Anda di halaman 1dari 21

IDENTITAS ISLAM SEBAGAI PERADABAN DAN

PERTAUTANNYA
MAKALAH
Disusun untuk memenuhi mata kuliah
“Sejarah Peradaban Islam”

Disusun oleh:
Adelia Yuli Pranita (06020122035)
Fachril Achmad Aziz (06020122043)
Dosen Pengampu :
Prof. Rubaidi, M.Ag

PENDIDIKAN AGAMA ISLAM


FAKULTAS TARBIYAH DAN KEGURUAN
UNIVERSITAS ISLAM NEGERI SUNAN AMPEL SURABAYA
2022/2023

i
KATA PENGANTAR
Assalamu’alaikum wr. wb
Bismillahirrahmanirrahim

Alhamdulillah, segala puji hanya kepada Allah SWT, tuhan semesta alam. Atas
segala nikmat dan karunia-Nya makalah ini dapat terselesaikan tepat pada waktunya.
Tak lupa juga, sholawat serta salam kepada nabi besar kita, nabi Muhammad SAW
yang telah menuntun kita ke jalan yang terang benderang yakni ad-din al-islam.
Maksud dan tujuan pembuatan makalah ini sendiri untuk mengetahui dan
menjelaskan tentang Identitas Islam sebagai Peradaban dan Pertautannya. Untuk itu,
kami berterima kasih kepada seluruh pihak yang telah berkontribusi dalam pembuatan
makalah ini, terutama kepada bapak Prof. Rubaidi, M.Ag, selaku dosen pengampu pada
mata kuliah Sejarah Peradaban Islam.
Semoga makalah ini dapat bermanfaat dengan memberikan wawasan dan
pengetahuan yang lebih luas. Kami menyadari bahwa masih terdapat banyak
kekuarangan pada makalah ini. Sehingga, kami memohon kepada dosen pengampu
untuk memberikan masukannya demi perbaikan pembuatan makalah-makalah kami
selanjutnya. Kami juga sangat mengharapkan kritik dan saran dari para pembaca.
Wassalamu’alaikum wr. wb

Surabaya, 28 Agustus 2023

Tim Penyusun

ii
DAFTAR ISI

KATA PENGANTAR .................................................................................................. ii


DAFTAR ISI ................................................................................................................ iii
BAB I ............................................................................................................................ 1
PENDAHULUAN ........................................................................................................ 1
LATAR BELAKANG ............................................................................................... 1
RUMUSAN MASALAH .......................................................................................... 1
TUJUAN ................................................................................................................... 1
BAB II ........................................................................................................................... 2
PEMBAHASAN ........................................................................................................... 2
Identitas Peradaban Islam .......................................................................................... 2
Nilai Islam Sebagai Wahyu Dan Wujudnya Sebagai Peradaban .............................. 4
Islam Normatif dan Historis .................................................................................... 12
Tahapan Sejarah Peradaban Islam ........................................................................... 13
Nilai Peradaban Islam ............................................................................................. 15
BAB III ....................................................................................................................... 17
PENUTUP ................................................................................................................... 17
Kesimpulan .............................................................................................................. 17
DAFTAR PUSTAKA ................................................................................................. 18

iii
BAB I
PENDAHULUAN
A. LATAR BELAKANG
Perbincangan mengenai peradaban dianggap menarik kiranya, bukan
karena fungsinya dalam membantu melakukan rekonstruksi terhadap kejayaan
masa lalu umat manusia. Perbincangan mengenai peradaban menarik dan
diperlukan untuk melakukan proyeksi terhadap masa depan umat manusia.
Dengan demikian, peradaban tidak lagi dipandang sebagai fenomena etnis dan
antropologis, melainkan sebagai bagian dari gejala politik dan ekonomi dunia,
bahkan sisi kehidupan lainnya.

Di sisi lain, Islam memang berbeda dari agama-agama lain. H.A.R.


Gibb di dalam bukunya Wither Islam menyatakan: Islam is indeed much more
than a system of theology, it is a complete civilization. Artinya: Islam
sesungguhnya lebih dari sekedar agama, ia adalah suatu peradaban yang
sempurna. Karena itulah, kami selaku penyusun tertarik untuk membahas Islam
dan peradaban.

B. RUMUSAN MASALAH
1. Bagaimana identitas peradaban Islam ?
2. Apa saja nilai Islam sebagai wahyu dan wujudnya sebagai peradaban ?
3. Bagaimana Islam normatif dan historis serta tahapan SPI ?
4. Apa saja nilai peradaban Islam ?
C. TUJUAN
1. Untuk memahami identitas islam
2. Untuk memahami nilai Islam sebagai wahyu dan wujudnya
3. Untuk memahami Islam normatif dan historis serta tahapan SPI
4. Untuk memahami nilai-nilai peradaban Islam

1
BAB II
PEMBAHASAN
A. Identitas Peradaban Islam
Peradaban Islam adalah terjemahan dari kata “Arab al-hadharah
alIslamiyyah. Kata Arab ini sering juga diterjemahkan ke dalam bahasa
Indonesia dengan kebudayaan Islam. Kebudayaan dalam bahasa Arab adalah
ats-tsaqafah. Landasan peradaban islam adalah kebudayaan islam terutama
wujud idealnya, sementara landasan kebudaan islam adalah agama. Dalam
islam tidak seperti masyarakat penganut agama yang lainnya, agama bukanlah
kebudayaan tetapi dapat melahirkan kebudayaan. Jika kebudayaan merupakan
hasil cipta, rasa dan karsa manusia, maka agama islam adalah wahyu dari
peradaban. Sejarah peradaban islam diartikan sebagai perekembangan atau
kemajuan kebudayaan islam dalam perspektif sejarahnya, dan peradaban islam
mempunyai berbagai macam pengertian lain diantaranya :
1. Sejarah Peradaban Islam merupakan kemajuan dan tingkat kecerdasan akal
yang di hasilkan dalam satu periode kekuasaan islam mulai dari periode
nabi Muhammad Saw sampai perkembangan kekuasaan islam sekarang.
2. Sejarah Peradaban Islam merupakan hasil hasil yang dicapai oleh ummat
islam dalam lapangan kesustraan, ilmu pengetahuan dan kesenian.
3. Sejarah Peradaban Islam merupakan kemajuan politik atau kekuasaan islam
yang berperan melindungi pandangan hidup islam terutama dalam
hubungannya dengan ibadah ibadah, penggunaan bahasa, dan kebiasaan
hidup bermasyarakat. Dunia intelaktual sebagai deskripsi dari identias
peradaban. Pemikiran dalam arti luas adalah sebuah peraturan yang
digunakan untuk mengetahui masyarakat yang memiliki unsur-unsur
normatis tertentu di dunia kebudayaan yang orisinil. Artinya bahwa aktifitas
pemikiran harus mendiskripsikan loyalitas kepada identitas tertentu yang
memiliki landasan dasar dan faktor pendukung tertentu pula. Semakin dekat

2
seseorang dengan model yang ditentukan oleh identitas budaya dan
loyalitas peradabannya sendiri, ia semakin mampu berinteraksi dengan
aktifitas pemikiran dalam manyarakat dan bangsanya.
Karena tiap sejarah memiliki budaya tersendiri, dan tidak mungkin
mendiskripsikan sejarah tanpa budaya, maka masyarakat yang kehilangan
budayanya sudah pasti akan kehilangan sejarahnya. Budaya, termasuk juga
pemikiran keberagamaan yang menyatu dengan manusia sepanjang sejarah dari
zaman Adam AS, bukan untuk mendiskripsikan ilmu yang dipelajari manusia,
karena sesungguhnya ia adalah inti dari peradaban. Ialah yang memberi makan
janin peradaban dimasa perkembangannya. Ia adalah perantara yang membantu
dalam pembentukan karakteristik masyarakat yang berperadaban. Ia adalah
perantara yang membentuk bagian-bagian peradaban sesuai dengan tujuan
mulia yang digariskan masyarakat untuk dirinya. Dan demikianlah tersusun
sejarah.
Dalam merealisasikan pemikiran kontemporer selayaknya kita
menyadari bahwa fungsi peradaban akan lebih aktif dari pada hanya sekedar
menjadi paham pemikiran dan kebudayaan. Maksudnya bukan hanya sekedar
menyatukan kesadaran individu terhadap landasan dasar Islam, namun yang
selayaknya kita lakukan adalah menyadarkan masyarakat bahwa fungsi budaya
yang memiliki korelasi dengan peradaban dapat menjadi pengikat antar
golongan, generasi dan perbedaan status sosial. Fungis peradaban ini secara
otomatis akan menggiring kita pada satu aktifitas lintas masa sehingga mampu
menghapuskan batas-batas antara masa lampau, masa kini dan masa
mendatang. Dengan demikian fungsi kebudayaan peradaban bagi identitas
seorang muslim akan menjadi kenyataan dalam rangka berdialog dengan
budaya lain, sehingga dakwah Islam dapat tersebar ke seluruh penjuru dunia.
Fungsi budaya adalah memberikan bekal dengan suatu idealisme yang dapat
menguatkan pondasi banguan peradaban sehingga dapat berinteraksi dengan
peradaban yang berbeda. "Dialah Yang mengutus Rasul-Nya dengan membawa

3
petunjuk yang benar dan agama Islam agar dimenangkan-Nya atas semua
agama. Dan cukuplah Allah sebagai saksinya." (Q.S Al-Fath:28).. Dari sini
budaya akan menjadi sebuah kumpulan dari perasaan yang saling mengikat
yang memungkinkan aktifitas peran budaya agar sesuai dengan pemahaman
Islam mengenai perdadaban. Dengan demikian, peradaban akan berinteraksi
dengan situasi yang dalam satu waktu dapat menjadi alat sekaligus praktek,
karena sesungguhnya budaya adalah identitas dari suatu peradaban. Dengan
demikian budaya menjadi perantara yang dapat mengikat idealisme dan paham
Islam terhadap struktur dan perjalanan peradaban sepanjang sejarah.
Dunia intelektual dan dunia kebudayaan semakin nampak urgen sebagai
deskripsi mengenai identitas peradaban- dalam dua bentuk; bisa jadi ia dapat
menjadi faktor pembangkit peradaban dan juga dapat memberikan implikasi
pada kebangkitan peradaban, atau sebaliknya, ia dapat menjadi faktor
penghalang perjalanan aktifitas peradaban. Dalam struktur peradaban, hal
terpenting tidak terletak pada akal pemikiran, namun bagaimana kita mampu
mengarahkan akal pemikiran agar semaksimal mungkin dapat aktif, dimana Ia
tetap memiliki karakteristik ideologi dan pemikirannya. Dakwah Islam yang
berperadaban dapat melepaskan manusia dari sikap lemah serta memberikan
dorongan semaksimal mungkin agar dapat aktif sesuai dengan aqidah Islam.

B. Nilai Islam Sebagai Wahyu Dan Wujudnya Sebagai Peradaban


Din al-Islam, sering diterjemahkan sebagai “agama
Islam”.Menerjemahkan “din” dengan “agama” sebenarnya kurang tepat,
mengingat bahwa secara historis istilah ‘agama’ melekat pada ajaran Hindu dan
Buddha. Lazimnya, setiap agama diberi nama sesudah berlalu masa orang yang
mengembangkannya. Nama-nama agama tersebut biasanya dinisbahkan
kepada nama pendiri agama tersebut, atau kepada suku bangsa agama tersebut
lahir. Berbeda dengan Islam, Islam adalah agama yang namanya diambil dari
hakikat atau substansi ajaran yang terkandung di dalamnya. Jika agama-agama

4
yang lain namanya baru ada setelah pembawa ajarannya telah tiada, maka nama
“Islam” sudah ada sejak awal kelahirannya. Uniknya Allah SWT sendiri yang
memberikan nama risalah yang dibawakan oleh Nabi Muhammad SAW
tersebut. Banyak ayat Al Qur’an yang menyebut risalah tersebut, seperti Q.S.
Ali ‘Imran (3) : 19 yaitu : Artinya : “Sesungguhnya agama (yang diridhai) di
sisi Allah hanyalah Islam, tiada berselisih orang-orang yang telah diberi
Al_Kitab kecuali sesudah dating pengetahuan kepada mereka, karena
kedengkian (yang ada) diantara mereka. Barangsiapa yang kafir terhadap ayat-
ayat Allah maka sesungguhnya Allah sangat cepat hisab-Nya (Q.S. Ali Imran :
19).
Masyarakat Arab sebelum Nabi Muhammad telah mempercayai adanya
Tuhan. Mereka sering mengadakan upacara penyembahan sebagai sarana
berhubungan dengan Tuhan mereka, termasuk penyembahan terhadap berhala.
Sejak masa Ibrahim, kepercayaan terhadap Tuhan telah menjadi kebutuhan
setiap manusia, melalui penyembahan berhala. Agama sebagai sistem sosialpun
tidak asing lagi bagi bangsa Arab pra-Islam. Sebelum Islam, kota Mekkah telah
menjadi pusat umat beragama saat itu yang melaksanakan ibadah haji, meski
tidak dapat dilepaskan dari kegiatan perdagangan. Keberadaan Kabah sejak
masa Ibrahim telah menjadikan kota itu dianggap sebagai tempat suci yang
sangat tepat bagi manusia untuk menghadapkan dirinya kepada Tuhan. Dengan
kondisi seperti itu para pemimpin kota Mekkah-pun tidak dapat terlepas dari
kepemimpinan dalam kegiatan keagamaan masyarakat saat itu. Para pendahulu
yang menjadi nenek moyang Nabi Muhammad adalah para tokoh yang
berperan dalam berbagai kegiatan di kota ini.
1. Wahyu
Pengertian Wahyu Wahyu adalah qalam atau pengetahuan dari
Allah, yang diturunkan kepada seorang nabi atau rasul dengan
perantara malaikat ataupun tidak. Berdasarkan salah satu ayat dalam
Al-Qur'an, “Sesungguhnya Kami telah memberikan wahyu

5
kepadamu sebagaimana Kami telah memberikan wahyu kepada
Nuh dan nabi-nabi yang kemudiannya, dan Kami telah memberikan
wahyu (pula) kepada Ibrahim, Ismail, Ishak, Yakub dan anak
cucunya, Isa, Ayub, Yunus, Harun dan Sulayman. Dan Kami
berikan Zabur kepada Daud” (QS. Al-Baqarah 4:163).

Prosesnya bisa melalui suara berupa firman atau melalui visi/


mimpi. Etimologinya berasal dari kata kerja bahasa Arab ‫َو َح ى‬
(waḥā) yang berarti memberi wangsit, mengungkap, atau memberi
inspirasi.

a. Wahyu Sebagai Dasar Pandangan Hidup Islam


Pandangan hidup Islam bersumberkan kepada wahyu yang
diperkuat oleh agama (din) dan didukung oleh prinsip akal dan
intuisi. Karena itu pandangan hidup Islam telah sempurna sejak
awal dan tidak memerlukan kajian ulang atau tinjauan kesejarahan
untuk menentukan posisi dan peranan historisnya. Substansi agama
seperti: nama, keimanan dan pengamalannya, ritus-ritusnya,
doktrin-doktrin serta sistim teologisnya telah ada dalam wahyu dan
diterangkan serta dicontohkan oleh Nabi. Ketika ia muncul dalam
pentas sejarah, Islam telah “dewasa” sebagai sebuah sistim dan tidak
memerlukan pengembangan. Ia hanya memerlukan penafsiran dan
elaborasi yang merujuk kepada sumber yang permanen itu. Maka
ciri pandangan hidup Islam adalah otentisitas dan finalitas. Maka
apa yang di Barat disebut sebagai klasifikasi dan periodesiasi
pemikiran, seperti periode klasik, pertengahan, modern dan
postmodern tidak dikenal dalam pandangan hidup Islam;
periodesasi itu sejatinya menggambarkan perubahan elemen-
elemen mendasar dalam pandangan hidup dan sistim nilai mereka.

6
Elemen-elemen pandangan hidup Islam terdiri utamanya dari konsep
Tuhan, konsep wahyu, konsep penciptaan-Nya, konsep psikologi
manusia, konsep ilmu, konsep agama, konsep kebebasan, konsep nilai
dan kebajikan, konsep kebahagiaan. Elemen-elemen mendasar yang
konseptual inilah yang menentukan bentuk perubahan (change),
perkembangan (development) dan kemajuan (progess) dalam Islam.
Elemen-elemen dasar ini berperan sebagai tiang pemersatu yang
meletakkan sistem makna, standar tata kehidupan dan nilai dalam suatu
kesatuan sistim yang koheren dalam bentuk worldview.

Pandangan hidup Islam dicanangkan oleh Nabi di Makkah melalui


penyampaian wahyu Allah dengan cara-cara yang khas. Setiap kali Nabi
menerima wahyu yang berupa ayat-ayat al-Qur’an, beliau menjelaskan
dan menyebarkannya ke masyarakat. Cara-cara seperti ini tidak sama
dengan cara-cara yang ada pada scientific worldview, dan oleh sebab
itu Prof.Alparslan menamakan worldview Islam sebaai “quasi-scientific
worldview”.

b. Wahyu Allah Pada Periode Makkah dan Madinah

Periode Makkah merupakan periode yang sangat penting dalam


kelahiran pandangan hidup Islam. Karena banyaknya surah-surah al-
Qur’an diturunkan di Makkah (yakni 85 surah dari 114 surah al-Qur’an
diturunkan di Makkah), maka periode Makkah dibagi menjadi dua
periode: Makkah period awal dan periode akhir. Pada periode awal
wahyu yang diturunkan umumnya mengandung konsep-konsep tentang
Tuhan dan keimanan kepadaNya, hari kebangkitan, penciptaan, akhirat,
surga dan neraka, hari pembalasan, baik dan buruk, dan lain sebagainya
yang kesemuanya itu merupakan elemen penting dalam struktur
worldview Islam. Pada periode akhir Makkah, wahyu memperkenalkan

7
konsep-konsep yang lebih luas dan abstrak, seperti konsep ‘ilm,
nubuwwah, din, ibadah, dan lain-lain. Dua periode Makkah ini penting
bukan hanya karena sepertiga dari al-Qur’an diturunkan di sini, akan
tetapi kandungan wahyu dan penjelasan Nabi serta partisipasi
masyarakat muslim dalam memahami wahyu itu telah membentuk
struktur konsep tentang dunia (world-structure) baru yang merupakan
elemen penting dalam pandangan hidup Islam. Karena sebelum Islam
datang struktur konsep tentang dunia telah dimiliki oleh pandangan
hidup masyarakat pra-Islam (jahiliyyah), maka struktur konsep tentang
dunia yang dibawa Islam menggantikan struktur konsep yang ada
sebelumnya. Konsep karam, misalnya, yang pada masa jahiliyya berarti
kemuliaan karena harta dan banyaknya anak, dalam Islam diganti
menjadi berarti kemuliaan karena ketaqawaan.

Pada periode Madinah, wahyu yang diturunkan lebih banyak


mengandung tema-tema umum yang merupakan penyempurnaan ritual
peribadatan, rukun Islam, sistem hukum yang mengatur hubungan
individu, keluarga dan masyarakat; termasuk hukum-hukum tentang
jihad, pernikahan, waris, hubungan muslim dengan ummat beragama
lain, dan sebagainya. Secara umum dapat dikatakan sebagai tema-tema
yang berkaitan dengan kehidupan komunitas muslim. Meskipun begitu,
tematema ini tidak terlepas dari tema-tema wahyu yang diturunkan
sebelumnya di Makkah, dan bahkan tema-tema wahyu di Makkah masih
terus didiskusikan. Ringkasnya, periode Makkah menekankan pada
beberapa prinsip dasar aqidah atau teologi yang bersifat metafisis, yang
intinya adalah konsep Tuhan, sedangkan periode Madinah
mengembangkan prinsip-prinsip itu kedalam konsep-konsep yang
secara sosial lebih aplikatif. Dalam konteks kelahiran pandangan hidup,
pembentukan struktur konsep dunia terjadi pada periode Makkah,

8
sedangkan konfigurasi struktur ilmu pengetahuan, yang berperan
penting dalam menghasilkan kerangka konsep keilmuan, scientific
conceptual scheme dalam pandangan hidup Islam terjadi pada periode
Madinah.

2. Budaya / Peradaban
Pengertian Budaya menurut Koentjaningrat, yang dimaksud dengan
kebudayaan adalah keseluruhan sistem gagasan, tindakan dan hasil
karya manusia dalam rangka kehidupan masyarakat yang dijadikan
milik diri manusia dengan cara belajar. Kebudayaan lahir sebagai
hasil buah usaha budinya seseorang atau kelompok masyarakat.
Kebudayaan adalah segala hasil karya dari proses cipta, rasa dan
karsa manusia belaka, yang kemudian diwariskan secara turun
temurun dan menjadi sebuah karya budaya yang melekat dalam
masyarakat sekitar. Berdasarkan definisi ini kebudayaan dibedakan
atas 3 bentuk budaya:
(1) kebudayaan dalam bentuk ide, gagasan, dan konsep (ada yang
menyebutnya sistem nilai);
(2) kebudayaan yang berupa tingkah laku manusia; dan
(3) kebudayaan yang berupa benda karya manusia.
Ketiga bentuk kebudayaan itu berjalan saling bertautan. Ide manusia
akan melahirkan pola tingkah laku, dan selanjutnya ide dan tingkah
laku itu menghasilkan sesuatu karya dalam bentuk benda. Benda
karya budaya itu akan berbalik mempengaruhi tingkah laku dan ide,
dan dari rangsangan itu lahirlah ide baru. Dari ide baru akan lahir
pola tingkah laku baru dan selanjutnya lahir benda baru. Demikian
seterusnya saling bertautan dan saling merangsang tumbuhnya
temuan-temuan baru itu berjalan terus menerus, dari satu generasi

9
ke generasi berikutnya. Dari ketiga bentuk kebudayaan itu sering
dikelompokkan menjadi 2 sifat kebudayaan, yakni:
(1) kebudayaan yang bersifat non-benda, tak-benda, tak teraba
atau intangible culture aspect; dan
(2) kebudayaan dalam bentuk benda atau tangible culture
aspect.
Bila dilihat dari dari sisi bentuk kebudayaan, maka agama
berhubungungan erat dengan masalah ide, gagasan dan konsep,
yang selanjutnya berhubungan pula dengan pola tingkah laku (non-
benda) dan benda sebagai karya budaya keagamaan (benda).
3. Titik Temu dan Titik Pisah Agama dan Budaya
Ada dua pandangan tentang hubungan antara keduanya. Pandangan
pertama menempatkan agama sebagai bagian dari kebudayaan, yang
berarti antara keduanya pada hakikatnya ada kesamaan. Pandangan
kedua menempatkan agama bukan bagian dari kebudayaan, dan
dengan demikian agama berbeda dengan budaya. Menurut Kamus
Besar Bahasa Indonesia (KBBI), kata agama berarti ajaran, sistem
yang mengatur tata keimanan (kepercayaan) dan peribadatan
kepada Tuhan Yang Mahakuasa serta tata kaidah yang berhubungan
dengan tata pergaulan manusia dan manusia serta lingkungannya.
Ajaran dan sistem yang mengatur tata keimanan itu hadir karena
datangnya wahyu atau firman dari Tuhan Yang Maha Pencipta yang
diturunkan melalui utusannya untuk disebarkan kepada masyarakat.
Agama merupakan suatu keyakinan akan keberadaan Tuhan yang
menjadikan sumber ketenteraman dan semangat hidup serta kepada-
Nya manusia akan kembali. Pemahaman tentang agama seperti ini
menjadi dasar bagi pihak yang tidak setuju jika agama disebut
merupakan bagian dari kebudayaan. Untuk mencari titik temu antara
agama dan budaya dapat pula dilihat dari sisi unsur yang terkandung

10
dalam kebudayaan. Bila antara arti agama dan budaya disandingkan,
maka keduanya memiliki persamaan isi. Agama dan kebudayaan
adalah sistem nilai dan simbol-simbol yang berisi kaidah, ajaran,
aturan, meskipun sumbernya berbeda. Sistem nilai dan
simbolsimbol yang lahir dari rahim kebudayaan dihasilkan oleh
kemampuan manusia dalam menghadapi segala tantangan hidup di
lingkungan hidupnya dengan cara belajar dan belajar. Sementara
kaidah, ajaran, aturan dalam agama diyakini sebagai wahyu. atau
firman yang datang dari Tuhan Yang Maha Pencipta yang
diturunkan melalui utusannya. Dengan pemahaman tentang isi
agama di atas, maka agama dipandang sebagai dogma yang tidak
akan pernah berubah dan tidak boleh berubah untuk menyesuaikan
diri sesuai dengan tuntutan jaman. Sebagai dogma diyakini oleh
para penganut agama bahwa agama diturunkan oleh Tuhan sudah
disesuaikan dengan kondisi jaman hingga sampai pada akhir jaman.
Meskipun doktrin yang digunakan untuk bidang kebudayaan adalah
melestarikan kebudayaan bangsa atau suku bangsa (yang berarti
menjaga agar tidak berubah), namun dalam kenyataan kebudayaan
mendapatkan peluang untuk berubah atau berkembang
menyesuaikan diri dengan perkembangan lingkungannya. Tuntutan
perubahan itu sulit dicegah, karena manusia yang dibekali
kemampuan untuk mengembangkan ide, gagasan dan konsep dalam
menghadapi tantangan lingkungannya. Kebudayaan selalu
berkembang sejalan dengan tingkat kepekaan manusia dalam
menanggapi perkembangan lingkungannya.

11
C. Islam Normatif dan Historis
Normatif yang berasal dari kata norm berarti berpegang teguh pada
norma atau pada kaedah yang telah ditetapkan. Sedangkan historis yang berasal
dari kata history berarti segala sesuatu yang berhubungan dengan sejarah atau
kesejarahan.1 Dengan demikian Islam normatif adalah Islam yang berpegang
teguh dengan norma dan prinsip yang telah ditetapkan, sedangkan Islam historis
adalah Islam yang berpegang pada gejala dan fenomena yang berhubungan
realitas kesejarahan kehidupan manusia yang dinamis. Perbedaan watak kedua
kata ini sesungguhnya melahirkan cara pandang yang berbeda pula secara
organik pada pemahaman kajian Islam, baik pada ranah ontologis maupun
ranah epistemologis, selanjutnya melahirkan kesimpulan yang berbeda satu
dengan yang lainnya. Kondisi seperti ini akan memunculkan pula realitas
kehidupan sosial keberagamaan ke arah truth claim yang offensif terhadap
paham yang berseberangan dengan paham kelompok mereka. Dari sinilah
ketegangan dan kecurigaan tersulut kemudian kegaduhan dan kekacauan
menyeruak dalam kehidupan. Islam sebagaimana agama-agama yang lain
memiliki beragam dimensi. Ninian Smart misalnya, seorang fenomenolog dan
filosuf agama mengatakan bahwa agama itu memiliki tujuh dimensi; dimensi
mistis, ritual, sosial, etis, doktrinal, pengalaman, dan materiil. Aksentuasi yang
berbeda ketika pencarian pemahaman ideal dari pesan-pesan moral teks oleh
penganutnya menjadikan Islam memiliki prediket yang beragam pula. Islam
normatif dan Islam historis misalnya tidak dapat dipisahkan dari cara padang
pencarian terhadap Islam yang berbeda-beda yang kemudian dipetakan oleh
pengkaji dalam kajian studi Islam.
Dengan demikian, sesungguhnya terminologi Islam normatif dan Islam
historis merupakan hasil olah pikir para ahli studi agama khususnya setelah

1
Amril, “Islam Normatif dan Historis”, Jurnal Kependidikan Islam, Vol. 5, No. 1 (Januari-Juni 2019):
83.

12
mencermati dan meneliti perilaku pencarian epistemologi kebenaran
keagamaan dan tampilan keberagamaan dalam realitas sosial. Beriringan
dengan semuanya ini tidak dapat pula dipisahkan melahirkan pula pemahaman
ontologis metafisik yang berbeda dalam keyakinan masing-masing
penganutnya. Karena keterbatasan yang tidak dapat dihindari maka untuk yang
terakhir ini tidak dibahas pada tulisan ini. Tidak dapat dipungkiri bahwa
munculnya terminologi Islam normatif, Islam historis, Islam liberal, Islam
faktual dan seterusnya sesungguhnya berada dalam kawasan kajian studi
pemikiran agama. Karena Islam sebagai ajaran dan perilaku individual atau pun
sosial memungkinkan untuk dikaji dengan berbagai pendekatan disiplin ilmu-
ilmu di luar kajian keilmuan agama (‘ulum al-din).
Lahirnya istilah Islam normatif dan Islam historis tidak dapat dilepaskan
begitu saja dari begitu intensnya kajian terhadap Islam sebagai ilmu yang telah
sangat marak di lingkunan kampus sejak tahun 1960-an. Fazlur Rahman
seorang intelektual Muslim yang berkiprah dalam bidang akademik di dunia
Barat telah menampilkan model kajian terhadap Islam sebagai objek kajian
ilmu. Bukunya yang sangat terkenal berjudul Islam (1966) dapat disebut
sebagai penanda telah dimulainya pergeseran paradigma epistemologi-
metodologi dalam kajian keIslaman dari yang bersifat normatif-teologis semata
bergerak pada historis-teologis. Simpulan yang dapat diambil dalam catatan
kecil ini dari apa yang ditampilkan Fazrul Rahman melalui bukunya Islam ini
adalah bahwa beliau telah memulai memanfaatkan pendekatan historis dalam
membentuk terciptanya dogma dan hasil pemikiran dari berbagai ranah
kehidupan intektual Islam dalam bidang ilmu yang dihasilkan pada masa itu.

D. Tahapan Sejarah Peradaban Islam


Islam membagi budaya menjadi tiga macam : Pertama : Kebudayaan
yang tidak bertentangan dengan Islam. Dalam kaidah fiqh disebutkan : “ al
adatu muhakkamatun “ artinya bahwa adat istiadat dan kebiasaan suatu

13
masyarakat, yang merupakan bagian dari budaya manusia mempunyai
pengaruh di dalam penentuan hukum. Untuk hal-hal yang sudah ditetapkan
ketentuan dan kriterianya di dalam Islam, maka adat istiadat dan kebiasaan
suatu masyarakat tidak boleh dijadikan standar hukum. Sebagai contoh adalah
apa yang di tulis oleh Ahmad Baaso dalam sebuah harian yang menyatakan
bahwa menikah antar agama adalah dibolehkan dalam Islam dengan dalil “ al
adatu muhakkamatun “ karena nikah antar agama sudah menjadi budaya suatu
masyarakat, maka dibolehkan dengan dasar kaidah di atas. Pernyataan seperti
itu tidak benar, karena Islam telah menetapkan bahwa seorang wanita muslimah
tidak diperkenankan menikah dengan seorang kafir.
Kedua : Kebudayaan yang sebagian unsurnya bertentangan dengan
Islam , kemudian di “ rekonstruksi” sehingga menjadi Islami.Contoh yang
paling jelas, adalah tradisi Jahiliyah yang melakukan ibadah haji dengan cara-
cara yang bertentangan dengan ajaran Islam , seperti lafadh “ talbiyah “ yang
syarat dengan kesyirikan, thowaf di Ka’bah dengan telanjang. Islam datang
untuk meronstruksi budaya tersebut, menjadi bentuk “ Ibadah” yang telah
ditetapkan aturan-aturannya. Contoh lain adalah kebudayaan Arab untuk
melantukan syair-syair Jahiliyah. Oleh Islam kebudayaan tersebut tetap
dipertahankan, tetapi direkonstruksi isinya agar sesuai dengan nilai-nilai Islam.
Ketiga: Kebudayaan yang bertentangan dengan Islam. Seperti, budaya
“ ngaben “ yang dilakukan oleh masyarakat Bali. Yaitu upacara pembakaran
mayat yang diselenggarakan dalam suasana yang meriah dan gegap gempita,
dan secara besar-besaran. Ini dilakukan sebagai bentuk penyempurnaan bagi
orang yang meninggal supaya kembali kepada penciptanya. Upacara semacam
ini membutuhkan biaya yang sangat besar. Hal yang sama juga dilakukan oleh
masyarakat Kalimantan Tengah dengan budaya “tiwah“ , sebuah upacara
pembakaran mayat. Bedanya, dalam “ tiwah” ini dilakukan pemakaman jenazah
yang berbentuk perahu lesung lebih dahulu. Kemudian kalau sudah tiba
masanya, jenazah tersebut akan digali lagi untuk dibakar. Upacara ini

14
berlangsung sampai seminggu atau lebih. Pihak penyelenggara harus
menyediakan makanan dan minuman dalam jumlah yang besar , karena
disaksikan oleh para penduduk dari desa-desa dalam daerah yang luas. Di
daerah Toraja, untuk memakamkan orang yang meninggal, juga memerlukan
biaya yang besar. Biaya tersebut digunakan untuk untuk mengadakan hewan
kurban yang berupa kerbau. Lain lagi yang dilakukan oleh masyarakat Cilacap,
Jawa tengah. Mereka mempunyai budaya “ Tumpeng Rosulan “, yaitu berupa
makanan yang dipersembahkan kepada Rosul Allah dan tumpeng lain yang
dipersembahkan kepada Nyai Roro Kidul yang menurut masyarakat setempat
merupakan penguasa Lautan selatan ( Samudra Hindia ).

E. Nilai Peradaban Islam


1. Nilai Rabbiyah (nilai ketuhanan). Sistem dan tata nilai Islam itu didasarkan
pada petunjuk Allah sebagaimana yang ada dalam al Qur’an dan Hadits
yang dibawakan oleh Rasul Allah.2 Tata nilai itu dijiwai oleh kesadaran
bahwa hidup ini berasal dari Allah dan menuju pada Allah.
2. Nilai Insâniyah (nilai kemanusian). Tata nilai Islam didasarkan pada
kemampuan manusia. Firman Allah :

‫سا إََِّل ُو ْس اع اها‬ ُ ِّ‫اَل يُ اكل‬


ً ‫ف ٱ َّللُ نا ْف‬
Artinya : Allah tidak membebani seseorang melainkan sesuai dengan
kesanggupannya. (QS. Al-Baqarah : 286)3
Tata nilai itu dimaksudkan untuk ketentuan dan kebahagiaan manusia di
dunia dan di akhirat.
3. Nilai Wâqi’iyah (nilai realistis). Tata nilai Islam itu realistis dalam aqidah,

2
Abdul Wadud, “Islam, Peradaban Masa Depan”, Jurnal Al-Hikmah, Vol. 18, No. 2 (Oktober 2020):
122.
3
Tafsir Web, “Surah Al-Baqarah Ayat 286” dalam https://tafsirweb.com/1052-surah-al-baqarah-ayat-
286.html. Diakses pada 4 September 2023.

15
ibadah, akhlaq, pendidikan, tahlil dan tahrim dan dalam bidang-bidang
lainnya hal ini memudahkan manusia untuk melaksanakannya.
4. Nilai Syamûliyah (nilai universal). Ajaran Islam mencakup semua aspek
kehidupan manusia baik dalam kehidupan pribadi, maupun kehidupan
berbangsa bernegara.
5. Nilai Wasathiyah (nilai moderat). Ajaran Islam berada di antara ajaran-
ajaran agama lain yang berat dan yang ringan. Ia juga moderat dalam
kepercayaan terhadap yang ghaib dan maddah (ghaib dan nyata) serta dalam
memperlakukan Nabi (tidak mensejajarkan Nabi dengan Tuhan, atau Nabi
dengan manusia biasa).
6. Nilai Tawâzun (nilai keseimbangan). Nilai ini menjaga Islam dari
kecenderungan berat sebelah dari ketimpangan yang berlebih-lebihan dan
dari kemungkinan terjadinya benturan-benturan.
7. Nilai Tsabât (tetap tak berubah) dan Nilai Murûnah (fleksibel)
Ajaran agama bergerak dalam lingkungan yang tetap dan di sekitar poros
yang tetap. Landasan ajaran Islam dan nilai-nilai yang terkandung di
dalamnya itu tidak berubah dan tidak berkembang di saat berubahnya
gejala-gejala kehidupan nyata dan di saat berubahnya bentuk-bentuk
kondisi praktis. Ajaran Islam itu tidak berubah dalam tujuan, tapi fleksibel
dalam sarana dan metode dalam masalah ushul dan kulliyat tapi fleksibel
dalam masalah furû’ dan juzziyat tetap dalam nilai-nilai agama dan akhlaq,
fleksibel dalam urusan dunia dan ilmu.

16
BAB III
PENUTUP
A. Kesimpulan
Dari pemaparan materi diatas maka dapat disimpulkan bahwa :
1. Sejarah peradaban islam diartikan sebagai perkembangan atau
kemajuan kebudayaan islam dalam perspektif sejarahnya, dan
peradaban islam mempunyai berbagai macam pengertian.
2. Pandangan pertama menempatkan agama sebagai bagian dari
kebudayaan, yang berarti antara keduanya pada hakikatnya ada
kesamaan. Pandangan kedua menempatkan agama bukan bagian dari
kebudayaan, dan dengan demikian agama berbeda dengan budaya.
3. Islam normatif adalah Islam yang berpegang teguh dengan norma dan
prinsip yang telah ditetapkan, sedangkan Islam historis adalah Islam
yang berpegang pada gejala dan fenomena yang berhubungan realitas
kesejarahan kehidupan manusia yang dinamis.
4. Nilai peradaban islam ada tujuh, yakni Nilai Rabbiyah (nilai
ketuhanan), Nilai Insâniyah (nilai kemanusian), Nilai Wâqi’iyah (nilai
realistis), Nilai Syamûliyah (nilai universal), Nilai Wasathiyah (nilai
moderat), Nilai Tawâzun (nilai keseimbangan), Nilai Tsabât (tetap tak
berubah), dan Nilai Murûnah (fleksibel).

17
DAFTAR PUSTAKA

Amril. “Islam Normatif dan Historis”, Jurnal Kependidikan Islam, Vol. 5, No. 1
(Januari-Juni 2019): 83.
Kusmiran dan Amril, “Islam Normatif dan Historis”, Jurnal Penelitian Ilmu
Pendidikan Indonesia, Vol. 2, No. 3 (2023): 243.
Qomar, Muzamil.”Ragam Identitas Islam di Indonesia dari Perspektif Kawasan”,
Jurnal Episteme, Vol. 10, No. 2 (Desember 2015): 325.
Wadud, Abdul. “Islam, Peradaban Masa Depan”, Jurnal Al-Hikmah, Vol. 18, No. 2
(Oktober 2020): 122.
Web, Tafsir. “Surah Al-Baqarah Ayat 286” dalam https://tafsirweb.com/1052-surah-
al-baqarah-ayat-286.html. Diakses pada 4 September 2023.

18

Anda mungkin juga menyukai