Dosen Pengampu:
Oleh
Siti Mahfuzah
NIRM: 18.11.20.0109.01604
Segala puja dan puji hanya bagi Allah semata, sang pencipta alam semesta,
yang selalu melimpahkan karunianya, sehingga penyusun dapat merangkumkan
makalah ini. Shalawat serta salam senantiasa penyusun haturkan kepada
junjungan kita Nabi besar Muhammad saw. beserta keluarganya dan para
sahabatnya.
Makalah dengan penyusun beri judul “KERUKUNAN UMAT BERAGAMA
(FAKTOR-FAKTOR PENYEBAB KONFLIK AGAMA) DAN (UPAYA
PENCEGAHAN TERJADINYA KONFLIK AGAMA)” yang membahas tentang
faktor penyebab konflik agama dan pencegahannya. Makalah ini di susun
bertujuan untuk memenuhi tugas mata kuliah Filsafat Pendidikan Islam. Penyusun
mengucapkan terima kasih kepada pihak yang telah membantu meyusun makalah
ini khususnya kepada dosen pengampu, Mu’allim Mohamad Nursalim Azmi, S. Ag.,
M. Ag.
Penyusun berharap agar makalah ini dapat bermanfaat bagi kita semua.
Semoga Allah senantiasa memberikan pemahaman yang mendekatkan kepada
kebenaran.
Penyusun
ii
DAFTAR ISI
KATA PENGANTAR..................................................................................i
DAFTAR ISI.................................................................................................ii
BAB I PENDAHULUAN........................................................................ 1
BAB II PEMBAHASAN........................................................................... 2
A. Kesimpulan...............................................................................15
B. Saran.........................................................................................15
DAFTAR PUSTAKA...................................................................................16
iii
BAB I
PENDAHULUAN
A. Latar Belakang
Indonesia dikenal sebagai suatu sosok masyarakat yang pluralistik yang
memiliki banyak kemajemukan dan keberagaman dalam hal agama, tradisi,
kesenian, kebudayaan, cara hidup dan pandangan nilai yang dianut oleh
kelompok-kelompok etnis dalam masyarakat Indonesia.1 Pada suatu sisi
pluralistik dalam bangsa Indonesia bisa menjadi positif dan konstruktif tetapi di
sisi lain juga bisa menjadi sebuah kekuatan yang negative dan destruktif yang
dapat berakibat pada disintegrasi bangsa. Kenyataannya sejarah masyarakat
adalah multi-complex yang mengandung religious pluralism. Hal ini adalah
realitas, karena itu mau tidak mau kita harus menyesuaikan diri, dengan mengakui
adanya religious pluralism dalam masyarakat Indonesia.2
B. Rumusan Masalah
1. Apa saja yang menjadi Faktor-faktor Penyebab Konflik Agama?
2. Bagaimana Upaya Pencegahan Terjadinya Konflik Agama?
C. Tujuan
1. Untuk Mengetahui Faktor-faktor Penyebab Konflik Agama.
2. Untuk Mengetahui Upaya Pencegahan Terjadinya Konflik Agama.
1
Faisal Ismail, Islam Idealitas Ilahiyah dan Realitas Insaniyah, (Yogyakarta: Tiara
Wacana Yogya, 1999), cet. I, h. 193.
2
Muhammad Imarah, Islam dan Pluralitas (Perbedaan dan Kemajemukan dalam Bingkai
Persatuan), (Jakarta: Gema Insani, 1999), cet 1, h. 11.
3
Hamdan Daulay, Dakwah di Tengah Persoalan Budaya dan Politik, (Yogyakarta:
LESTI, 2001), cet. I, h. 137.
1
BAB II
PEMBAHASAN
2
demikian, pemaksaan terhadap salah satu ritual akan berdampak negatif apabila
tidak disikapi dengan bijaksana.
Ketiga, teks (text). Teks keagamaan adalah hal yang juga sensitif dan rawan
mengundang konflik, karena teks tidak terlepas dari interpretasi manusia, masing-
masing manusia interpretasi manusia berbeda-beda. Sehingga dalam interpretasi
juga tidak terlepas dari interes (baca;kepentingan) terhadap sesuatu yang ingin ia
capai dari pemahamannya. Puncaknya mereka tidak mengakui keberadaan
pemahaman ajaran yang lain, yang berbeda dianggap musuh dan harus
dimusnahkan. Padahal perbedaan adalah rahmat yang harus dilestarikan, dengan
perbedaan kita akan maju dan bermutu. Karena ada upaya untuk berkompetisi,
sehingga memberikan dan melahirkan manfaat yang sebesar-besarnya untuk
kepentingan masyarakat.
Kelima, telling stories. Sejarah masa lalu adalah hal yang tidak bisa
dipungkiri keberadaannya. Secara historis peperangan yang terjadi memiliki
interes yaitu nilai, makna dan status yang diperjuangkan masyarakat bergama
pada saatnya. Karena warisan sejarah yang dianggap sakral, bagaimanapun cara
3
dan dengan alat apapun eksisitensi warisan leluhur (agama) harus dipertahankan.
Sejarah kelam masa lalu melahirkan sikap dan perilaku sebagai seorang
pendendam. Dendam berkepanjangan ini akan melahirkan konflik laten. Konflik
laten sangat berbahaya dibannding konflik terbuka bahkan kekerasan. Karena
konflik laten akan berdampak berkepanjangan dan dampak yang dahsyat, hal ini
terjadi berasal dari tumpukan masalah yang suatu saat akan meledak dan menjadi
konflik besar dan puncaknya akan terjadi kekerasan dan perang.
Berkaitan dengan dengan institusional ini yang perlu dijelaskan lebioh lanjut
adalah ketika agama dibawa dengan ruang “public” dalam masyarat multikultural
persoalan agama menjadi masalah yang sulit diselesaikan, karena agama menurut
Bhikhu Parekh dalam prakteknya bersifat absolutist, self-righteous, arrogant,
dogmatic and impatient of compromise. Oleh karena tawaran yang hendak
dijawab adalah bagaimana harus dibedakan antara religion dan state. State bila
hendak dilihat secara objektif mengandung aturan yang mengikat tanpa
membedakan agama, ras, golongan dan lainnya.
4
Terdapat tiga kelompok atau tiga masa besar tingkatan fundamentalisme
dalam hal sejarah kemunculannya dalam pandangan Amin Abdullah, yaitu:
Pertama, diawali pada tahun 1970-an yang terdiri dari pretty, ortodok, fanatism
dan dogmatism. kelompok kalau boleh diklasifikasikan termasuk kelompok
puritanisme. Kedua, pada tahun 1990-an adalah kelompok keras dengan
pengelompokan hardliner, militanise, extremism dan radicalism, dan ketiga, pada
tahun 2000-an dikenal dengan terrorism.5
Terjadinya konflik tidak terlepas dari adanya dalang atau provokatornya tidak
pernah diusut tuntas. Sehingga wajar jika masyarakat menuntut pemerintah
bertindak tegas menangkap provokatornya. Dari berbagai kerusuhan, teror, fitnah
dan pembunuhan memang sedang melanda bangsa kita sehingga untuk
5
Amin Abdullah, Kuliah Umum : Filsafat Agama dan Resolusi Konflik, (Yogyakarta:
Universitas Islam Negeri (UIN) Sunan Kalijaga, 2010), h.25.
6
Abdullah, Kuliah Umum : Filsafat Agama dan Resolusi Konflik, h. 24.
7
Hanafi, Pengantar Teologi Islam (Jakarta: Al-Husna Zikra, 2001), h. 127.
5
menghadapi berbagai bencana tersebut, maka semua pihak hendaknya senantiasa
waspada. Sebab, berbagai cara akan dilakukan oleh provokator untuk mengadu
domba antarumat beragama, antarsuku dan antaretnis sehingga persatuan dan
kesatuan menjadi rapuh.8 Oleh karena itu, setiap umat beragama senantiasa
berpegang teguh pada ajaran agamanya, agar mereka tidak akan terjebak pada isu-
isu yang melayang.
8
Daulay, Dakwah di Tengah Persoalan Budaya dan Politik, h. 138.
9
Dadang Kahmad, Sosiologi Agama, (Bandung: Remaja Rosdakarya, 2006), cet.IV, h.
174.
6
Kecenderungan umat beragama berupaya membenarkan ajaran agamnya
masingmasing, meskipun ada yang tidak paham terhadap nilai-nilai luhur
yang terkandung dalam agama yang dia bela tersebut. Namun semangat yang
menggelora kadang kala telah merendahkan orang lain yang tidak sepaham
dengannya meskipun berasal dari satu agama. Harus diakui keyakinan tentang
yang benar itu didasarkan pada Tuhan sebagai satusatunya sumber kebenaran.
Pluralitas manusia menyebabkan wajah kebenaran itu tampil beda ketika akan
dimaknakan. Sebab perbedaan ini tidak dapat dilepaskan begitu saja dari
berbagai referensi dan latar belakang orang yang meyakininya. Mereka
mengklaim telah memahami, memiliki, bahkan menjalankan secara murni
terhadap nilai-nilai suci itu.
10
________ The Story of Armahedi Mahzar Intellectual & Spiritual Journey”,
(Online) tersedia di www.wordpress.com. Diakses tanggal 5 Mei 2021.
7
pun sulit dihindari. Fenomena yang seperti inilah yang dapat merusak
kerukunan umat beragama serta berpotensi melahirkan konflik agama.
b. Doktin Jihad
Pasca bom Bali I banyak orang tersentak ketika Imam Samudra, tersangka
utama bom Bali, mengeluarkan pernyataan mencengangkan di hadapan
wartawan. “Ini adalah perjuangan suci (jihad), bukan perjuangan hina. Insya
Allah, Allahu akbar!” Tentu saja, pernyataan Imam Samudra tersebut
menyisakan banyak pertanyaan dalam pikiran semua orang tentang konsep
jihad dalam Islam. Dalam agama memang dikenal konsep jihad, namun
bukan jihad sebagaimana yang dipahami oleh Imam Samudra seperti di atas,
yaitu membunuh orang tanpa berdosa karena disebabkan oleh doktrin-doktrin
tertentu. Ajaran agama memang doktrin, tetapi agama memberikan kebebasan
kepada pemeluknya untuk menafsirkan teks-teks kitab suci dalam agama.
Belakangan yang terjadi di negara Indonesia banyak pihak melegitimasi
kekerasan atas nama Tuhan, padahal kekerasa dari perspektif manapun tidak
dibenarkan terlebih lagi dari sudut pandang agama, terutama Islam, yang
mendeklarasikan kedamaian sebagai inti ajarannya. Jihad dalam Islam
dimulai ketika Nabi saw hijrah dari Mekkah ke Madinah. Dalam hal ini, harus
dimengerti bahwa Madinah adalah semacam “negara muslim” yang harus
mempertahankan eksistensinya melawan orang-orang Arab dari klan Quraisy
ketika itu. Dari sinilah ajaran Islam tentang jihad itu berkembang. Sebenarnya
tafsiran paling mutakhir tentang jihad selalu bersifat defensif. Dengan
demikian, pada periode modern, pengertian jihad sama sekali tak bermakna
ofensif. Konteks jihad pada fase Madinah saat itu Nabi saw harus
mempertahankan eksistensi komunitas muslim yang dirongrong oleh suku
Quraisy yang berdomisili di Mekkah, beberapa suku Yahudi di Madinah, dan
beberapa suku Badui. Jadi, saat itu memang ada doktrin Islam yang
mengajarkan Nabi saw mempertahankan diri dari serangan musuh. Namun
demikian, doktrin tersebut juga bermakna agak ofensif. Misalnya, kasus
penyerangan atau penaklukan kota Mekkah (fath al-Makkah). Tanpa
8
menyerang Mekkah ketika itu, hampir mustahil Nabi saw bisa menguasai
jazirah Arab secara keseluruhan.11 Jihad pada era modern sekarang dapat
dimaknai dari berbagai perspektif, karena jihad sekalipun identik dengan
peperangan fisik, sekarang harus dibalik ke jihad sosial yaitu bagaimana
memerangi kemiskinan dan kebodohan umat, karena banyak sekali kasus
yang menimpa umat Islam disebabkan oleh ketidak mampuan umat Islam
memerangi kemiskinan dan kebodohan sehingga dalam banyak bidang umat
Islam mengalami diskriminasi akibat kemiskinan dan kebodohan tersebut.
Semangat perubahan tidak mungkin terwujud kecuali dengan adanya jihad.12
Doktrin inilah seharusnya yang perlu ditanamkan kepada generasi muda, agar
pemuda Islam mampu mensejajarkan diri dengan pemuda-pemuda dari agama
lain yang sekarang jauh lebih maju.
Saat ini banyak orang elergi mendengarkan kata-kata jihad, padahal tanpa
semangat jihad niscaya seorang muslim tidak mempunyai nilai apapun, harga
diri seorang muslim tidak lengkap tanpa ruh jihad. Jidad di sini pada intinya
adalah bersungguh-sungguh mengerahkan segala kemampuan untuk
menegakkan kejayaan dan martabat umat Islam.13
Menurut KH. Ma’ruf Amin ada beberapa faktor penyebab terjadinya konflik
agama, di antaranya sebagai berikut:14
9
e. Salah paham informasi di antara pemeluk agama.
f. Tidak efektifnya penegakan hukum.
g. Kurangnya pengembangan system pencegahan konflik secara dini.
B. Upaya Pencegahan Terjadinya Konflik Agama
Mukti Ali menjelaskan bahwa ada beberapa pemikiran diajukan orang untuk
mencapai kerukunan dalam kehidupan beragama. Pertama, sinkretisme, yaitu
pendapat yang menyatakan bahwa semua agama adalah sama. Kedua,
reconception, yaitu menyelami dan meninjau kembali agama sendiri dalam
konfrontasi dengan agama-agama lain. Ketiga, sintesis, yaitu menciptakan suatu
agama baru yang elemen-elemennya diambilkan dari pelbagai agama, supaya
dengan demikian tiap-tiap pemeluk agama merasa bahwa sebagian dari ajaran
agamanya telah terambil dalam agama sintesis (campuran) itu. Keempat,
penggantian, yaitu mengakui bahwa agamanya sendiri itulah yang benar, sedang
agama-agama lain adalah salah dan berusaha supaya orang-orang yang lain agama
masuk dalam agamanya. Kelima, agree in disagreement (setuju dalam perbedaan),
yaitu percaya bahwa agama yang dipeluk itulah agama yang paling baik, dan
15
Mardani, h. 296.
10
mempersilahkan orang lain untuk mempercayai bahwa agama yang dipeluknya
adalah agama yang paling baik. Diyakini bahwa antara satu agama dan agama
lainnya, selain terdapat perbedaan, juga terdapat persamaan.16
Dari beberapa hasil diskusi bersama Amin Abdullah, paling tidak terdapat
beberapa tawaran akademik terhadap agama dan resolusi konflik yang terjadi
antara lain:
11
sendiri. Doktrin dan ajaran Islam bukanlah sesuatu yang baku yang tidak bisa
dirubah oleh para penganutnya, jika itu diperlukan. Ayat-ayat Al-Quran bisa
bunyi karena dibunyikan, dan doktrin-doktrin Islam bisa bermakna karena
dimaknai. Ajaran Islam, sebagaimana seluruh doktrin agama di dunia, bersifat
multiinterpretasi atau bisa ditafsirkan dengan beragam makna. Saatnya para
penganut/pemeluk agama mempertimbangkan corak keberagamaan wise,
“baru”, dan humanis di atas; tidak harfiyyah, tekstual, dan parsial dalam
melihat kelompok atau umat beragama di luar dirinya.
Ada beberapa keyword yang dapat dilakukan oleh para leaders masing-
masing agama sebagai upaya pencegahan dan membangun perdamaian (post-
coflict peacebuilding), antara lain: pemimpin agama hendaknya bersikap
netral, mengajarkan nilai-nilai kemanusiaan, saling menghargai, kasih sayang,
menjaga jarak dengan politik yang membahayakan, peka tehadap masyalah
yang terjadi pada masyarakat, mempelajari kepercayaan agama lain agar tidak
diskomunikasi, memposisikan diri sebagai teladan masyrakat dan menjaga
kepercayaan masyarakat, mengajak masyarakat akan kesadaran hidup damai
(peace) dan saling berdampingan. Leaders agama-agama harus memahami
betul paling tidak dapat membedakan dan mempraktekkan dalam kehidupan
masyarakat, yaitu tentang religion dan politic (sulit untuk dipisahkan) dengan
religion and state (harus dibedakan dan dipisahkan). Apalagi agama sudah
dihubungkan dengan “ruang publik” akan mengalami kendala dalam
penegakan nilai-nilai dalam masyarakat multikultural. Sehingga menurut
Parekh religion and politic, “it is Ok” (sulit memisahkannya), tetapi bila
dalam ruang “public” religion and states harus dibedakan atau dipisahkan.
Karena agama yang dalam prakteknya menurut Parekh absolutist, self-
righteous, arrogant, dogmatic and impatient of compromise.17 Sedangkan
bagi Amin Abdullah dalam agama terdapat unsur volutory (suka rela) dan
17
Bhikhu Parekh, Politics, Religion & Free Speech in Rethinking Multiculturalism:
Cultural Diversity and Political Theory (Cambridge, Massachutts: Harvard University Press,
2002), h. 330.
12
guidance, sedangkan dalam states sifatnya compulsory dan governance.
Sehingga menurutnya agama di ruang “public” harus dipisahkan agar konflik
yang terjadi dapat diminimalisaisikan.
13
BAB III
PENUTUP
A. Kesimpulan
Dari pembahasan di atas maka dapat disimpulkan bahwa setiap umat
beragama yang menghargai kemajemukan (pluralitas) masyarakat dan bangsa
serta mewujudkannya dalam suatu keniscayaan sehingga dapat saling menjaga
kerukunan hidup antarumat beragama. Yang terlihat di sini agama sebagai pemicu
atau sumber dari konflik. Sangatlah ironis konflik yang terjadi padahal suatu
agama pada dasarnya mengajarkan kepada para pemeluknya agar hidup dalam
kedamaian, saling tolong menolong dan juga saling menghormati serta menjaga
tali persaudaraan antar sesama umat beragama.
B. Saran
14
DAFTAR PUSTAKA
Abdullah, Amin. “Religious Violence: Its Origin, Growth and Spread,” Kuliah
Umum: Filsafat Agama dan Resolusi Konflik di Universitas Islam Negeri
(UIN) Sunan Kalijaga tahun 2010.
Ali, Mukti. Ilmu Perbandingan Agama, Dialog, Dakwah dan Misi. Jakarta : INIS,
1992.
Amal, Taufik Adnan. “Doktrin Jihad Banyak Disalahartikan”, (Online) tersedia di
www.islamlib.com, Diakses tanggal 5 Mei 2021.
Daulay, Hamdan, Dakwah di Tengah Persoalan Budaya dan Politik/ Yogyakarta:
LESTI, 2001.
Ismail, Faisal, Islam Idealitas Ilahiyah dan Realitas Insaniyah. Yogyakarta: Tiara
Wacana Yogya, 1999.
Hanafi, Pengantar Teologi Islam. Jakarta: Al-Husna Zikra. 2001.
15