MAKALAH
Assalamu’alaikum Wr.Wb
Puji dan syukur kami panjatkan kehadirat Allah SWT yang sudah
melimpahkan rahmat dan karunia-Nya sehingga kami dapat menyelesaikan tugas
kelompok Makalah ini dengan tepat waktu. Karena tanpa pertolongan-Nya saya
tidak dapat menyelesaikan Makalah ini. Sholawat serta salam semoga terlimpah
curah kepada Nabi Muhammad SAW.
Adapun tujuan pembuatan makalah dengan judul “Islam dan Pluralisme di
Indonesia” adalah untuk memenuhi tugas mata kuliah Sejarah Kebudayaan Islam
& Budaya Lokal dan sekiranya laporan yang telah disusun ini dapat berguna bagi
kami sendiri maupun orang yang membacanya
Tak lupa kami ucapkan banyak terima kasih kepada Drs. Malik Ibrahim,
M.Ag. selaku dosen mata kuliah Sejarah Kebudayaan Islam & Budaya Lokal
yang telah memberikan tugas ini kepada kami. Sebelumnya kami minta maaf
apabila terdapat kesalahan kata-kata yang kurang berkenan dan kami memohon
saran yang membangun demi perbaikan di masa depan.
Akhir kata kami ucapkan terima kasih.
Wassalamu’alaikum Wr.Wb
Penyusun
ii
DAFTAR ISI
2.6 Kaitan Pluralisme di Indonesia dengan Budaya Lokal yang Ada .......... 21
iii
BAB I
PENDAHULUAN
Islam dan Pluralisme seakan menjadi dua hal yang saling bertalian dan
tidak dapat dipisahkan. Islam sebagai salah satu agama besar didunia ini perlu
menganggap bahwa pluralitas agama yang muncul dalam kehidupan bukanlah hal
yang harus dihindari namun harus dijadikan iringan dalam mewujudkan
kehidupan yang harmonis dan damai tanpa adanya batas-batas yang mampu
membuat Islam dianggap keras dan intoleran.
Indonesia merupakan Negara kepulauan terbesar di dunia dengan ribuan
pulau yang ada diwilayahnya, baik yang besar maupun yang kecil, baik yang
dihuni maupun yang tidak. Indonesia juga merupakan Negara dengan latar
belakang yang paling beraneka ragam, dengan sekitar 400 kelompok etnis dan
bahasa yang ada dibawah naungannya. Dengan semakin beraneka ragamnya
masyarakat dan budaya, sudah tentu setiap masing-masing individu masyarakat
mempunyai keinginan yang berbeda-beda, Orang-orang dari daerah yang berbeda
dengan latar belakang yang berbeda, struktur sosial, dan karakter yang berbeda,
memiliki pandangan yang berbeda dengan cara berpikir dalam menghadapi hidup
dan masalah mereka sendiri. dan hal tersebut kemungkinan besar akan
menimbulkan konflik dan perpecahan yang hanya berlandaskan emosi diantara
individu masyarakat, apalagi kondisi penduduk Indonesia sangatlah mudah
terpengaruh oleh suatu informasi tanpa mau mengkaji lebih dalam. Untuk itulah
diperlukan paham pluralisme untuk mempersatukan suatu bangsa.
Pluralisme memungkinkan terjadinya kerukunan masyarakat, bukan
konflik. Dalam islam, pluralitas, yang dibangun diatas tabi’at asli, kecenderungan
individual, dan perbedaan masing-masing pihak masuk dalam kategori fitrah
yang telah digariskan oleh Allah SWT bagi seluruh manusia. Fitrah itu dapat saja
dibelenggu atau dikekang. Namun ia tetap sebagai sunnah (ketentuan) dari
sunnah Allah SWT yang tidak dapat berubah atau tergantikan.
1
2
1.3. Tujuan
1
Sururin, Nilai-Nilai Pluralisme Dalam Islam : Bingkai Gagasan Yang Berserak,
(Bandung : Nuansa, 2005), hlm 23
3
4
2
Khoiruddin Nasution, Pengantar Studi Islam,(Yogyakarta: Tafazza, 2010), hlm 56
5
realitas, yang di dalamnya berbagai ragam agama, ras, dan bangsa, hidup secara
berdampingan di sebuah lokasi. Namun demikian tidak terjadi interaksi positif
antar penduduk lokasi tersebut, khususnya di bidang agama. Konsep pluralisme
tidak dapat disamakan dengan relativisme. Seorang relativis akan berasumsi
bahwa hal-hal yang menyangkut “kebenaran” atau “nilai” ditentukan oleh
pandangan hidup serta kerangka berpikir seseorang atau masyarakatnya. Implikasi
dari paham relativisme agama adalah bahwa doktrin agama apapun harus
dinyatakan benar dan semua agama adalah sama. Pluralisme agama bukanlah
sinkretisme, yaitu menciptakan suatu agama baru dengan memadukan unsur-unsur
tertentu dari berbagai ajaran agama.
Kata pluralisme berasal dari bahasa Inggris “plural” yang berarti jamak
atau banyak, adapun pluralisme itu sendiri berarti suatu paham atau teori yang
menganggap bahwa realitas itu terdiri dari banyak substansi3. Pluralisme juga
sering digunakan untuk melihat makna realitas keragaman sosial-masyarakat
sekaligus sebagai prinsip atau sikap terhadap keragaman itu. Baik kemajemukan
dalam unsur budaya maupun keragaman manusia dengan segala aspeknya.
3
Pius A. Partanto dan M. Dahlan Al Barry, Kamus Ilmiah Populer (Surabaya: Ar Kolah, 1994),
hlm. 604
6
agama yang dengan tegas mengakui hak-hak penganut agama lain untuk hidup
bersama dan menjalankan ajaran masing-masing dengan penuh kesungguhan.
Artinya:
Dan Kami telah turunkan kepadamu Al Quran dengan membawa
kebenaran, membenarkan apa yang sebelumnya, yaitu kitab-kitab (yang
diturunkan sebelumnya) dan batu ujian terhadap kitab-kitab yang lain itu;
maka putuskanlah perkara mereka menurut apa yang Allah turunkan dan
janganlah kamu mengikuti hawa nafsu mereka dengan meninggalkan
kebenaran yang telah datang kepadamu. Untuk tiap-tiap umat diantara
kamu, Kami berikan aturan dan jalan yang terang. Sekiranya Allah
menghendaki, niscaya kamu dijadikan-Nya satu umat (saja), tetapi Allah
hendak menguji kamu terhadap pemberian-Nya kepadamu, maka
berlomba-lombalah berbuat kebajikan. Hanya kepada Allah-lah kembali
kamu semuanya, lalu diberitahukan-Nya kepadamu apa yang telah kamu
perselisihkan itu,.” 4
4
Al Qur’an dan terjemahnya, Depag, S. Al Maidah (3) : 48, hal. 168
8
Artinya:
“Dan kalau Allah menghendaki, niscaya Dia menjadikan kamu satu
umat (saja), tetapi Allah menyesatkan siapa yang dikehendaki-Nya dan
memberi petunjuk kepada siapa yang dikehendaki-Nya. Dan sesungguhnya
kamu akan ditanya tentang apa yang telah kamu kerjakan.” 7
5
Yusuf, Abdul Wadud, Tafsir al-Mu’minin, (Beirut: Dar al-Fikr, tt) hal. 62
6
Al-Maliky,Syaikh Ahmad Al-Shawi, Hasyiah Al-‘Allamah Al-Shawy ‘Ala Tafsir Al-
Jalaluddin, (Surabaya: Dar Ihya Al-Kutub Al-Arabiyah, tt), hal. 287
7
Al Qur’an dan terjemahnya, Depag, S. An Nahl (16) : 93, hal. 416
9
Ayat ini mempunyai substansi yang sama dengan ayat 46 surah al-
Ma’idah tersebut di atas, yaitu mengemukakan kesengajaan Allah
menciptakan perbedaan. Bahwa Tuhan tidak menjadikan manusia sebagai
umat yang satu. Satu dalam pengertian, satu agama (millarun wahidatun)
sehingga tidak berselisih faham dan berpecah-pecah seperti diungkapkan
dalam tafsir Shafwatul Bayan Li Ma’anil Qur’an karya Syaikh Hasanain
Muhammad Makluf (1994: 277)8
Artinya:
“Dan bagi tiap-tiap umat ada kiblatnya (sendiri) yang ia menghadap
kepadanya. Maka berlomba-lombalah (dalam membuat) kebaikan. Di
mana saja kamu berada pasti Allah akan mengumpulkan kamu sekalian
(pada hari kiamat). Sesungguhnya Allah Maha Kuasa atas segala
sesuatu.” 9
Agama bahwa rahasia kemajemukan hanya diketahui oleh Allah, dan tugas
manusia adalah menerima, memahami dan menjalani.10
4. Surat al-Hujaraat: 13:
Artinya:
“Hai manusia, sesungguhnya kami menciptakan kamu dari seorang
laki-laki dan seorang perempuan dan menjadikan kamu berbangsa-bangsa
dan bersuku-suku supaya kamu saling kenal mengenal. Sesungguhnya
orang yang paling mulia di antara kamu di sisi Allah ialah orang yang
paling bertaqwa diantara kamu. Sesungguhnya Allah maha mengetahui
lagi maha mengenal. 11
Makna substansial surat al-Hujaraat ayat 13 adalah, bahwa umat
manusia harus menerima kenyataan kemajemukan budaya. Surah ini
menegaskan bahwa Allah menciptakan manusia dari jenis kelamin laki-
laki dan perempuan, menjadikan mereka berbangsa-bangsa dan bersuku-
suku (etnis), dengantujuan agar mereka saling mengenal dan menghargai.
Dari kemajemukan itu yang paling mulia di sisi Allah adalah mereka yang
paling bertaqwa kepada-Nya. Kemajemukan dalam ayat ini menunjuk
pada keanekaragaman budaya seperti; gender, ras, suku, dan bangsa dalam
rangka mendatangkan kebaikan dan kediaman di muka bumi.
10
Nugroho, Heru, Atas Nama Agama, (Bandung: Pustaka Hidayah, Cet. I, 1998) hal. 64.
11
Al Qur’an dan terjemahnya, Depag, S. Al Hujurat (49) : 13, hal. 847.
11
Artinya:
“Dan barang siapa mencari agama selain Islam sebagai agama maka
tidak akan diterima dan akhirat dia termasuk kaum yang merugi”. 12
Adapun tafsirnya adalah :
Dan barangsiapa mencari agama selain agama Islam maka sekali-
kali tidaklah akan diterima (agama itu) daripadanya dan dia diakhirat
termasuk orang-orang yang merugi.
Namun demikian al-Qur’an yang mengakui adanya pluralisme
agama sebagai sebuah fenomena, menganjurkan umat Islam untuk dapat
menjaga hubungan baik dengan umat beragama lain. Di antara sikap al-
Qur’an tersebut adalah tercermin sebagai berikut:
1. Ajakan berbuat damai
12
Al Qur’an dan terjemahnya, Depag, S. Ali ‘Imran (3) : 85, hal. 90
12
Artinya:
“Dan sekiranya Allah tiada menolak (keganasan) sebagian manusia
dengan sebagian yang lain, tentulah telah dirobohkan biara-biara nasrani,
gereja-gereja, rumah-rumah ibadat orang yahudi dan masjid-masjid, yang
di dalamnya banyak di sebut nama Allah. Sesungguhnya Allah pasti
menolong orang yang menolong (agama)-Nya. Sesungguhnya Allah benar-
benar maha kuat lagi maha perkasa” (Q.S. Al-Hajj 22: 40). 13
Tafsirnya adalah :
Katakanlah hai wahai ahli kitab marilah kepada suatu kalimat
(ketetapan) yang tidak ada perselisihan antara kami dan bahwa tidak ada
perselisihan antara kami dan kamu bahwa tidak kita sembah kecuali Allah
dan tidak kita persekutukan Dia dengan sesuatupun dan tidak pula
sebagian kita menjadikan sebagian yang lain sebagai Tuhan selain
daripada Allah jika mereka berpaling maka katakanlah kepada mereka
saksikanlah bahwa kami adalah orang-orang yang menyerahkan diri
kepada Allah.
Al-Qur’an, seperti yang termaktub dalam ayat di atas jelas tidak
menghendaki adanya perseteruan antar agama (clash). Dengan adanya
agama sebagai pedoman hidup hendaknya menjadikan seseorang sebagai
sosok yang gandrung dengan kedamaian dan cinta kasih. Bukan sebaliknya
sebagai jiwa perusak, seperti fenomena umat beragama saat ini yang
gemar melakukan perusakan tempat ibadah umat beragama lain.
13
Al Qur’an dan terjemahnya, Depag, S. Al-Hajj (22) : 40, hlm. 518
13
Artinya:
“Tidak ada paksaan untuk (memasuki) agama (Islam); sesungguhnya
telah jelas jalan yang benar dari pada jalan yang sesat. Karena itu barang
siapa yang ingkar kepada Thaghut dan beriman kepada Allah, maka
sesungguhnya ia telah berpegang kepada buhul tali yang amat kuat yang
tidak akan putus. Dan Allah maha mendengar lagi maha mengetahui.” 14
14
Al Qur’an dan terjemahnya, Depag, S. Al Baqarah (2) : 256, hal. 63.
15
Tafsir Marah Labid, Jilid I, 82.
14
16
Shihab, M. Quraish, Wawasan …. , hal. 486.
15
Artinya:
“Dan tiadalah binatang-binatang yang ada di bumi dan burung-
burung yang terbang dengan kedua sayapnya, melainkan umat-umat (juga)
seperti kamu. Tiadalah kami alpakan sesuatupun di dalam al-Kitab,
kemudian kepada tuhanlah mereka dihimpunkan”. (QS 6: 38) 17
17
Al Qur’an dan terjemahnya, Depag, S. Al An’am (6) : 38, hal. 192
16
Prof. Dr. Nurcholish Madjid atau populer dipanggil Cak Nur lahir di
Jombang, Jawa Timur, 17 Maret 1939. Dia adalah seorang pemikir Islam,
cendekiawan, dan budayawan Indonesia. Pada masa mudanya sebagai
aktifis Himpunan Mahasiswa Islam (HMI), ide dan gagasannya tentang
sekularisasi dan pluralisme pernah menimbulkan kontroversi dan
mendapat banyak perhatian dari berbagai kalangan masyarakat.
Pluralisme bagi Cak Nur adalah suatu landasan sikap positif untuk
menerima kemajemukan semua hal dalam kehidupan sosial dan budaya,
termasuk agama. Yang dimaksud dengan sikap positif adalah sikap aktif
dan bijaksana. Pluralisme menurut rumusan Cak Nur merupakan bagian
dari sikap dasar dalam berislam. “Yaitu sikap terbuka untuk berdialog dan
menerima perbedaan secara adil”, katanya. “Dengan keterbukaan dan
sikap dialogis itu dimaksudkan agar kita memiliki etos membaca,
membina, belajar, dan selalu arif.” Pandangan pluralis Cak Nur tampaknya
belum dipahami oleh masyarakat dan tokoh agama dengan baik. Menurut
dosen Paramadina (Cak Nur), masih banyak kalangan yang
menyalahartikan makna pluralisme. Sebagian menganggap bahwa
pluralisme adalah sikap atau gagasan yang meyakini kebenaran semua
agama. Sehingga para pendukung gagasan pluralisme sering digolongkan
dalam penganut relativisme agama (membatasi agama). Bahkan tak jarang
dari mereka yang dianggap sesat dan murtad.
Kyai Haji Abdurrahman Wahid atau yang akrab dipanggil Gus Dur
lahir di Jombang, Jawa Timur, 7 September 1940 dari pasangan Wahid
17
Gus Dur juga pernah berpendapat bahwa dirinya tidak setuju terhadap
seorang muslim yang menyatakan agama orang lain adalah benar
sebagaimana kebenaran agamanya. Dia lebih suka mengatakan, “Semua
agama mengajarkan kebaikan dan kebenaran”. Dari kedua pendapat
tersebut, dia menunjukkan terdapat perbedaan substansial (yang pokok)
dalam beragama. Dia tidak mau terlibat terlalu jauh ke dalam urusan
kebenaran yang diyakinani oleh orang lain tersebut. Sebab, menurut dia,
setiap orang akan mempertanggungjawabkan keyakinannya sendiri-sendiri
di hadapan Tuhan.
Di sini Gus Dur memberi contoh kepada para tokoh muslim maupun
nonmuslim, bagaimana harus bersikap dengan pemeluk agama lain dalam
kehidupan berbangsa dan bernegara dengan tanpa kehilangan identitas.
Dia membedakan secara jelas mana wilayah privat dan mana wilayah
publik.
18
Mukti Ali bukanlah nama asli, karena tokoh yang lahir pada 23
Agustus 1923 ini memiliki nama kecil Boedjono. Ia Lahir di Desa Balun
Sudagaran, Cepu, di daerah perbatasan antara Jawa tengah dan Jawa
Timur. Balun Sudagaran merupakan desa para saudagar.
salah, seraya berupaya keras agar para pengikut agama-agama lain itu
memeluk agamanya. Ia tidak rela melihat orang lain memeluk agama dan
kepercayaan lain yang berbeda dengan agama yang dianutnya. Oleh karena
itu, agama-agama lain itu haruslah diganti dengan agama yang dia peluk.
Dengan jalan ini, ia menduga bahwa kerukunan hidup beragama dapat
dicipta dan dikembangkan.
4. Ahmad Wahib
Wahib adalah orang yang berada pada posisi terbuka untuk menerima
banyak gaya hidup dan etos kepesantrenan, untuk mempelajari kotroversi
keagamaan, dan untuk mengumpulkan gagasan-gagasan yang akan
dikembangkannya sendiri kemudian.
20
5. Djohan Effendi
6. Harun Nasution
Ijtihad terbatas pada bidang hukum saja, tetapi meliputi semua bidang
pemikiran dalam Islam ini berbeda dengan anggapan umum yang
berkembang selama ini bahwa jihad itu seolah-olah di bidang hukum Islam
21
7. Dawam Raharjo
َّ ارفُ َٰٓو ْۚا ِإ َّن أ َ ۡك َر َم ُك ۡم ِعندَ ٱ ََّّللِ أَ ۡتقَ َٰى ُك ْۡۚم ِإ َّن
ٱَّللَ َع ِلي ٌم ُ ََّٰ َٰٓيَأَيُّ َها ٱلن
ُ اس ِإنَّا َخلَ ۡق َٰنَ ُكم ِمن ذَك َٖر َوأُنث َ َٰى َو َج َع ۡل َٰنَ ُك ۡم
َ شعُوبا َو َقبَآَٰئِ َل ِلت َ َع
َخ ِبير
yang sejajar dan sama. Tidak ada kebudayaan yang lebih tinggi
18
Fitriani, Pluralisme Agama-Budaya Dalam Perspektif Islam, Institut Agama Islam Negeri
(IAIN) Ambon, Jurnal Al- Ulum Volume. 11, Nomor 2, Desember 2011, hal 332-333
23
Agama dan budaya adalah dua bidang yang dapat dibedakan tetapi tidak
dapat dipisahkan. Menurut Nurcholis Majid, agama bernilai mutlak, tidak berubah
menurut perubahan waktu dan tempat. Sedangkan budaya, sekalipun berdasarkan
agama, dapat berubah dari waktu ke waktu dan dari tempat ke tempat.
Kebanyakan budaya berdasarkan agama, namun tidak pernah sebaliknya, agama
berdasarkan budaya. Oleh karena itu, agama adalah primer, dan budaya adalah
sekunder. Budaya dapat berupa ekspresi hidup keagamaan, karena ia merupakan
sub-ordinat dari agama.
19
M. Syaiful Rahman, Islam Dan Pluralisme, 2014, STAIN Pamekasan, Jurnal, hal. 406.
24
20
Ach. Shodiqil Hafl, Komunikasi Agama Dan Budaya (Studi atas Budaya Kompolan Sabellesen
Berdhikir Tarekat Qadiriyah Naqshabandiyah di Bluto Sumenep Madura) Desember 2016, hal
162-163, Jurnal BalaghVol. 1, No. 2, Juli
21
Khoiro Ummatin, Sejarah Islam & Budaya Lokal, (2017: Kalimedia Yogyakarta), hal 195
25
ajaran Islam. Langkah ini untuk mengantisipasi, agar budaya dan tradisi lokal
tidak keluar dari kaidah-kaidah tauhid.
22
Iwan Adi Kusuma, Tradisi Nyadranan Masyarakat Jawa (2017), busurnews.com/2017/07/tradisi-
nyadran-masyarakat-jawa (ddiakses 20 Maret 2018)
23
Op. Cit Ummatin hal. 195
BAB III
KESIMPULAN
26
DAFTAR PUSTAKA
Al-Maliky, dan Ahmad Al-Shawi. Hasyiah Al-‘Allamah Al-Shawy ‘Ala Tafsir Al-
Jalaluddin. Surabaya: Dar Ihya Al-Kutub Al-Arabiyah, 1994.
Fitriani. Pluralisme Agama-Budaya dalam Prespektif Islam. Ambon: IAIN
Ambon, 2011.
Hafl, Ach Shodiqil. Komunikasi Agama Dan Budaya (Studi atas Budaya
Kompolan Sabellesen Berdhikir Tarekat Qadiriyah Naqshabandiyah di
Bluto Sumenep Madura). Madura, 2012.
Kusuma, Iwan Adi. Tradisi Nyadranan Masyarakat Jawa. Juli 2017.
busurnewa.com/2017/07/tradisi-nyadran-masyarakat-jawa (diakses Maret
20, 2018).
Makhluf, dan Syaikh Hasanain Muhammad. Shafwatul Bayan Li Ma’anil Qur’an.
Kairo: Darul Basya’ir, 1994.
Nasution, Khoiruddin. Pengantar Studi Islam. Yogyakarta: Tafazza, 2010.
Nugroho, Heru. Atas Nama Agama. Bandung: Pustaka Hidayah, 1998.
Partanto, Pius A, dan M Dahlan Al Barry. Kamus Ilmiah Populer . Surabaya: Ar
Kolah, 1994.
Rahman, M Syaiful. Islam dan Pluralisme. STAN Pamekasan: Pamekasan, 2014.
Sururin. Sururin, Nilai-Nilai Pluralisme Dalam Islam : Bingkai Gagasan Yang
Berserak. Bandung: Nuansa, 2005.
Ummatin, Khoiro. Sejarah Islam & Budaya Lokal. Yogyakarta: Kalimedia
Yogyakarta, 2017.
Yusuf, dan Abdul Wadud. Tafsir al-Mu’minin. Beirut: Dar al-Fik, 1997.
27