Menurut Louis Kattsoff dalam Mustofa mengatakan , bahasa yang dipakai dalam
filsafat dan ilmu pengetahuan dalam beberapa hal saling melengkapi. Hanya saja
bahasa yang dipakai dalam filsafat mencoba untuk membicarakan mengenai ilmu
pengetahuan dan bukannya dalam ilmu pengetahuan.
Setiap ilmu pasti berbeda dalam objek formalnya. Objek formal filsafat ilmu yaitu
haikakat (esensi) ilmu pengetahuan. Perkembangan ilmu berdasarkan pada
materialisme cenderung pada ilmu-ilmu kealaman, dan menganggap bidang
ilmunya sebagai pengembangan ilmu-ilmu lain.1
Pada dasarnya ilmu memiliki dua macam objek, yaitu material dan formal. Untuk
mempelajari ilmu tentu harus terlebih dahulu memahami apa yang dimaksud
dengan filsafat, karena filsafat itu induk dari semua ilmu. Bahkan dalam
perkembangannya filsafat tidak hanya dipandang sebagai induk dari sumber ilmu,
tetapi sudah merupakan bagian dari ilmu itu sendiri, yang juga mengalami
spesialisasi. Ilmu sebagai objek kajian filsafat sepatutnya mengikuti alur filsafat,
yaitu objek material yang didekati lewat pendekatan radikal, menyeluruh, dan
rasional.2
Ada tiga aspek penting dalam memahami logika agar mempunyai pengertian
tentang penalaran yang merupakan suatu bentuk pemikiran, yaitu pengertian,
proposisi dan penalaran. Pengertian merupakan tanggapan atau gambaran yang
dibentuk oleh akal budi tentang kenyataan yang difahami, atau merupakan hasil
pengetahuan manusia mengenai realitas. Proposisi adalah rangkaian dari pengertian
yang dibentuk oleh akal budi, atau merupakan pernyataan mengenai hubungan yang
terdapat diantara dua yaitu term. Penelaran yaitu suatu proses berfikir yang
1
Mukhtar Latif. Orientasi ke arah pemahaman filsafat ilmu. Jakarta: Prenadamedia
Group. 2014. Hlm 32
2
Amsal Bakhtiar. Filsafat Ilmu. Jakarta: Rajawali Pers. 2011. Hlm 82
AFIF NASHIRUDDIN
Secara etimologis, logika adalah bidang penyelidikan yang membahas fikiran, yang
dinyatakan dalam bahasa. Berfikir adalah berbicara dengan dirinya sendiri dalam
batin, yaitu mempertimbangan, merenungkan, menganalisa, membuktikan sesuatu,
menunjukan alasan-alasannya, menarik kesimpulan, meneliti suatu jalan fikiran,
mencari bagaimana berbagai hal itu berhubungan satu sama lain.
Kata “logika” dipergunakan pertama kali oleh Zeno dari Citium. Kaum Sofis,
Socrates dan Plato harus dicatat sebagai perintis lahirnya Logika. Logika lahir
sebagai ilmu atas jasa Aristoteles, Theoprostud dan kaum Stoa.5 Logika adalah
cabang filsafat yang membahas metode-metode penalaran yang sah dari premis ke
kesimpulan.
Macam-macam logika :
3
Susanto. Filsafat Ilmu : Suatu Kajian Dalam Dimensi Ontologis, Epistimologis dan
Aksiologis. Jakarta: Bumi Aksara. 2011. Hlm 156
4
Amsal Bachtiar. Filsafat Ilmu. Jakarta: Rajawali Pers. 2011. hlm. 212
5
Mundiri. Logika. Jakarta: Rajawali Pers. 2011. Hlm 2
AFIF NASHIRUDDIN
alami dan sangat sederhana. Itulah yang disebut logika naturalis (logika
alamiah).
b. Logika Artificialis, meskipun secara potensial semua manusia sudah
memiliki kemampuan menggunakan logika, namun terkadang juga sesat,
bila memikirkan masalah-masalah yang agak rumit. Untuk menolong
manusia dalam berfikir agar tidak sesat, bila memikirkan masalah-masalah
agak rumit. Untuk menolong manusia dalam berfikir agar tidak sesat, maka
manusia membuat logika buatan (artificialis), yang penyebab lahirnya
antara lain: Kemampuan berlogika secara alami yang sangat terbatas dan
Permasalahan yang dihadapi manusia yang semakin kompleks.
a. Sepanjang logika dipandang sebagai ilmu dan bukan sebagai seni, maka
usaha mempelajari logika harus memberikan orang yang mempelajarinya
pemahaman tentang hakikat, tentang prinsip pemikiran yang logis.
b. Ditinjau secara praktis, sebagai suatu seni, kecakapan, logika harus
memperbaiki kemampuannya sendiri, melakukan penalaran yang
meyakinkan, sehingga dapat mengetahui perbedaan antara bahan bukti yang
baik dan yang buruk bagi suatu kesimpulan.
c. Logika menyampaikan kepada berfikir benar, lepas dari berbagai prasangka
emosi dan keyakinan seseorang, karena itu ia mendidik manusia bersikap
objektif tegas dan berani.
d. Logika diharapkan dapat menjadikan orang yang mempelajarinya sadar
akan perbedaan antara bujukan yang mempergunakan berbagai sarana yang
6
H.A. Dardiri. Humaniora Filsafat dan Logika. Jakarta: Rajawali Pers. 1986. Hlm 27
AFIF NASHIRUDDIN
Bertolak dari arti obyektifitas sebagaimana yang diuraikan, maka pada kondisi
tertentu obyektifitas ilmu pengetahuan kadang kala masih perlu dipersoalkan. Hal
ini dikarenakan sesuai dengan berbagai definisi ilmu pengetuhuan itu sendiri, ilmu
pengetahuan tidak bisa lepas dari beberapa hal antara lain:
7
Mundiri. Op.cit. Hlm 17
8
Mukhtar Latif. Op.cit. Hlm 258
AFIF NASHIRUDDIN
9
http://referensiagama.blogspot.com/2011/01/obyektifitas-ilmu-pengetahuan.html