para peserta didik. Saat ini, pada
sekolah formal juga mulai mengajarkan elemen-elemen Islam radikal. Peran sekolah dan
lembaga pendidikan sangat penting dalam menghentikan laju radikalisme Islam. Dilihat dari
fenomena yang ada, ternyata peranan guru agama Islam di sekolah itu sangat penting dalam
meningkatkan pemahaman akidah peserta didik, agar peserta didik mengetahui keyakinan dalam
menjalankan syariat Islam dengan benar serta mampu menyaring ajaran-ajaran yang bertolak
Radikalisme menjadi ancaman bagi para pelajar jikalau faham radikalisme ini dibiarkan.
Untuk itu peran sekolah dan keluarga sangat dibutuhkan dalam upaya pencegahan dan
pemberantasan faham radikalisme masuk ke dalam pelajar / lingkungan sekolah. Hal pertama
yang harus dilakukan adalah memperkuat pendidikan Pancasila dan Kewarganegaraan dengan
cinta NKRI. Paham radikalisme bertentangan dengan Pancasila yang mengajarkan nilai-nilai
kemanusiaan untuk menjadi warga negara yang baik. Tidak hanya sekedar teori saja melainkan
juga dalam praktek, penerapan dalam kehidupannya. Pancasila yang nota bene menjadi dasar
Negara kita akan mengajarkan cinta NKRI/Negara Kesatuan Republik Indonesia. Dan dengan
semangat Nasionalisme yang tinggi, cinta NKRI akan bisa mencegah radikalisme untuk masuk ke
dalam lingkungan sekolah / madrasah .
Hal terpenting dalam permasalahan ini yaitu identitas diri. Identitas diri merupakan
kesadaran individu untuk menempatkan diri dan memberikan arti pada dirinya dengan tepat
didalam konteks kehidupan. Identitas diri juga merupakan suatu hal yang ada didalam diri
individu yang meliputi adanya harapan, sehingga individu mampu untuk merumuskan cita-cita
untuk masa depannya. Identitas diri menjadi fokus dalam konteks ini karena dari identitas
diri tersebut remaja mampu mengelola dirinya dengan cara yang positif. Sehingga tidak mudah
masuknya pengaruh doktrin-doktrin radikal dan akan memunculkan tindakan yang radikal.
2.3 Kemunculan Radikalisme dan Factor-faktor Multidemonsial Yang Mengintegrasi Dengan Aksi
Kekerasan
Agama adalah pedoman hidup yang diberikan Tuhan kepada umat manusia, agar kehidupan
mereka di dunia menjadi sejahtera, dan mereka akan selamat kelak di akhirat. Doktrin- doktrin
agama bersifat ideal dan menghendaki para pemeluknya mengamalkan doktrin tersebut dalam
bentuk yang paling baik. Namun terkadang pengamalannya jauh dari bentuk ideal yang
dikehendaki agama tersebut. Seringkali agama manampakkan diri sebagai sesuatu yang
berwajah ganda, dalam arti bahwa wujud dari pengamalan ajaran suatu agama berbeda jauh
dari ajaran yang sebenarnya diinginkan oleh agama itu sendiri. Semua agama menyerukan
perdamaian, persatuan dan persaudaraan. Akan tetapi pada tataran pengamalan, agama
menampakkan diri sebagai kekuatan yang garang, beringas, penyebar konflik, bahkaN
terkadang sampai menimbulkan peperangan. Agama bisa dijadikan sebagai faktor pemersatu
atau bahkan menjadi penyebab perpecahan.
Fenomena tindak radikalisme dalam agama memang bisa dipaham secara beragama, namun
secara ensensial, radikalisme agama umunya memang selalu dikaitkan dengan pertentangan
secara tajam anatara nilai-nilai yang diperjuangkan kelompok agama tertentu dengan tatanan
nilai yang berlaku atau dipandang mapan pada saat itu. Dengan demikian, adanya pertentangan,
pergesekan ataupun ketegangan, pada akhirnya menyebabkan konsep dari radikalisme selalu saja
dikonotasikan dengan kekerasan fisik. Apalagi realitas yang saat ini telah terjadi dalam kehidupan
masyarakat Indonesia sangat mendukung dan semakin memperkuat munculnya pemahaman
seperti itu.
Gerakan radikalisme sesungguhnya bukan sebuah gerakan yang muncul begitu saja tetapi
mempunyai latar belakang yang sekaligurs menjadi faktor pendorong munculnya gerakan
radikalisme.
1. Faktor Sosial-Politik
Gejala kekerasan “agama” lebih tepat dilihat sebagai gejala sosial-politik daripada gejala
keagamaan. Gerakan yang secara salah oleh Barat disebut sebagai radikalisme itu lebih tepat
dilihat akar permasalahannya oleh sudut konteks sosial- politik dalam kerangka historisitas
manusia yang ada di masyarakat. Secara historis kita bisa melihat bahwa konflik-konflik yang
ditimbulkan oleh kalangan radikal dengan seperangkat alat kekerasannya dalam menentang dan
membenturkan diri dengan kelompok lainnya ternyata lebih berakar pada masalah sosial-politik.
Dengan membawa bahasa dan simbol serta slogan-slogan agama, kaum radikalis mencoba
menyentuh emosi keagamaan dan menggalang kekuatan untuk mencapai tujuan “mulia” dari
politiknya.
Harus diakui bahwa salah satu penyebab gerakan radikalisme adalah faktor sentiment
keagamaan, termasuk didalamnya adalah solidaritas keagamaan untuk kawan yang tertindas
oleh kekuatan tertentu. Tetapi hal ini lebih tepat dikatakan sebagai faktor emosi
keagamaannya, dan bukan agama (wahyu suci yang obsolut) walaupun gerakan radikalisme selalu
mengibarkan bendera dan simbol agama seperti dahil membela agama, jihad dan mati syahid.
Dalam konteks ini yang dimaksud dengan emosi keagamaan adalah agama sebagai pemahaman
realitas yang sifatnya interpretative. Jadi sifatnya nisbi dan subjektif.
3. Faktor-faktor Kultural
Ini juga memiliki andil yang cukup besar yang melatar belakangi munculnya radikalisme.
Hal ini wajar karena memang secara kultural didalam masyarakat selalu ditemukan usaha untuk
melepaskan diri dari jeratan jarring-jaring kebudayaan tertentu yang dianggap tidak sesuai.
Sedangkan yang dimaksud faktor kultural disini adalah sebagai anti tesa terhadap budaya
sekularisme. Badaya barat merupakan sumber sakularisme yang dianggap sebagai musuh yang
harus dihilangkan dari bumi. Sedangkan faktor sejarah memperlihatkan adanya dominasi Barat
dari berbagai aspeknya atas negara-negara dan budaya. Peradaban barat sekarang ini merupakan
ekspresi dominan dan universal umat manusia yang telah dengan sengaja melakukan proses
merjinalisasi seluruh sendi-sendi kehidupan.
Motivasi dan gerakan anti Barat tidak bisa disalahkan dengan alasan keyakinan
keagamaan tetapi jalan kekerasan yang ditempuh kaum radikalisme justru menunjukkan
ketidakmampuan mereka dalam memprosisikan diri sebagai pesaing dalam budaya dan
peradaban.
Indonesia bukanlah negara teokrasi yang menjadikan ajaran Islam sebagai konstitusinya,
sebab di samping umat Islam yang merupakan mayoritas, terdapat pula pemeluk agama lain
yang juga menjadi pemilik sah negeri ini. Indonesia juga bukan negara sekuler, karena agama
dipandang sebagai salah satu modal pembangunan, dan berperan dalam kehidupan sosial
bangsa Indonesia. Indonesia adalah negara yang berdasarkan Pancasila yang berdasarkan
Ketuhanan Yang Maha Esa yang mengakui enam agama sebagai agama yang sah untuk
dipeluk oleh warga negaranya, dan masih ada pula kepercayaan lokal yang tumbuh dengan
subur di negeri ini. Keenam agama tersebut adalah Islam, Kristen, Katolik, Hindu, Budha dan
Khong Hu Cu.
Tragedi yang menimpa warga Ahmadiyah, Syiah, dan konflik agama yang sering terjadi
telah menodai harmoni kehidupan keberagamaan. Kilas balik dari kekerasan yang pernah terjadi
lebih kejam berlangsung dalam konflik antaretnis dan antaragama, seperti Pontianak, Sampit,
Ambon, dan Poso. Bahkan, dalam beberapa bulan terakhir, menguatnya kembali isu tindakan
radikalisme agama yang ditandai dengan kehadiran gerakan ISIS yang terus merebak di beberapa
wilayah nusantara, menggejolaknya ancaman terorisme Poso, adanya pencekalan akibat
penggunaan nama Muhammad dan Ali di bandara yang diidentikan dengan teroris, semakin
memperuncing ketidakstabilan kehidupan keberagamaan dan bangsa.
2.4 Pentingnya Pengetahuan Tentang Radikalisme
DAFTAR PUSTAKA
https://mfr.osf.io/export?format=pdf&url=https
%3A//files.osf.io/v1/resources/rf46c/providers/osfstorage/5d0f0073693ba800188d3665%3Fforma
t%3Dpdf%26action%3Ddownload%26direct%26version%3D2
http://ejournal.radenintan.ac.id/index.php/alAdyan/article/download/1436/1152
http://repository.untag-sby.ac.id/1780/2/BAB%20I.pdf
http://ejournal.radenintan.ac.id/index.php/KALAM/article/download/330/186