PENDAHULUAN
Istilah “cognitive” berasal dari kata kognition artinya adalah pengertian, mengerti.
Pengertian yang luas cognition (kognisi) adalah perolehan, penataan, dan penggunaan
pengetahuan. Dalam perkembangan selanjutnya, kemudian istilah kognitif ini menjadi populer
sebagai salah satu wilayah psikologi manusia atau satu konsep umum yang mencakup semua
bentuk pengenalan yang meliputi setiap perilaku mental yang berhubungan dengan masalah
pemahaman, memperhatikan, memberikan, menyangka, pertimbangan, pengolahan informasi,
pemecahan maslah, pertimbangan, membayangkan, memperkirakan, berfikir dan keyakinan.
Belajar kognitif adalah belajar dengan tujuan membangun struktur kognitif siswa. Belajar
kognitif terkait dengan pemrosesan informasi dalam benak siswa. Informasi yang diproses oleh
otak pembelajaran berupa pengetahuan yang dapat berupa konsep, prosedur dan prinsip-prinsip.
Teori belajar kognitif berbeda dengan teori belajar behavioristik, teori belajar kognitif ini lebih
mementingkan proses belajar dari hasil belajarnya. Model belajar kognitif merupakan suatu bentuk
teori belajar yang sering disebut sebagai model perseptual. Model belajar kognitif mengatakan
bahwa tingkah laku seseorang ditentukan oleh persepsi serta pemahamannya tentang situasi yang
berhubungan dengan tujuan belajarnya.
Teori kognitif juga menekankan bahwa bagian-bagian dari situasi saling berhubungan
dengan seluruh konteks tersebut. Memisah-misahkan atau membagi bagi situasi atau materi
pelajaran menjadi komponen kompenen yang kecil kecil dan mempelajari secara terpisah pisah
akan kehilangan makna.
Teori belajar menurut Piaget, perkembangan kognitif merupakan suatu proses genetik
yaitu suatu proses yang didasarkan atas mekanisme biologis perkembangan sistem syaraf. dengan
makin bertambahnya umur seseorang makin komplekslah susunan syaraf dan makin meningkat
pula kemampuannya.
Psikologi kognitif mulai berkembang dengan lahirnya teori belajar gestalt. Peletak dasar
psikologi Gestalt adalah Mex Wertheimer yang meneliti tentang pengamatan dan problem solving.
Sumbangannya ini diikuti oleh Kurt Koffa yang menguraikan secara terperinci tentang hukum-
hukum pengamatan. Kemudian Wolfgang Kohler yang meneliti tentang insight simpanse.
Penelitian-penelitian mereka menumbuhkan psikologi Gestalt yang menekankan bahasan pada
masalah konfigurasi, struktur dan pemetaan dalam pengalaman. Kaum Gestaltis berpendapat,
bahwa pengalaman itu berstruktur yang terbentuk dalam suatu keseluruhan. Orang yang belajar,
mengamati stimuli dalam keseluruhan yang terorganisasi, bukan bagian-bagian yang terpisah.
Suatu konsep yang penting dalam psikologi Gestalt adalah tentang “insight”, yaitu
pengamatan/pemahaman mendadak terhadap hubungan-hubungan antar bagian-bagian di dalam
suatu situasi permasalahan. Insight itu sering dihubungkan dengan pernyataan spontan “aha” atau
“oh, see-now”.
Kohler (1927) menemukan tumbuhnya insight pada seekor simpanse dengan menghadapkan
simpanse pada masalah bagaimana memperoleh pisang yang terletak diluar kurungan atau
tergantung diatas kurungan. Dalam eksperimen itu kohler mengamati bahwa simpanse dapat
memecahkan masalah secara mendadak, kadangkala gagal meraih pisang, kadangkala gagal
meraih pisang, kadangkala duduk merenungkan masalah, dan kemudian secara tiba-tiba
menemukan pemecahan masalah.
Wertheimer menjadi orang yang-mula menghubungkan pekerjaannya dengan proses belajar dio
kelas. Dari pengamatannya itu ia menyesalkan penggunaan metode menghafal di sekolah dan
menghendaki agar murid belajar dengan pengertian, bukan hafalan akademis.
Menurut pandangan Gestaltis, semua kegiatan belajar (baik pada simpanse maupun pada
manusia) menggunakan insight atau pemahaman terhadap hubungan-hubungan, terutama
hubungan antara bagian dan keseluruhan. Menurut psikologi gestalt, tingkat kejelasan atau
keberartian dari apa yang di amati dalam belajar adalah lebih meningkatkan belajar seseorang dari
pada hukuman dan ganjaran.
Menurut Charles M. Reigeluth (1989) membagi tahap-tahap belajar kognitif menjadi tahap
pengingatan (memorisasi), tahap pemahaman dan tahap penerapan.
Belajar pada tahap memorisasi disebut juga belajar menghafal. Dalam tahap ini pembelajar
melakukan pengkodean, pemberi nama atau memberikan istilah terhadap fakta-fakta atau
informasi dengan membuat asosiasi antara stimulus dengan respon, misalnya nama, tanggal,
kejadian, tempat atau simbol.
Belajar pada tahap pemahaman adalah belajar bermakna. Dalam tahap ini pembelajar
mengaitkan pembahasan yang baru dengan pengetahuan terdahulu yang relevan. Misalnya
pemahaman mengapa terjadi perang Diponegoro, tidak sekedar menghafal kapan terjadi perang
tersebut. Perilaku di contohkan dengan kemampuan siswa dalam membandingkan dan
mempertentangkan, membuat analogi, membuat inferensi/simpulan, melakukan elaborasi, dan
lain-lain.
Belajar pada tahap penerapan terkait dengan kemampuan siswa dalam membuat
generalisasi pengetahuan ke dalam situasi yang baru, atau telah terjadi transfer pengetahuan dalam
belajar. Pembelajaran telah mampu mengidentifikasi secara kritis hal-hal yang telah diketahuinya
dalam situasi yang berbeda, melakukan prediksi tentang sesuatu, misalnya prediksi terhadap akibat
kenaikan harga barang-barang. Dalam pengembangan teori pembelajaran, belajar pada tahap
penerapan ini banyak menjadi perhatian dari para pakar pendidikan.
Hasil Belajar dan Kemungkinan Pengukurannya
Definisi belajar dipahami sebagai suatu proses perubahan perilaku atau pribadi seseorang
berdasarkan paraktik atau pengalaman tertentu. Dengan definisi ini, maka hasil dari belajar itu
sendiri adalah adanya perubahan yang terjadi pada diri individu yang sedang belajar.
Bloom dalam taksonominya membagi hasil belajar dalam ranah yaitu ranah kognitif, afektif,
dan psikomotor. Tetapi, disini hanya akan membahas ranah kognitif saja, dimana ranah kognitif
sangat terkait dengan kemampuan berpikir atau intelektual atau kemampuan memecahkan
masalah.
Setiap ranah yang dikemukakan oleh Bloom itu memiliki tingkatan-tingkatan dan memiliki
indicator yang jelas.
No. Jenis Hasil Belajar Indikator-Indikator Cara Pengukurannya
1. Pengamatan/Perseptual Dapat Menunjukkan/ Tugas/Tes/Observasi
Membandingkan/
Menghubungkan
2. Hafalan/Ingatan Dapat Menyebutkan/Menunjukkan Tes/Tugas/Pertanyaan
Lagi
3. Pengertian/Pemahaman Dapat Menjelaskan/Mendefinisikan Pertanyaan/Persoalan/
Dengan Kata-Kata Sendiri Tes/Tugas
4. Aplikasi/Penggunaan Dapat Memberikan Tugas/Persoalan/
Contoh/Menggunakan Dengan Tes/Tugas
Tepat/Memecahan Masalah
5. Analisis Dapat Tugas/Persoalan/Tes
Menguraikan/Mengklasifikasikan
6. Sintesis Dapat Tugas/Persoalan/Tes
Menghubungkan/Menyimpulkan
7. Evaluasi Dapat Tugas/Persoalan/Tes
Menginterpretasikan/Memberikan
Kritik/Memberikan
Pertimbangan/Penilaian
2. Pra operasional : Perkembangan ranah kognitif yang terjadi pada usia 2-7 tahun. Tahap ini
diidentikkan dengan mulai digunakannya symbol atau bahasa tanda, dan telah dapat memperoleh
pengetahuan berdasarakan pada kesan yang agak abstrak.
3. Operasional konkret : Yang terjadi pada usia 7-11 tahun. Tahap ini dicirkan dengan anak sudah
mulai menggunakkan aturan-aturan yang jelas dan logis. Anak sudah tidak memusatkan diri pada
karakteristik perceptual pasif.
4. Operasional formal : Perkembangan ranah kognitif pada usia 11-15 tahun. Ciri pokok tahap yang
terakhir ini adalah anak sudah mampu berpikir abstrak dan logis dengan menggunakan pola pikir
“kemungkinan”.
Hakekat belajar menurut teori kognitif dijelaskan sebagi suatu aktivitas belajar yang berkaitan
dengan penataan informasi, reorganisasi perceptual, dan proses internal. Kegiatan pembelajaran
yang berpihak pada teori belajar kognitif ini sudah banyak digunakan. Dalam menemukan tujuan
pembelajaran, mengembangkan strategi, tidak lagi mekanistik. Kebebasan dan keterlibatan siswa
secara aktif dalam proses belajar amat diperhitungkan, agar belajar lebih bermakna bagi siswa.
Sedangkan kegiatan pembelajarannya mengikuti prinsip sebagai berikut :
1. Siswa bukan sebagai orang dewasa yang mudah dalam proses berfikirnya. Mereka mengalami
perkembangan kognitif melalui tahap-tahap tertentu.
2. Anak usia pra-sekolah dan awal sekolah dasar akan dapat belajar dengan baik terutama jika
mendengarkan benda-benda kongkrit.
3. Keterlibatan siswa secara aktif dalam belajar amat dipentingkan, karena hanya dengan
mengaktifkan siswa maka proses asimilasi dan akomodasi pengethauan dan pengalaman dapat
terjadi dengan baik.
4.Untuk menarik minat dan meningkatkan retensi perlu mengkaitkan pengalaman atau informasi
baru dengan struktur kognitif yang telah memiliki si belajar.
5. Pemahaman dan retensi akan mengningkat jika materi pelajaran disusun dengan menggunakan
pola atau logika tertentu.
Proses belajar lebih ditentukan oleh karena cara kita mengatur materi pelajaran bukan ditentukan
oleh umur siswa. Proses belajar siswa melalui tahap-tahap berikut :
1. Enaktif (aktivitas)
2. Ekonik (visual herbal)
3. Simbolik.
Secara teori kognitivisme lebih mengarah pada bagaimana memahami struktur kognitif siswa.
Dengan memahami struktur kognitif siswa, maka dengan tepat pelajarannya. Contoh: Bahasa Arab
disesuaikan sejauh mana kemampuan siswanya. Selain itu, juga model penyusunan materi
pelajaran bahasa Arab hendaknya disusun berdasarkan pola atau logika tertentu agar lebih nudah
dipahami. Penyusunan materi pelajaran bahasa Arab dibuat bertahap mulai dari yang paling
sederhana ke kompleks. Hendaknya dalam proses pembelajaran sebisa mungkin tidak hanya
terfokus pada hafalan, tetapi juga memahami apa yang sedang dipelajari, dengan demikian jauh
akan lebih baik dari sekadar menghafal kosakata.
Daftar Pustaka