Anda di halaman 1dari 18

MAKALAH

“KERUKUNAN UMAT BERAGAMA (FAKTOR-


FAKTOR PENYEBAB KONFLIK AGAMA) DAN
(UPAYA PENCEGAHAN TERJADINYA KONFLIK
AGAMA)”

Diajukan untuk memenuhi tugas mata kuliah

Filsafat Pendidikan Islam

Dosen Pengampu:

Mohamad Nursalim Azmi, S. Ag., M. Ag

Oleh

Siti Mahfuzah

NIRM: 18.11.20.0109.01604

SEKOLAH TINGGI ILMU AL-QUR’AN (STIQ) AMUNTAI


PROGRAM STUDI PENDIDIKAN BAHASA ARAB
TAHUN 2020
KATA PENGANTAR

Segala puja dan puji hanya bagi Allah semata, sang pencipta alam semesta,
yang selalu melimpahkan karunianya, sehingga penyusun dapat merangkumkan
makalah ini. Shalawat serta salam senantiasa penyusun haturkan kepada
junjungan kita Nabi besar Muhammad saw. beserta keluarganya dan para
sahabatnya.
Makalah dengan penyusun beri judul “KERUKUNAN UMAT BERAGAMA
(FAKTOR-FAKTOR PENYEBAB KONFLIK AGAMA) DAN (UPAYA
PENCEGAHAN TERJADINYA KONFLIK AGAMA)” yang membahas tentang
faktor penyebab konflik agama dan pencegahannya. Makalah ini di susun
bertujuan untuk memenuhi tugas mata kuliah Filsafat Pendidikan Islam. Penyusun
mengucapkan terima kasih kepada pihak yang telah membantu meyusun makalah
ini khususnya kepada dosen pengampu, Mu’allim Mohamad Nursalim Azmi, S. Ag.,
M. Ag.

Penyusun berharap agar makalah ini dapat bermanfaat bagi kita semua.
Semoga Allah senantiasa memberikan pemahaman yang mendekatkan kepada
kebenaran.

Amuntai, 5 Mei 2021

Penyusun

ii
DAFTAR ISI

KATA PENGANTAR..................................................................................i

DAFTAR ISI.................................................................................................ii

BAB I PENDAHULUAN........................................................................ 1

A. Latar Belakang Masalah............................................................ 1


B. Rumusan Masalah..................................................................... 1
C. Tujuan....................................................................................... 1

BAB II PEMBAHASAN........................................................................... 2

A. Faktor-faktor Penyebab Konflik Agama .................................. 2


B. Upaya Pencegahan Terjadinya Konflik Agama ....................... 5

BAB III PENUTUP.....................................................................................15

A. Kesimpulan...............................................................................15
B. Saran.........................................................................................15

DAFTAR PUSTAKA...................................................................................16

iii
BAB I
PENDAHULUAN
A. Latar Belakang
Indonesia dikenal sebagai suatu sosok masyarakat yang pluralistik yang
memiliki banyak kemajemukan dan keberagaman dalam hal agama, tradisi,
kesenian, kebudayaan, cara hidup dan pandangan nilai yang dianut oleh
kelompok-kelompok etnis dalam masyarakat Indonesia.1 Pada suatu sisi
pluralistik dalam bangsa Indonesia bisa menjadi positif dan konstruktif tetapi di
sisi lain juga bisa menjadi sebuah kekuatan yang negative dan destruktif yang
dapat berakibat pada disintegrasi bangsa. Kenyataannya sejarah masyarakat
adalah multi-complex yang mengandung religious pluralism. Hal ini adalah
realitas, karena itu mau tidak mau kita harus menyesuaikan diri, dengan mengakui
adanya religious pluralism dalam masyarakat Indonesia.2

Dewasa ini umat beragama dihadapkan pada tantangan munculnya benturan-


benturan atau konflik di antara mereka. Konflik antarumat beragama yang terjadi
di tanah air semakin memprihatinkan. Bahkan dengan adanya konflik-konflik baru
akan bisa merambah ke daerah lain kalau masyarakat mudah menerima isu dan
terprovokasi.3

B. Rumusan Masalah
1. Apa saja yang menjadi Faktor-faktor Penyebab Konflik Agama?
2. Bagaimana Upaya Pencegahan Terjadinya Konflik Agama?
C. Tujuan
1. Untuk Mengetahui Faktor-faktor Penyebab Konflik Agama.
2. Untuk Mengetahui Upaya Pencegahan Terjadinya Konflik Agama.

1
Faisal Ismail, Islam Idealitas Ilahiyah dan Realitas Insaniyah, (Yogyakarta: Tiara
Wacana Yogya, 1999), cet. I, h. 193.
2
Muhammad Imarah, Islam dan Pluralitas (Perbedaan dan Kemajemukan dalam Bingkai
Persatuan), (Jakarta: Gema Insani, 1999), cet 1, h. 11.
3
Hamdan Daulay, Dakwah di Tengah Persoalan Budaya dan Politik, (Yogyakarta:
LESTI, 2001), cet. I, h. 137.

1
BAB II

PEMBAHASAN

A. Faktor-faktor Penyebab Konflik Agama

Konflik agama atau keagamaan yang sering terjadi di masyarakat dalam


semua golongannya disebabkan oleh beberapa penyebab yang sering dijadikan
dan dimanfaatkan sebagai pemicu konflik. Menurut Amin Abdullah, setidaknya
terdapat beberapa pintu yang sangat sensitif dalam kehidupan beragama dewasa
ini terhadap munculnya conflict and violence, antara lain:4

Pertama, dogma (belief). Perbedaan keyakinan dan kepercayaan serta


pandangan yang terjadi sebagai penyebab atau faktor yang sangat sensitif dan
rentan menimbulkan konflik. Hal ini terjadi karena sering bersinggungan dengan
dimensi emosional dan psikologis beragama. Sehingga kekerasan yang terjadi
sering atas nama kebenaran, atau dengan bahasa lain telah mendapat legitimasi
tuhan (faith) dan dianggap mendapat benar bahkan wajib diperjuangkan. Bagi
mereka semua perjuangan atas nama tuhan dianggap bertentangan dalah wajib
diperangi atau dimusnakan. Dogma inilah yang patut dilihat secara realistis,
karena memang semua agama benar menurut keyakinannya masingmasing, dan
berarti kita tetap akan memberikan hak kepada mereka meyakininya dan
mengamalkan sesuai keyakinannya.

Kedua, ritual (performance cartain activities). Warisan sejarah bahwa


agamaagama dunia mempunyai tradisi, sehingga seringkali tradisi keagamaan
turut menjustifikasi kekerasan, peperanagan atas nama tuhan. Perbedaan ritual ini
tidak hanya antar umat beragama saja, internal umat beragama juga banyak
terjadi, Syi`ah-Sunni misalnya (dalam Islam). Di Indonesia misalnya antara yang
yasinan, tahlilan dan yang tidak, qunut dan tidak qunut, serta yang membolehkan
ziarah kubur dan tidak, dan seterusnya. Padahal semua itu adalah masalah
furu`iyah yang tidak akan pernah selesai dan tidak akan pernah sama. Dengan
4
Wira hadikusuma, Agama dan Resolusi Konflik, (Bengkulu: IAIN Bengkulu, 2017), h.
2.

2
demikian, pemaksaan terhadap salah satu ritual akan berdampak negatif apabila
tidak disikapi dengan bijaksana.

Ketiga, teks (text). Teks keagamaan adalah hal yang juga sensitif dan rawan
mengundang konflik, karena teks tidak terlepas dari interpretasi manusia, masing-
masing manusia interpretasi manusia berbeda-beda. Sehingga dalam interpretasi
juga tidak terlepas dari interes (baca;kepentingan) terhadap sesuatu yang ingin ia
capai dari pemahamannya. Puncaknya mereka tidak mengakui keberadaan
pemahaman ajaran yang lain, yang berbeda dianggap musuh dan harus
dimusnahkan. Padahal perbedaan adalah rahmat yang harus dilestarikan, dengan
perbedaan kita akan maju dan bermutu. Karena ada upaya untuk berkompetisi,
sehingga memberikan dan melahirkan manfaat yang sebesar-besarnya untuk
kepentingan masyarakat.

Keempat, pembentukan otoritas oleh tokoh-tokoh agama melalui ajaran


keagamaan, sehingga melahirkan pengikut-pengikut yang fanatik. dengan
kefanatikan seringkali menjelma kepada tindakan-tindakal radikal. pengkultusan
terhadap seorang tokoh yang mereka kagumi adalah dampak yang lebih
menyedihkan menganggap semua yang dilakukan oleh tokoh tersebut adalah
benar, tidak punya ruang untuk di kritik dan di beri saran. Bagi pengikutnya tokoh
itu adalah manusia yang paripurna yang tidak ada salah dan khilaf. Puncaknya,
semua saran, ide, gagasan dan pemikiran sang tokoh menjadi spirit dalam
melakukan berbagai aktivitasnya. Seyogyanya tokoh agama adalah panutan dan
selalu mengajarkan kedamian serta memiliki ruang untuk melakukan dialog
kepada peserta atau pengikutnya. Dalam prakteknya hal ini sering dimanfaatkan
oleh “tokoh” tersebut untuk kepentingan pribadi yang dibungkus dengan baju
agama (baca: kepentingan politik praktis, dll.).

Kelima, telling stories. Sejarah masa lalu adalah hal yang tidak bisa
dipungkiri keberadaannya. Secara historis peperangan yang terjadi memiliki
interes yaitu nilai, makna dan status yang diperjuangkan masyarakat bergama
pada saatnya. Karena warisan sejarah yang dianggap sakral, bagaimanapun cara

3
dan dengan alat apapun eksisitensi warisan leluhur (agama) harus dipertahankan.
Sejarah kelam masa lalu melahirkan sikap dan perilaku sebagai seorang
pendendam. Dendam berkepanjangan ini akan melahirkan konflik laten. Konflik
laten sangat berbahaya dibannding konflik terbuka bahkan kekerasan. Karena
konflik laten akan berdampak berkepanjangan dan dampak yang dahsyat, hal ini
terjadi berasal dari tumpukan masalah yang suatu saat akan meledak dan menjadi
konflik besar dan puncaknya akan terjadi kekerasan dan perang.

Keenam, Institusional (Instituational) agama, karena masing-masing institusi


memiliki nilai yang akan diperjuangkan. Dalam prakteknya para pelaku kebijakan
kurang peka memperhatikan aspek sosiologis, psikologis, historis dan social fact.
Dengan kata lain, institusi agama harus memperhatikan aspek lain dalam melihat
konflik yang terjadi, tidak hanya benar salah, tetapi perlu juga di perhitungkan
“indah atau jelek”. Indah atau jelek merupakan kajian filosofis yang diharapkan
melahirkan kebijaksanaan dan hikmah.

Berkaitan dengan dengan institusional ini yang perlu dijelaskan lebioh lanjut
adalah ketika agama dibawa dengan ruang “public” dalam masyarat multikultural
persoalan agama menjadi masalah yang sulit diselesaikan, karena agama menurut
Bhikhu Parekh dalam prakteknya bersifat absolutist, self-righteous, arrogant,
dogmatic and impatient of compromise. Oleh karena tawaran yang hendak
dijawab adalah bagaimana harus dibedakan antara religion dan state. State bila
hendak dilihat secara objektif mengandung aturan yang mengikat tanpa
membedakan agama, ras, golongan dan lainnya.

Implikasi terhadap beberapa uraian di atas, faktor-faktor pemicu atau rawan


konflik tersebut di atas, maka muncul kelompok-kelompok yang berlaku keras
terhadap (agama atau pemahaman keagamaan) yang berbeda. yaitu:
“Fundamentalisme” adalah suatu kelompok masyarakat yang tidak sabar
terhadap keinginan yang kuat untuk mengubah segala tatanan yang dianggap
disesuai dengan doktrin atau pemahaman yang telah menjadi ideologi hidup
mereka.

4
Terdapat tiga kelompok atau tiga masa besar tingkatan fundamentalisme
dalam hal sejarah kemunculannya dalam pandangan Amin Abdullah, yaitu:
Pertama, diawali pada tahun 1970-an yang terdiri dari pretty, ortodok, fanatism
dan dogmatism. kelompok kalau boleh diklasifikasikan termasuk kelompok
puritanisme. Kedua, pada tahun 1990-an adalah kelompok keras dengan
pengelompokan hardliner, militanise, extremism dan radicalism, dan ketiga, pada
tahun 2000-an dikenal dengan terrorism.5

Meminjam istilah Hasan Hanafi, “Islam Kiri”, secara umum varian


keberagamaan dapat dikelompokkan dalam dua kutub yang bersebrangan, yaitu
“Kiri” dan “Kanan”. Di Kiri berkembang tipe-tipe beragama rasionalis,
transformatif, dan, dalam level ekstrem, liberalis. Sementara di Kanan ditemui
tipe-tipe tradisionalis, dogmatis, dan dalam level ekstrem, fundamentalis.6

Di kelompok Kanan ini dapat ditemui kelompok tradisionalisme, sebagai


lawan rasionalisme, yang meletakkan wahyu sebagai prinsip dasar berpikir,
berperilaku, dan bersekutu. Bentuk ekstrem dari tradisionalisme melahirkan
dogmatisme dilihat dari cara mereka menyikapi wahyu. Disebut dogmatisme,
karena kelompok ini meletakkan dogma-dogma agama (tekstualitas wahyu)
sebagai harga mati yang tidak bisa ditawar-tawar. Dalam konteks Islam, aliran ini
berpedoman bahwa satu-satunya jalan yang valid dan benar dalam segala urusan
hidup adalah Al-Quran dan Sunnah Nabi Muhammad SAW. Manusia dan akal
pikirannya tidak akan mungkin mampu menakwil, menafsir, dan menguraikan
keduanya kecuali dalam batas-batas kebahasaannya.7

Terjadinya konflik tidak terlepas dari adanya dalang atau provokatornya tidak
pernah diusut tuntas. Sehingga wajar jika masyarakat menuntut pemerintah
bertindak tegas menangkap provokatornya. Dari berbagai kerusuhan, teror, fitnah
dan pembunuhan memang sedang melanda bangsa kita sehingga untuk
5
Amin Abdullah, Kuliah Umum : Filsafat Agama dan Resolusi Konflik, (Yogyakarta:
Universitas Islam Negeri (UIN) Sunan Kalijaga, 2010), h.25.
6
Abdullah, Kuliah Umum : Filsafat Agama dan Resolusi Konflik, h. 24.
7
Hanafi, Pengantar Teologi Islam (Jakarta: Al-Husna Zikra, 2001), h. 127.

5
menghadapi berbagai bencana tersebut, maka semua pihak hendaknya senantiasa
waspada. Sebab, berbagai cara akan dilakukan oleh provokator untuk mengadu
domba antarumat beragama, antarsuku dan antaretnis sehingga persatuan dan
kesatuan menjadi rapuh.8 Oleh karena itu, setiap umat beragama senantiasa
berpegang teguh pada ajaran agamanya, agar mereka tidak akan terjebak pada isu-
isu yang melayang.

Faktor-faktor yang menyebabkan konflik antarumat beragama karena


kurangnya untuk saling memahami dan menghargai agama lain serta umat
beragama lain sehingga dalam kehidupan umat beragama tidak adanya saling
menghargai hakikat dan martabat manusia di mana nilai-nilai kemanusiaan yang
universal tidak berlaku lagi dalam menjalin hubungan yang harmonis antarumat
beragama tersebut, terutama hati nurani dan cinta kasih bagi kerukunan, toleransi
dan persatuan dalam kemajemukan umat beragama.

Konflik antar-umat beragama umumnya tidak murni disebabkan oleh faktor


agama, melainkan oleh yang lainnya, seperti faktor ekonomi, politik, maupun
sosial. Konflik ini tidak jarang terjadi karena persoalan pendirian rumah ibadah
atau cara penyiaran agama yang tidak sesuai dengan ketentuan yang berlaku. Atau
karena adanya salah paham di antara pemeluk agama. Konflik internal umat
beragama terjadi karena adanya pemahaman yang menganggap hanya aliran
sendiri yang benar dan menyalahkan yang lain, pemahaman yang diselewengkan
atau pemahaman yang bebas semau sendiri tanpa mengikuti kaidah-kaidah yang
ada. Minimnya pengetahuan masyarakat terhadap pluralisme melahirkan karakter
apatis dan puritan terhadap toleransi beragama.9

Faktor-faktor Penyebab Konflik Antar Umat Beragama lainnya, yaitu:

a. Klaim kebenaran (Truth Claim)

8
Daulay, Dakwah di Tengah Persoalan Budaya dan Politik, h. 138.

9
Dadang Kahmad, Sosiologi Agama, (Bandung: Remaja Rosdakarya, 2006), cet.IV, h.
174.

6
Kecenderungan umat beragama berupaya membenarkan ajaran agamnya
masingmasing, meskipun ada yang tidak paham terhadap nilai-nilai luhur
yang terkandung dalam agama yang dia bela tersebut. Namun semangat yang
menggelora kadang kala telah merendahkan orang lain yang tidak sepaham
dengannya meskipun berasal dari satu agama. Harus diakui keyakinan tentang
yang benar itu didasarkan pada Tuhan sebagai satusatunya sumber kebenaran.
Pluralitas manusia menyebabkan wajah kebenaran itu tampil beda ketika akan
dimaknakan. Sebab perbedaan ini tidak dapat dilepaskan begitu saja dari
berbagai referensi dan latar belakang orang yang meyakininya. Mereka
mengklaim telah memahami, memiliki, bahkan menjalankan secara murni
terhadap nilai-nilai suci itu.

Keyakinan tersebut akan berubah menjadi suatu pemaksaan konsep-


konsep gerakannya kepada orang lain yang berbeda keyakinan dan
sepemahaman dengan mereka. Armahedi Mazhar menyebutkan bahwa
absolutisme, eksklusivisme, fanatisme, ekstremisme dan agresivisme adalah
penyakit-penyakit yang biasanya menghinggapi aktivis gerakan keagamaan.
Absolutisme adalah kesombongan intelektual, eksklusivisme adalah
kesombongan sosial, fanatisme adalah kesombongan emosional, ekstremisme
adalah berlebih-lebihan dalam bersikap dan agresivisme adalah berlebih-
lebihan dalam melakukan tindakan fisik.10

Dalam ajaran atau doktrin agama, terdapat seruan untuk menuju


keselamatan yang dibarengi dengan kewajiban mengajak orang lain menuju
keselamatan tersebut. Kegiatan ini biasa disebut dengan istilah “dakiyah”.
Dakiyah merupakan upaya mensosialisasikan (mengajak, merayu) ajaran
agama. Bahkan tidak menutup kemungkinan, masing-masing agama akan
menjastifikasi bahwa agamalah yang paling benar. Jika kepentingan ini lebih
diutamakan, masing-masing agama akan berhadapan dalam menegakkan hak
kebenarannya. Ini akan memunculkan sentimen agama, sehingga benturan

10
________ The Story of Armahedi Mahzar Intellectual & Spiritual Journey”,
(Online) tersedia di www.wordpress.com. Diakses tanggal 5 Mei 2021.

7
pun sulit dihindari. Fenomena yang seperti inilah yang dapat merusak
kerukunan umat beragama serta berpotensi melahirkan konflik agama.

b. Doktin Jihad

Pasca bom Bali I banyak orang tersentak ketika Imam Samudra, tersangka
utama bom Bali, mengeluarkan pernyataan mencengangkan di hadapan
wartawan. “Ini adalah perjuangan suci (jihad), bukan perjuangan hina. Insya
Allah, Allahu akbar!” Tentu saja, pernyataan Imam Samudra tersebut
menyisakan banyak pertanyaan dalam pikiran semua orang tentang konsep
jihad dalam Islam. Dalam agama memang dikenal konsep jihad, namun
bukan jihad sebagaimana yang dipahami oleh Imam Samudra seperti di atas,
yaitu membunuh orang tanpa berdosa karena disebabkan oleh doktrin-doktrin
tertentu. Ajaran agama memang doktrin, tetapi agama memberikan kebebasan
kepada pemeluknya untuk menafsirkan teks-teks kitab suci dalam agama.
Belakangan yang terjadi di negara Indonesia banyak pihak melegitimasi
kekerasan atas nama Tuhan, padahal kekerasa dari perspektif manapun tidak
dibenarkan terlebih lagi dari sudut pandang agama, terutama Islam, yang
mendeklarasikan kedamaian sebagai inti ajarannya. Jihad dalam Islam
dimulai ketika Nabi saw hijrah dari Mekkah ke Madinah. Dalam hal ini, harus
dimengerti bahwa Madinah adalah semacam “negara muslim” yang harus
mempertahankan eksistensinya melawan orang-orang Arab dari klan Quraisy
ketika itu. Dari sinilah ajaran Islam tentang jihad itu berkembang. Sebenarnya
tafsiran paling mutakhir tentang jihad selalu bersifat defensif. Dengan
demikian, pada periode modern, pengertian jihad sama sekali tak bermakna
ofensif. Konteks jihad pada fase Madinah saat itu Nabi saw harus
mempertahankan eksistensi komunitas muslim yang dirongrong oleh suku
Quraisy yang berdomisili di Mekkah, beberapa suku Yahudi di Madinah, dan
beberapa suku Badui. Jadi, saat itu memang ada doktrin Islam yang
mengajarkan Nabi saw mempertahankan diri dari serangan musuh. Namun
demikian, doktrin tersebut juga bermakna agak ofensif. Misalnya, kasus
penyerangan atau penaklukan kota Mekkah (fath al-Makkah). Tanpa

8
menyerang Mekkah ketika itu, hampir mustahil Nabi saw bisa menguasai
jazirah Arab secara keseluruhan.11 Jihad pada era modern sekarang dapat
dimaknai dari berbagai perspektif, karena jihad sekalipun identik dengan
peperangan fisik, sekarang harus dibalik ke jihad sosial yaitu bagaimana
memerangi kemiskinan dan kebodohan umat, karena banyak sekali kasus
yang menimpa umat Islam disebabkan oleh ketidak mampuan umat Islam
memerangi kemiskinan dan kebodohan sehingga dalam banyak bidang umat
Islam mengalami diskriminasi akibat kemiskinan dan kebodohan tersebut.
Semangat perubahan tidak mungkin terwujud kecuali dengan adanya jihad.12
Doktrin inilah seharusnya yang perlu ditanamkan kepada generasi muda, agar
pemuda Islam mampu mensejajarkan diri dengan pemuda-pemuda dari agama
lain yang sekarang jauh lebih maju.

Saat ini banyak orang elergi mendengarkan kata-kata jihad, padahal tanpa
semangat jihad niscaya seorang muslim tidak mempunyai nilai apapun, harga
diri seorang muslim tidak lengkap tanpa ruh jihad. Jidad di sini pada intinya
adalah bersungguh-sungguh mengerahkan segala kemampuan untuk
menegakkan kejayaan dan martabat umat Islam.13

Menurut KH. Ma’ruf Amin ada beberapa faktor penyebab terjadinya konflik
agama, di antaranya sebagai berikut:14

a. Pemahaman agama yang radikal.


b. Kepentingan politik.
c. Pendirian tempat ibadah.
d. Penyiaran agama.
11
Taufik Adnan Amal, “Doktrin Jihad Banyak Disalahartikan”, (Online) tersedia di
www.islamlib.com. Diakses tanggal 5 Mei 2021
12
Toto Tasmara, Membudidayakan Etos Kerja Islami (Jakarta: Gema Insani Press,
2002), h. 39
13
Toto Tasmara, Menuju Muslim Kaffah; Menggali Potensi Diri (Jakarta: Gema Insani
Press, 2000), h. 58.
14
Mardani, Pendidikan Agama Islam untuk Perguruan Tinggi, (Jakarta: Prenamedia
Grup, 2017), h. 296.

9
e. Salah paham informasi di antara pemeluk agama.
f. Tidak efektifnya penegakan hukum.
g. Kurangnya pengembangan system pencegahan konflik secara dini.
B. Upaya Pencegahan Terjadinya Konflik Agama

Dari beberapa faktor penyebab di atas, maka upaya pencegahan terjadinya


konflik agama adalah sebagai berikut:15

1. Perlu ditingkatkan peran ulama dalam meluruskan kesalahan pemahaman


agama umatnya.
2. Peningkatan kesejahteraan umat.
3. Pendirian tempat ibadah harus sesuai ketentuan Undang-undang/hukum
yang berlaku di Negara Republik Indonesia.
4. Penyiaran agama harus mengikuti rambu-rambu yang telah dibuat oleh
pemerintah.
5. Kerja sama antar pemeluk agama, melalui kegiatan sosial dan lain-lain.
6. Aparat hukum harus tegas dalam penegakan hukum.
7. Perlu dibuat sistem pencegahan konflik agama secara dini dan efektif.

Mukti Ali menjelaskan bahwa ada beberapa pemikiran diajukan orang untuk
mencapai kerukunan dalam kehidupan beragama. Pertama, sinkretisme, yaitu
pendapat yang menyatakan bahwa semua agama adalah sama. Kedua,
reconception, yaitu menyelami dan meninjau kembali agama sendiri dalam
konfrontasi dengan agama-agama lain. Ketiga, sintesis, yaitu menciptakan suatu
agama baru yang elemen-elemennya diambilkan dari pelbagai agama, supaya
dengan demikian tiap-tiap pemeluk agama merasa bahwa sebagian dari ajaran
agamanya telah terambil dalam agama sintesis (campuran) itu. Keempat,
penggantian, yaitu mengakui bahwa agamanya sendiri itulah yang benar, sedang
agama-agama lain adalah salah dan berusaha supaya orang-orang yang lain agama
masuk dalam agamanya. Kelima, agree in disagreement (setuju dalam perbedaan),
yaitu percaya bahwa agama yang dipeluk itulah agama yang paling baik, dan

15
Mardani, h. 296.

10
mempersilahkan orang lain untuk mempercayai bahwa agama yang dipeluknya
adalah agama yang paling baik. Diyakini bahwa antara satu agama dan agama
lainnya, selain terdapat perbedaan, juga terdapat persamaan.16

Dari beberapa hasil diskusi bersama Amin Abdullah, paling tidak terdapat
beberapa tawaran akademik terhadap agama dan resolusi konflik yang terjadi
antara lain:

1. Pendidikan Integrasi-Interkoneksi atau Multikultural

Pendidikan multikultural (integrasi-interkoneksi) adalah solusi untuk


mencegah paling tidak meminimalisasikan konflik yang terjadi dengan
menanamkan kesadaran dengan nilai-nilai humanis dalam proses pendidikan.
Pendidikan multikulturalime adalah upaya kemanusiaan agar manusia
“bersikap seperti manusia” yaitu the politics of recognition, dengan cara
mengakui dan menghormati keberadaan kelompok lain, serta bertindak tegas
tidak memihak.20 Adapun type of education yang ditawarkan dalam
masyarakat multicultural adalah (1) non-diskriminatif, (2) communication,
(3) rising of concioness, (4) human right (HAM), (5) endegeous people, dan
(6) riset secara terus menerus. Maka, dalam masyarakat multikultural tidak
boleh dipaksakan pendidikan monokultural, Indonesia misalnya.Apabila hal
ini tarjadi konflik yang berkepanjangan sulit diatasi dan boleh jadi akan
melahirkan peserta didik (masyarakat) yang memiliki pemahaman dan
termasuk kelompok “fundamentalisme beragama.”

2. Kontekstualisasi Interpretasi Kitab Suci

Hambatan psikologis menjadi tantangan utama bagi para agamawan


untuk berani memahami Kitab Suci secara lebih wise, “baru”, dan humanis.
Teks-teks Kitab Suci, dalam pandangan pemakalah, ikut berperan sebagai
“potensi” kekerasan atas nama agama. Dalam konteks Islam misalnya, Al-
Quran maupun Hadis pada dasarnya bukanlah sesuatu yang bisa berbunyi
16
A. Mukti Ali, Ilmu Perbandingan Agama, Dialog, Dakwah dan Misi, (Jakarta : INIS,
1992), h. 227-229.

11
sendiri. Doktrin dan ajaran Islam bukanlah sesuatu yang baku yang tidak bisa
dirubah oleh para penganutnya, jika itu diperlukan. Ayat-ayat Al-Quran bisa
bunyi karena dibunyikan, dan doktrin-doktrin Islam bisa bermakna karena
dimaknai. Ajaran Islam, sebagaimana seluruh doktrin agama di dunia, bersifat
multiinterpretasi atau bisa ditafsirkan dengan beragam makna. Saatnya para
penganut/pemeluk agama mempertimbangkan corak keberagamaan wise,
“baru”, dan humanis di atas; tidak harfiyyah, tekstual, dan parsial dalam
melihat kelompok atau umat beragama di luar dirinya.

3. Peranan Pemimpin Agama (leaders)

Ada beberapa keyword yang dapat dilakukan oleh para leaders masing-
masing agama sebagai upaya pencegahan dan membangun perdamaian (post-
coflict peacebuilding), antara lain: pemimpin agama hendaknya bersikap
netral, mengajarkan nilai-nilai kemanusiaan, saling menghargai, kasih sayang,
menjaga jarak dengan politik yang membahayakan, peka tehadap masyalah
yang terjadi pada masyarakat, mempelajari kepercayaan agama lain agar tidak
diskomunikasi, memposisikan diri sebagai teladan masyrakat dan menjaga
kepercayaan masyarakat, mengajak masyarakat akan kesadaran hidup damai
(peace) dan saling berdampingan. Leaders agama-agama harus memahami
betul paling tidak dapat membedakan dan mempraktekkan dalam kehidupan
masyarakat, yaitu tentang religion dan politic (sulit untuk dipisahkan) dengan
religion and state (harus dibedakan dan dipisahkan). Apalagi agama sudah
dihubungkan dengan “ruang publik” akan mengalami kendala dalam
penegakan nilai-nilai dalam masyarakat multikultural. Sehingga menurut
Parekh religion and politic, “it is Ok” (sulit memisahkannya), tetapi bila
dalam ruang “public” religion and states harus dibedakan atau dipisahkan.
Karena agama yang dalam prakteknya menurut Parekh absolutist, self-
righteous, arrogant, dogmatic and impatient of compromise.17 Sedangkan
bagi Amin Abdullah dalam agama terdapat unsur volutory (suka rela) dan
17
Bhikhu Parekh, Politics, Religion & Free Speech in Rethinking Multiculturalism:
Cultural Diversity and Political Theory (Cambridge, Massachutts: Harvard University Press,
2002), h. 330.

12
guidance, sedangkan dalam states sifatnya compulsory dan governance.
Sehingga menurutnya agama di ruang “public” harus dipisahkan agar konflik
yang terjadi dapat diminimalisaisikan.

4. Kesadaran Agama Moderat

Memang tujuan agama adalah membebaskan manusia dari belenggu


kemiskinan, ketidakadilan, dan kezaliman. Akan tetapi penggunaan kekerasan
atau teror untuk mencapai tujuan mulia itu sama sekali tidak dibenarkan.
Semua umat beragama perlu meyakini bahwa agama tidak membenarkan
dirty hands untuk mencapai tujuan-tujuan apapun. Ironis apabila pembebasan
manusia dilakukan dengan mengorbankan nilai-nilai kemanusiaannya.
Diperlukan keberagamaan moderat sehingga akan mampu menolak
eksklusivisme berlebihan, dan radikalisme agama. Diperlukan juga
pengembangan wacana keagamaan moderat baik secara pribadi maupun
kelompok. Yaitu, interpretasi teks-teks Kitab Suci secara integral dan
kontekstual dalam bahasa agama yang damai, santun, arif, dan bijaksana.

13
BAB III

PENUTUP
A. Kesimpulan
Dari pembahasan di atas maka dapat disimpulkan bahwa setiap umat
beragama yang menghargai kemajemukan (pluralitas) masyarakat dan bangsa
serta mewujudkannya dalam suatu keniscayaan sehingga dapat saling menjaga
kerukunan hidup antarumat beragama. Yang terlihat di sini agama sebagai pemicu
atau sumber dari konflik. Sangatlah ironis konflik yang terjadi padahal suatu
agama pada dasarnya mengajarkan kepada para pemeluknya agar hidup dalam
kedamaian, saling tolong menolong dan juga saling menghormati serta menjaga
tali persaudaraan antar sesama umat beragama.

Dalam perbedaan agama semestinya tak perlu menjadi konflik manakala


masing-masing umat beragama memahami ajaran agama secara mendalam. Sebab
selain perbedaan yang ada antaragama, sesungguhnya juga terdapat banyak
persamaan. Apalagi ditambah adanya dialog yang intens untuk sama-sama
memperjuangkan masalah sosial kemanusiaan. Peluang konflik dengan sendirinya
akan makin kecil jika masing-masing umat beragama mau melakukan kerja sama
dalam masalah sosial-kemanusiaan.

B. Saran

Dari makalah ini penyusun menyarankan hendaknya semua pihak perlu


merenung dampak negetaif dari konflik yang berkepanjangan. Dengan pikiran
yang jernih kita semua mengakui bahwa tidak ada pihak yang memperoleh
keuntungan dalam konflik. Untuk itu kita perlu kembali pada ajaran agama yang
lurus. Sikap toleransi dan sikap pluralisme serta perlunya memahami pesan
Tuhan, merupakan upaya untuk mencari solusi bagaimana umat beragama bisa
hidup damai dan harmonis

14
DAFTAR PUSTAKA

Abdullah, Amin. “Religious Violence: Its Origin, Growth and Spread,” Kuliah
Umum: Filsafat Agama dan Resolusi Konflik di Universitas Islam Negeri
(UIN) Sunan Kalijaga tahun 2010.
Ali, Mukti. Ilmu Perbandingan Agama, Dialog, Dakwah dan Misi. Jakarta : INIS,
1992.
Amal, Taufik Adnan. “Doktrin Jihad Banyak Disalahartikan”, (Online) tersedia di
www.islamlib.com, Diakses tanggal 5 Mei 2021.
Daulay, Hamdan, Dakwah di Tengah Persoalan Budaya dan Politik/ Yogyakarta:
LESTI, 2001.
Ismail, Faisal, Islam Idealitas Ilahiyah dan Realitas Insaniyah. Yogyakarta: Tiara
Wacana Yogya, 1999.
Hanafi, Pengantar Teologi Islam. Jakarta: Al-Husna Zikra. 2001.

Imarah, Muhammad, Islam dan Pluralitas (Perbedaan dan Kemajemukan dalam


Bingkai Persatuan), Jakarta: Gema Insani, 1999.
Kahmad, Dadang. Sosiologi Agama. Bandung: Remaja Rosdakarya, 2006.

Mardani, Pendidikan Agama Islam untuk Perguruan Tinggi. Jakarta: Prenamedia


Grup, 2017.
Parekh, Bhikhu. Politics, Religion & Free Speech in Rethinking Multiculturalism:
Cultural Diversity and Political Theory Cambridge, Massachutts: Harvard
University Press. 2002.
Tasmara, Toto. Menuju Muslim Kaffah; Menggali Potensi Diri. Jakarta: Gema
Insani Press, 2000.
Tasmara, Toto. Membudidayakan Etos Kerja Islami. Jakarta: Gema Insani Press,
2002. Thontowi
--------“The Story of Armahedi Mahzar Intellectual & Spiritual Journey”, (Online)
tersedia di www.wordpress.com, Diakses tanggal 5 Mei 2021.
Wira hadikusuma, Agama dan Resolusi Konflik. Bengkulu: IAIN Bengkulu, 2017.

15

Anda mungkin juga menyukai