Anda di halaman 1dari 27

Pengertian Pengetahuan Menurut Para Ahli

Menurut Pudjawidjana, Pengetahuan memiliki Definisi sebagai reaksi dari setiap orang dan di
terima dengan rangsangan terhadap alat terkait kegiatan indera penginderaan jauh di objek
tertentu.

Notoatmodjo, Menjelaskan bahwasanya Pengetahuan memiliki arti yakni suatu kekuatan yakni
berupa yang di dapatkan dari pengetahuan setelah orang tersebut melakukan penginderaan jauh.

Sedangkan menurut Onny S. Prijono, Pengetahuan dapat di artikan yang mana di dapatkan dari
nilai karena terbiasa dari orang-orang tersebiut dalam mengembangkan rasa ingin keingin
tahuan.

Sumadi (1996), Menurutnya pengetahuan merupakan kemampuan seseorang dalam mengingat


fakta, simbol, proses, dan teori.

Notoadmojo (2002), Mendefinisikan Pengetahuan berupa ide atau hasil dari sebuah
aktivitas/Prilaku manusia yang telah terjadi setelah penginderaan dari objek tertentu, teori ini pun
sama halnya yang di katakan oleh Locke.

Keraf (2001), Menuturkan bahwasanya Pengetahuan merupakan buah pikir, ide, gagasan,
konsep, serta pemahaman manusia, yang kemudian mengambil inisiatif untuk berbagi
pengetahuan dengan berbagai metode seperti : (1) pola, dan (2) jenis yang di kukiskan dalam
beberapa uraian sebagai berikut :

ilmu/il·mu/ n 1 pengetahuan tentang suatu bidang yang disusun secara bersistem menurut
metode tertentu, yang dapat digunakan untuk menerangkan gejala tertentu di bidang
(pengetahuan) itu: dia memperoleh gelar doktor dalam -- pendidikan; 2 pengetahuan atau
kepandaian (tentang soal duniawi, akhirat, lahir, batin, dan sebagainya);-- padi, makin berisi
makin runduk, pb makin banyak pengetahuan makin rendah hati; menunjukkan -- kepada orang
menetak, pb nasihat yang baik itu tidak berguna bagi orang yang tidak mau menggunakannya; --
lintabung, ki bodoh tetapi sombong (tentang seseorang);
https://kbbi.web.id/ilmu

Perbedaan Dan Persamaan Antara Ilmu, Pengetahuan Dan Filsafat

1). PENGERTIAN ILMU

Ilmu adalah sebagian pengetahuan bersifat koheren, empiris, sistematis, dapat diukur, dan
dibuktikan. Berbeda dengan iman, yaitu pengetahuan didasarkan atas keyakinan kepada yang
gaib dan penghayatan serta pengalaman pribadi

Berbeda dengan pengetahuan, ilmu tidak pernah mengartikan kepingan pengetahuan satu
putusan tersendiri, sebaliknya ilmu menandakan seluruh kesatuan ide yang mengacu ke obyek
[atau alam obyek] yang sama dan saling berkaitan secara logis. Karena itu, koherensi sistematik
adalah hakikat ilmu. Prinsip-prinsip obyek dan hubungan-hubungannya yang tercermin dalam
kaitan-kaiatan logis yang dapat dilihat dengan jelas. Bahwa prinsip-prinsip logis yang dapat
dilihat dengan jelas. Bahwa prinsip-prinsip metafisis obyek menyingkapkan dirinya sendiri
kepada kita dalam prosedur ilmu secara lamban, didasarkan pada sifat khusus intelek kita yang
tidak dapat dicarikan oleh visi ruhani terhadap realitas tetapi oleh berpikir
Ilmu tidak memerlukan kepastian lengkap berkenaan dengan masing-masing penalaran
perorangan, sebab ilmu dapat memuat di dalamnya dirinya sendiri hipotesis-hipotesis dan teori-
teori yang belum sepenuhnya dimantapan

Menurut Kamus Besar Bahasa Indonesia Edisi Ketiga, terbitan Balai Pustaka, Jakarta,
2001, ilmu artinya adalah pengetahuan atau kepandaian. Dari penjelasan dan beberapa
contohnya, maka yang dimaksud pengetahuan atau kepandaian tersebut tidak saja berkenaan
dengan masalah keadaan alam, tapi juga termasuk “kebatinan” dan persoalan-persoalan lainnya.
Sebagaimana yang sudah kita kenal mengenai beberapa macam nama ilmu, maka tampak dengan
jelas bahwa cakupan ilmu sangatlah luas, misalnya ilmu ukur, ilmu bumi, ilmu dagang, ilmu
hitung, ilmu silat, ilmu tauhid, ilmu mantek, ilmu batin (kebatinan), ilmu hitam, dan sebagainya.

2). PENGERTIAN PENGETAHUAN

Pengetahuan adalah merupakan hasil “Tahu” dan ini terjadi setelah orang
melakukan penginderaan terhadap suatu objek tertentu yang mana penginderaan ini terjadi
melalui panca indera manusia yakni indera penglihatan, pendengaran, penciuman, rasa
dan raba yang sebagian besar pengetahuan manusia diperoleh melalui mata dan telinga

Pengetahuan adalah informasi atau maklumat yang diketahui atau disadari oleh
seseorang. Pengetahuan termasuk, tetapi tidak dibatasi pada deskripsi, hipotesis, konsep, teori,
prinsip dan prosedur yang secara Probabilitas Bayesian adalah benar atau berguna.
Dalam pengertian lain, pengetahuan adalah berbagai gejala yang ditemui dan diperoleh
manusia melalui pengamatan inderawi. Pengetahuan muncul ketika seseorang menggunakan
indera atau akal budinya untuk mengenali benda atau kejadian tertentu yang belum pernah dilihat
atau dirasakan sebelumnya. Misalnya ketika seseorang mencicipi masakan yang baru dikenalnya,
ia akan mendapatkan pengetahuan tentang bentuk, rasa, dan aroma masakan tersebut.

Pengetahuan yang lebih menekankan pengamatan dan pengalaman inderawi dikenal


sebagai pengetahuan empiris atau pengetahuan aposteriori. Pengetahuan ini bisa didapatkan
dengan melakukan pengamatan dan observasi yang dilakukan secara empiris dan rasional.
Pengetahuan empiris tersebut juga dapat berkembang menjadi pengetahuan deskriptif bila
seseorang dapat melukiskan dan menggambarkan segala ciri, sifat, dan gejala yang ada pada
objek empiris tersebut. Pengetahuan empiris juga bisa didapatkan melalui pengalaman pribadi
manusia yang terjadi berulangkali. Misalnya, seseorang yang sering dipilih untuk memimpin
organisasi dengan sendirinya akan mendapatkan pengetahuan tentang manajemen organisasi.

Selain pengetahuan empiris, ada pula pengetahuan yang didapatkan melalui akal budi
yang kemudian dikenal sebagai rasionalisme. Rasionalisme lebih menekankan pengetahuan yang
bersifat apriori; tidak menekankan pada pengalaman. Misalnya pengetahuan tentang matematika.
Dalam matematika, hasil 1 + 1 = 2 bukan didapatkan melalui pengalaman atau pengamatan
empiris, melainkan melalui sebuah pemikiran logis akal budi.

3). PENGERTIAN FILSAFAT

Filsafat adalah pandangan hidup seseorang atau sekelompok orang yang merupakan
konsep dasar mcngenai kehidupan yang dicita-citakan. Filsafat juga diartikan sebagai suatu sikap
seseorang yang sadar dan dewasa dalam memikirkan segala sesuatu secara mendalam dan ingin
melihat dari segi yang luas dan menyeluruh dengan segala hubungan.

Istilah dari filsafat berasal bahasa Yunani : ”philosophia”. Seiring perkembangan jaman
akhirnya dikenal juga dalam berbagai bahasa, seperti : ”philosophic” dalam kebudayaan bangsa
Jerman, Belanda, dan Perancis; “philosophy” dalam bahasa Inggris; “philosophia” dalam bahasa
Latin; dan “falsafah” ‫فلسة‬, dalam bahasa Arab.

Dalam bahasa ini, kata filsafat merupakan kata majemuk dan berasal dari kata-kata
(philia = persahabatan, cinta dsb.) dan (sophia = "kebijaksanaan"). Sehingga arti harafiahnya
adalah seorang "pencinta kebijaksanaan" atau "ilmu". Kata filosofi yang dipungut dari bahasa
Belanda juga dikenal di Indonesia. Bentuk terakhir ini lebih mirip dengan aslinya. Dalam bahasa
Indonesia seseorang yang mendalami bidang falsafah disebut "filsuf".
Definisi kata filsafat bisa dikatakan merupakan sebuah problem falsafi pula. Tetapi,
paling tidak bisa dikatakan bahwa "falsafah" itu kira-kira merupakan studi tentang arti dan
berlakunya kepercayaan atau pengetahuan manusia pada sisi yang paling dasar dan universal.
Studi ini didalami tidak dengan melakukan eksperimen-eksperimen dan percobaan-percobaan,
tetapi dengan mengutarakan problem secara persis, mencari solusi untuk itu, memberikan
argumentasi dan alasan yang tepat untuk solusi tertentu, serta akhir dari proses-proses itu
dimasukkan ke dalam sebuah proses dialektik.

Filsafat juga merupakan ilmu yang kajiannya tidak hanya terbatas pada fakta-fakta saja
melainkan sampai jauh diluar fakta hingga batas kemampuan logika manusia. Batas kajian ilmu
adalah fakta sedangkan batas kajian filsafat adalah logika atau daya pikir manusia. Ilmu
menjawab pertanyaan “why” dan “how” sedangkan filsafat menjawab pertanyaan “why, why,
dan why” dan seterusnya sampai jawaban paling akhir yang dapat diberikan oleh pikiran atau
budi manusia (munkin juga pertanyaan-pertanyaannya terus dilakukan sampai never ending)..

Sementara ada yang berpendapat bahwa filsafat pada dasarnya bukanlah ilmu, tetapi
suatu usaha manusia untuk memuaskan dirinya selagi suatu fenomena tidak / belum dapat
dijelaskan secara keilmuan. Sebagai contoh dulu orang percaya bahwa orang yang sakit lantaran
diganggu dedemit, meletusnya gunung api adalah akibat dewa penguasa gunung tersebut murka,
gempabumi terjadi karena Atlas dewa yang menyangga bumi “gagaro lantaran ateul bujur”, dan
masih banyak lagi.

Filsafat juga sering dihubungkan dengan istilah Al Hikmah (kebijaksanaan), dalam buku
“Uyun al-Hikmah” Al Hikmah merupakan penyempurnaan jiwa manusia melalui konseptualisasi
dan pembenaran (tashdiq) realita teoritis dan praktis sesuai dengan tingkat kemampuan manusia,
menurut Mulla sadra kata al hikmah tidak hanya memberikan penekanan pada pengetahuan
teoritis dan menjadi alam pemikiran yang merefleksikan alam nyata, tapi juga pelepasan diri dari
nafsu dan penyucian jiwa dari segala kotoran duniawi (tajarrud)

4). PERSAMAAAN & PERBEDAAN FILSAFAT, ILMU, DAN PENGETAHUAN

a. Persamaan dan Perbedaan Antara Filsafat Dan Ilmu

Persamaan:

 Keduanya mencari rumusan yang sebaik-baiknya menyelidiki obyek selengkap-


lengkapnya sampai ke-akar-akarnya
 Keduanya memberikan pengertian mengenai hubungan atau koheren yang ada antara
kejadian-kejadian yang kita alami dan mencoba menunjukkan sebab-akibatnya
 Keduanya hendak memberikan sistesis, yaitu suatu pandangan yang bergandengan
 Keduanya mempunyai metode dan sistem
 Keduanya hendak memberikan penjelasan tentang kenyataan seluruhnya timbul dari
hasrat manusia [obyektivitas], akan pengetahuan yang lebih mendasar.

Perbedaan:

 Obyek material [lapangan] filsafat itu bersifat universal [umum], yaitu segala sesuatu
yang ada [realita] sedangkan obyek material ilmu [pengetahuan ilmiah] itu bersifat
khusus dan empiris. Artinya, ilmu hanya terfokus pada disiplin bidang masing-masing
secara kaku dan terkotak-kotak, sedangkan kajian filsafat tidak terkotak-kotak dalam
disiplin tertentu
Obyek formal [sudut pandangan] filsafat itu bersifat non fragmentaris, karena mencari
pengertian dari segala sesuatu yang ada itu secara luas, mendalam dan mendasar.
Sedangkan ilmu bersifat fragmentaris, spesifik, dan intensif. Di samping itu, obyek
formal itu bersifatv teknik, yang berarti bahwa cara ide-ide manusia itu mengadakan
penyatuan diri dengan realita
 Filsafat dilaksanakan dalam suasana pengetahuan yang menonjolkan daya spekulasi,
kritis, dan pengawasan, sedangkan ilmu haruslah diadakan riset lewat pendekatan trial
and error. Oleh karena itu, nilai ilmu terletak pada kegunaan pragmatis, sedangkan
kegunaan filsafat timbul dari nilainnya

b. Persamaan dan Perbedaan Antara Filsafat Dan Pengetahuan

Persamaan:

 Keduanya mencari rumusan yang sebaik-baiknya menyelidiki objek selengkap-


lengkapnya sampai keakar-akarnya.
 Keduanya memberikan pengertian mengenai hubungan atau koheren yang ada antara
kejadian-kejadian yang kita alami dan mencoba menunjukan sebab-sebanya.
 Keduanya hendak memberikan sintesis, yaitu suatu pandangan yang bergandengan.
 Keduanya mempunyai metode dan sistem.
 Keduanya hendak memberikan penjelasan tentang kenyataan seluruhnya timbul dari
hasrat manusia (objektivitas), akan pengetahuan yang lebih mendasar.

Perbedaan:

 Filsafat berusaha mencoba merumuskan pertanyaan atas jawaban. mencari prinsip-


prinsip umum, tidak membatasi segi pandangannya bahkan cenderung memandang segala
sesuatu secara umum dan keseluruhan sedangkan Pengetahuan adalah penguasaan
lingkungan hidup manusia.
 Filsafat hanya Bertugas mengintegrasikan ilmu-ilmu sedangkan pengetahuan dapat
mengkajinya sampai pada kebenaran melalui kesimpulan logis dari pengamatan empiris

c. Persamaan dan Perbedaan Antara Ilmu Dan Pengetahuan

Persamaan:

 Ilmu dan Pengetahuan pada dasarnya memiliki arti yang sama yaitu analisa terhadap
suatu hal berdasarkan metode ilmiah hanya saja penggunaannya tergantung dari sifat dan
tujuan yang hendak dicapai dalam kegiatan keilmuan tersebut.
 Keduanya sangat sulit untuk dipisahkan karena merupakan pengetahuan tentang sesuatu
hal atau fenomena, baik yang menyangkut alam atau sosial (kehidupan masyarakat), yang
diperoleh manusia melalui proses berfikir. Itu artinya bahwa setiap ilmu merupakan
pengetahuan tentang sesuatu yang menjadi objek kajian dari ilmu terkait.

Perbedaan:

· ilmu adalah kerangka konseptual atau teori uang saling berkaitan yang memberi tempat
pengkajian dan pengujian secara kritis dengan metode ilmiah oleh ahli-ahli lain dalam bidang
yang sama, dengan demikian bersifat sistematik, objektif, dan universal. Sedang pengetahuan
adalah hasil pengamatan yang bersifat tetap, karena tidak memberikan tempat bagi pengkajian
dan pengujian secara kritis oleh orang lain, dengan demikian tidak bersifat sistematik dan tidak
objektif serta tidak universal.

· Ilmu adalah sesuatu yang dapat kita peroleh melalui proses yang disebut pembelajaran atau
dengan kata lain hasil dari pembelajaran, berbeda dengan Pengetahuan yangdapat kita peroleh
tanpa melalui proses pembelajaran.

 Ilmu merupakan kumpulan dari berbagai pengetahuan, dan kumpulan pengetahuan dapat
dikatakan ilmu setelah memenuhi syarat-syarat objek material dan objek formal

http://ikrar10.blogspot.com/2011/07/perbedaan-dan-persamaan-antara-ilmu.html

Apakah Pengetahuan Itu?


Manusia bersifat ingin tahu. Melalui pengamatan terhadap lingkungan dan pengalaman
berinteraksi dengan lingkungan, manusia mengkonstruksi pengetahuan (knowledge) dalam
benaknya, untuk memuaskan keingintahuannya. Dengan pengetahuan itu selanjutnya manusia
dapat membuat keputusan-keputusan yang menguntungkan. Sebagai contoh, manusia
menggunakan bahan aluminium untuk rangka jendela, karena tahu bahwa aluminium relatif
ringan dan sukar berkarat.

Orang yang tahu disebut mempunyai pengetahuan. Jadi pengetahuan sesungguhnya adalah hasil
tahu, serta pengetahuan adalah segala sesuatu yang diketahui. Nasution (1988) menyatakan
bahwa pengetahuan sebagai hasil naluri ingin tahu. Keingintahuan manusia tidak terpuaskan
ketika manusia sekedar memperoleh pengetahuan, melainkan lebih jauh ingin memiliki
pengetahuan yang benar. Hal ini menyebabkan lahirnya pemikiran tentang kriteria kebenaran
pengetahuan dan bagaimana mencapai kebenaran yang hakiki.

Terdapat dua jenis pengetahuan, yakni pengetahuan khusus dan pengetahuan umum
(Poedjawijatna, 1991). Pengetahuan khusus ialah berkenaan dengan satu fakta, misalnya logam
tembaga menghantarkan panas, yang berlaku hanya untuk tembaga. Sementara itu terdapat
pengetahuan yang berlaku umum sebagai kesimpulan dari sejumlah faka, misalnya logam
menghantar panas, yang berlaku untuk semua logam tidak mempersoalkan jenis logam apa.

Baik pengetahuan umum maupun pengetahuan khusus, keduanya menjadi milik manusia
berlandaskan pengalaman, entah pengalaman dirinya atau pengalaman orang lain (Poedjawijatna,
1991). Ajaran empirisme menyatakan bahwa semua pengetahuan berasal dari pengalaman
empiris manusia (Latif, 2014). Namun demikian, pembentukan pengetahuan dalam diri
seseorang pun memerlukan penarikan kesimpulan dengan penalaran yang dipandu oleh logika.
Dalam konteks ini, Rene Descartes menyatakan bahwa pengetahuan yang sejati tentang alam
semesta ini hanya dapat diperoleh lewat penalaran yang dituntun oleh logika (Latif, 2014)

Keterbatasan daya pengamanatan empiris manusia bisa menimbulkan kesalahan manusia dalam
mengkonstruksi pengetahuan yang didapatnya. Selain itu kesalahpahaman seringkali terjadi juga
ketika pengetahuan dikomunikasikan oleh seseorang kepada orang lain. Pengetahuan seperti
itu diterima individu atas dasar kewibawaan penyampainya, dan adakalanya bukan merupakan
kebenaran. Sebelum memperoleh verifikasi secara ilmiah, pengetahuan baru mencapai
tingkat “kepercayaan (belief)” yang belum pasti kebenarannya (Soetriono & Hanafie, 2007).

Pengetahuan yang benar harus memenuhi kriteria kebenaran ilmiah. Suriasumantri (2010)
memaparkan teori kebenaran ilmiah, yang melandaskan kebenaran pada tiga kriteria, yakni
korespondensi, koherensi, dan pragmatisme. Menurut teori korespondensi (dipelopori Bertrand
Russell) suatu pernyataan adalah benar jika berkorenspondensi (bersesuaian) dengan obyek yang
dituju oleh pernyataan itu (faktual). Pengetahuan yang benar ditunjang oleh fakta-fakta empiris.
Menurut teori koherensi (dipelopori Plato dan Socrates), suatu pernyataan dianggap benar jika
pernyataan itu koheren atau konsisten dengan pernyataan-pernyataan sebelumnya yang
dipandang sebagai kebenaran. Menurut teori pragmatisme (dipelopori Wiliam James dan John
Dewey), kebenaran suatu pernyataan ditinjau dari kriteria apakah pernyataan tersebut bersifat
fungsional dalam kehidupan praktis. Suatu pernyataan dapat dipandang benar jika pernyataan itu
atau konsekuensi dari pernyataan itu mempunyai kegunaan praktis dalam kehidupan manusia.

Apakah Ilmu Itu?

Kamus Besar Bahasa Indonesia (1996) mendefinisikan ilmu sebagai pengetahuan tentang suatu
bidang yang disusun secara bersistem menurut metode-metode tertentu yang dapat digunakan
untuk menerangkan gejala-gejala tertentu pula. Dengan demikian dapat dikatakan bahwa ilmu
ialah susunan berbagai pengetahuan secara berstruktur untuk satu bidang tertentu. Ilmu (science)
mengorganisasikan pengetahuan-pengetahuan ilmiah (konsep, prinsip, hukum, prosedur, dan
teori) ke dalam struktur yang logis dan sistematis.

Dipercayai bahwa kelahiran pengetahuan ilmiah bersamaan dengan kelahiran filsafat, manakala
pengetahuan diformulasi berdasarkan temuan empiris dan pemikiran logis dan rasional serta
terbebas dari mitos-mitos. Pada awal perkembangan ilmu (masih didominasi oleh spekulasi-
spekulasi), fisuf dapat juga dipandang sebagai ilmuwan, sehingga mereka layak disebut sebagai
ahli filsafat alam (natural philosophy). Sebagai contoh, Hipocrates (460-370 BC) adalah filsuf
yang juga ahli ilmu kedokteran, Aristoteles (284-322 BC) adalah filsuf yang juga penyelidik
mahluk-mahluk hidup laut, dan Democritus (470-380 BC) yang terkenal dengan pemikiran
tentang atom (atomos) sebagai unit terkecil dari materi. Dalam perkembangan selanjutnya,
disiplin-disiplin ilmu menjadi semakin berdiri-sendiri yang terpisah dari filsafat, seiring dengan
semakin kuatnya penggunaan landasan empiris dan kuantitatif serta metode ilmiah, khususnya
eksperimen, dalam pengkajian-pengkajian terhadap fenomena alam.

Dewasa ini terdapat perbedaan yang jelas antara ilmu dan filsafat. Ilmu bersifat aposteriori,
kesimpulan ditarik setelah melakukan pengujian empiris secara berulang-ulang. Filsafat bersifat
apriori, kesimpulan ditarik tanpa pengujian, sebab terbebas dari pengalaman inderawi apapun.
Ilmu bersifat empirik, sedangkan fisafat bersifat spekulatif. Kesamaan antara ilmu dan filsafat
ialah keduanya menggunakan aktivitas berpikir, walaupun cara berpikir ilmuwan berbeda dengan
cara berpikir filsuf

Semakin lama fenomena yang disadari menarik dan penting untuk dikaji semakin beragam.
Situasi ini mendorong pengkhususan kajian yang dilakukan para ilmuwan, dalam disiplin ilmu
spesifik. Setiap disiplin ilmu selanjutnya menfokuskan kajian pada wilayah kajian spesifik dan
mengembangkan asumsi, pola pikir, dan pendekatan yang spesifik pula. Oleh karenanya cabang-
cabang ilmu semakin terspesialisasi, dan semakin sukar berinteraksi satu sama lain (Bakhtiar,
2004).

Pada dasarnya ilmu mempunyai “obyek material” dan “obyek formal”. Obyek material merujuk
pada sasaran penyelidikan. Sasaran penyelidikan dalam pelbagai disiplin ilmu dapat saja sama,
seperti misalnya manusia yang menjadi sasaran penyelidikan psikologi, pendidikan, biologi, ilmu
sosial, dll. Namun demikian, sudut pandang, pendekatan dan metode penyelidikan disiplin ilmu-
ilmu tersebut terhadap manusia berbeda-beda. Setiap disiplin ilmu mempunyai obyek formal
tertentu, yang membedakan satu sama lain dalam melakukan kajian terhadap obyek material
yang sama. Obyek formal suatu disiplin ilmu berhubungan dengan sudut pandang, pendekatan,
metode khas yang dilakukan oleh ilmuwan dalam disiplin itu. Perbedaan obyek formal psikologi,
biologi, ilmu sosial terhadap manusia, membedakan pengetahuan-pengetahuan yang
dikumpulkan dan diorganisir dalam masing-masing disiplin tersebut. Ilmu-ilmu berbeda-beda
bukan terutama karena obyek material berbeda, tetapi khususnya karena masing-masing berbeda
menurut obyek formalnya (Van Melsen, 1985).

Apakah Ilmu Berbeda dari Ilmu Pengetahuan?


Ungkapan “ilmu pengetahuan” lazim digunakan yang wacana sehari-hari. Ungkapan ini
digunakan juga dalam memberi nama fakultas di perguruan tinggi. Dalam konteks ini
Suriasumantri (2009) berpendapat bahwa ilmu adalah pengetahuan yang diperoleh dengan
menerapkan metode keilmuan (metode ilmiah), sehingga ilmu dapat disebut sebagai pengetahuan
ilmiah. Lebih lanjut ia menyatakan bahwa agar tidak terjadi kekacauan antara pengertian “ilmu
(science)” dan pengetahuan (knowledge) maka lebih menguntungkan apabila kita menggunakan
istilah “ilmu” daripada “ilmu pengetahuan”.

Dalam konteks peristilahan ilmu pengetahuan, Soetriono dan Hanafie (2007) memandang ada
dua jenis pengetahuan, yakni “pengetahuan biasa” dan “pengetahuan ilmiah (ilmu)”.
Pengetahuan yang digunakan awam untuk kehidupan sehari-hari tanpa mengetahui seluk-beluk
yang sedalam-dalamnya dinamakan pengetahuan biasa. Jenis pengetahuan lain, yakni
pengetahuan yang merupakan hasil telaahan yang mendalam oleh ilmuwan, yang disebut sebagai
“ilmu pengetahuan”. Jadi, pada dasarnya ilmu pengetahuan bermakna sama dengan ilmu.
Penggunaan istilah ilmu pengetahuan semata-mata untuk menegaskan sifat keilmiahan ilmu
tersebut, sekaligus membedakannya dengan ilmu-ilmu lainnya yang tidak memenuhi kriteria
keilmiahan pengetahuan-pengetahuan penyusunnya.

Apakah Filsafat Ilmu Itu?

Suriasumantri (2010) menyatakan bahwa filsafat ilmu merupakan telaahan secara filsafat yang
hendak menjawab pertanyaan mengenai hakikat ilmu, baik ditinjau dari sudut ontologi,
epistemologi, dan aksiologi. Telaahan filsafat ilmu dilakukan melalui proses dialektika secara
mendalam (radikal), sistematis, dan spekulatif. Pertanyaan-pertanyaan mengenai hakikat ilmu
menyangkut obyek apa yang ditelaah ilmu (landasan ontologi), bagaimana memperoleh
pengetahuan (landasan epistemologi), dan bagaimana ilmu digunakan (landasan aksiologi).
Aspek ontologi ilmu meliputi bagaimana wujud hakiki dari obyek itu dan hubungan antara
obyek tersebut dengan daya tangkap manusia (berpikir dan mengidera) yang membuahkan
pengetahuan. Aspek epistemologi ilmu mencakup sumber pengetahuan, prosedur menggali
pengetahuan secara ilmiah, kriteria kebenaran ilmiah. Aspek aksiologi ilmu bertalian dengan
kaidah moral dalam penggunaan ilmu.
Filsafat ilmu ialah salah satu cabang filsafat. Sesuai dengan kekhasan filsafat, kajian filsafat ilmu
pun bersifat mendasar, universal, konseptual, dan spekulatif. Kini filsafat ilmu telah berkembang
sebagai suatu ilmu (Latif, 2014), yang mempunyai obyek material pengetahuan ilmiah (scientific
knowledge), dan obyek formal problem-problem mendasar dari ilmu.

Problem-problem mendasar dari ilmu antara lain: Hakikat ilmu (the nature of science), metode
ilmiah (scientific method), kebenaran ilmiah (scientific truth), penalaran ilmiah (scientific
reasoning), eksplanasi ilmiah (scientific explanation), teori ilmiah (scientific theory), revolusi
pengetahuan ilmiah (scientific revolution), realisme sains (scientific realism), keterbatasan sains
(limitation of science), dan implikasi moral-etis dari aplikasi pengetahuan ilmiah (social-moral
implication of science). Aspek-aspek filsafat ilmu ini menjadi bahan kajian (subject matter)
utama dalam matakuliah filsafat ilmu.

http://sanguilmu.com/perbedaan-dari-pengetahuan-ilmu-ilmu-pengetahuan-filsafat-ilmu/ 26 Juni
2019

Ciri-ciri Berfikir Filsafat

Berfilsafat termasuk dalam berfikir namun berfilsafat tidak identik dengan berfikir. Sehingga,
tidak semua orang yang berfikir itu mesti berfilsafat, dan bisa dipastikan bahwa semua orang
yang berfilsafat itu pasti berfikir.
Seorang siswa yang berfikir bagaimana agar bisa lulus dalam Ujian Akhir Nasional, maka siswa
ini tidaklah sedang berfilsafat atau berfikir secara kefilsafatan melainkan berfikir biasa yang
jawabannya tidak memerlukan pemikiran yang mendalam dan menyeluruh. Oleh karena itu ada
beberapa ciri berfikir secara kefilsafatan.
1. Berfikir secara radikal. Artinya berfikir sampai ke akar-akarnya. Radikal berasal dari kata
Yunani radix yang berarti akar. Maksud dari berfikir sampai ke akar-akarnya adalah berfikir
sampai pada hakikat, esensi atau sampai pada substansi yang dipikirkan. Manusia yang
berfilsafat dengan akalnya berusaha untuk dapat menangkap pengetahuan hakiki, yaitu
pengetahuan yang mendasari segala pengetahuan indrawi.
2. Berfikir secara universal atau umum. Berfikir secara umum adalah berfikir tentang hal-hal
serta suatu proses yang bersifat umum. Jalan yang dituju oleh seorang filsuf adalah keumuman
yang diperoleh dari hal-hal yang bersifat khusus yang ada dalam kenyataan.
3. Berfikir secara konseptual. Yaitu mengenai hasil generalisasi dan abstraksi dari pengalaman
tentang hal-hal serta proses-proses individual. Berfikir secara kefilsafatan tidak bersangkutan
dengan pemikiran terhadap perbuatan-perbuatanbebas yang dilakukan oleh orang-orang tertentu
sebagaimana yang biasa dipelajari oleh seorang psikolog, melainkan bersangkutan dengan
pemikiran “apakah kebebasan itu”?
4. Berfikir secara koheren dan konsisten. Artinya, berfikir sesuai dengan kaidah-kaidah berfikir
dan tidak mengandung kontradiksi atau dapat pula diartikan dengan berfikir secara runtut.
5. Berfikir secara sistematik. Dalam mengemukakan jawaban terhadap suatu masalah, para filsuf
memakai pendapat-pendapat sebagai wujud dari proses befilsafat. Pendapat-pendapat itu harus
saling berhubungan secara teratur dan terkandung maksud dan tujuan tertentu.
6. Berfikir secara komprehensif (menyeluruh). Berfikir secara filsafat berusaha untuk
menjelaskan alam semesta secara keseluruhan.
7. Berfikir secara bebas. Bebas dari prasangka-prasangka sosial, historis, kultural ataupun
religius. Berfikir dengan bebas itu bukan berarti sembarangan, sesuka hati, atau anarkhi,
sebaliknya bahwa berfikir bebas adalah berfikir secara terikat . akan tetapi ikatan itu berasal dari
dalam, dari kaidah-kaidah, dari disiplin fikiran itu sendiri. Dengan demikian pikiran dari luar
sangat bebas, namun dari dalam sangatlah terikat.
8. Berfikir atau pemikiran yang bertanggungjawab. Pertanggungjawaban yang pertama adalah
terhadap hati nuraninya sendiri. Seorang filsuf seolah-olah mendapat panggilan untuk
membiarkan pikirannya menjelajahi kenyataan. Namun, fase berikutnya adalah bagaimana ia
merumuskan pikiran-pikirannya itu agar dapat dikomunikasikan pada orang lain serta
dipertanggungjawabkan.

http://edukonten.blogspot.com/2010/11/ciri-ciri-berfikir-filsafat.html

BAB 1. PENDAHULUAN

1.1 Latar Belakang


Perkembangan kehidupan kenegaraan Indonesia mengalami perubahan yang sangat besar
terutama berkaitan dengan gerakan reformasi, serta perubahan Undang-Undang termasuk
amandemen UUD 1945 serta Tap. MPR NO. XVIII/MPR/1998 yang menetapkan
mengembalikan kedudukan Pancasila pada kedudukan semula sebagai dasar filsafat negara. Hal
ini menimbulkan penafsiran yang bermacam-macam, akibatnya akhir-akhir ini bangsa Indonesia
menghadapi krisis ideologi. Oleh karena itu, agar kalangan intelektual terutama mahasiswa
sebagai calon pengganti pemimpin bangsa dimasa mendatang memahami makna serta
kedudukan Pancasila yang sebenarnya, maka harus dilakukan suatu kajian yang bersifat ilmiah.
Pancasila adalah dasar filsafat Negara Republik Indonesia yang secara resmi disahkan oleh PPKI
pada tanggal 18 Agustus 1945 dan tercantum dalam pembukaan UUD 1945, diundangkan dalam
Berita Republik Indonesia tahun II N0.7 bersama-sama dengan batang tubuh UUD 1945.
Perjalanan sejarah eksistensi pancasila sebagai dasar filsafat negara Republik Indonesia
mengalami berbagai macam interpretasi dan manipulasi politik sesuai dengan kepentingan
penguasa demi kokoh dan tegaknya kekuasaan yang berlindung dibalik legitimasi ideologi
negara Pancasila. Dampak yang cukup serius atas manipulasi Pancasila oleh para penguasa pada
masa lampau memberikan anggapan pada banyak kalangan elit politik serta sebagian masyarakat
bahwa Pancasila merupakan label politik Orde Baru. Sehingga mengembangkan serta mengkaji
Pancasila dianggap akan mengembalikan kewibawaan Orde Baru. Pandangan yang sinis serta
upaya melemahkan peranan ideologi Pancasila pada era Reformasi akan sangat berakibat fatal
bagi bangsa Indonesia yaitu melemahnya kepercayaan rakyat terhadap ideologi negara yang
kemudian pada gilirannya akan mengancam persatuan dan kesatuan bangsa Indonesia yang telah
lama dibina, dipelihara serta didambakan bangsa Indonesia sejak dulu. Oleh karena itu, hal ini
merupakan tugas berat kalangan intelektual untuk mengembalikan persepsi rakyat yang keliru
tersebut kearah cita-cita bersama bagi bangsa Indonesia dalam hidup bernegara.

1.2 Tujuan Penulisan


Tujuan dari penyusunan makalah ini antara lain:
1. Untuk memenuhi tugas Mata Kuliah Pancasila.
2. Untuk menambah pengetahuan tentang Pancasila dari aspek filsafat.
3. Untuk mengetahui pembahasan Pancasila secara ilmiah
4. Untuk mengetahui landasan filosofis Pancasila.
1.3 Rumusan Masalah
Adapun rumusan masalah dalam tema ini adalah sebagai berikut:
1. Bagaimanakah pembahasan pancasila secara ilmiah?
2. Sebut dan jelaskan pengertian pancasila dari beberapa lingkup!
3. Bagaimanakah landasan filosofi pancasila?

1.4 Manfaat Penulisan


Manfaat yang didapat dari makalah ini adalah:
1. Mahasiswa dapat menambah pengetahuan tentang Pancasila dari aspek filsafat.
2. Mahasiswa dapat mengetahui landasan filosofis Pancasila.
3. Mahasiswa dapat mengetahui pembahasan pancasila secara ilmiah.
.

BAB 2. TINJAUAN PUSTAKA

2.1 Pembahasan Pancasila Secara Ilmiah


Pembahasan pancasila termasuk filsafat pancasila sebagai suatu kajian ilmiah harus memenuhi
syarat-syarat ilmiah sesuai dengan yang dikemukakan oleh I.R. Poedjowijatno dalam bukunya
“Tahu dan Pengetahuan” yang merinci syarat-syarat ilmiah sebagai berikut:

2.1.1 Berobjek
Syarat pertama bagi suatu pengetahauan yang memenuhi syarat ilmiah adalah bahwa semua ilmu
pengetahauan itu harus memiliki objek. Oleh karena itu pembahasan pancasila secara ilmiah
harus memiliki objek yang di dalam filsafat ilmu pengetahuan dibedakan atas dua macam yaitu
‘objek forma’dan ‘objek materia’. Objek forma adalah suatu sudut pandang tertentu dalam
pembahasan pancasila. Pancasila dapat dilihat dari berbagai sudut pandang misalnya: Moral
(moral pancasila), Ekonomi (ekonomi pancasila), Pers (pers pancasila), Filsafat (filsafat
pancasila), dan lain sebagainya. Objek materia pancasila adalah suatu objek yang merupakan
sasaran pembahasan dan pengkajian pancasila baik yang bersifat empiris maupun non empiris.
Objek material empiris berupa lembaran sejarah, bukti-bukti sejarah, benda-benda sejarah dan
budaya, lembaran Negara, naskah-naskah kenegaraan, dan lain sebagainya. Objek material non
empiris meliputi nilai-nilai budaya, nilai-nilai moral, nilai-nilai religious yang tercermin dalam
kepribadian, sifat, karakter dan pola-pola budaya.

2.1.2 Bermetode
Metode adalah seperangkat cara/sistem pendekatan dalam rangka pembahasan Pancasila untuk
mendapatkan suatu kebenaran yang bersifat objektif. Metode dalam pembahasan Pancasila
sangat tergantung pada karakteristik obyek forma dan materia Pancasila. Salah satu metode
adalah “analitico syntetic” yaitu suatu perpaduan metode analisis dan sintesa. Oleh karena obyek
Pancasila banyak berkaitan dengan hasil-hasil budaya dan obyek sejarah maka sering digunakan
metode “hermeneutika” yaitu suatu metode untuk menemukan makna dibalik objek, demikian
juga metode “koherensi historis” serta metode “pemahaman penafsiran” dan interpretasi.
Metode-metode tersebut senantiasa didasarkan atas hukum-hukum logika dalam suatu penarikan
kesimpulan.

2.1.3 Bersistem
Suatu pengetahuan ilmiah harus merupakan sesuatu yang bulat dan utuh. Bagian-bagian dari
pengetahuan ilmiah harus merupakan suatu kesatuan antara bagian-bagian saling berhubungan
baik hubungan interelasi (saling hubungan maupun interdependensi (saling ketergantungan).
Pembahasan Pancasila secara ilmiah harus merupakan suatu kesatuan dan keutuhan (majemuk
tunggal) yaitu ke lima sila baik rumusan, inti dan isi dari sila-sila Pancasila merupakan kesatuan
dan kebulatan.

2.1.4 Bersifat Universal


Kebenaran suatu pengetahuan ilmiah harus bersifat universal artinya kebenarannya tidak terbatas
oleh waktu, keadaan, situasi, kondisi maupun jumlah. Nilai-nilai Pancasila bersifat universal atau
dengan kata lain intisari, esensi atau makna yang terdalam dari sila-sila Pancasila pada
hakekatnya bersifat universal.

2.2 Beberapa Pengertian Pancasila


Kedudukan dan fungsi pancasila bilamana dikaji secara ilmiah memiliki pengertian yang luas,
baik dalam kedudukannya sebagai dasar Negara, sebagai pandangan hidup bangsa, sebagai
ideologi bangsa dan Negara, sebagai kepribadian bangsa bahkan dalam proses terjadinya terdapat
berbagai macam terminologi yang harus dideskripsikan secara objektif. Oleh karena itu untuk
memahami pancasila secara kronologis baik menyangkut rumusannya maupun peristilahannya
maka pengertian pancasila meliputi lingkup pengertian sebagai berikut:

2.2.1 Pengertian Pancasila secara Etimologis


Secara etimologis, istilah “Pancasila” berasal dari Sansekerta dari India (bahasa kasta
Brahmana). Adapun bahasa rakyat biasa adalah bahasa Prakerta. Menurut Muhammad Yamin,
dalam bahasa Sansekerta perkataan “Pancasila” memiliki dua macam arti secara leksikal yaitu:
“panca” artinya “lima”
“syila” vokal i pendek artinya “batu sendi”, “alas”, atau “dasar”
“syiila” vokal i panjang artinya “peraturan tingkah laku yang baik, yang penting atau yang
senonoh”.
Kata-kata tersebut kemudian dalam bahasa Indonesia terutama bahasa Jawa diartikan “susila”
yang memiliki hubungan dengan moralitas. Oleh karena itu secara etimologis kata “Pancasila”
yang dimaksudkan adalah istilah “Panca Syila” dengan vokal i pendek yang memiliki makna
leksikal “berbatu sendi lima” atau secara harfiah “dasar yang memiliki lima unsur”. Adapun
istilah “Panca Syiila” dengan huruf Dewanagari i bermakna 5 aturan tingkah laku yang penting.

2.2.2 Pengertian Pancasila secara Historis


Proses perumusan pancasila diawali ketika dalam sidang BPUPKI pertama dr. Radjiman
Widyodiningrat mengajukan masalah khususnya akan dibahas pada siding tersebut. Masalah
tersebut adalah tentang suatu calon rumusan dasar Negara Indonesia yang akan dibentuk.
Kemudian tampilah pada siding tersebut tiga orang pembicara yaitu Mohammad Yamin,
Soepomo dan Soekarno.
Tanggal 1 Juni 1945 didalam sidang tersebut Ir. Soekarno berpidato secara lisan (tanpa teks)
mengenai calon rumusan dasar Negara Indonesia. Kemudian untuk memberi nama istilah dasar
Negara tersebut Soekarno memberikan nama “Pancasila” yang artinya lima dasar. Hal ini
menurut Soekarno atas saran dari salah seorang temannya yaitu seorang ahli bahasa yang tidak
disebutkan namanya.
Tanggal 17 Agustus 1945 indonesia memproklamirkan kemerdekaannya, kemudia keesokan
harinya tanggal 18 Agustus 1945 disahkanlah Undang-Undang Dasar 1945 termasuk Pembukaan
UUD 1945 dimana didalamnya termuat isi rumusan lima prinsip atau lima atau lima prinsip
sebagai satu dasar Negara yang diberi nama Pancasila.
Sejak saat itulah perkataan Pancasila telah menjadi bahasa Indonesia dan merupakan istilah
umum. Walaupun dalam alinea IV Pembukaan UUD 1945 tidak termuat istilah “Pancasila”,
namun yang dimaksudkan Dasar Negara Republik Indonesia adalah disebut dengan istilah
“Pancasila”. Hal ini didasarkan atas interpretasi historis terutama dalam rangka pembentukan
calon rumusan dasar Negara yang kemudian secara spontan diterima oleh peserta sidang secara
bulat (Kaelan, 2008).
Adapun secara terminologi historis proses perumusan Pancasila adalah sebagai berikut:
a. Mr. Muhammad Yamin (29 Mei 1945)
Tanggal 29 Mei 1945 BPUPKI mengadakan sidangnya yang pertama dan Mr. Muhammad
Yamin mendapat kesempatan yang pertama untuk mengemukakan pemikirannya tentang dasar
Negara. Pidato Mr. Muh. Yamin berisikan lima asas dasar Negara Indonesia Merdeka yang
diidam-idamkan sebagai berikut:
1. Peri Kebangsaan
2. Peri Kemanusiaan
3. Peri Ketuhanan
4. Peri Kerakyatan
5. Kesejahteraan Rakyat
Setelah berpidato, beliau juga menyampaikan usulan tertulis mengenai rancangan UUD Republik
Indonesia. Tercantum lima asas dasar Negara didalam Pembukaan dari rancangan UUD, yaitu
sebagai berikut:
1. Ketuhanan Yang Maha Esa
2. Kebangsaan persatuan Indonesia
3. Rasa kemanusiaan yang adil dan beradab
4. Kerakyatan yang dipimpin oleh hikmat kebijaksanaan dalam permusyawaratan perwakilan
5. Keadilan sosial bagi seluruh rakyat Indonesia.

b. Ir. Soekarno (1 Juni 1945)


Tanggal 1 Juni 1945 Soekarno mengucapkan pidatonya dihadapan sidang Badan Penyelidik.
Diajukan oleh Soekarno dalam pidato tersebut secara lisan usulan lima asas sebagai dasar Negara
Indonesia yang akan dibentuknya yang rumusannya adalah sebagai berikut:
1. Nasionalisme atau Kebangsaan Indonesia
2. Internasionalisme atau Perikemanusiaan
3. Mufakat atau Demokrasi
4. Kesejahteraan sosial
5. Ketuhanan yang berkebudayaan
Selanjutnya beliau mengusulkan bahwa kelima sila tersebut dapat dipecah menjadi “Tri Sila”
yang rumusannya:
1. Sosio Nasional yaitu “Nasionalisme dan Internasionalisme”
2. Sosio Demokrasi yaitu “Demokrasi dengan Kesejahteraan rakyat”
3. Ketuhanan yang Maha Esa
Adapun “Tri Sila” tersebut masih dipecah lagi menjadi “Eka Sila” atau satu sila yang intinya
adalah “gotong-royong”. Tahun 1947 pidato Ir. Soekarno tersebut diterbitkan dan dipublikasikan
serta diberi judul “Lahirnya Pancasila”, sehingga dahulu pernah populer bahwa tanggal 1 Juni
adalah lahirnya Pancasila.

c. Piagam Jakarta (22 Juni 1945)


Tanggal 22 Juni 1945 sembilan tokoh nasional yang juga tokoh Dokuritsu Zyunbi Tiooskay
mengadakan pertemuan untuk membahas pidato serta usul-usul mengenai dasar Negara yang
telah dikemukakan dalam siding Badan Penyelidik. Sembilan tokoh tersebut dikenal dengan
“Panitia Sembilan” yang setelah mengadakan sidang berhasil menyusun sebuah naskah piagam
yang dikenal “Piagam Jakarta” yang didalamnya memuat Pancasila, sebagai buah hasil pertama
kali disepakati oleh sidang. Adapun rumusan Pancasila sebagaimana termuat dalam Piagam
Jakarta adalah sebagai berikut:
1. Ketuhanan dengan kewajiban menjalankan syari’at Islam bagi pemeluk-pemeluknya
2. Kemanusiaan yang adil dan beradab
3. Persatuan Indonesia
4. Kerakyatan yang dipimpin oleh hikmat kebijaksanaan dalam permusyawaratan perwakilan
5. Keadialan sosial bagi seluruh rakyat Indonesia.

2.2.3 Pengertian Pancasila secara Terminologis


Proklamasi Kemerdekaan tanggal 17 Agustus 1945 telah melahirkan Negara Republik Indonesia.
Panitia Persiapan Kemerdekaan Indonesia (PPKI) segera mengadakan siding untuk melengkapi
alat-alat perlengkapan negara sebagaimana lazimnya Negara-negara yang merdeka. Sidang pada
tanggal 18 Agutus 1945 telah berhasil mengesahkan UUD Negara Republik Indonesia yang
dikenal dengan UUD 1945. Adapun UUD 1945 tersebut terdiri atas dua bagian yaitu Pembukaan
UUD 1945 dan pasal-pasal UUD 1945 yang berisi 37 pasal, 1 Aturan Peralihan yang terdiri atas
4 pasal, dan 1 Aturan Tambahan terdiri atas 2 ayat. Bagian Pembukaan UUD 1945 yang terdiri
atas empat alinea tercantum rumusan Pancasila sebagai berikut:
1. Ketuhanan Yang Maha Esa
2. Kemanusiaan yang adil dan beradab
3. Persatuan Indonesia
4. Kerakyatan yang dipimpin oleh hikmat kebijaksanaan dalam permusyawaratan/perwakilan
5. Keadilan sosial bagi seluruh rakyat.
Namun dalam sejarah ketatanegaraan Indonesia dalam upaya bangsa Indonesia mempertahankan
Proklamasi serta eksistensi Negara dan bangsa Indonesia maka terdapat rumusan-rumusan
Pancasila sebagai berikut:

a. Dalam Konstitusi RIS (Republik Indonesia Serikat)


Konstitusi RIS yang berlaku tanggal 29 Desember 1949 sampai dengan 17 Agustus 1950,
tercantum rumusan pancasila sebagai berikut:
1. Ketuhanan Yang Maha Esa
2. Peri Kemanusiaan
3. Kebangsaan
4. Kerakyatan
5. Keadilan sosial

b. Dalam UUDS (Undang-Undang Dasar Sementara 1950)


UUDS 1950 yang berlaku mulai tanggal 17 Agustus 1950 sampai tanggal 5 Juli 1959, terdapat
pula rumusan pancasila seperti rumusan yang tercantum dalam Konstitusi RIS, sebagai berikut:
1. Ketuhanan Yang Maha Esa
2. Peri Kemanusiaan
3. Kebangsaan
4. Kerakyatan
5. Keadilan sosial
c. Rumusan Pancasila di Kalangan Masyarakat
Selain itu terdapat juga rumusan Pancasila dasar Negara yang beredar dikalangan masyarakat
luas, bahkan rumusannya sangat beranekaragam antara lain terdapat rumusan sebagai berikut:
1. Ketuhanan yang Maha Esa
2. Peri Kemanusiaan
3. Kebangsaan
4. Kedaulatan Rakyat
5. Keadilan Sosial
Bermacam-macam rumusan pancasila tersebut yang sah dan benar-benar secara konstitusional
adalah rumusan Pancasila sebagaimana tercantum dalam Pembukaan UUD 1945. Hal ini
diperkuat dengan ketetapan NO.XX/MPRS/1966, dan Inpres No. 12 tanggal 13 April 1968 yang
menegaskan bahwa pengucapan, penulisan dan rumusan Pancasila Dasar Negara Republik
Indonesia yang sah dan benar adalah sebagaimana tercantum dalam Pembukaan UUD 1945.

2.3 Landasan Filosofi Pancasila


2.3.1 Pengertian Filsafat
Filsafat adalah satu bidang ilmu yang senantiasa ada dan menyertai kehidupan manusia. Jikalau
seseorang hanya berpandangan bahwa materi merupakan sumber kebenaran dalam kehidupan,
maka orang tersebut berfilsafat materialisme. Jikalau seseorang berpandangan bahwa kenikmatan
adalah nilai terpenting dan tertinggi dalam kehidupan maka orang tersebut berpandangan filsafat
hedonism, demikian juga jikalau seseorang berpandangan bahwa dalam kehidupan masyarakat
dan Negara adalah kebebasan individu, maka orang tersebut berfilsafat liberalisme, jikalau
seseorang memisahkan antara kehidupan kenegaraan atau kemasyarakatan dan kehidupan agama,
maka orang tersebut berfilsafat sekulerisme, dan masih banyak pandangan filsafat lainnya.
Secara etimologis istilah “filsafat” berasal dari bahasa Yunani “philein” yang artinya “cinta” dan
“sophos” yang artinya “hikmah” atau “kebijaksanaan” atau “wisdom”. Jadi secara harfiah istilah
filsafat adalah mengandung makna cinta kebijaksanaan. Hal ini nampaknya sesuai dengan
sejarah timbulnya ilmu pengetahuan yang sebelumnya dibawah naungan filsafat. Jadi manusia
dalam kehidupan pasti memilih apa pandangan dalam hidup yang dianggap paling benar, paling
baik dan membawa kesejahteraan dalam kehidupannya, dan pilihan manusia sebagai suatu
pandangan dalam hidupnya itulah yang disebut filsafat. Pilihan manusia atau bangsa dalam
menentukan tujuan hidupnya ini dalam rangka untuk mencapai kebahagiaan dalam
kehidupannya.
Beberapa tokoh-tokoh filsafat menjelaskan pengertian filsafat adalah sebagai berikut:

a. Socrates (469-399 S.M.)


Filsafat adalah suatu bentuk peninjauan diri yang bersifat reflektif atau berupa perenungan
terhadap azas-azas dari kehidupan yang adil dan bahagia. Berdasarkan pemikiran tersebut dapat
dikembangkan bahwa manusia akan menemukan kebahagiaan dan keadilan jika mereka mampu
dan mau melakukan peninjauan diri atau refleksi diri sehingga muncul koreksi terhadap diri
secara obyektif.

b. Plato (472 – 347 S. M.)


Karya tulisnya “Republik” Plato menegaskan bahwa para filsuf adalah pencinta pandangan
tentang kebenaran (vision of truth). Pencarian dan menangkap pengetahuan mengenai ide yang
abadi dan tak berubah. Konsepsi Plato filsafat merupakan pencarian yang bersifat spekulatif atau
perekaan terhadap pandangan tentang seluruh kebenaran. Filsafat Plato ini kemudian
digolongkan sebagai filsafat spekulatif.

2.3.2 Pengertian Filsafat Pancasila


Pancasila dikenal sebagai filosofi Indonesia. Kenyataannya definisi filsafat dalam filsafat
Pancasila telah diubah dan diinterpretasi berbeda oleh beberapa filsuf Indonesia. Pancasila
dijadikan wacana sejak 1945. Filsafat Pancasila senantiasa diperbarui sesuai dengan
“permintaan” rezim yang berkuasa, sehingga Pancasila berbeda dari waktu ke waktu.

a. Filsafat Pancasila Asli


Pancasila merupakan konsep adaptif filsafat Barat. Hal ini merujuk pidato Suekarno di BPUPKI
dan banyak pendiri bangsa merupakan alumni Universitas di Eropa, di mana filsafat barat
merupakan salah satu materi kuliah mereka. Pancasila terinspirasi konsep humanisme,
rasionalisme, universalisme, sosiodemokrasi, sosialisme Jerman, demokrasi parlementer, dan
nasionalisme.

b. Filsafat Pancasila versi Soekarno


Filsafat Pancasila kemudian dikembangkan oleh Suekarno sejak 1955 sampai berakhirnya
kekuasaannya (1965). Pada saat itu Suekarno selalu menyatakan bahwa Pancasila merupakan
filsafat asli Indonesia yang diambil dari budaya dan tradisi Indonesia dan akulturasi budaya India
(Hindu-Budha), Barat (Kristen), dan Arab (Islam). Menurut Suekarno “Ketuhanan” adalah asli
berasal dari Indonesia, “Keadilan Soasial” terinspirasi dari konsep Ratu Adil. Sukarno tidak
pernah menyinggung atau mempropagandakan “Persatuan”.

c. Filsafat Pancasila versi Soeharto


Oleh Suharto filsafat Pancasila mengalami Indonesiasi. Melalui filsuf-filsuf yang disponsori
Depdikbud, semua elemen Barat disingkirkan dan diganti interpretasinya dalam budaya
Indonesia, sehingga menghasilkan “Pancasila truly Indonesia”. Semua sila dalam Pancasila
adalah asli Indonesia dan Pancasila dijabarkan menjadi lebih rinci (butir-butir Pancasila). Filsuf
Indonesia yang bekerja dan mempromosikan bahwa filsafat Pancasila adalah truly Indonesia
antara lain Sunoto, R. Parmono, Gerson W. Bawengan, Wasito Poespoprodjo, Burhanuddin
Salam, Bambang Daroeso, Paulus Wahana, Azhary, Suhadi, Kaelan, Moertono, Soerjanto
Poespowardojo, dan Moerdiono.
Berdasarkan penjelasan diatas maka pengertian filsafat Pancasila secara umum adalah hasil
berpikir/pemikiran yang sedalam-dalamnya dari bangsa Indonesia yang dianggap, dipercaya dan
diyakini sebagai sesuatu (kenyataan, norma-norma, nilai-nilai) yang paling benar, paling adil,
paling bijaksana, paling baik dan paling sesuai bagi bangsa Indonesia (Anonim, 2014).
Kalau dibedakan antara filsafat yang religius dan non religius, maka filsafat Pancasila tergolong
filsafat yang religius. Ini berarti bahwa filsafat Pancasila dalam hal kebijaksanaan dan kebenaran
mengenal adanya kebenaran mutlak yang berasal dari Tuhan Yang Maha Esa (kebenaran
religius) dan sekaligus mengakui keterbatasan kemampuan manusia, termasuk kemampuan
berpikirnya.
Kalau dibedakan filsafat dalam arti teoritis dan filsafat dalam arti praktis, filsafat Pancasila
digolongkan dalam arti praktis. Ini berarti bahwa filsafat Pancasila di dalam mengadakan
pemikiran yang sedalam-dalamnya, tidak hanya bertujuan mencari kebenaran dan kebijaksanaan,
tidak sekedar untuk memenuhi hasrat ingin tahu dari manusia yang tidak habis-habisnya, tetapi
juga dan terutama hasil pemikiran yang berwujud filsafat Pancasila tersebut dipergunakan
sebagai pedoman hidup sehari-hari (pandangan hidup, filsafat hidup, way of the life,
Weltanschaung dan sebagainya) agar hidupnya dapat mencapai kebahagiaan lahir dan batin, baik
di dunia maupun di akhirat.
Selanjutnya filsafat Pancasila mengukur adanya kebenaran yang bermacam-macam dan
bertingkat-tingkat sebgai berikut:
1. Kebenaran indra (pengetahuan biasa);
2. Kebenaran ilmiah (ilmu-ilmu pengetahuan);
3. Kebenaran filosofis (filsafat);
4. Kebenaran religius (religi).
Agar lebih meyakinkan bahwa Pancasila itu adalah ajaran filsafat, sebaiknya kita kutip ceramah
Mr.Moh Yamin pada Seminar Pancasila di Yogyakarta tahun 1959 yang berjudul “Tinjauan
Pancasila Terhadap Revolusi Fungsional”, yang isinya anatara lain sebagai berikut:
Tinjauan Pancasila adalah tersusun secara harmonis dalam suatu sistem filsafat. Marilah kita
peringatkan secara ringkas bahwa ajaran Pancasila itu dapat kita tinjau menurut ahli filsafat
ulung, yaitu Friedrich Hegel (1770-1831) bapak dari filsafat Evolusi Kebendaan seperti diajarkan
oleh Karl Marx (1818-1883) dan menurut tinjauan Evolusi Kehewanan menurut Darwin
Haeckel, serta juga bersangkut paut dengan filsafat kerohanian seperti diajarkan oleh Immanuel
Kant (1724-1804).
Menurut Hegel hakikat filsafatnya ialah suatu sintese pikiran yang lahir dari antitese pikiran.
Pertentangan pikiran lahirlah paduan pendapat yang harmonis dan ini adalah tepat. Begitu pula
dengan ajaran Pancasila suatu sintese negara yang lahir dari antitese. Saya tidak mau menyulap.
Ingatlah kalimat pertama dan Mukadimah UUD Republik Indonesia 1945 yang disadurkan tadi
dengan bunyi: Bahwa sesungguhanya kemerdekaan itu ialah hak segala bangsa. Oleh sebab itu
penjajahan harus dihapusakan karena bertentangan dengan perikemanusiaan dan perikeadilan.
Kalimat pertama ini adalah sintese yaitu antara penjajahan dan perikemanusiaan dan
perikeadilan. Saat sintese sudah hilang, maka lahirlah kemerdekaan dan kemerdekaan itu kita
susun menurut ajaran falsafah Pancasila yang disebutkan dengan terang dalam Mukadimah
Konstitusi R.I. 1950 itu yang berbunyi: Maka dengan ini kami menyusun kemerdekaan kami itu,
dalam suatu Piagam Negara yang berbentuk Republik Kesatuan berdasarkan ajaran Pancasila. Di
sini disebut sila yang lima untuk mewujudkan kebahagiaan, kesejahteraan dan perdamaian dunia
dan kemerdekaan. Kalimat ini jelas kalimat antitese. Sintese kemerdekaan dengan ajaran
Pancasila dan tujuan kejayaan bangsa yang bernama kebahagiaan dan kesejahteraan rakyat.
Tidakah ini dengan jelas dan nyata suatu sintese pikiran atas dasar antitese pendapat?
Jadi sejajar dengan tujuan pikiran Hegel beralasanlah pendapat bahwa ajaran Pancasila itu adalah
suatu sistem filosofi, sesuai dengan dialektis Neo-Hegelian. Semua sila itu adalah susunan dalam
suatu perumahan pikiran filsafat yang harmonis. Pancasila sebagai hasil penggalian Bung Karno
adalah sesuai pula dengan pemandangan tinjauan hidup Neo-Hegelian.

BAB 3. PENUTUP

3.1 Kesimpulan
Kesimpulan yang dapat diambil dari pembahasan diatas adalah sebagai berikut:
1. Pembahasan Pancasila secara ilmiah harus memenuhi syarat-syarat yaitu berobjek, bermetode,
bersistem, dan bersifat universal.
2. Kedudukan dan fungsi pancasila bilamana dikaji secara ilmiah memiliki pengertian yang luas
meliputi lingkup pengertian seperti pengertian Pancasila secara etimologis, Pancasila secara
historis, dan Pancasila secara terminologis.
3. Landasan filosofi pancasila memiliki pengertian berbeda dari beberapa tokoh yaitu menurut
Socrates filsafat adalah suatu bentuk peninjauan diri yang bersifat reflektif atau berupa
perenungan terhadap azas-azas dari kehidupan yang adil dan bahagia sedangkan menurut Plato
filsafat merupakan pencarian yang bersifat spekulatif atau perekaan terhadap pandangan tentang
seluruh kebenaran.
4. Filsafat Pancasila adalah hasil berpikir/pemikiran yang sedalam-dalamnya dari bangsa
Indonesia yang dianggap, dipercaya dan diyakini sebagai sesuatu (kenyataan, norma-norma,
nilai-nilai) yang paling benar, paling adil, paling bijaksana, paling baik dan paling sesuai bagi
bangsa Indonesia.

3.2 Saran
Warganegara Indonesia merupakan sekumpulan orang yang hidup dan tinggal di negara
Indonesia Oleh karena itu sebaiknya warga negara Indonesia harus lebih meyakini atau
mempercayai, menghormati, menghargai menjaga, memahami dan melaksanakan segala hal
yang telah dilakukan oleh para pahlawan khususnya dalam pemahaman tentang “Pembahasan
Pancasila Sebagai Filsafat Pancasila dalam Kajian Ilmiah”. Sehingga kekacauan yang sekarang
terjadi ini dapat diatasi dan lebih memperkuat persatuan dan kesatuan bangsa dan negara
Indonesia ini.

Anda mungkin juga menyukai