Menurut Pudjawidjana, Pengetahuan memiliki Definisi sebagai reaksi dari setiap orang dan di
terima dengan rangsangan terhadap alat terkait kegiatan indera penginderaan jauh di objek
tertentu.
Notoatmodjo, Menjelaskan bahwasanya Pengetahuan memiliki arti yakni suatu kekuatan yakni
berupa yang di dapatkan dari pengetahuan setelah orang tersebut melakukan penginderaan jauh.
Sedangkan menurut Onny S. Prijono, Pengetahuan dapat di artikan yang mana di dapatkan dari
nilai karena terbiasa dari orang-orang tersebiut dalam mengembangkan rasa ingin keingin
tahuan.
Notoadmojo (2002), Mendefinisikan Pengetahuan berupa ide atau hasil dari sebuah
aktivitas/Prilaku manusia yang telah terjadi setelah penginderaan dari objek tertentu, teori ini pun
sama halnya yang di katakan oleh Locke.
Keraf (2001), Menuturkan bahwasanya Pengetahuan merupakan buah pikir, ide, gagasan,
konsep, serta pemahaman manusia, yang kemudian mengambil inisiatif untuk berbagi
pengetahuan dengan berbagai metode seperti : (1) pola, dan (2) jenis yang di kukiskan dalam
beberapa uraian sebagai berikut :
ilmu/il·mu/ n 1 pengetahuan tentang suatu bidang yang disusun secara bersistem menurut
metode tertentu, yang dapat digunakan untuk menerangkan gejala tertentu di bidang
(pengetahuan) itu: dia memperoleh gelar doktor dalam -- pendidikan; 2 pengetahuan atau
kepandaian (tentang soal duniawi, akhirat, lahir, batin, dan sebagainya);-- padi, makin berisi
makin runduk, pb makin banyak pengetahuan makin rendah hati; menunjukkan -- kepada orang
menetak, pb nasihat yang baik itu tidak berguna bagi orang yang tidak mau menggunakannya; --
lintabung, ki bodoh tetapi sombong (tentang seseorang);
https://kbbi.web.id/ilmu
Ilmu adalah sebagian pengetahuan bersifat koheren, empiris, sistematis, dapat diukur, dan
dibuktikan. Berbeda dengan iman, yaitu pengetahuan didasarkan atas keyakinan kepada yang
gaib dan penghayatan serta pengalaman pribadi
Berbeda dengan pengetahuan, ilmu tidak pernah mengartikan kepingan pengetahuan satu
putusan tersendiri, sebaliknya ilmu menandakan seluruh kesatuan ide yang mengacu ke obyek
[atau alam obyek] yang sama dan saling berkaitan secara logis. Karena itu, koherensi sistematik
adalah hakikat ilmu. Prinsip-prinsip obyek dan hubungan-hubungannya yang tercermin dalam
kaitan-kaiatan logis yang dapat dilihat dengan jelas. Bahwa prinsip-prinsip logis yang dapat
dilihat dengan jelas. Bahwa prinsip-prinsip metafisis obyek menyingkapkan dirinya sendiri
kepada kita dalam prosedur ilmu secara lamban, didasarkan pada sifat khusus intelek kita yang
tidak dapat dicarikan oleh visi ruhani terhadap realitas tetapi oleh berpikir
Ilmu tidak memerlukan kepastian lengkap berkenaan dengan masing-masing penalaran
perorangan, sebab ilmu dapat memuat di dalamnya dirinya sendiri hipotesis-hipotesis dan teori-
teori yang belum sepenuhnya dimantapan
Menurut Kamus Besar Bahasa Indonesia Edisi Ketiga, terbitan Balai Pustaka, Jakarta,
2001, ilmu artinya adalah pengetahuan atau kepandaian. Dari penjelasan dan beberapa
contohnya, maka yang dimaksud pengetahuan atau kepandaian tersebut tidak saja berkenaan
dengan masalah keadaan alam, tapi juga termasuk “kebatinan” dan persoalan-persoalan lainnya.
Sebagaimana yang sudah kita kenal mengenai beberapa macam nama ilmu, maka tampak dengan
jelas bahwa cakupan ilmu sangatlah luas, misalnya ilmu ukur, ilmu bumi, ilmu dagang, ilmu
hitung, ilmu silat, ilmu tauhid, ilmu mantek, ilmu batin (kebatinan), ilmu hitam, dan sebagainya.
Pengetahuan adalah merupakan hasil “Tahu” dan ini terjadi setelah orang
melakukan penginderaan terhadap suatu objek tertentu yang mana penginderaan ini terjadi
melalui panca indera manusia yakni indera penglihatan, pendengaran, penciuman, rasa
dan raba yang sebagian besar pengetahuan manusia diperoleh melalui mata dan telinga
Pengetahuan adalah informasi atau maklumat yang diketahui atau disadari oleh
seseorang. Pengetahuan termasuk, tetapi tidak dibatasi pada deskripsi, hipotesis, konsep, teori,
prinsip dan prosedur yang secara Probabilitas Bayesian adalah benar atau berguna.
Dalam pengertian lain, pengetahuan adalah berbagai gejala yang ditemui dan diperoleh
manusia melalui pengamatan inderawi. Pengetahuan muncul ketika seseorang menggunakan
indera atau akal budinya untuk mengenali benda atau kejadian tertentu yang belum pernah dilihat
atau dirasakan sebelumnya. Misalnya ketika seseorang mencicipi masakan yang baru dikenalnya,
ia akan mendapatkan pengetahuan tentang bentuk, rasa, dan aroma masakan tersebut.
Selain pengetahuan empiris, ada pula pengetahuan yang didapatkan melalui akal budi
yang kemudian dikenal sebagai rasionalisme. Rasionalisme lebih menekankan pengetahuan yang
bersifat apriori; tidak menekankan pada pengalaman. Misalnya pengetahuan tentang matematika.
Dalam matematika, hasil 1 + 1 = 2 bukan didapatkan melalui pengalaman atau pengamatan
empiris, melainkan melalui sebuah pemikiran logis akal budi.
Filsafat adalah pandangan hidup seseorang atau sekelompok orang yang merupakan
konsep dasar mcngenai kehidupan yang dicita-citakan. Filsafat juga diartikan sebagai suatu sikap
seseorang yang sadar dan dewasa dalam memikirkan segala sesuatu secara mendalam dan ingin
melihat dari segi yang luas dan menyeluruh dengan segala hubungan.
Istilah dari filsafat berasal bahasa Yunani : ”philosophia”. Seiring perkembangan jaman
akhirnya dikenal juga dalam berbagai bahasa, seperti : ”philosophic” dalam kebudayaan bangsa
Jerman, Belanda, dan Perancis; “philosophy” dalam bahasa Inggris; “philosophia” dalam bahasa
Latin; dan “falsafah” فلسة, dalam bahasa Arab.
Dalam bahasa ini, kata filsafat merupakan kata majemuk dan berasal dari kata-kata
(philia = persahabatan, cinta dsb.) dan (sophia = "kebijaksanaan"). Sehingga arti harafiahnya
adalah seorang "pencinta kebijaksanaan" atau "ilmu". Kata filosofi yang dipungut dari bahasa
Belanda juga dikenal di Indonesia. Bentuk terakhir ini lebih mirip dengan aslinya. Dalam bahasa
Indonesia seseorang yang mendalami bidang falsafah disebut "filsuf".
Definisi kata filsafat bisa dikatakan merupakan sebuah problem falsafi pula. Tetapi,
paling tidak bisa dikatakan bahwa "falsafah" itu kira-kira merupakan studi tentang arti dan
berlakunya kepercayaan atau pengetahuan manusia pada sisi yang paling dasar dan universal.
Studi ini didalami tidak dengan melakukan eksperimen-eksperimen dan percobaan-percobaan,
tetapi dengan mengutarakan problem secara persis, mencari solusi untuk itu, memberikan
argumentasi dan alasan yang tepat untuk solusi tertentu, serta akhir dari proses-proses itu
dimasukkan ke dalam sebuah proses dialektik.
Filsafat juga merupakan ilmu yang kajiannya tidak hanya terbatas pada fakta-fakta saja
melainkan sampai jauh diluar fakta hingga batas kemampuan logika manusia. Batas kajian ilmu
adalah fakta sedangkan batas kajian filsafat adalah logika atau daya pikir manusia. Ilmu
menjawab pertanyaan “why” dan “how” sedangkan filsafat menjawab pertanyaan “why, why,
dan why” dan seterusnya sampai jawaban paling akhir yang dapat diberikan oleh pikiran atau
budi manusia (munkin juga pertanyaan-pertanyaannya terus dilakukan sampai never ending)..
Sementara ada yang berpendapat bahwa filsafat pada dasarnya bukanlah ilmu, tetapi
suatu usaha manusia untuk memuaskan dirinya selagi suatu fenomena tidak / belum dapat
dijelaskan secara keilmuan. Sebagai contoh dulu orang percaya bahwa orang yang sakit lantaran
diganggu dedemit, meletusnya gunung api adalah akibat dewa penguasa gunung tersebut murka,
gempabumi terjadi karena Atlas dewa yang menyangga bumi “gagaro lantaran ateul bujur”, dan
masih banyak lagi.
Filsafat juga sering dihubungkan dengan istilah Al Hikmah (kebijaksanaan), dalam buku
“Uyun al-Hikmah” Al Hikmah merupakan penyempurnaan jiwa manusia melalui konseptualisasi
dan pembenaran (tashdiq) realita teoritis dan praktis sesuai dengan tingkat kemampuan manusia,
menurut Mulla sadra kata al hikmah tidak hanya memberikan penekanan pada pengetahuan
teoritis dan menjadi alam pemikiran yang merefleksikan alam nyata, tapi juga pelepasan diri dari
nafsu dan penyucian jiwa dari segala kotoran duniawi (tajarrud)
Persamaan:
Perbedaan:
Obyek material [lapangan] filsafat itu bersifat universal [umum], yaitu segala sesuatu
yang ada [realita] sedangkan obyek material ilmu [pengetahuan ilmiah] itu bersifat
khusus dan empiris. Artinya, ilmu hanya terfokus pada disiplin bidang masing-masing
secara kaku dan terkotak-kotak, sedangkan kajian filsafat tidak terkotak-kotak dalam
disiplin tertentu
Obyek formal [sudut pandangan] filsafat itu bersifat non fragmentaris, karena mencari
pengertian dari segala sesuatu yang ada itu secara luas, mendalam dan mendasar.
Sedangkan ilmu bersifat fragmentaris, spesifik, dan intensif. Di samping itu, obyek
formal itu bersifatv teknik, yang berarti bahwa cara ide-ide manusia itu mengadakan
penyatuan diri dengan realita
Filsafat dilaksanakan dalam suasana pengetahuan yang menonjolkan daya spekulasi,
kritis, dan pengawasan, sedangkan ilmu haruslah diadakan riset lewat pendekatan trial
and error. Oleh karena itu, nilai ilmu terletak pada kegunaan pragmatis, sedangkan
kegunaan filsafat timbul dari nilainnya
Persamaan:
Perbedaan:
Persamaan:
Ilmu dan Pengetahuan pada dasarnya memiliki arti yang sama yaitu analisa terhadap
suatu hal berdasarkan metode ilmiah hanya saja penggunaannya tergantung dari sifat dan
tujuan yang hendak dicapai dalam kegiatan keilmuan tersebut.
Keduanya sangat sulit untuk dipisahkan karena merupakan pengetahuan tentang sesuatu
hal atau fenomena, baik yang menyangkut alam atau sosial (kehidupan masyarakat), yang
diperoleh manusia melalui proses berfikir. Itu artinya bahwa setiap ilmu merupakan
pengetahuan tentang sesuatu yang menjadi objek kajian dari ilmu terkait.
Perbedaan:
· ilmu adalah kerangka konseptual atau teori uang saling berkaitan yang memberi tempat
pengkajian dan pengujian secara kritis dengan metode ilmiah oleh ahli-ahli lain dalam bidang
yang sama, dengan demikian bersifat sistematik, objektif, dan universal. Sedang pengetahuan
adalah hasil pengamatan yang bersifat tetap, karena tidak memberikan tempat bagi pengkajian
dan pengujian secara kritis oleh orang lain, dengan demikian tidak bersifat sistematik dan tidak
objektif serta tidak universal.
· Ilmu adalah sesuatu yang dapat kita peroleh melalui proses yang disebut pembelajaran atau
dengan kata lain hasil dari pembelajaran, berbeda dengan Pengetahuan yangdapat kita peroleh
tanpa melalui proses pembelajaran.
Ilmu merupakan kumpulan dari berbagai pengetahuan, dan kumpulan pengetahuan dapat
dikatakan ilmu setelah memenuhi syarat-syarat objek material dan objek formal
http://ikrar10.blogspot.com/2011/07/perbedaan-dan-persamaan-antara-ilmu.html
Orang yang tahu disebut mempunyai pengetahuan. Jadi pengetahuan sesungguhnya adalah hasil
tahu, serta pengetahuan adalah segala sesuatu yang diketahui. Nasution (1988) menyatakan
bahwa pengetahuan sebagai hasil naluri ingin tahu. Keingintahuan manusia tidak terpuaskan
ketika manusia sekedar memperoleh pengetahuan, melainkan lebih jauh ingin memiliki
pengetahuan yang benar. Hal ini menyebabkan lahirnya pemikiran tentang kriteria kebenaran
pengetahuan dan bagaimana mencapai kebenaran yang hakiki.
Terdapat dua jenis pengetahuan, yakni pengetahuan khusus dan pengetahuan umum
(Poedjawijatna, 1991). Pengetahuan khusus ialah berkenaan dengan satu fakta, misalnya logam
tembaga menghantarkan panas, yang berlaku hanya untuk tembaga. Sementara itu terdapat
pengetahuan yang berlaku umum sebagai kesimpulan dari sejumlah faka, misalnya logam
menghantar panas, yang berlaku untuk semua logam tidak mempersoalkan jenis logam apa.
Baik pengetahuan umum maupun pengetahuan khusus, keduanya menjadi milik manusia
berlandaskan pengalaman, entah pengalaman dirinya atau pengalaman orang lain (Poedjawijatna,
1991). Ajaran empirisme menyatakan bahwa semua pengetahuan berasal dari pengalaman
empiris manusia (Latif, 2014). Namun demikian, pembentukan pengetahuan dalam diri
seseorang pun memerlukan penarikan kesimpulan dengan penalaran yang dipandu oleh logika.
Dalam konteks ini, Rene Descartes menyatakan bahwa pengetahuan yang sejati tentang alam
semesta ini hanya dapat diperoleh lewat penalaran yang dituntun oleh logika (Latif, 2014)
Keterbatasan daya pengamanatan empiris manusia bisa menimbulkan kesalahan manusia dalam
mengkonstruksi pengetahuan yang didapatnya. Selain itu kesalahpahaman seringkali terjadi juga
ketika pengetahuan dikomunikasikan oleh seseorang kepada orang lain. Pengetahuan seperti
itu diterima individu atas dasar kewibawaan penyampainya, dan adakalanya bukan merupakan
kebenaran. Sebelum memperoleh verifikasi secara ilmiah, pengetahuan baru mencapai
tingkat “kepercayaan (belief)” yang belum pasti kebenarannya (Soetriono & Hanafie, 2007).
Pengetahuan yang benar harus memenuhi kriteria kebenaran ilmiah. Suriasumantri (2010)
memaparkan teori kebenaran ilmiah, yang melandaskan kebenaran pada tiga kriteria, yakni
korespondensi, koherensi, dan pragmatisme. Menurut teori korespondensi (dipelopori Bertrand
Russell) suatu pernyataan adalah benar jika berkorenspondensi (bersesuaian) dengan obyek yang
dituju oleh pernyataan itu (faktual). Pengetahuan yang benar ditunjang oleh fakta-fakta empiris.
Menurut teori koherensi (dipelopori Plato dan Socrates), suatu pernyataan dianggap benar jika
pernyataan itu koheren atau konsisten dengan pernyataan-pernyataan sebelumnya yang
dipandang sebagai kebenaran. Menurut teori pragmatisme (dipelopori Wiliam James dan John
Dewey), kebenaran suatu pernyataan ditinjau dari kriteria apakah pernyataan tersebut bersifat
fungsional dalam kehidupan praktis. Suatu pernyataan dapat dipandang benar jika pernyataan itu
atau konsekuensi dari pernyataan itu mempunyai kegunaan praktis dalam kehidupan manusia.
Kamus Besar Bahasa Indonesia (1996) mendefinisikan ilmu sebagai pengetahuan tentang suatu
bidang yang disusun secara bersistem menurut metode-metode tertentu yang dapat digunakan
untuk menerangkan gejala-gejala tertentu pula. Dengan demikian dapat dikatakan bahwa ilmu
ialah susunan berbagai pengetahuan secara berstruktur untuk satu bidang tertentu. Ilmu (science)
mengorganisasikan pengetahuan-pengetahuan ilmiah (konsep, prinsip, hukum, prosedur, dan
teori) ke dalam struktur yang logis dan sistematis.
Dipercayai bahwa kelahiran pengetahuan ilmiah bersamaan dengan kelahiran filsafat, manakala
pengetahuan diformulasi berdasarkan temuan empiris dan pemikiran logis dan rasional serta
terbebas dari mitos-mitos. Pada awal perkembangan ilmu (masih didominasi oleh spekulasi-
spekulasi), fisuf dapat juga dipandang sebagai ilmuwan, sehingga mereka layak disebut sebagai
ahli filsafat alam (natural philosophy). Sebagai contoh, Hipocrates (460-370 BC) adalah filsuf
yang juga ahli ilmu kedokteran, Aristoteles (284-322 BC) adalah filsuf yang juga penyelidik
mahluk-mahluk hidup laut, dan Democritus (470-380 BC) yang terkenal dengan pemikiran
tentang atom (atomos) sebagai unit terkecil dari materi. Dalam perkembangan selanjutnya,
disiplin-disiplin ilmu menjadi semakin berdiri-sendiri yang terpisah dari filsafat, seiring dengan
semakin kuatnya penggunaan landasan empiris dan kuantitatif serta metode ilmiah, khususnya
eksperimen, dalam pengkajian-pengkajian terhadap fenomena alam.
Dewasa ini terdapat perbedaan yang jelas antara ilmu dan filsafat. Ilmu bersifat aposteriori,
kesimpulan ditarik setelah melakukan pengujian empiris secara berulang-ulang. Filsafat bersifat
apriori, kesimpulan ditarik tanpa pengujian, sebab terbebas dari pengalaman inderawi apapun.
Ilmu bersifat empirik, sedangkan fisafat bersifat spekulatif. Kesamaan antara ilmu dan filsafat
ialah keduanya menggunakan aktivitas berpikir, walaupun cara berpikir ilmuwan berbeda dengan
cara berpikir filsuf
Semakin lama fenomena yang disadari menarik dan penting untuk dikaji semakin beragam.
Situasi ini mendorong pengkhususan kajian yang dilakukan para ilmuwan, dalam disiplin ilmu
spesifik. Setiap disiplin ilmu selanjutnya menfokuskan kajian pada wilayah kajian spesifik dan
mengembangkan asumsi, pola pikir, dan pendekatan yang spesifik pula. Oleh karenanya cabang-
cabang ilmu semakin terspesialisasi, dan semakin sukar berinteraksi satu sama lain (Bakhtiar,
2004).
Pada dasarnya ilmu mempunyai “obyek material” dan “obyek formal”. Obyek material merujuk
pada sasaran penyelidikan. Sasaran penyelidikan dalam pelbagai disiplin ilmu dapat saja sama,
seperti misalnya manusia yang menjadi sasaran penyelidikan psikologi, pendidikan, biologi, ilmu
sosial, dll. Namun demikian, sudut pandang, pendekatan dan metode penyelidikan disiplin ilmu-
ilmu tersebut terhadap manusia berbeda-beda. Setiap disiplin ilmu mempunyai obyek formal
tertentu, yang membedakan satu sama lain dalam melakukan kajian terhadap obyek material
yang sama. Obyek formal suatu disiplin ilmu berhubungan dengan sudut pandang, pendekatan,
metode khas yang dilakukan oleh ilmuwan dalam disiplin itu. Perbedaan obyek formal psikologi,
biologi, ilmu sosial terhadap manusia, membedakan pengetahuan-pengetahuan yang
dikumpulkan dan diorganisir dalam masing-masing disiplin tersebut. Ilmu-ilmu berbeda-beda
bukan terutama karena obyek material berbeda, tetapi khususnya karena masing-masing berbeda
menurut obyek formalnya (Van Melsen, 1985).
Dalam konteks peristilahan ilmu pengetahuan, Soetriono dan Hanafie (2007) memandang ada
dua jenis pengetahuan, yakni “pengetahuan biasa” dan “pengetahuan ilmiah (ilmu)”.
Pengetahuan yang digunakan awam untuk kehidupan sehari-hari tanpa mengetahui seluk-beluk
yang sedalam-dalamnya dinamakan pengetahuan biasa. Jenis pengetahuan lain, yakni
pengetahuan yang merupakan hasil telaahan yang mendalam oleh ilmuwan, yang disebut sebagai
“ilmu pengetahuan”. Jadi, pada dasarnya ilmu pengetahuan bermakna sama dengan ilmu.
Penggunaan istilah ilmu pengetahuan semata-mata untuk menegaskan sifat keilmiahan ilmu
tersebut, sekaligus membedakannya dengan ilmu-ilmu lainnya yang tidak memenuhi kriteria
keilmiahan pengetahuan-pengetahuan penyusunnya.
Suriasumantri (2010) menyatakan bahwa filsafat ilmu merupakan telaahan secara filsafat yang
hendak menjawab pertanyaan mengenai hakikat ilmu, baik ditinjau dari sudut ontologi,
epistemologi, dan aksiologi. Telaahan filsafat ilmu dilakukan melalui proses dialektika secara
mendalam (radikal), sistematis, dan spekulatif. Pertanyaan-pertanyaan mengenai hakikat ilmu
menyangkut obyek apa yang ditelaah ilmu (landasan ontologi), bagaimana memperoleh
pengetahuan (landasan epistemologi), dan bagaimana ilmu digunakan (landasan aksiologi).
Aspek ontologi ilmu meliputi bagaimana wujud hakiki dari obyek itu dan hubungan antara
obyek tersebut dengan daya tangkap manusia (berpikir dan mengidera) yang membuahkan
pengetahuan. Aspek epistemologi ilmu mencakup sumber pengetahuan, prosedur menggali
pengetahuan secara ilmiah, kriteria kebenaran ilmiah. Aspek aksiologi ilmu bertalian dengan
kaidah moral dalam penggunaan ilmu.
Filsafat ilmu ialah salah satu cabang filsafat. Sesuai dengan kekhasan filsafat, kajian filsafat ilmu
pun bersifat mendasar, universal, konseptual, dan spekulatif. Kini filsafat ilmu telah berkembang
sebagai suatu ilmu (Latif, 2014), yang mempunyai obyek material pengetahuan ilmiah (scientific
knowledge), dan obyek formal problem-problem mendasar dari ilmu.
Problem-problem mendasar dari ilmu antara lain: Hakikat ilmu (the nature of science), metode
ilmiah (scientific method), kebenaran ilmiah (scientific truth), penalaran ilmiah (scientific
reasoning), eksplanasi ilmiah (scientific explanation), teori ilmiah (scientific theory), revolusi
pengetahuan ilmiah (scientific revolution), realisme sains (scientific realism), keterbatasan sains
(limitation of science), dan implikasi moral-etis dari aplikasi pengetahuan ilmiah (social-moral
implication of science). Aspek-aspek filsafat ilmu ini menjadi bahan kajian (subject matter)
utama dalam matakuliah filsafat ilmu.
http://sanguilmu.com/perbedaan-dari-pengetahuan-ilmu-ilmu-pengetahuan-filsafat-ilmu/ 26 Juni
2019
Berfilsafat termasuk dalam berfikir namun berfilsafat tidak identik dengan berfikir. Sehingga,
tidak semua orang yang berfikir itu mesti berfilsafat, dan bisa dipastikan bahwa semua orang
yang berfilsafat itu pasti berfikir.
Seorang siswa yang berfikir bagaimana agar bisa lulus dalam Ujian Akhir Nasional, maka siswa
ini tidaklah sedang berfilsafat atau berfikir secara kefilsafatan melainkan berfikir biasa yang
jawabannya tidak memerlukan pemikiran yang mendalam dan menyeluruh. Oleh karena itu ada
beberapa ciri berfikir secara kefilsafatan.
1. Berfikir secara radikal. Artinya berfikir sampai ke akar-akarnya. Radikal berasal dari kata
Yunani radix yang berarti akar. Maksud dari berfikir sampai ke akar-akarnya adalah berfikir
sampai pada hakikat, esensi atau sampai pada substansi yang dipikirkan. Manusia yang
berfilsafat dengan akalnya berusaha untuk dapat menangkap pengetahuan hakiki, yaitu
pengetahuan yang mendasari segala pengetahuan indrawi.
2. Berfikir secara universal atau umum. Berfikir secara umum adalah berfikir tentang hal-hal
serta suatu proses yang bersifat umum. Jalan yang dituju oleh seorang filsuf adalah keumuman
yang diperoleh dari hal-hal yang bersifat khusus yang ada dalam kenyataan.
3. Berfikir secara konseptual. Yaitu mengenai hasil generalisasi dan abstraksi dari pengalaman
tentang hal-hal serta proses-proses individual. Berfikir secara kefilsafatan tidak bersangkutan
dengan pemikiran terhadap perbuatan-perbuatanbebas yang dilakukan oleh orang-orang tertentu
sebagaimana yang biasa dipelajari oleh seorang psikolog, melainkan bersangkutan dengan
pemikiran “apakah kebebasan itu”?
4. Berfikir secara koheren dan konsisten. Artinya, berfikir sesuai dengan kaidah-kaidah berfikir
dan tidak mengandung kontradiksi atau dapat pula diartikan dengan berfikir secara runtut.
5. Berfikir secara sistematik. Dalam mengemukakan jawaban terhadap suatu masalah, para filsuf
memakai pendapat-pendapat sebagai wujud dari proses befilsafat. Pendapat-pendapat itu harus
saling berhubungan secara teratur dan terkandung maksud dan tujuan tertentu.
6. Berfikir secara komprehensif (menyeluruh). Berfikir secara filsafat berusaha untuk
menjelaskan alam semesta secara keseluruhan.
7. Berfikir secara bebas. Bebas dari prasangka-prasangka sosial, historis, kultural ataupun
religius. Berfikir dengan bebas itu bukan berarti sembarangan, sesuka hati, atau anarkhi,
sebaliknya bahwa berfikir bebas adalah berfikir secara terikat . akan tetapi ikatan itu berasal dari
dalam, dari kaidah-kaidah, dari disiplin fikiran itu sendiri. Dengan demikian pikiran dari luar
sangat bebas, namun dari dalam sangatlah terikat.
8. Berfikir atau pemikiran yang bertanggungjawab. Pertanggungjawaban yang pertama adalah
terhadap hati nuraninya sendiri. Seorang filsuf seolah-olah mendapat panggilan untuk
membiarkan pikirannya menjelajahi kenyataan. Namun, fase berikutnya adalah bagaimana ia
merumuskan pikiran-pikirannya itu agar dapat dikomunikasikan pada orang lain serta
dipertanggungjawabkan.
http://edukonten.blogspot.com/2010/11/ciri-ciri-berfikir-filsafat.html
BAB 1. PENDAHULUAN
2.1.1 Berobjek
Syarat pertama bagi suatu pengetahauan yang memenuhi syarat ilmiah adalah bahwa semua ilmu
pengetahauan itu harus memiliki objek. Oleh karena itu pembahasan pancasila secara ilmiah
harus memiliki objek yang di dalam filsafat ilmu pengetahuan dibedakan atas dua macam yaitu
‘objek forma’dan ‘objek materia’. Objek forma adalah suatu sudut pandang tertentu dalam
pembahasan pancasila. Pancasila dapat dilihat dari berbagai sudut pandang misalnya: Moral
(moral pancasila), Ekonomi (ekonomi pancasila), Pers (pers pancasila), Filsafat (filsafat
pancasila), dan lain sebagainya. Objek materia pancasila adalah suatu objek yang merupakan
sasaran pembahasan dan pengkajian pancasila baik yang bersifat empiris maupun non empiris.
Objek material empiris berupa lembaran sejarah, bukti-bukti sejarah, benda-benda sejarah dan
budaya, lembaran Negara, naskah-naskah kenegaraan, dan lain sebagainya. Objek material non
empiris meliputi nilai-nilai budaya, nilai-nilai moral, nilai-nilai religious yang tercermin dalam
kepribadian, sifat, karakter dan pola-pola budaya.
2.1.2 Bermetode
Metode adalah seperangkat cara/sistem pendekatan dalam rangka pembahasan Pancasila untuk
mendapatkan suatu kebenaran yang bersifat objektif. Metode dalam pembahasan Pancasila
sangat tergantung pada karakteristik obyek forma dan materia Pancasila. Salah satu metode
adalah “analitico syntetic” yaitu suatu perpaduan metode analisis dan sintesa. Oleh karena obyek
Pancasila banyak berkaitan dengan hasil-hasil budaya dan obyek sejarah maka sering digunakan
metode “hermeneutika” yaitu suatu metode untuk menemukan makna dibalik objek, demikian
juga metode “koherensi historis” serta metode “pemahaman penafsiran” dan interpretasi.
Metode-metode tersebut senantiasa didasarkan atas hukum-hukum logika dalam suatu penarikan
kesimpulan.
2.1.3 Bersistem
Suatu pengetahuan ilmiah harus merupakan sesuatu yang bulat dan utuh. Bagian-bagian dari
pengetahuan ilmiah harus merupakan suatu kesatuan antara bagian-bagian saling berhubungan
baik hubungan interelasi (saling hubungan maupun interdependensi (saling ketergantungan).
Pembahasan Pancasila secara ilmiah harus merupakan suatu kesatuan dan keutuhan (majemuk
tunggal) yaitu ke lima sila baik rumusan, inti dan isi dari sila-sila Pancasila merupakan kesatuan
dan kebulatan.
BAB 3. PENUTUP
3.1 Kesimpulan
Kesimpulan yang dapat diambil dari pembahasan diatas adalah sebagai berikut:
1. Pembahasan Pancasila secara ilmiah harus memenuhi syarat-syarat yaitu berobjek, bermetode,
bersistem, dan bersifat universal.
2. Kedudukan dan fungsi pancasila bilamana dikaji secara ilmiah memiliki pengertian yang luas
meliputi lingkup pengertian seperti pengertian Pancasila secara etimologis, Pancasila secara
historis, dan Pancasila secara terminologis.
3. Landasan filosofi pancasila memiliki pengertian berbeda dari beberapa tokoh yaitu menurut
Socrates filsafat adalah suatu bentuk peninjauan diri yang bersifat reflektif atau berupa
perenungan terhadap azas-azas dari kehidupan yang adil dan bahagia sedangkan menurut Plato
filsafat merupakan pencarian yang bersifat spekulatif atau perekaan terhadap pandangan tentang
seluruh kebenaran.
4. Filsafat Pancasila adalah hasil berpikir/pemikiran yang sedalam-dalamnya dari bangsa
Indonesia yang dianggap, dipercaya dan diyakini sebagai sesuatu (kenyataan, norma-norma,
nilai-nilai) yang paling benar, paling adil, paling bijaksana, paling baik dan paling sesuai bagi
bangsa Indonesia.
3.2 Saran
Warganegara Indonesia merupakan sekumpulan orang yang hidup dan tinggal di negara
Indonesia Oleh karena itu sebaiknya warga negara Indonesia harus lebih meyakini atau
mempercayai, menghormati, menghargai menjaga, memahami dan melaksanakan segala hal
yang telah dilakukan oleh para pahlawan khususnya dalam pemahaman tentang “Pembahasan
Pancasila Sebagai Filsafat Pancasila dalam Kajian Ilmiah”. Sehingga kekacauan yang sekarang
terjadi ini dapat diatasi dan lebih memperkuat persatuan dan kesatuan bangsa dan negara
Indonesia ini.