Anda di halaman 1dari 13

Jurnal Pendidikan Agama Islam (Journal of Islamic Education Studies)

ISSN(e) 2527-4511 | Vol. 1 No. 1 (2024) |

Ilmu Sebagai Proses, Prosedur, dan Produk


Muhammad Ilyas Syahroni, Ahmad Muhaimin Mahrus

ABSTRAK KATA KUNCI


Manusia adalah makhluk ciptaan Allah yang paling sempurna. Ia merupakan satu- Filsafat, Ilmu, Proses, Prosedur,
satunya makhluk yang diberi oleh Allah sebuah akal dan nafsu. Berangkat dari hal Produk
tersebut, manusia dituntut untuk berfikir tentang kejadian di alam semesta ini.
Dalam al-Qur'an Surat al-Hasyr ayat 2, disebutkan "Berfikirlah wahai orang-orang
yang berakal budi". Hal ini menunjukan bahwa manusia agar berfikir secara
rasional, yang kemudian diistilahkan dengan kata filsafat. Filsafat adalah berfikir
secara radikal, universal, dan sistematis.Salah satu cabang filsafat adalah filsafat
ilmu, yakni filsafat yang menjawab pertanyaan tentang hakikat ilmu. Bidang ini
mempelajari dasar- dasar filsafat, asumsi, dan implikasi dari ilmu. Di sini, filsafat
ilmu juga berkaitan erat dengan landasan ontologi, epistemologi, dan aksiologi.
Filsafat ilmu berusaha menjelaskan tentang masalah seperti apa dan bagaimana
suatu pernyataan itu dapat disebut ilmiah, dan masih banyak lagi. Oleh karena
itu, kami tertarik untuk membahas salah satu bagian terpenting dari filsafat ilmu
yakni tentang pengertian ilmu. Disamping sebagai syarat untuk memenuhi tugas
mata kuliah filsafat ilmu itu sendiri.

ABSTRACT
Humans are God's most perfect creatures. He is the only creature given reason
and lust by Allah. Departing from this, humans are required to think about KEYWORDS
events in this universe. In the Al-Qur'an Surat al-Hasyr verse 2 it is stated "Think, Philosophy, Science, Process,
O people of understanding". This shows that humans must think rationally, Procedure, Product
which is then termed the word philosophy. Philosophy thinks radically,
universally, and systematically. One branch of philosophy is the philosophy of
science, namely philosophy that answers questions about the nature of science.
This field studies the basics of philosophy, assumptions, and realizing science.
Here, the philosophy of science is also closely related to the foundations of
ontology, epistemology and axiology. Philosophy of science seeks to explain
various kinds of problems and how a statement can be called scientific, and
much more. Therefore, we are interested in discussing one of the most
important parts of the philosophy of science, namely the notion of science.
Apart from being a requirement to fulfill the assignment of the philosophy of
science course itself

A. Pendahuluan
Ilmu pengetahuan jika dimaknai secara terpisah, dapat diartikan dari kata dasar ilmu. Ilmu
serapan bahasa arab ‘alama yang memiliki makna pengetahuan. Menurut Oxford Dictionary, ilmu
adalah aktivitas berfikir yang meliputi tentang sistematika, perilaku dan struktur. Sementara ilmu dalam
perspektif bahasa Indonesia, ilmu adalah pengetahuan tentang bidang tertentu yang dibuat secara
sistematis. Jika dipandang secara holistik, maka ilmu adalah kumpulan pengetahuan berdasarkan
sumber dan teori yang telah disepakati secara bersama. Jika ilmu dan pengetahuan digabung, maka
secara sederhana dapat disimpulkan sebagai ilmu yang menyelidiki, meningkatkan, menemukan demi
tujuan memberikan pengertian kepada para pembacanya. Dimana manusia itu sendiri memiliki rasa
penasaran sebagai bentuk kebutuhan. Maka, lahirlah ilmu pengetahuan dari berbagai pandangan yang
sifatnya memberikan informasi, memberi pengetahuan dan memberi pengalaman bagi yang mau
menerima ilmu itu sendiri.
Ilmu pengetahuan secara global, dapat diartikan sebagai kumpulan ilmu pengetahuan yang disusun
secara metodologi dan sistem. Tujuannya untuk mencapai ilmu secara universal dan dari segi
kebenarannya dapat diverifikasi. Ilmu pengetahuan itu sendiri sebenarnya bersifat terbuka, dapat
dijadikan sebagai problem solving terhadap masalah dan bersifat plural.
Lantas, bagaimana pendapat ilmu pengetahuan dari para ahli. Mari kita intip pendapat mereka seperti
apa.
1. Menurut The Liang Ghe

Ilmu adalah adalah usaha manusia untuk memahami dunia dan sekelilingnya melalui tiga bidang yang
meliputi bidang pengetahuan ilmiah, bidang persoalan ilmiah dan bidang penjelasan gaib.

2. Menurut Mohammad Hatta

Siapa yang tidak tahu Muhammad Hatta? Pasti semua orang tahu siapa beliau. Ilmu pengetahuan
menurut Mohammad Hatta adalah pengetahuan yang disusun secara teratur dan membahas tentang
pekerjaan hukum umum, mempelajari sebab akibat dalam sebuah permasalahan yang muncul.

3. Karl Person

Ilmu merupakan pengetahuan yang menggambarkan atau menerangkan secara komprehensif dan ajeg.
Gambaran yang disampaikan pun berdasarkan pada fakta pengalaman.

4. Dadang Ahmad S.

Ilmu pengetahuan adalah sebuah proses untuk menemukan penjelasan terhadap fenomena terhadap
kondisi alam, atau apapun yang dipertanyakan.

5. Syahruddin Kasim

Berbeda dengan pendapat Syahruddin kasim, yang mengartikan ilmu pengetahuan adalah hidayah dari
sang pencipta, dimana dari proses berasalnya melalui interaksi fenomena fitrawi. Misalnya Lewat
dimensi hati, nafsu, akal yang dipikirkan secara rasional empirik, sehingga mampu menjelaskan hasanah
alam semesta.

Jika sebelumnya kita sudah mengintip pengertian ilmu pengetahuan, sekarang waktunya kita mengintip
perbedaan diantara keduanya. Ilmu merupakan pengetahuan yang diperoleh secara sistematis, dapat
diukur, koheren, empiris dan dapat dibuktikan. Ilmu berbentuk satu kesatuan ide yang fokus pada objek
tertentu dan memiliki keterkaitan yang bersifat logis, dan koheren. Ilmu itu meliputi semua cabang
pengetahuan, sementara pengetahuan tidak meliputi semua cabang ilmu yang ada. Berbeda dengan
ilmu, pengetahuan adalah kepandaian batiniah dan kepandaian dalam menyikapi persoalan yang ada di
dalam kehidupan sehari-hari. Pengetahuan lahir ketika seseorang memiliki rasa penasaran dan
mempelajarinya. Selama proses mempelajari, dibutuhkan pengamatan, pengalaman indrawi dan
dibutuhkan analitis untuk mengolah informasi dan menyimpan informasi sehingga menjadi
pengetahuan.
ke-21 dunia pesantren menjadi bagian dari modernitas itu sendiri. Pesantren terlibat secara intim,
mengakrabi, bahkan asyik ma’syuk dengan modernitas. Pertemuan keduanya memaksa pesantren dan
modernitas mendefinisikan diri dalam konteks dialektika dan dinamika yang hidup dan saling
memperkaya satu sama lain. Jadilah keduanya merupakan “teman akrab” yang saling melengkapi satu
sama lain. Hanya sedikit pesantren, yang karena alasan resistensi terhadap perubahan, mereka tidak
mau mengadopsi modernitas (pesantren salaf). Secara umum, modernitas tidak menjadi sesuatu yang
menakutkan bagi dunia pesantren.

B. Karakter Pesantren

Disini kita akan bahas satu persatu setiap bagiannya

1. Ilmu sebagai Proses


Ilmu secara nyata dan khas adalah suatu aktivitas manusiawi, yakni perbuatan melakukan
sesuatu yang dilakukan oleh manusia. Ilmu tidak hanya satu aktivitas tunggal saja, melainkan
suatu rangkaian aktivitas sehingga merupakan sebuah proses. Rangkaian aktivitas itu bersifat
rasional, kognitif, dan teleologis.

1) Rasional
Aktivitas rasional berarti kegiatan yang mempergunakan kemampuan pikiran untuk
menalar yang berbeda dengan aktivitas berdasarkan perasaan dan naluri. Ilmu menampakkan diri
sebagai kegiatan penalaran logis dari pengamatan empiris. Penalaran merupakan suatu proses
berpikir dalam menarik sesuatu kesimpulan yang berupa pengetahuan. Manusia pada hakikatnya
merupakan makhluk yang berfikir, merasa, bersikap, dan bertindak. Sikap dan tindakannya
bersumber pada pengetahuan yang didapatkan lewat kegiatan merasa atau berpikir. Penalaran
menghasilkan pengetahuan yang dikaitkan dengan berpikir bukan dengan perasaan, meskipun
seperti itu dikatakan Pascal, hati pun mempunyai logika tersendiri. Meskipun demikian patut
kita sadari bahwa tidak semua kegiatan berfikir menyandarkan diri pada penalaran. Jadi
penalaran merupakan kegiatan berfikir yang mempunyai karakteristik tertentu dalam
menemukan kebenaran. Berpangkal pada hasrat kognitif dan kebutuhan intelektualnya, manusia
melakukan rangkaian pemikiran dan kegiatan rasional dengan lingkungan atau masyarakat yang
kemudian melahirkan ilmu.
2) Kognitif
Pada dasarnya ilmu adalah sebuah proses yang bersifat kognitif, bertalian dengan
proses mengetahui dan pengetahuan. Proses kognitif (cognition) adalah suatu rangkaian aktivitas
seperti pengenalan, penyerapan, pengkonsepsian, dan penalaran (antara lain) yang dengannya
manusia dapat mengetahui dan memperoleh pengetahuan tentang suatu hal.
Menurut Piaget menyatakan bahwa di dalam diri individu terjadi adaptasi terhadap lingkungan
dilakukan melalui dua proses yaitu asimilasi dan akomodasi.

a. Asimilasi

Asimilasi adalah proses kognitif dimana seseorang mengintegrasikan persepsi, konsep


ataupun pengalaman baru ke dalam skema atau pola yang sudah ada dalam pikirannya; proses
menambahkan informasi baru ke dalam skema yang sudah ada. Proses ini bersifat subjektif,
karena seseorang akan cenderung memodifikasi pengalaman atau informasi yang diperolehnya
agar bisa masuk ke dalam skema yang sudah ada sebelumnya. Asimilasi dipandang sebagai
suatu proses kognitif yang menempatkan dan mengklasifikasikan kejadian atau rangsangan baru
dalam skema yang telah ada. Proses asimilasi ini berjalan terus. Asimilasi tidak akan
menyebabkan perubahan/pergantian skemata melainkan perkembangan skemata. Asimilasi
adalah salah satu proses individu dalam mengadaptasikan dan mengorganisasikan diri dengan
lingkungan baru pengertian orang itu berkembang. Dalam contoh di atas, melihat burung kenari
dan memberinya label “burung” adalah contoh mengasimilasi binatang itu pada skema burung si
anak.
b. Akomodasi
Akomodasi, dalam menghadapi rangsangan atau pengalaman baru seseorang tidak
dapat mengasimilasikan pengalaman yang baru dengan skemata yang telah dipunyai.
Pengalaman yang baru itu bisa jadi sama sekali tidak cocok dengan skema yang telah ada.
Dalam keadaan demikian orang akan mengadakan akomodasi. Akomodasi terjadi untuk
membentuk skema baru yang cocok dengan rangsangan yang baru atau memodifikasi skema
yang telah ada sehingga cocok dengan rangsangan itu. Bagi Piaget adaptasi merupakan suatu
kesetimbangan antara asimilasi dan akomodasi. Bila dalam proses asimilasi seseorang tidak
dapat mengadakan adaptasi terhadap lingkungannya maka terjadilah ketidaksetimbangan
(disequilibrium). Akibat ketidaksetimbangan itu maka tercapailah akomodasi dan struktur
kognitif yang ada yang akan mengalami atau munculnya struktur yang baru. Pertumbuhan
intelektual ini merupakan proses terus menerus tentang keadaan ketidaksetimbangan dan
keadaan setimbang (disequilibrium-equilibrium). Tetapi bila terjadi keseimbangan maka
individu akan berada pada tingkat yang lebih tinggi daripada sebelumnya.
Akomodasi adalah bentuk penyesuaian lain yang melibatkan pengubahan atau penggantian
skema akibat adanya informasi baru yang tidak sesuai dengan skema yang sudah ada. Dalam
proses ini dapat pula terjadi pemunculan skema yang baru sama sekali. Dalam contoh di atas,
melihat burung unta dan mengubah skemanya tentang burung sebelum memberinya label
“burung” adalah contoh mengakomodasi binatang itu pada skema burung pada fikiran si anak.
Melalui kedua proses penyesuaian tersebut, sistem kognisi seseorang berubah dan berkembang
sehingga bisa meningkat dari satu tahap ke tahap di atasnya. Proses penyesuaian tersebut
dilakukan seorang individu karena ia ingin mencapai keadaan equilibrium, yaitu berupa keadaan
seimbang antara struktur kognisinya dengan pengalamannya di lingkungan. Seseorang akan
selalu berupaya agar keadaan seimbang tersebut selalu tercapai dengan menggunakan kedua
proses penyesuaian di atas.
Dengan demikian, kognitif seseorang berkembang bukan karena menerima pengetahuan dari
luar secara pasif tapi orang tersebut secara aktif mengkonstruksi pengetahuannya.
3) Teologis
Ilmu selain merupakan sebuah proses yang bersifat rasional dan kognitif, juga bercorak
teleologis, yakni mengarah pada tujuan tertentu karena para ilmuwan dalam melakukan aktivitas
ilmiah mempunyai tujuan-tujuan yang ingin dicapai. Ilmu melayani sesuatu tujuan tertentu yang
diinginkan oleh setiap ilmuwan. Dengan demikian, ilmu adalah aktivitas manusiawi yang
bertujuan. Tujuan ilmu itu dapat bermacam-macam sesuai dengan apa yang diharapkan oleh
masing-masing ilmuwan.

2. Ilmu sebagai Prosedur


The Liang Gie memberikan pengertian ilmu sebagai aktivitas penelitian perlu diurai lebih lanjut
agar dapat dipahami berbagai unsur dan cirinya yang lengkap. Penelitaian sebagai suatu
rangkaian aktifitas mengandung prosedur tertentu, yakni serangkaian cara dan langkah tertib
yang mewujudkan pola tetap. Rangkaian cara dan pola ini dalam dunia keilmuan disebut
metode, untuk menegaskan bidang keilmuan itu seringkali dipakai istilah “metode ilmiah”. Jadi,
Ilmu sebagai prosedur atau ilmu sebagai metode ilmiah merupakan prosedur yang mencakup
pikiran, pola kerja, tata langkah, dan cara teknik untuk memperoleh kebenaran ilmiah. Oleh
karena itu, bisa dikatakan ilmu sebagai prosedur berarti ilmu merupakan kegiatan penelitian
yang menggunakan metode ilmiah.
Menurut The World of Science Encyclopedia, metode ilmiah ialah prosedur yang digunakan
oleh ilmuwan dalam mencari secara sistematis pengetahuan baru dan peninjauan kembali
pengetahuan yang ada. Dari berbagai definisi yang pernah dikemukakan, dapat disimpulkan
bahwa metode ilmiah pada umumnya menyangkut empat hal yakni: pola prosedural, tata
langkah, teknik-teknik, dan alat-alat.
Menurut Stanlay dan Thomas C. Hunt menjelaskan bahwa metode dalam mencari pengetahuan
ada tiga
1. Rasionalisme
Plato memberikan gambaran klasik dari rasionalisme. Dia berdalil bahwa untuk mempelajari
sesuatu, seorang harus menemukan kebenaran yang sebelumnya belum diketahui. Semua
prinsip-prinsip dasar dan bersifat umum sebelumnya sudah ada dalam pikiran manusia.
Pengalaman indra paling banyak hanya merangsang ingatan dan membawa kesadaran terhadap
pengetahuan yang selama itu sudah ada dalam pikiran. Menurut Plato kenyataan dasar terdiri
dari ide atau prinsip.
Sedangkan menurut Descrates, dia menganggap bahwa pengetahuan memang dihasilkan oleh
indra, tetapi karena dia mengakui bahwa indra itu bisa menyesatkan (seperti dalam mimpi dan
hayalan), maka dia terpaksa mengambil kesimpulan bahwa data keindraan tidak dapat
diandalkan
Dari penjelasan di atas terdapat beberapa kritik yang ditujukan pada kaum
rasionalisme. Diantaranya adalah:
a. Pengetahuan rasional dibentuk oleh yang tidak dapat dilihat maupun diraba. Sehingga
eksistensi tentang idea yang bersifat sudah pasti maupun bawaan itu sendiri belum dapat
dikuatkan oleh semua manusia dengan kekuatan dan keyakinan yang sama.
b. Banyak diantara manusia yang berpikiran jauh merasa bahwa mereka menemukan
kesukaran yang besar dalam menerapkan konsep rasional kepada masalah kehidupan yang
praktis.
c. Teori rasional gagal dalam menjelaskan perubahan dan pertambahan pengetahuan manusia
selama ini.
2. Empirisme
Jika kita sedang berusaha untuk meyakinkan seorang empiris bahwa sesuatu itu ada, dia berkata
“tunjukkan hal itu kepada saya“. Dalam persoalan mengenai fakta maka dia harus diyakinkan
oleh pengalamannya sendiri.
Orang-orang empiris berpendapat bahwa kita dilahirkan tidak mengetahui sesuatupun. Apapun
yang kita ketahui itu berasal dari kelima panca indra kita. John Locke bapak empirisme
mengatakan bahwa pada waktu manusia dilahirkan, akalnya merupakan sejenis buku catatan
yang kosong (tabula rasa), dan di dalam buku catatan itulah di catat pengalaman-pengalaman
indrawi. Sehingga ia memandang akal sebagai jenis tempat penampungan, yang secara pasif
menerima hasil-hasil pengindraan tersebut. Sehingga bisa dikatan bahwa kelompok empiris
melihat bahwa pemahaman manusia hanya terbatas pada pengalamannya.
Empirisme juga mendapatkan kritik, yang antara lain:
a. Empirisme didasarkan kepada pengalaman. Namun, jika dianalisis secara kritis maka
“pengalaman” merupakan pengertian yang terlalu samar untuk dijadikan dasar bagi sebuah teori
yang sistemis.
b. Sebuah teori yang sangat menitikberatkan pada persepsi panca indra yang kiranya
melupakan kenyataan bahwa panca indra manusia adalah terbatas dan tidak sempurna. Panca
indra kita sering menyesatkan. Empirisme tidak mempunyai perlengkapan untuk membedakan
antara hayalan dan fakta.
c. Empirisme tidak memeberikan kita kepastian. Apa yang disebut pengetahuan yang
mungkin, dalam pengertian di atas, sebenarnya merupakan pengetahuan yang seluruhnya
diragukan.
3. Keilmuan
Terdapat suatu anggapan yang luas bahwa ilmu pada dasarnya adalah metode induktif-empiris
dalam memperoleh pengetahuan, di jelaskan bahwa empirisme merupakan epistemology yang
telah mencoba menjadikan alat indra berperan dalam pengamatan untuk memperoleh keterangan
tentang pengetahuan ilmiah. Memang terdapat beberapa alasan untuk mendukung penilaian yang
populer ini, karena ilmuan mengumpulkan fakta-fakta yang tertentu, melakukan pengamatan dan
mempergunakan data indrawi. Walaupun demikian analisis yang mendalam terhadap metode
keilmuan akan menyingkap kenyataan, bahwa apa yang dilakukan oleh ilmuan dalam usahanya
mencari pengetahuan lebih tepat digambarkan sebagai suatu kombinasi antara prosedur empiris
dan rasional. Secara sederhana, dapat dikatakan bahwa metode keilmuan adalah satu cara dalam
memperoleh pengetahuan. Dengan demikian maka berkembanglah metode ilmiah yang
menggabungkan cara berpikir deduktif dengan induktif yang merupakan pertemuan antara
empirisme dan rasionalisme.
Hal ini dilakukan para ahli filsafat untuk membedakan antara mana pengetahuan yang dianggap
ilmiah dan mana yang bukan. Sehingga munculah metode ilmiah, sebagai jawabannya. Disiplin
yang menerapkan karakteristik ilmiah akan menghasilkan pengetahuan ilmiah, sehingga yang
tidak menerapkan metode ilmiah ini, pengetahuannya bisa dianggap bukan merupakan
pengetahuan ilmiah.
Metode ini juga masih mendapatkan kritik, yang antara lain:
a. Metode keilmuan membatasi secara begitu saja mengenai apa yang dapat diketaui manusia,
yang hanya berkisar pada benda-benda yang dapat dipelajari dengan alat dan teknik keilmuan.
b. Ilmu memperkenankan tafsiran yang banyak terhadap suatu benda atau kejadian. Tiap
tafsiran bisa saja benar sejauh apa yang dikemukakan. Berbagai hipotesis bisa saja diajukan,
sehingga kesatuan dan konsistensi dari pengetahuan keilmuan ternyata tidak sejelas apa yang
kita duga.
c. Pengetahuan keilmuan, meskipun sangat tepat, tidaklah berarti bahwa hal ini merupakan
keharusan. Karena pengetahuan keilmuan hanyalah pengetahuan yang mungkin dan secara tetap
harus terus menerus berubah. karena ilmu menyadari bahwa dia tidak mampu untuk
menyediakan pengetahuan yang pasti dan lengkap, yang tidak terjangkau oleh kegiatan
keilmuan.[3]

2. Ilmu sebagai Produk


Dilihat dari tipe dan jenisnya, Ilmu itu sendiri dibagi menjadi tiga: Pertama, ilmu
sebagai inti dalam kehidupan sosial. Biasanya ilmu tipe demikian dikendalikan oleh elit sosial
yang memandang bahwa tradisi masyarakat sebagai standar kebenaran. Konsekwensinya adalah
dogmatisasi ilmu akibat kebenaran yang serba normatif. Kedua, ilmu sebagai proses. Dalam
konteks ini kebenaran sebagai main goal dari ilmu pengetahuan dijadikan sebagai bahan antara,
dimana kebenaran akhirnya terus diverifikasi melalui berbagai penelitian dan eksperimen.
Ketiga, ilmu sebagai produk. Hal ini masih berkaitan dengan ilmu tipe kedua. Beragam
penelitian tentang satu hal yang kemudian menghasilkan sebuah kesimpulan akhir setelah
dilakukan pengujian adalah sebuah produk dari pencarian kebenaran yang kita kenal sebagai
ilmu.
Ilmu merupakan kumpulan pengetahuan sistematis yang merupakan produk dari
aktivitas penelitian dengan metode ilmiah/ sebagai sistem pengetahuan, ilmu mempunyai obyek
material dan obyek formal. Obyek material sering disebut pokok soal (subject matter),
sedangkan obyek material dinamakan titik perhatian (focus of interest) atau sikap pikiran
(attitude of mind). Lebih lazim, obyek formal dinamakan sudut pandang. Sebagai sistem
pengetahuan atau pengetahuan sistematis, ilmu memiliki ciri- ciri empiris, sistematis, obyektif,
analitis, dan verifikatif. Ciri empiris mengandaikan pengamatan (observasi) atau percobaan
(eksperimen). Ilmu berbeda dari pengetahuan karena ciri sistematis, dan berbeda dari filsafat
karena ciri empirisnya. Ciri sistematis berarti bahwa kumpulan pengetahuan-pengetahuan itu
memiliki hubungan-hubungan ketergantungan dan teratur. Ciri obyektif ilmu berarti bahwa
pengetahuan ilmiah bebas dari rasangka perseorangan (personal bias) dan pamrih pribadi. ilmu
arus berisi data yang menggambarkan secara tepat gejala-gejala. ilmu berciri analitis artinya
ilmu melakukan pemilahan-pemilahan atas pokok soal ke dalam bagian-bagian untuk
mengetahui sifat dan hubungan bagian-bagian tersebut. Ciri verifikatif ilmu berarti bahwa tujuan
yang ingin dicapai ilmu ialah kebenaran ilmiah. Kebenaran ini dapat berupa kaidah-kaidah atau
azas-azas yang universal. Dengan demikian, manusia dapat membuat ramalan dan menguasai
alam.
Sebagai produk dari usaha berfikir ilmiah, ilmu pengetahuan sudah pasti berlandaskan pada
landasan yang jelas. Obyektivitas yang tertuju kepada kebenaran merupakan landasan tetap yang
menjadi pola dasar ilmu pengetahuan itu tanpa mengesampingkan nilai-nilai hidup kemanusiaan.
Sebab, nilai-nilai kemanusiaan adalah dasar, latar belakang dan tujuan dari kegiatan keilmuan.
Dalam artian bahwa ilmu pengetahuan itu sama sekali tidak bebas nilai dan tetap
mempertimbangkan terpeliharanya nilai-nilai kemanusiaan Terdapat perbedaan di kalangan para
ilmuwan mengenai hubungan antara ilmu dengan nilai-nilai. Di satu sisi, sebagian berpendapat
bahwa ilmu adalah bebas nilai dengan satu pertimbangan bahwa kebenaran menjadi satu-satunya
ukuran dalam kegiatan ilmiah. Sebagian yang lain mengatakan bahwa pertimbangan nilai etika,
kesusilaan dan kegunaan untuk melengkapi nilai kebenaran ilmu sangat perlu dimasukkan ke
dalam landasan ilmu, dengan kata lain ilmu taut nilai atau tidak bebas nilai.
C. Kesimpulan

Ilmu hanya terdapat dan dimulai dari aktivitas manusia, sebab hanya manusia yang memiliki
kemampuan rasional dalam melakukan aktivitas kognitif yang menyangkut pengetahuan, dan
selalu mendambakan berbagai tujuan yang berkaitan dengan ilmu.Dalam wujudnya ilmu dibagi
ke dalam tiga bagian yaitu ilmu sebagai proses, prosedur, dan produk. Ilmu sebagai proses
memiliki arti suatu aktivitas manusia, yakni perbuatan melakukan sesuatu yang dilakukan oleh
manusia, dan ilmu itu sendiri terdiri dari satu atau rangkaian aktivitas yang merupakan sebuah
proses yang bersifat rasional, kognitif, dan teleologis. Sedangkan Ilmu sebagai prosedur atau
ilmu sebagai metode ilmiah merupakan prosedur yang mencakup pikiran, pola kerja, tata
langkah, dan cara teknik untuk memperoleh kebenaran ilmiah. Terakhir yaitu ilmu sebagai
produk bermakna pengetahuan ilmiah yg kebenarannya dapat diuji secara ilmiah, yg mencakup
Jenis-jenis sasaran; bentuk-bentuk pernyataan; Ragam-ragam proposisi; ciri-ciri pokok;
Pembagian secara sistematis.
D. Referensi
A’la, Abd. Pembaruan Pesantren. Yogyakarta: Pustaka Pesantren, 2006.

Asrohah, Hanun. “The Dynamics of Pesantren: Responses toward Modernity and Mechanism in
Organizing Transformation,” Journal of Indonesian Islam, Vol. 05, No. 01 (June 2011): 66-90.

Bawani, Imam, dkk. Pesantren Buruh Pabrik. Yogyakarta: LkiS, 2011.

Billahi, Savran dan Idris, Thaha. Bangkitnya Kelas Menengah Santri: Modernisasi Pesantren di Indonesia.
Jakarta: Prenada Media Group, 2018.

Branson, Christopher M. Leaderhsip for an Age of Wisdom. Melbourne: Springer, 2009.

Colcuitt, J.A. dkk. Organizational Behavior. New York: Pearson, 2011.

Collins Concise Dictionary & Thesaurus. Glasgow: Harper Collins Publishers, 1995.

Departemen Agama RI. Direktori Pesantren, Vol. 5. Jakarta: Departemen Agama RI, 2007.

Dhofier, Zamakhsyari. Tradisi Pesantren: Studi tentang Pandangan Hidup Kiai. Jakarta: LP3ES, 1982.

Effendi, Djohan. Pembaruan Tanpa Membongkar Tradisi. Jakarta: Kompas, 2010.

Giddens, Anthony and Pierson, Christopher. Conversations with Anthony Giddens: Making Sense of
Modernity. Cambridge & Oxford: Polity Press, 1998.

Giddens, Anthony. Modernity and Self-Identity: Self and Society in the Late Modern Age. Cambridge:
Polity Press, 1991.

Good, Carter V. Dictionary of Education. New York & London: McGraw Hill Book Company, 1959.

Hamid, Abdulloh. Pendidikan Karakter Berbasis Pesantren: Pelajar dan Santri dalam Era IT & Cyber
Culture. Surabaya: Imtiyaz, 2017.

Hamka. Tasawuf Modern. Jakarta: Jaya Bakti, 1959.

Ivancevich, John M. et. al. Organizational Behavior and Management. New York: McGraw-Hill Irwin,
2011.

Joiner, Bill & Josephs, Stephen. Leadership Agility: Five Levels of Mastery for Anticipating and Initiating
Change. San Fransisco: John Wiley & Sons, Inc, 2007.

“KH Ahmad Basyir Jekulo-Kudus (1924-2014),” Tasamuh.id. Diakses pada 4 Desember 2019.

Makmun, H.A. Rodli. “Pembentukan Karakter Berbasis Pendidikan Pesantren: Studi di Pondok Pesantren
Tradisional dan Modern di Kabupaten Ponorogo,” Cendekia, Vol. 12/No. 2 (Juli-Desember 2014).

Anda mungkin juga menyukai