Anda di halaman 1dari 12

BAB I

PENDAHULUAN

A. Latar Belakang

Banyak orang yang mengenal kata positif dalam kehidupan sehari-hari. Mereka
mengartikan positif sebagai kata yang mengandung arti baik atau berguna. Sesuatu
yang baik maka itu sesuatu yang positif, begitu sebaliknya, jika sesuatu yang buruk
maka sesuatu itu dianggap negatif, yang merupakan lawan kata dari positif.

Positivisme Aguste Comte ini adalah merupakan bagian atau yang di bahas
dalam pembelajaran Filsafat Umum, oleh karena itu sudah seharusnya kita
memahami apa itu Positivisme yang pertama kali dilahirkan Oleh Aguste Comte,
dan pada era dewasa menuntut untuk setiap kita untuk memahami apa yang
sebenarnya dikaji dalam filsafat itu sendiri, hal ini tidak hanya harus dipahami oleh
para ilmuan atau profesor saja, tapi mahsiswa dituntut juga untuk dapat memahami
yang dikaji dalam filsafat. Karena mahasiswa itu nantinya yang akan menggantikan
para filosofis saat ini, dan setiap periode filsafat itu harus dapat terus berkembang
sesuai dengan perkembangan zaman.

B. Rumusan Masalah
1. Bagaimana Biografi Auguste Comte?
2. Bagaimana Pemikiran Auguste Comte?
3. Apa Pengaruh Pemikiran Auguste Comte?
4. Bagaimana Kritik atas Pemikiran Auguste Comte?
C. Tujuan Penulisan
1. Untuk Mengetahui Biografi Auguste Comte
2. Untuk Mengetahui Pemikiran Auguste Comte
3. Untuk Mengetahui Pengaruh Pemikiran Auguste Comte
4. Untuk Mengetahui Kritik atas Pemikiran Auguste Comte

1
BAB II

PEMBAHASAN

A. Biografi Auguste Comte

Auguste Comte lahir di kota Montpellier, Perancis, pada 17 Januari 1798.


Memiliki nama asli Isidore Marie Auguste Comte, ia berasal dari keluarga
bangsawan Katolik. Ia menempuh pendidikan di Ecole Polytechnique dan
mengambil jurusan kedokteran di Montpellier. Comte juga berpengalaman
memberi les matematika dan menjadi murid sekaligus sekretaris Saint Simon.
Comte memiliki kisah cinta platonik dan tragis; menikah dengan Caroline Massin,
seorang pekerja seks, dan ia bercerai pada 1842. Setelah itu, ia menikah dengan
Clotide de Vlaux namun pernikahan tersebut tidak berumur lama. Clotide de Vlaux
meninggal dunia karena sakit Tubercolosis.

Kehidupan pribadi Comte sebagai pemikir besar juga dilingkupi kemiskinan. Ia


dikenal sebagai sosok emosional dalam persahabatan. Comte juga kerap terlibat
konflik dalam persoalan cinta. Percobaan bunuh diri pun pernah dilakukan oleh
tokoh kunci sosiologi ini. Comte meninggal dunia pada usia 59 tahun pada 5
September 1857. Selama karir intelektualnya Comte menghasilkan banyak
karyanya, antara lain; System of Positive politics, The Scientific Labors Necessary
for Reorganization of Society (1882), The Positive Philosophy (6 jilid 1830-1840),
Subjective Synthesis (1820-1903).1

Pada tahun 1826, Comte mengolah satu skema yang akan digunakannya untuk
menyampaikan serangkaian 72 kuliah umum tentang filsafatnya. Kuliah yang
diberikan Comte menarik banyak peminat, akan tetapi dihentikan pada perkuliahan
ketiga dikarenakan Comte mengalami masalah mental. Bahkan pernah mencoba
bunuh diri. Meskipun Comte tidak memperoleh posisi regular di Ecole

1
Javaphilosophy. Positivisme Auguste Comte, (Wordpress.com). Diakses: 5 November 2018

2
Polytechnique, Comte mendapatkan posisi minor sebagai asisten pengajar pada
tahun 1832. Pada tahun 1837 Comte mendapatkan posisi tambahan sebagai penguji
ujian masuk, dan untuk pertama kalinya, ini memberikan pendapatan yang
memadai karena, selama ini ia sering kali tergantung secara ekonomis terhadap
keluarganya. Selama kurun waktu tersebut Comte mengerjakan enam jilid karya
yang melambungkan namanya, Cours de Philosophie Positive, yang secara
keseluruhan terbit pada tahun 1842, dimana jilid pertama terbit pada tahun 1830.
Dalam karya ini Comte memaparkan pandangannya bahwa sosiologi adalah ilmu
tertinggi. Ia juga menyerang Ecole Polytechenique, dan hasilnya adalah pada tahun
1844 pekerjaannya sebagai asisten tidak diperpanjang. Pada tahun 1851 ia
menyelesaikan 4 jilid buku Systeme de Politique Positive, yang lebih bertujuan
praktis, dan menawarkan rencana reorganisasi masyarakat. Auguste Comte wafat
pada 5 September 1857.2

B. Pemikiran Auguste Comte


1. Filsafat positivisme

Filsafat Positivisme diperkenalkan oleh Auguste Comte. Positivisme


sendiri berasal dari “positif”. Istilah “filsafat positif” mulai digunakan Comte
pada karyanya Cours de Philosophie Positive dan terus mengunakan istilah itu
di seluruh karyanya. Filsafat digunakan sebagai “sistem umum tentang konsep-
konsep umum mengenai manusia” dan positif digunakan sebagai “teori yang
bertujuan untuk menyusun fakta-fakta yang teramati”. Dalam hal ini Comte
menyatakan bahwa ilmu pengetahuan tidak bisa melampaui fakta sehingga
positivisme benar-benar menolak metafisika dan menerima adanya “das Ding
an Sich” (Objek yang tidak bisa diselidiki oleh pengetahuan ilmiah).3

2
Ibid
3
F. Budi Hardiman. Filsafat Modern Dari Machievelli Sampai Niestzche. (Jakarta: PT. Gramedia
Pustaka Utama, 2004).

3
Comte menerangkan dalam karyanya yang berjudul Discour sur lèsprit
positif (1984), sebagaimana yang dikutip oleh Koento Wibisono bahwa
pengertian “positif” menurut Comte ialah sebagai berikut;

a. “Positif ”merupakan lawan dari “khayal” (chimérique), artinya positif


adalah hal hal yang bersifat nyata (réel). Pengertian ini melanjutkan
bahwa objek filsafat positivisme adalah hal yang dapat dijangkau akal,
sedangkan hal hal yang diluar nalar/akal bukan/tidak dapat menjadi
kajian dari filsafat positivisme,
b. “Positif” adalah lawan dari sesuatu yang “tidak bermanfaat” (oiseux)
artinya positif adalah hal yang bermanfaat (utile). Dari pengertian ini
dapat diartikan bahwa tujuan dari pemikiran filsafat positivisme tidak
berhenti pada pemenuhan rasa keingintahuan manusia, namun lebih dari
itu segala pemikiran yang dilandasi positivisme harus diarahkana
kepada kemajuan ilmu pengetahuan untuk manusia.
c. “Positif” sebagai lawan dari “keraguan” (indécision), berarti positif
sendiri adalah keyakinan (certitude). Positif diartikan pada hal hal yang
sudah pasti.
d. “Positif” sebagai lawan dari “kabur” (vague), maka positif disifati
sebagai suatu hal yang jelas atau tepat (précis). Hal tersebut sesuai
dengan ajaran filsafat comte yang menyatakan bahwa pemikiran
filsafati harus dapat memberikan pemikiran yang jelas dan tepat, baik
mengenai hal hal yang nampak atau hal hal yang tak nampak yang
sebenarnya dibutuhkan. Hal ini menjadi “antitesa” dari cara berfilsafat
lama yang memberikan pedoman yang tidak jelas.

4
e. “Positif” sebagai lawan “negatif” hal ini digunakan unutk menunjukkan
sifat filsafat positivisme yang mengarah pada penataan dan penertiban
pola pikir.4

Filsafat positivisme yang diungkapkan Comte melontarkan kritik yang


keras terhadap metodologi pengetahuan sistematis yang berkembang subur
pada abad pertengahan yaitu metafisika. Berbeda dengan meatafisika,
positivisme mendasari pengetahuan dengan fakta objektif (nyata, pasti, tepat,
berguna dan mutlak) sedangkan metafisika tidak dapat membuktikan kebenaran
perntaan pernyataanya secara indrawi (pengamatan dan percobaan).5

2. Hukum tiga tahap

Hukum tiga tahap merupakan ciri khas filsafat positivisme Auguste Comte,
karena keselurahan pemahannya tercermin dalam hukum tersebut. Dalam karya
utamanya dengan judul Cours de Philosophie Positive yang ditulis pada tahun
1830-1842 yang terdiri dari enam jilid. Menurut Acton yang dikutip Koento
Wibisono dalam bukunya bahwa hukum tiga tahap ini, Comte menjadikannya
dasar dan titik tolak dalam menerangkan ajaran filsafat positivismenya
berkenaan dengan sejarah, ilmu pengetahuan, masyarakat dan agama.6
Ditambahkan oleh F. Budi Hardiman dalam bukunya yang berjudul “Filsafat
Modern dari Machiavelli sampai Niettzsche” bahwa menurut Comte
perkembangan ilmu pengetahuan tidak dapat terlepas dari perkembangan
manusia dan pemikirannya selama berabad-abad.7

4
Wibisono Koento, Arti Perkembangan Menurut Filsafat Positivisme Auguste Comte (Yogyakarta:
Gajah Mada University Press, 1983)
5
F. Budi Hardiman, Melampaui Positivisme dan Modernitas. (Yogyakarta: Penerbit Kanisius, 2003)
6
Wibisono, Koento. Arti Perkembangan Menurut Filsafat Positivisme Auguste Comte. (Yogyakarta:
Gajah Mada University Press, 1983).
7
F. Budi Hardiman. Filsafat Modern Dari Machievelli Sampai Niestzche. (Jakarta: PT. Gramedia
Pustaka Utama, 2004).

5
Hukum tiga tahap yang dipaparkan Auguste Comte membagi tahap
perkembangan pemikiran manusia dari masa ke masa menjadi tiga tahap, yaitu;
tahap teologis, tahap metafisis dan tahap positif. Ketiga tahap ini dipahami
Comte sebagai satu kesatuan tahap perkembangan pola pokir manusia
sebagaimana perkembangan tahap kehidupan umat manusia dari masa kanak-
kanak menjadi masa remaja kemudian menjadi masa dewasa. Berikut uraian
perkembangan hukum tiga tahap comte;

a. Tahap Teologis atau Fiktif (the theological or fictitious)

Tahap ini merupakan awal perkembangan jiwa manusia. Gejala-gejala


atau fenomena yang menarik sealu dikaitkan dengan konteknya. Dalam
frase ini manusia selalu mempertanyakan hal hal yang paling sukar dan
menurut pendapatnya bahwa hal yang sukarpun harus diketahui dan
dikenanlnya. Comte menyatakan bahwa tahapan ini tidak terjadi begitu saja,
namun ada sebab musababnya. Berikut tahapan pada frase ini;

Fetisysme (fetishism) adalah suatu bentuk kehidupan masyarakat yang


beranggapan bahwa segala sesuatau yang berada di sekitar mansuia
memiliki kehidupan sendiri yang berbeda dengan kehidupan manusia.
Anggapan ini berkembang bahkan segala sesuatu yang berada di sekitar
manusia berpengaruh terhadap kehidupan manusia, sehingga mau tidak
mau manusia harus menyesuakan diri dengan sesuatu tersebut. Sesuatu itu
meliputi benda-benda alam (gunung, pohon, sungai) dan benda benda yang
diciptakan sendiri oleh manusia.8 Diperkirakana masa ini adalah masa yang
paling lama yang terjadi sebelum tahun 1300-an. Bnetuk pemikiran seperti
ini dalam pandangan kepercayaan disebut juga sebagai animisme.9

8
Wibisono, Koento. Arti Perkembangan Menurut Filsafat Positivisme Auguste Comte. (Yogyakarta:
Gajah Mada University Press, 1983).
9
Upe, Ambo. Tradisi Aliran Dalam Sosiologi dari Filosofi Posivistik ke Post positivistik.( Jakarta: PT Raja
Grafindo Persada, 2010).

6
Politeisme (polytheism), pemahaman ini lebih berkembang dari pada
fetisysme. Yaitu bahwa segala sesuatu tidak lagi benda benda disekeliling
manusia, namun adanya kekuatan yang mnegatur itu dan berada di
sekeliling manusia. Hal tersebut mewajibkan segala tingkah laku/perbuatan
serat pikiran manusia harus mengikuti aturan dari kekuatan tersebut. Dalam
hal inilah kepercayaan terbangun bahwa segala sesuatau ada dewanya.
Sehingga manusia harus tunduk dan takluk pada dewa-dewa tersebut dan
mengadakan upacara ritual untuk menghormatinya.

Monotheisme (monotheism), merupakan pemahaman masyarakat


segala seuatu tidak lagi diatur oleh dewa yang menguasai benda-benda ata
gejala-gejala alam. Mereka percaya akan adanya yang mengatur segala
benda dan fenomena yang terjadi, kekuatan itu berasal dari suatu kekuatan
yang mutlak yaitu tuhan Yang Maha Esa. Segala sesuatu yang terjadi di
dunia ini atas sebabnya, sehingg tingkah laku manusia dan segala fikirannya
diorentasikan untuk tuhan yang menjadi dogma dogma ajaran agama untuk
manusia.10

b. Tahap Metafisis (the metaphysical or abstract)

Berakhirnya masa monotheis merupakan awal dari tahap Metafisis.


Manusia mulai merubah pola pikir guna menemukan jawaban jaban atas
pertanyaan berkaitan dengan gejala alam yang terjadi. Manusia mulai
meninggalkan dogma-dogma agama dan beralih dari adanya adikodrati
(kuasa tunggal) dalam hal ini adalah tuhan menjadi adanya kemampuan
yang abstrak. Dalam hal ini Comte menerangkan bahwa masa ini adalah
masa peralihan dari masa anak-anak menjadi masa dewasa. Karena
ketidakpercayaan manusia akan adanya adikodrati akhir mereka mau tidak

10
Wibisono, Koento. Arti Perkembangan Menurut Filsafat Positivisme Auguste Comte. (Yogyakarta:
Gajah Mada University Press, 1983).

7
mau menggunakan akal budi sebagai sumber mancari kebenaran. 11 Pada
masa ini manusia sudah bsa mendeskripsikan secara filosofis (jiwa ekstensi)
berdasarakan kepercayaaan serta hukum alam. Menurut Comte terjadinya
frase ini karena dominasi sosial para ahli hukum yang menarik doktrin-
doktrin sosial dan politik dari pemahaman ilmu alam. Masas ini
diperkirakan terjadi antara tahun 1300 hingga 1800 M.12

c. Tahap Positif (the positive or scientific)

Pada masa ini manusia lebih berkembang dari masa sebelumnya. Jika
pada masa metafisik manusia merasa cukup dengan pengetahuan yang
abstrak, pada masa ini yang dibutuhkan adalah pengetahuan yang ril.
Pengatahuan yang dicapai harus melalui pengamatan, percobaan dan
perbandingan di atas hukum hukum yang umum (abstrak). Pengetahuan
yang dicapai tidak lagi abstrak, akan tetapi jelas, pasti dan bermanfaat.
Masa ini adalaha masa yang berusaha Comte wujudkan, dimana kehidupan
masyarakat akan diatur oleh cendikiawan dan industrialis dengan dasar rasa
perikemanusiaan. Apabila dalam teologi keluarga adalah dasar dan dalam
metafisik negara merupakan dasar maka dalam tahap positif ini seluruh
umat manusia merupakan dasar itu sendiri.13 Tahap ini adalah tahap
indusrialis yang dterjadi pada setelah tahun 1800.14

C. Pengaruh Pemikiran Auguste Comte

Positivisme yang diperkenalkan Comte berpengaruh pada kehidupan


intelektual abad sembilan belas. Di Inggris, sahabat Comte, Jhon Stuart Mill,

11
Ibid
12
Upe, Ambo. Tradisi Aliran Dalam Sosiologi dari Filosofi Posivistik ke Post positivistik.( Jakarta: PT
Raja Grafindo Persada, 2010).
13
Wibisono, Koento. Arti Perkembangan Menurut Filsafat Positivisme Auguste Comte. (Yogyakarta:
Gajah Mada University Press, 1983).
14
Upe, Ambo. Tradisi Aliran Dalam Sosiologi dari Filosofi Posivistik ke Post positivistik.( Jakarta: PT
Raja Grafindo Persada, 2010).

8
dengan antusias memperkenalkan pemikiran Comte sehingga banyak tokoh di
Inggris yang mengapresiasi karya besar Comte, diantaranya G.H. Lewes, penulis
The Biographical History of Philosophy dan Comte’s Philosophy of Sciences;
Henry Sidgwick, filosof Cambridge yang kemudian mengkritisi pandangan-
pandangan Comte; John Austin, salah satu ahli paling berpengaruh pada abad
sembilan belas; dan John Morley, seorang politisi sukses. Namun dari orang-orang
itu hanya Mill dan Lewes yang secara intelektual terpengaruh oleh Comte.15

Di Prancis, pengaruh Comte tampak dalam pengakuan sejarawan ilmu, Paul


Tannery, yang meyakini bahwa pengaruh Comte terhadapnya lebih dari siapapun.
Ilmuwan lain yang dipengaruhi Comte adalah Emile Meyerson, seorang filosof
ilmu, yang mengkritisi dengan hormat ide-ide Comte tentang sebab, hukum-hukum
saintifik, psikologi dan fisika. Dua orang ini adalah salah satu dari pembaca
pemikiran Comte yang serius selama setengah abad pasca kematiannya. Karya
besar Comte bagi banya filososf, ilmuwan dan sejarawan masa itu adalah bacaan
wajib.16

Namun Comte baru benar-benar berpengaruh melalui Emile Durkheim yang


pada 1887 merupakan orang pertama yang ditunjuk untuk mengajar sosiologi, ilmu
yang diwariskan Comte, di universitas Prancis. Dia merekomendasikan karya
Comte untuk dibaca oleh mahasiswa sosiologi dan mendeskripsikannya sebagai the
best possible intiation into the study of sociology. Dari sinilah kemudian Comte
dikenal sebagai bapak sosiologi dan pemikirannya berpengaruh pada
perkembangan filsafat secara umum.17

15
Robbani, Auguste Comte dan Positivisme. (Wordpress.com) Diakses 5 November 2018
16
Ibid
17
Ibid

9
D. Kritik atas Pemikiran Auguste Comte

Positivisme Comte mengemukakan tiga tahap perkembangan peradaban dan


pemikiran manusia ke dalam tahap teologis, metafisik, dan positivistik. Pada tahap
teologis pemikiran manusia dikuasai oleh dogma agama, pada tahap metafisik
pemikiran manusia dikuasai oleh filsafat, sedangkan pada tahap positivistik
manusia sudah dikuasai oleh ilmu pengetahuan dan teknologi. Pada tahap ketiga
itulah aspek humaniora dikerdilkan ke dalam pemahaman positivistik yang
bercorak eksak, terukur, dan berguna. Ilmu-ilmu humaniora baru dapat dikatakan
sejajar dengan ilmu-ilmu eksak manakala menerapkan metode positivistik. Di sini
mulai terjadi metodolatri, pendewaan terhadap aspek metodologis.

Selain itu, model filsafat positivisme Comte tampak begitu mengagungkan akal
dan panca indera manusia sebagai tolok ukur “kebenaran”. Sebenarnya
“kebenaran” sebagai masalah pokok pengetahuan manusia adalah bukan
sepenuhnya milik manusia. Akan tetapi hanya merupakan kewajiban manusia
untuk berusaha menghampiri dan mendekatinya dengan “cara tertentu”.

Kata cara tertentu merujuk pada pemikiran Karl Popper mengenai “kebenaran”
dan sumber diperolehnya. Bagi Popper, ini merupakan tangkapan manusia terhadap
objek melalui rasio (akal) dan pengalamannya, namun selalu bersifat tentatif.
Artinya kebenaran selalu bersifat sementara yakni harus dihadapkan kepada suatu
pengujian yang ketat dan gawat (crucial-test) dengan cara pengujian “trial and
error” (proses penyisihan terhadap kesalahan atau kekeliruan) sehingga
“kebenaran” selalu dibuktikan melalui jalur konjektur dan refutasi dengan tetap
konsisten berdiri di atas landasan pemikiran Rasionalisme-kritis dan Empirisme-
kritis. Atau dengan meminjam dialektika-nya Hegel, sebuah “kebenaran” akan
selalu mengalami proses tesis, sintesis, dan anti tesis, dan begitu seterusnya.

Pandangan mengenai “kebenaran” yang demikian itu bukan berarti


mengisyaratkan bahwa Penulis tergolong penganut Relativisme, karena menurut

10
Penulis, Relativisme sama sekali tidak mengakui “kebenaran” sebagai milik dan
tangkapan manusia terhadap suatu objek. Penulis berkeyakinan bahwa manusia
mampu menangkap dan menyimpan “kebenaran” sebagaimana yang diinginkannya
serta menggunakannya, namun bagi manusia, “kebenaran” selalu bersifat
sementara karena harus selalu terbuka untuk dihadapkan dengan pengujian
(falsifikasi). Dan bukanlah verifikasi seperti apa yang diyakini oleh Comte. Hal
demikian karena suatu teori, hukum ilmiah atau hipotesis tidak dapat diteguhkan
(diverifikasikan) secara positif, melainkan dapat disangkal (difalsifikasikan).

Jelasnya, untuk menentukan “kebenaran” itu bukan perlakuan verifikasi


melainkan melalui proses falsifikasi dimana data-data yang telah diobservasi,
dieksperimentasi, dikomparasi dan di generalisasi-induktif berhenti sampai di situ
karena telah dianggap benar dan baku (positif), melainkan harus dihadapkan
dengan pengujian baru.

11
BAB III

PENUTUP

A. Simpulan

Auguste Comte membawa perubahan besar dalam dunia pemikiran dan


mendobrak paham metafisik yang menjadmur pada abad pertengahaan dengan
filsafat positivisme. Positif yang menurut comte adalah hal hal yang bersifat nyata,
pasti, tepat, berguna dan memiliki kebenaran yang mutlak. Artinya kebenaran harus
bersifat positif bukan abstrak dan dapat diamati, diukur dan diprediksi sebagaimana
moto Comte “savoir pour prevoir” (mengetahui untuk meramalkan).

Dalam filsafat positivisme comte juga memaparkan tiga tahap perkembangan


pemikiran manusia yaitu teologis/fiktif, metafisis dan positif.

Auguste Comte juga mendapat kritikan atas teori positivismenya karena tampak
begitu mengagungkan akal dan panca indera manusia sebagai tolok ukur
“kebenaran”.

12

Anda mungkin juga menyukai