Anda di halaman 1dari 19

ISLAM DAN MULTIKULTURAL

Tugas ini Disusun untuk memenuhi Tugas Mata Kuliah

Pendidikan Multikultural

Dosen Pengampu : Ahmad Atho`ul Karim, M.Pd

Disusun Oleh :

Cintami Murti
Nim.210101158

MANAJEMEN PENDIDIKAN ISLAM

FAKULTAS TARBIYAH

SEKOLAH TINGGI AGAMA ISLAM (STAI)

MIFTAHUL’ULUM MUKOMUKO

2023
KATA PENGANTAR

Puji syukur kita ucapkan kehadirat Allah SWT atas limpahan rahmat,
taufik hidayahnya serta nikmat sehat sehingga penyusunan makalah Pendidikan
Multikultursl guna memenuhi tugas sesuai dengan yang di harapkan.Saya
mengucapkan terimakasih kepada semua pihak yang telah membantu sehingga
makalah ini dapat diselesaikan tepat pada waktunya.

Semoga makalah ini dapat memberikan manfaat dan berguna bagi


khalayak umum, dan tidak lupa saya memohon maaf apabila dalam penyusunan
makalah ini terdapat kesalahan baik dalam kosa kata ataupun isi dari keseluruhan
makalah ini.Kami sebagai penulis sadar bahwa makalah ini masih jauh dari kata
sempurna.

Penarik, 09 November 2023

Penyusun

i
DAFTAR ISI

KATA PENGANTAR ............................................................................... i

DAFTAR ISI .............................................................................................. ii

BAB I PENDAHULUAN .......................................................................... 1

A. Latar Belakang .............................................................................. 1


B. Rumusan Masalah......................................................................... 2
C. Tujuan ............................................................................................ 3

BAB II PEMBAHASAN ........................................................................... 4

1. Islam dan Kemajemukan ............................................................. 4


2. Islam dan Demokrasi .................................................................... 7
3. Islam dan Keadilan Sosial ............................................................ 9
4. Islam dan Ham .............................................................................. 10
5. Islam dan Kesetaraan Manusia ................................................... 12

BAB III PENUTUP ................................................................................... 14

A. Kesimpulan .................................................................................... 14

DAFTAR PUSTAKA ................................................................................ 16

ii
BAB I

PENDAHULUAN

A. LATAR BELAKANG
Perbedaan adalah kodrat makhluk. Sejak pertama, Tuhan menciptakan
makhluk dengan membawa sifat masing-masing yang berbeda antara satu
dengan yang lainnya. Bahkan dalam jenis makhluk yang sama pun, Tuhan
telah menciptakan perbedaan.Perbedaan ini dengan tujuan agar mereka
saling berkenalan dan saling memahami. Dalam bahasa lain, umat manusia
diperintahkan oleh Tuhan untuk saling menghormati perbedaan yang ada
di antara mereka, karena perbedaan adalah pembawaan dasar mereka.
Karenanya, tata nilai universal yang ada pada manusia sejak dahulu
sampai sekarang tetap dan memiliki kesamaan. Namun dalam realita
kehidupan yang sudah diperankan umat manusia, kodrat manusia yang
semestinya bisa dipahami ini, selalu mengalami „kebuntuan‟ kalau tidak
bisa dikatakan mengalami „kegagalan‟ sampai saat ini. Fenomena ini
membuat sebagian orang pesimis atas fungsi dan peran agama, sehingga
semakin mempersulit upaya untuk mendekatkan agama dengan
keberagaman (perbedaan). Akan tetapi, dalam kenyataannya - posisi
agama tentunya akan lebih kuat dari pada pesimisme.1
Tema ini diangkat sekadar untuk memberikan gambaran singkat
bahwa Islam merupakan agama yang sangat menjunjung tinggi nilai-nilai
perbedaan, baik perbedaan yang berhubungan dengan suku, agama, ras,
maupun antar golongan (SARA). Islam sejak kelahirannya selalu berdialog
secara harmonis dengan berbagai perbedaan yang ada pada manusia.
Kaum muslim dilarang memaksakan „keyakinan/aqidah‟ mereka kepada
umat lain pemeluk agama non-Islam. Aqidah saja tidak boleh dipaksakan
apalagi yang selain aqidah? Dalam salah satu ayat al-Quran,Allah dengan
sangat terang benderang melarang pemaksaan dalam menganut keyakinan

1
Ahmad Al-Nadawi, Ali. Al-Qawa‟id al-Fiqhiyyah, Damaskus: Dar al-Qalam, 1994.

1
2

beragama (QS.Al-Baqarah : 256), termasuk beragama Islam. Memilih


agama adalah hak dasar umat manusia, tidak boleh ada unsur pemaksaan.

Disadari atau tidak, persoalan demokrasi sekarang ini merupakan


wacana yang begitu sering diucapkan manusia di berbagai forum
internsional, regional, nasional dan bahkan lokal. Gejala yang demikian
berarti menunjukkan adanya apresiasi dari manusia terhadap persoalan
tersebut. Apakah apresiasi itu terjadi secara sukarela atau paksaan tentu
harus ada pengujian lebih lanjut. Yang terang adalah, sementara ini ada
penilain yang positif dan plus terhadap wacana demokrasi.

Sebagai bagian dari kebudayaan dunia, Islam, tidak bisa


melepaskan diri dari persoalan tersebut. Apalagi selama ini ada klaim-
klaim yang menunjukkan bahwa Islam bukanlah semata sebagai agama
melainkan sebagai sistem kehidupan. Islam meliputi pesoalan-persoalan
keseluruhan bidang dari kehidupan manusia. Islam adalah orde sosial yang
memuat pokok-pokok dari kehidupan manusia.Namun demikian,
sekarang, Islam dihadapkan pada kenyataan sosial yang terjadi di
lingkungan negara-negara Islam sendiri berkaitan atau dihadapkan dengan
wacana demokrasi.2

B. RUMUSAN MASALAH

1. Apa itu Islam dan Kemajemukan ?


2. Apa itu Islam dan Demokrasi ?
3. Apa itu Islam dan Keadilan Sosial?
4. Apa itu Islam dan HAM ?
5. Apa itu Islam dan Kesetaraan Manusia?

2
Hussein Alatas, The Democracy of Islam, Bandung: W. Van Hoeve Ltd.-The Hague
And Bandung, 1956, hal. 38.
3

C. TUJUAN

1. Untuk mengetahui Apa itu Islam dan Kemajemukan.


2. Untuk mengetahui Apa itu Islam dan Demokrasi.
3. Untuk mengetahui Apa itu Islam dan Keadilan Sosial.
4. Untuk mengetahui Apa itu Islam dan HAM.
5. Untuk mengetahui Apa itu Islam dan Kesetaraan Manusia.
BAB II

PEMBAHASAN

1. Islam dan Kemajemukan


a. Keberagaman Agama Di Indonesia : Pemicu Konflik ?
Demokrasi tanpa toleransi akan melahirkan tatanan politik yang
otoritarianistik, sedangkan toleransi tanpa demokrasi akan melahirkan
toleransi yang rentan konflik-konflik komunal. Oleh sebab itu, demokrasi
dan toleransi harus terkait klindan, baik dalam komunitas masyarakat
politik maupun masyarakat sipil.3
Untuk itu toleransi perlu dikembangkan,dan cara mengembangkan
toleransi dilakukan melalui dua pendekatan, yaitu pendekatan sistem sosial
dan sistem budaya. Pendekatan sistem sosial dilakukan melalui inter-group
relation, yaitu hubungan antara anggota-anggota dari berbagai kelompok
(etnik dan agama) untuk meningkatkan integrasi di antara mereka.
Dengan adanya inter-group relation ini dapat pula menetralisir
konflik-konflik di antara kelompok, karena setiap anggota kelompok tidak
akan memiliki loyalitas tunggal dalam suatu kelompok tertentu, namun
sebaliknya loyalitas mereka ganda berdasarkan kelompok-kelompok yang
mereka masuki. Dengan demikian kekhawatiran akan terjadi fanatisme
sempit, sentimen-sentimen primordial juga akan dapat dinetralisir karena
kegandaan loyalitas yang dimiliki oleh masing masing anggota kelompok.
Kedua, pendekatan sistem budaya. Dalam pendekatan ini
menegaskan bahwa masyarakat majemuk dapat bersatu melalui
penganutan nilai-nilai umum yang berlaku bagi semua anggota
masyarakat. Nilai-nilai umum ini sebagai perekat bagi kelompok-
kelompok dalam kehidupan masyarakat. Nilai-nilai umum itu bersumber
pada budaya dominan masyarakat multi etnik yang menjadi acuan perilaku
yang terpola. Melalui kedua pendekatan tersebut diharapkan dapat
meningkatkan toleransi untuk memperkuat ketahanan sosial masyarakat.

3
Rahmat, Jalaludin. Islam Aktual. Cetakan II . Bandung: Al-Mizan, 1991.

4
5

Berbagai konflik yang terjadi di Indonesia selama ini selalu ditarik


ke arah isu agama atau suku. Dua hal ini sangatlah efektif untuk
mengkapitalisasi konflik menjadi lebih besar dan menarik keterlibatan
berbagai pihak, baik lokal maupun regional, baik langsung maupun tidak
langsung.
Mengapa agama sering dijadikan kata kunci yang efektif untuk
mengembangkan dan memperluas konflik ? Menurut Johari Efendi,ada
beberapa hal yang mungkin dapat menjawab pertanyaan ini, yaitu:
1) Kegagalan agama-agama di Indonesia dalam mencapai visinya
2) Sisi formal lebih dominan dari pada sisi fungsional
3) Agama masih menjadi survival unit dari sebagian besar masyarakat
Indonesia4
Hal ini juga sangat dipengaruhi oleh faktor-faktor lain di luar
agama. Dengan pemetaan yang jelas, maka akan memudahkan kita
bergerak naik pada tingkatan toleransi yang lebih tinggi, atau minimal
tidak menjadikan toleransi yang ada terdegradasi pada tingkatan yang
lebih rendah.Toleransi yang harus dibangun adalah model toleransi yang
tidak hanya hidup berdampingan secara damai (peacefull co-existence),
tetapi jugahidup saling menghormati (mutualrespect) dengan saling
menjalin komunikasisosial dan kerjasama dalam mengatasi berbagai
problem kemanusiaan.

b. Islam : Agama Toleransi


Toleransi dalam sejarah Islam hampir seumur dengan Islam itu
sendiri.Sangat banyak dasar hukum baik dari ayat-ayat al-Quran maupun
Hadis Nabi SAW yang menunjukkan pentingnya sikap toleran dan
keharusan menghargai keberagaman bagi umat Islam. Karenanya, tidak
heran apabila toleransi mewarnai hampir semua “gerak-gerik” Islam di

4
Efendi, Johari. Problem Intoleransi dan Konflik Sosial di Indonesia. Dalam “Modul
Fiqh Tasamuh: Membangun Toleransi Berbasis Pesantren dan Masjid”, 2007.
6

semua ruang keilmuannya.Baik menyangkut aspek peribadatan


(„ubudiyah), interaksi-sosial (mu‟amalah), maupun dalam aspek hukum
pidana (jinayah).
Perbedaan syari‟at tidak serta merta memutuskan ikatan
harmonisasi dan persaudaraan Islam dengan agama-agama sebelumnya.
Justru dengan adanya bangunan ini dan kesamaan nilai-nilai universal
antara Islam dengan agama-agama sebelumnya, dapat menjadi bukti yang
kuat bahwa agama-agama ini berasal dari Tuhan yang sama, yaitu Dzat
Yang serba Maha Allah SWT menurut terminologi umat Islam. Oleh
karena itu, mensikapi perbedaan dan keberagaman dengan penuh toleransi
dan saling menghormati serta menghargai merupakan harga mati,tidak
dapat ditawar, bagi umat beragama yang taat dan mengikuti nilai-nilai
ajaran agamanya masing-masing, termasuk umat Islam.5
c. Islam : Agama Kemanusiaan
Islam bukan agama formalitas yang hanya mementingkan ritual
dan aturan yang ketat, namun melupakan hal yang fundamental, seperti
keadilan,kasih sayang, dan kepekaan terhadap penderitaan sesama. Islam
mewajibkan umatnya untuk menjadi orang yang bertaqwa kepada Allah
dan memiliki mata hati terhadap saudaranya yang tertindas. Orang yang
imannya kuat adalah orang yang berani mengambil resiko untuk berpihak
kepada yang lemah dan tidak takut untuk menyatakan kebenaran.
Keimanan yang tidak disertai kepekaan sosial adalah tidak tepat dan hanya
slogan saja. Inilah kecerdasan beragama, yaitu orang yang mampu
mengkritisi praktik-praktik keagamaan yang bertentangan dengan nilai-
nilai kemanusiaan. Keberpihakan terhadap nilai-nilai kemanusiaan inilah
yang menjadi tolok ukur paling jelas dari cerdas atau tidaknya sebuah cara
beragama dari seseorang. Orang yang cerdas dalam hidup beragama tidak
mudah digerakkan oleh kepentingan-kepentingan yang seolah-olah atau
sengaja dibalut atas nama agama, tetapi bertentangan dengan nilai
kemanusiaan. Agama ada untuk manusia supaya manusia selamat. Praktik

5
Abdul Aziz, Amir. Ushul al-Fiqh al-Islamiy. Jilid II. Cet. I. Kairo: Dar al-Salam. tt.
7

keagamaan yang bertentangan dengan nilai-nilai kemanusiaan jelas


merupakan hal yang salah.
Menurut para ahli, Islam selalu menggandengkan urusan ketuhanan
dengan urusan kemanusiaan. Iman (yang berdimensi ketuhanan)
digandengkan dengan amal soleh (yang berdimensi kemanusiaan).
Bersyukur kepada Allah (yang berdimensi ketuhanan) digandengkan
dengan bersyukur kepada kedua orang tua (yang berdimensi
kemanusiaan).Ritual sholat (yang berdimensi ketuhanan) digandengkan
dengan ajaran zakat (yang berdimensi kemanusiaan).Semua ini semakin
memperkuat tesis bahwa Islam adalah agama yang mementingkan
harmonisasi dari dua dimensi kesholehan, yaitu kesholehan individual dan
kesholehan sosial. Dengan dua kesholehan ini, maka keberagaman
(kemajemukan) apapun yang ada pada diri manusia akan dapat dipahami
secara benar oleh umat manusia. Allah menciptakan keberagaman untuk
menjadikan kita saling memahami dan mengerti bahwa manusia adalah
mahluk yang sempurna, dan tidak ada alasan apapun untuk merusak
kemanusiaan manusia.
Hidup damai dan tentram merupakan naluri setiap manusia.Hal ini
tidak akan pernah terwujud tanpa adanya kesadaran akan keberagaman
(kemajemukan) dan toleransi yang sempurna. Toleransi tidak akan
menjadi sempurna bila hanya menghiasi lembaran kitab suci, karena
toleransi harus dirajut dengan pihak lain,kelompok lain, dan agama lain,
sehingga dia menjadi sempurna dalam bentuk toleransi kebangsaan. Islam
adalah agama pembawa ukhuwwah (persaudaraan), dan mungkin karena
beratnya resiko pembangunan jembatan ukhuwwah, Islam menghargai
upaya memelihara ukhuwwah sebagai amal soleh yang utama
2. Islam dan Demokrasi
Islam adalah agama. Sebagai agama, Islam diyakini dan dipahami
merupakan seperangkat ketentuan dan aturan (aqidah wa al-syari‟ah)
yang bersumber dari Allah Swt. Agama, dalam keseluruhan aspek
ajarannya, dimaksudkan untuk menjadi panduan bagi manusia. Karena ia
8

menjadi panduan bagi kehidupan manusia, berarti ia juga harus menjadi


basis bagi semua atau keseluruhan perilaku manusia, yang antara lain
meliputi perilaku politik, ekonomi, sosial dan seterusnya.Sebagai
kumpulan ajaran Allah Swt, Islam terkodifikasikan dalam al-Qur‟an. Al-
Qur‟an inilah yang kemudian menjadi rujukan perilaku manusia. Tetapi,
karena ajaran-ajaran dalam al-Qur‟an memerlukan penjelasan, maka
keberadaan Nabi Muhammad Saw., adalah berperan sebagai orang yang
menjelaskan al-Qur‟an (mubayyin al-Qur‟an). Nabi Muhammadlah yang
kemudian memberikan penjelaskan secara operasional terhadap ajaran-
ajaran yang terdapat di dalam al-Qur‟an. Karena itu kemudian, keduanya -
-al-Qur‟an dan Sunnah-- menjadi rujukan bagi perilaku umat Islam.
Memperhatikan Islam sebagai kumpulan ajaran yang berasal dari Allah
Swt., dan kemudian dilembagakan melalui Nabi Muhammad Saw., dapat
dikatakan bahwa yang bisa disebut memiliki kemutlakan untuk mengatur
manusia di sini adalah Allah.
Dalam pandangan ini Allahlah yang memiliki kedaulatan atas
manusia. Allahlah (al-Khaliq) yang menentukan segala ketentuan dan
aturan untuk sekalian ciptaannya (al-Makhluq), termasuk di dalamnya
adalah manusia. Dengan demikian manusia harus tunduk dan patuh kepada
semua ketentuan dan aturan Allah ini. Dalam pada itu ketentuan dan
aturan yang bersumber dari Allah dipandang memiliki nilai kemutlakan
(ultimate). Dengan demikian penilaian atas sesuatu yang dilakukan oleh
Islam terhadap perilaku manusia secara pasti dan mutlak telah ditentukan
apakah itu termasuk dalam kategori benar atau salah. Ketentuan hukum
yang demikian adalah mutlak adanya dan tidak bisa dirubah dan akan
berlaku sepanjang kehidupan manusia.
Di pihak lain dikenal adanya faham tentang „demokrasi‟. Menurut
kamus, demokrasi adalah „pemerintahan oleh rakyat dimana kekuasaan
tertinggi berada di tangan rakyat dan dijalankan langsung oleh rakyat atau
wakil-wakil yang mereka pilih di bawah sistem pemilihan bebas‟. Dalam
kaitan ini demokrasi adalah suatu sistem di mana warga negara bebas
9

mengambil keputusan melalui kekuasaan mayoritas.Dari pendefinisian


yang demikian bisa dilihat adanya implikasi antara lain terhadap: (a) cara
pengangkatan kepala negara atau semua jajaran pejabat lembaga
pemerintahan, (b) cara pengambilan keputusan tentang suatu perundang-
undangan atau peraturan pemerintah. Dalam paparan Affan Gafar, ilmu
politik membagi dua macam pemahaman terhadap demokrasi: pemahaman
secara normatif dan pemahaman secara empirik. Pemahaman yang disebut
terakhir biasanya dikenal dengan sebutan procedural democracy. Dalam
pemahaman secara normatif, demokrasi merupakan sesuatu yang secara
ideal hendak dilakukan atau diselenggarakan oleh sebuah negara, seperti
misalnya terungkap dalam pernyataan Abraham Lincoln bahwa demokrasi
adalah suatu “pemerintahan dari rakyat, oleh rakyat, dan untuk rakyat”.
Dari pernyataan ini bisa dinyatakan bahwa demokrasi dibangun di atas dua
prinsip yaitu pemerintahan sendiri dan penetapan atau pembuatan undang-
undang secara langsung oleh rakyat. 6
3. Islam dan Keadilan Sosial

Salah satu ketentuan dasar yang dibawakan Islam adalah keadilan, baik
yang bersifat perorangan maupun dalam kehidupan politik. Keadilan
adalah tuntutan mutlak dalam Islam, baik rumusan “hendaklah kalian
bertindak adil” (an ta‟dilû) maupun keharusan “menegakkan keadilan”
(kûnû qawwâmîna bil qisthi), berkali-kali dikemukakan dalam kitab suci
Al-Qur'an. Dengan meminjam dua buah kata sangat populer dalam
peristilahan kaum muslimin di atas, UUD 45 mengemukakan tujuan
bernegara: menegakkan keadilan dan mencapai kemakmuran. Masyarakat
adil dan makmur merupakan tujuan bernegara Kesatuan Republik
Indonesia (NKRI). Kalau negara lain mengemukakan kemakmuran dan
kemerdekaan (prosperity and liberty) sebagai tujuan, maka negara kita
lebih menekankan prinsip keadilan dari pada prinsip kemerdekaan itu.

6
Diane Ravicth, What Is Democracy?, terjemahan Budi Pyaritno, Amerika: United States
Information Agency, 1991, hal. 4.
10

Konsep keadilan yang pada prinsipnya berarti pemberdayaan kaum


miskin/lemah untuk memperbaiki nasib mereka sendiri dalam sejarah
manusia yang terus mengalami perubahan sosial. Secara umum, Islam
memperhatian susunan masyarakat yang adil dengan membela nasib
mereka yang miskin/lemah, seperti terlihat pada ayat suci berikut; “Apa
yang dilimpahkan (dalam bentuk pungutan fa‟ i) oleh Allah atas kaum
(penduduk sekitar Madinah),maka harus digunakan bagi Allah, utusan-
Nya, sanak keluarga terdekat, anak-anak yatim, orang-orang miskin, para
peminta-minta/pengemis dan pejalan kaki di jalan Allah. Agar supaya
harta yang terkumpul itu tidak hanya berputar/beredar di kalangan orang-
orang kaya saja di lingkungan kalian”. (Ma afâ-a Allâhu „ala rasûlihi min
ahl al-qurâ fa li-Llâhi wa lir rasûli wa li dzil qurbâ wal yatâmâ wal
masâkini wa ibnis sabil, kailâ yakûna dûlatan bainal aghniyâ minkum)"
(QS al-Hasyr [59]:7). Konsep mengenai susunan masyarakat seperti
dikemukakan oleh ayat suci di atas, menunjukkan dengan jelas watak
struktural dari bangunan masyarakat yang dikehendaki Islam, baik yang
dicapai melalui perjuangan struktural (seperti dikehendaki Sosialisme dan
Komunisme) maupun tidak, haruslah senantiasa diingat oleh para
pemimpin gerakan Islam saat ini. Jika hal ini diabaikan, maka sang
pemimpin gerakan Islam hanya akan menjadi mangsa pandangan yang
memanfaatkan manusia untuk kepentingan manusia lain.7

4. Islam dan HAM

HAM atau hak asasi manusia adalah seperangkat hak yang me-
lekat pada diri manusia sebagai makhluk ciptaan Tuhan yang bersifat uni-
versal yang wajib dihormati serta dijunjung tinggi dan dilindungi oleh

7
Islamku Islam Anda Islam Kita: Agama Masyarakat Negara Demokrasi, KH
Abdurrahman Wahid, Jakarta, The Wahid Institute, 2006, halaman 168
11

negara, hukum, pemerintah, dan setiap orang demi kehormatan dan per-
lindungan harkat dan martabat manusia.8
Adapun islam sebagai agama yang rahmatan li al-„ālamīn telah
mengajarkan tentang HAM.Hal ini didasarkan pada tujuan disyari‟at-
kannya ajaran Islam ke dalam lima tujuan,yaitu:(1) memelihara agama;
(2)memelihara jiwa;(3)memelihara akal;(4) memelihara kehormatan atau
keturunan;dan (5)memelihara harta.Kelima tujuan itu kemudian menjadi
prinsip hak asasi manusia,yaitu:(1) hak perlindungan terhadap jiwa atau
hak hidup; (2)hak perlindungan keyakinan; (3) hak perlindu-ngan terhadap
akal pikiran;(4) hak perlindungan terhadap hak milik;dan (5) hak
berkeluarga atau hak memperoleh keturunan dan mempertahan-kan nama
baik.9
HAM PBB muncul sebagai hasil perjuangan kelas sosial yang
menuntut tegaknya nilai-nilai dasar kebebasan dan persamaan. Perju-
angan kelas tersebut secara kronologis tercermin dengan lahirnya Magna
Charta (Piagam Agung) pada 15 Juli 1215 di Inggris, kemudian berlanjut
hingga akhirnya pada tahun 1948 Majelis Umum PBB telah memprok-
lamirkan Universal Declaration of Human Rights yang terdiri dari 30
pasal.10
Pandangan HAM PBB memperlihatkan manusia dalam kaca mata
sekuler memunculkan tiga pandangan berbeda di kalangan umat Islam,
yaitu: Pertama, menolak secara keseluruhan konsep HAM PBB; kedua,
menerima secara keseluruhan konsep HAM PBB; dan ketiga, merupakan
tanggapan yang bersifat ambigu yang mencerminkan adanya keinginanan
untuk tetap setia pada syari‟ah di namun berkeinginan untuk menghor-mati
tatanan serta hukum-hukum internasional yang ada (HAM PBB). 11

8
Qamar, Hak Asasi Manusia, 88.
9
Trianto, Falsafah Nagara, 266.
10
Said Agil Husin Al Munawar, Al-Qur’an Membangun Tradisi Kesalehan Hakiki (Jakarta:
Ciputat Press, 2003), 296-297.
11
Deklarasi Universal Hak-hak Asasi Manusia (The Universal Declaration of Human
Rights) UN Doc.A/811, 10 Desember 1949 Pasal 16
12

5. Islam dan Kesetaraan Manusia


Kesetaraan adalah hak yang paling fundamental bagi setiap orang.
Menurut konsep ini setiap orang harus diperlakukan secara sama dan
sederajat, sehingga setiap orang dilihat sebagai satu dan tidak satu orang
pun dilihat sebagai lebih dari satu. Meskipun Tuhan menciptakan setiap
manusia sebagai pribadi yang unik dan secara lahiriah berbeda antara satu
dengan yang lainnya. Namun, perbedaan tersebut tidak boleh menjadikan
sebagian orang lebih istimewa dibandingkan dengan yang lain karena
hakikatnya semua manusia sama sederajat dalam nilainya dan harga
keluhurannya sebagai manusia (dignity of man as human being) dalam
masyarakat. Semua manusia sama kedudukan di dalam hukum, politik,
ekonomi dan lain sebagainya. 12
Dalam agama Islam prinsip kesetaraan tidak hanya sebatas
retorika. Agama Islam datang dengan meneguhkan sebuah pendirian
bahwa semua manusia adalah sama, membedakan mereka semua adalah
ketakwaan yang mereka miliki. Agama Islam melarang umatnya untuk
membanggakan keturunan atau nenek moyangnya, atau merasa lebih
tinggi karena asal keturunannya. Satu argumen dari pernyataan ini adalah
bahwa manusia berasal dari satu nenek moyang, hal ini dipertegas oleh
Allah di dalam surat Annisa (4) ayat pertama dengan ungkapan min nafsin
wahidah (dari diri yang satu) dan semua manusia mendapatkan
perlindungan dan penghormatan yang telah ditetapkan dalam al-Qur‟an
tanpa melihat bangsa, agama, bahasa, etnis, ras dan lain sebagainya.
Dengan demikian dalam agama Islam tidak boleh membeda-
bedakan umat manusia atas jenis kelamin, etnis, warna kulit, latar
belakang historis, sosial, ekonomi. Diskriminasi ras dan segregasi
(pengasingan) adalah hal-hal yang bertentangan dengan ajaran Islam yang
harus dibasmi. Islam tidak memperkenankan suatu negara menjadi alat
penindas yang digunakan oleh suatu ras, agama atau suku tertentu atas ras,

12
Trianto dan Titik Triwulan Tutik, Falsafah Nagara & Pendidikan Kewarganegaraan
(Jakarta: Prestasi Pustaka Publisher, 2007), 259.
13

agama atau suku lainnya. Suatu negara yang melestarikan dominasi suatu
suku atas suku lainnya atau dominasi suatu ras atas ras lainnya dikecam
tegas oleh al-Qur‟an dan assunnah.
Kesetaraan dalam agama Islam telah dinyatakan dengan jelas oleh
Allah SWT pada saat Allah menunjuk manusia untuk menjadi khalifah di
muka bumi ini dan menyediakan berbagai macam fasilitas kehidupan
untuk mereka. Menurutnya dasar dari nilai persamaan dalam agama Islam
adalah : asal kemuliaan kemanusiaan, asal tugas dan tangung jawab
beribadah kepada Allah SWT, dan keturunan yang berasal dari nabi Adam.
Lebih jauh ia mengatakan bahwa Manusia seluruhnya berasal dari satu
keturunan dari pasangan Adam dan hawa. Walaupun sekarang ini manusia
terdiri dari bermacam-macam bangsa, ras, bahasa, agama, dan warna kulit,
namun pada dasrnya bersaudara, tidak ada perbedaan keutamaan
antarmereka kecuali karena ketakwaan. Allah SWT berfirman di dalam
surat al-Hujurat ayat 13 yang artinya:
“Wahai manusia sesungguhnya kami menciptakan kamu dari
seorang laki-laki dan seorang perempuan dan menjadikan kamu
berbangsa-bangsa dan bersuku-suku supaya kamu saling mengenal.
Sesungguhnya orang yang paling muliadiantara kamu di sisi Allah adalah
orang yang paling bertakwa diantara kamu. Sesungguhnya Allah maha
mengetahui dan maha melihat.
Ayat tersebut menjelaskan tentang persamaan umum manusia.
Melalui ayat ini Allah SWT menjelaskan bahwa tidak ada perbedaan
diantara sekalian manusia. Meskipun Allah telah menciptakan manusia
dalam beragam bangsa dan suku, namun hal itu bukanlah menjadi ukuran
kelebihan atau keistimewaan seseorang. Keragaman itu tidak lebih dari
sebuah ralita agar masing-masing manusia dapat saling kenal dan bekerja
sama dalam mengelola alam semesta ini.
BAB III

PENUTUP
A. KESIMPULAN
1. Sebagai sebuah negara yang plural seperti Indonesia, sikap arif dan
bijak antar golongan, suku, agama dan ras merupakan salah satu
bentuk kenyataan yang tidak dapat dielakkan. Konsekwensi
logisnya, tradisi dialog atau komunikasi adalah upaya konstruktif
dalam membangun kebersamaan dalam kemajemukan.Begitu
beragamnya budaya, agama, ras bahkan visi hidup harus disadari
sebagai gejala alamiah.Proses penyadaran ini, berarti menuntut
adanya pengakuan perbedaansekaligus persamaan satu sama
lain.Baik Perbedaan maupun persamaan seharusnya diakui dengan
sikap terbuka dan cara pandang luas dalam rangka menciptakan
keamanan, kerukunan menuju masyarakat Indonesia yang
harmonis. Islam mendorong bahkan mengharuskan terwujudnya
kebersamaan dalam keberagaman, sebagaimana dapat dilihat dari
sirah Rasulullah yang merupakan implementasi ajaran al-Quran.
2. Islam sebagai sebuah agama tidak dengan serta merta dapat
disepandankan dengan demokrasi. Oleh karena itu ketika ada orang
yang mengatakan bahwa Islam sepenuhnya kompatibel dengan
demokrasi, pernyataan itu barangkali tidak melihat keutuhan Islam
sebagai agama. Karena memang, kalau ditelusuri secara lebih
seksama dan terperinci akan ditemukan sejumlah ajaran dan
pandangan yang memang tidak sejalan dengan demokrasi.
Meminjam istilah Qurasih Shihab bahwa tidak semua persoalan
agama (ajaran Islam) dapat dimusyawarahkan. Pernyataan ini
mengandung pengertian bahwa ada ajaran-ajaran tertentu yang
sudah demikian eksak sehingga tidak lagi memerlukan pemikiran
manusia, baik perseorangan atau kelompok. Oleh karena itu dalam
satu sisi ada ajaran Islam yang tidak kompatibel dengan demokrasi.
3. Konsep keadilan yang pada prinsipnya berarti pemberdayaan kaum
miskin/lemah untuk memperbaiki nasib mereka sendiri dalam
sejarah manusia yang terus mengalami perubahan sosial. Secara
umum, Islam memperhatian susunan masyarakat yang adil dengan
membela nasib mereka yang miskin/lemah.
4. HAM atau hak asasi manusia adalah seperangkat hak yang me-
lekat pada diri manusia sebagai makhluk ciptaan Tuhan yang
bersifat uni-versal yang wajib dihormati serta dijunjung tinggi dan

14
15

dilindungi oleh negara, hukum, pemerintah, dan setiap orang demi


kehormatan dan per-lindungan harkat dan martabat manusia.
5. Kesetaraan adalah hak yang paling fundamental bagi setiap orang.
Menurut konsep ini setiap orang harus diperlakukan secara sama
dan sederajat, sehingga setiap orang dilihat sebagai satu dan tidak
satu orang pun dilihat sebagai lebih dari satu. Meskipun Tuhan
menciptakan setiap manusia sebagai pribadi yang unik dan secara
lahiriah berbeda antara satu dengan yang lainnya. Namun,
perbedaan tersebut tidak boleh menjadikan sebagian orang lebih
istimewa dibandingkan dengan yang lain karena hakikatnya semua
manusia sama sederajat dalam nilainya dan harga keluhurannya
sebagai manusia (dignity of man as human being) dalam
masyarakat. Semua manusia sama kedudukan di dalam hukum,
politik, ekonomi dan lain sebagainya.
DAFTAR PUSTAKA

Abdul Aziz, Amir. Ushul al-Fiqh al-Islamiy. Jilid II. Cet. I. Kairo: Dar al-Salam.
tt.

Ahmad Al-Nadawi, Ali. Al-Qawa‟id al-Fiqhiyyah, Damaskus: Dar al-Qalam,


1994.

Efendi, Johari. Problem Intoleransi dan Konflik Sosial di Indonesia. Dalam


“Modul Fiqh Tasamuh: Membangun Toleransi Berbasis Pesantren dan Masjid”,
2007.

Irmansyah, Rizky Ariestandi. Hukum, Hak Asasi Manusia, dan Demok-rasi.


Yogyakarta: Graha Ilmu, 2013.

Qamar, Nurul. Hak Asasi Manusia dalam Negara Hukum Demokrasi Human
Rights in Democratiche Rechtsstaat. Jakarta: Sinar Grafika, 2013.
Siswanto. Pendidikan Islam dalam Perspektif filosofis. Pamekasan: STAIN
Pamekasan Press, 2009.

Trianto dan Titik Triwulan Tutik. Falsafah Nagara & Pendidikan


Kewarganegaraan. Jakarta: Prestasi Pustaka Publisher, 2007.

Wright, Robin “Two Visions of Reformation: Islam and Liberal Democracy”,


dalam Journal of Democracy, Vol 7.2 (1996).

16

Anda mungkin juga menyukai