Anda di halaman 1dari 30

Karl popper

Karl Popper
Dari Wikipedia bahasa Indonesia, ensiklopedia bebas
Belum Diperiksa

Sir Karl Raimund Popper


CH FRS FBA

Lahir

28 July 1902
Vienna, Austria

Meninggal

17 September 1994(umur 92)


London, England

Era

Filsuf abad ke-20

Aliran

Analytic
Critical rationalism
Fallibilism
Evolutionary epistemology
Liberalism

Minat utama

Epistemology

Philosophy of science
Social and political philosophy
Philosophy of mind

Gagasan penting

Falsifiability
Hypothetico-deductive method
Open society

Dipengaruhi[tampilkan]

Mempengaruhi[tampilkan]

Karl Popper (lahir di Vienna, Austria, 28 Juli 1902 meninggal di London,Inggris, 17


September 1994 pada umur 92 tahun) merupakan salah satu dari sekian banyak filsuf ilmu dan
pakar dalam bidang psikologi belajar. Popper dikenal dengan gagasan falsifikasi- sebagai lawan dari
verifikasi terhadap ilmu.
Penjelasan lebih lanjut tentang hal ini dapat dibaca lewat buku terbitan QalamYogyakarta dengan
judul Karl Popper: Psikologi Belajar dan Filsafat Ilmu.
Artikel bertopik biografi tokoh Austria ini adalah sebuah rintisan. Anda dapat membantu Wikipedia
dengan mengembangkannya.

Kategori:
Tanggal kelahiran 28 Juli

Kelahiran 1902

Tanggal kematian 17 September

Kematian 1994

Filsuf Austria

Sumber : https://id.wikipedia.org/wiki/Karl_Popper diunduh pada tanggal 27 oktober


2015.
karl Popper dihormati secara umum sebagai seorang filsuf ilmu pengetahuan abad ke 20. Dia
juga seorang filsuf sosial dan politik terkemuka, ia disebut sebagai critical-rasionalist
(rasionalis kritis), mempersembahkan diri sebagai lawan seluruh bentuk skeptisism,
konvensionlisme, dan relativisme dalam ilmu dan hal ihwal manusia secara umum, seseorang
yang komitmen menyokong dan pelindung setia Open Society (masyarakat terbuka), dan
mengkritik keras totalitarianisme dalam seluruh bentuknya.
Satu dari banyak pemikiran brilian Popper adalah bagian dari pengaruh intelektualnya. Pada
teknologi modern dan spesialisasi yang ketat dunia ilmuan, sedikit yang sadar akan kerja para

filsuf. Hal ini hampir belum pernah terjadi untuk menemukan mereka berantri, seperti mereka
dapat lakukan pada kasus Popper, menyaksikan pengaruh kuat manfaat praktis yang kerja
filosofis berjalan pada dirinya. Tapi, meskipun faktanya seperti itu, dia menulis di atas berbagai
hal teknis sangat mantap dengan kejernihan sempurna, lingkup kerja Popper adalah seperti itu
hal yang biasa sekarang ini untuk menemukan kecendrungan komentator untuk berurusan
dengan epistemologi, ilmu dan elemen sosial pada pikirannya, dimana mereka sangat berbeda
dan terlepas, dan dengan demikian kesatuan fundamental visi dan metode filosofinya memiliki
derajat yang merisaukan. Di sini kami akan mencoba melacak benang yang saling
berhubungan pada berbagai elemen filsafat Popper, dan merangkainya dalam kesatuan
fundamental.

Riwayat Hidup
Karl Raimund Popper dilahirkan pada 28 Juli 1902 di Vienna, yang pada waktu itu diklaim
sebagai pusat kebudayaan dunia Barat. Ayahnya, Dr. Simon Siegmund Carl Popper, seorang
Yahudi yang membawanya pada suasana yang belakangan ia lukiskan sebagai sangat
kebuku-bukuan (decidedly bookish). Ayahnya bekerja sebagai pengacara profesional, tapi dia
juga tertarik pada karya-karya sastra Yunani-Romawi Kuno dan filsafat, serta menginformasikan
kepada anaknya minat pada masalah sosial dan politik yang lepas dari dirinya. Ibunya
menanamkan pada ketertarikan pada musik, hingga dia sempat ingin mengambil karir di bidang
ini dan sungguh-sungguh pada awalnya memilih sejarah music sebagai subjek kedua untuk
ujian Ph. D.
Kemudian, kecintaanya terhadap musik menjadi kekuatan inspiratif dalam membangun
pemikiran dan originalitas interpretasi antara dogmatis dan pemikiran kritis, kontribusinya dalam
pembedaan objektifitas dan subjektivias, dan yang sangat penting, menumbuhkan perlawanan
terhadap segala bentuk historisisme, termasuk ide-ide sejarawan tentang sifat alami progresif
pada music. Karl muda menghadiri Realgymnasium lokal, dimana ia merasa tidak senang
dengan standar pengajaran, dan setelah sakit yang membuatnya tinggal di rumah beberapa
bulan, dia masuk University of Vienna pada tahun 1918. Bagaimanapun, dia tidak mendaftar
secara formal di Universitas dengan mengambil pengujian matrikulasi 4 tahun yang lain. Baru
pada tahun 1922 ia diterima sebagai mahasiswa di sana. 1919 adalah tahun kehormatan
formatif penting dalam kehidupan intelektualnya. Pada tahun itu, dia melibatkan diri dalam
politik sayap kiri, bergabung dengan Association of Socialist School Students dan menjadi
Marxis pada saat itu.
Bagaimanapun, dia dengan cepat kemudian dikecewakan oleh karakter doktriner dan segera
meninggalkan hal itu seluruhnya. Setelah perang dunia I dimana begitu banyak penindasan dan
pembunuhan maka Popper terdorong untuk menulis sebuah karangan tentang kebebasan. Dan
diusia 17 tahun ia menjadi anti Marxis karena kekecewaannya pada pendapat yang

menghalalkan segala cara dalam melakukan revolusi termasuk pengorbanan jiwa. Dimana
pada saat itu terjadi pembantaian pemuda yang beraliran sosialis dan komunis dan banyak dari
teman-temannya yang terbunuh. Dan sejak saat itu ia menarik suatu kebijaksanaan yang
diungkapkan oleh Socrates yaitu Saya tahu bahwa saya tidak tahu, dan dari sini ia menyadari
dengan sungguh-sungguh perbedaan antara pemikiran dogmatis dan kritis.
Dia juga menemukan Teori Psikoanalisis Freud dan Adler ( hal ini terkait dengan aktivitasnya
dalam kerja sosial dengan anak-anak yang serba kekurangan), dan terpesona mendengar
kuliah yang diberikan Einstein di Vienna tentang teori relativitas (relativity theory). Kekuasaan
semangat kritik pada Einstein dan kekurangan total pada Marx, Freud dan Adler, menyerang
Popper sebagai kehadiran yang sangat penting: yang belakangan dia kembali berpikir,
meletakkan teori-teori mereka dalam term-term yang bersedia untuk dikonfirmasi, sedangkan
teori Einstein, dengan susah payah, memiliki implikasi yang dapat diuji, jika salah, teori itu bisa
difalsifikasi.
Salah satu peristiwa yang mempengaruhi perkembangan intelektual Popper dalam filsafatnya
adalah dengan tumbangnya teaori Newton dengan munculnya Teori tentang gaya berat dan
kosmologi baru yang gikemukakan oleh Einstein. Dimana Popper terkesan dengan ungkapan
Einstein yang mengatakan bahwa teorinya tak dapat dipertahankan kalau gagal dalm tes
tertentu, dan ini sangat berlainan sekali dengan sikap kaum Marxis yang dogmatis dan selalu
mencari verifikasi terhadap teori-teori kesayangannya.
Dari peristiwa ini Popper menyimpulkan bahwa sikap ilmiah adalah sikap kritis yang tidak
mencari pembenaran-pembenaran melainkan tes yang crucial berupa pengujian yang dapat
menyangkal teori yang diujinya, meskipun tak pernah dapat meneguhkannya.
Tokoh lain yang cukup berpengaruh pada Popper yang berkaitan dengan perkembangan
pemikiran filsafatnya adalah Karl Buhler, seorang profesor psikologi di Universitas Wina. Buhler
memperkenalkan pada Popper tentang 3 tingkatan fungsi bahasa, yaitu fungsi ekspresif, fungsi
stimulatif, dan fungsi deskriptif. Dua fungsi pertama selalu hadir pada bahasa manusia dan
binatang sedangkan fungsi ketiga khas pada bahasa manusia dan bahkan tidak selalu hadir.
Dan pada perkembangannya Popper menambahkan fungsi keempat yaitu fungsi argumentatif,
yang dianggapnya terpenting karena merupakan basis pemikiran kritis.
Dalam perkembangan selanjutnya ia banyak menulis buku-buku yang berkaitan dengan ilmu
pengetahuan dan epistemologi, dan sampai pada bukunya yang berjudul Logik der Forschung,
ia mengatakan bahwa pengetahuan tumbuh lewat percobaan dan pembuangan kesalahan. Dan
terus berkembang sampai karyanya yang berjudul The Open Society and Its Enemies, dalam
karyanya ini Popper mengungkapkan bahwa arti terbaik akal dan masuk akal adalah

keterbukaan terhadap kritik kesediaan untuk dikritik dan keinginan untuk mengkritik diri
sendiri.
Dari sini Popper menarik kesimpulan bahwa menghadapkan teori-teori pada fakta-fakta yang
dapat menunjukkan ketidakbenarannya adalan satu-satunya cara yang tepat untuk mengujinya
dan juga satu-satunya cara yang menungkinkan ilmu pengetahuan bisa berkembang terus
menerus. Dan dengan adanya kemungkinan untuk menguji teori tentang ketidakbenarannya
berarti teori itu terbuka untuk di kritik dan ia memunculkan apa yang dinamakan Rasionalisme
kritis. Demikianlah sekelumit kehidupan Karl Raimund Popper yang meninggal dunia pada
tahun 1994.

Karya-Karya Karl R. Popper


1. Logik der Forschung. Julius Springer Verlag, Vienna, 1935.
2. The Open Society and Its Enemies. (2 Vols). Routledge, London, 1945.
3. The Logic of Scientific Discovery. (translation of Logik der Forschung). Hutchinson, London,
1959.
4. Conjectures and Refutations: The Growth of Scientific Knowledge. Routledge, London, 1963.
5. The Poverty of Historicism (2nd. ed). Routledge, London, 1961.
6. Objective Knowledge: An Evolutionary Approach. Clarendon Press, Oxford, 1972.
7. Unended Quest; An Intellectual Autobiography. Fontana, London, 1976.
8. A Note on Verisimilitude, The British Journal for the Philosophy of Science 27, 1976, 147159.
9. The Self and Its Brain: An Argument for Interactionism (with J.C. Eccles). Springer
International, London, 1977.
10. The Open Universe: An Argument for Indeterminism. (ed. W.W. Bartley 111). Hutchinson,
London, 1982.
11. Realism and the Aim of Science. (ed. W.W. Bartley III). London, Hutchinson, 1983.

12. The Myth of the Framework: In Defence of Science and Rationality. Routledge, London,
1994.
13. Knowledge and the Mind-Body Problem: In Defence of Interactionism. (ed. M.A. Notturno).
Routledge, London, 1994.

Kritik Popper terhadap Analisis Linguistik


Para analis bahasa percaya bahwa tak ada persoalan-persoalan filosofis yang sejati (genuine),
atau bahwa persoalan-persoalan filsafat, sekiranya ada, adalah persoalan-persoalan
pemakaian linguistik atau makna kata-kata. Akan tetapi Popper percaya bahwa sedikitnya ada
satu persoalan filosofis yang menarik bagi semua orang yang berpikir. Persoalan itu ialah
persoalan kosmologi: persoalan pemahaman dunia-termasuk diri kita, dan pengetahuan kita.
Pooper percaya, semua ilmu adalah kosmologi, dan baginya minat terhadap filsafat dan juga
ilmu justru terletak pada sumbanga-sumbangan yang telah mereka berikan pada persoalanpersoalan itu. Bagaimanapun juga, baik filsafat maupun ilmu akan kehilangan daya tariknya jika
mereka menghentikan percarian tersebut. tak dapat disangkal, memahami fungsi-fungsi bahasa
adalah bagian filsafat yang penting; tetapi bukan sekedar menerangkan persoalan-persoalan
manusia semata-mata sebagai teka-teki linguistik belaka.
Persoalan utama epistemologi senantiasa dan tetap masih seputar persoalan pertumbuhan
pengetahuan. Dan pertumbuhan pengetahuan dapat dipelajari paling baik dengan mempelajari
pertumbuhan pengetahuan ilmiah.
Jika kita mengabaikan apa yang sedang dipikirkan orang lain, atau yang telah dipikirkan di
masa lampau, maka diskusi rasional pasti berakhir sekalipun masing-masing orang mungkin
terus berbicara kepada diri sendiri dengan bahagia. Beberapa filsuf telah membuat suatu
kebajikan (virtue) dalam berbicara kepada diri mereka sendiri; barangkali karena merasa bahwa
tak ada orang lain yang cukup pantas untuk diajak bicara. Popper khawatir, praktek berfilsafat
pada taraf yang agung ini menjadi pertanda kemunduran diskusi rasional. Tak diragukan lagi
Tuhan berbicara terutama kepada diriNya sendiri karena ia tidak mempunyai suatu apapun
yang pantas untuk diajak biacara. Namun, para filsuf harus mengetahui bahwa mereka tidak
lebih ilahiah daripada orang lain.
Keyakinan analisis linguistik adalah metode filsafat sejati, menurut Popper meluas karena
beberapa alasan historis. Satu dari dari alasan tersebut adalah keyakinan yang tepat bahwa
paradoks-paradoks logis, seperti paradoks si pendusta (sekarang saya sedang berbohong),
membutuhkan metode analisis linguistik untuk pemecahannya, bersama pembedaan yang
terkenal antara ungkapan-ungkapan linguistik yang bermakna dan yang tak bermakna.
Keyakinan yang tepat ini kemudian digabungkan dengan keyakinan yang menurut Popper keliru

bahwa persoalan-persoalan tradisional filsafat muncul dari usaha memecahan paradoksparadoks filosofis yang strukturnya analog dengan paradoks-paradoks logis itu, sehingga
pembedaan antara pembicaraan yang bermakna (meaningful talk) dengan yang tak bermakna
(meaningless) pastilah hal yang sangat penting juga bagi filsafat.
Alasan utama untuk memuja metode analisis linguistik, tampaknya karena hal berikut ini. Pada
waktu itu dirasakan bahwa apa yang disebut cara baru ide-ide (new way of ideas) Locke,
Berkeley, dan Hume, yakni metode psikologis atau lebih tepatnya pseudo-psikologis yang
menganalisis ide-ide kita dan asal-usulnya dalam indera kita, harus digantikan dengan metode
objektif dan metode yang kurang genetis. Pada waktu itu dirasakan bahwa orang harus
menganalisis kata-kata dan makna-maknanya atau penggunaanya kepada timbang ide-ide
atau konsepsi-konsepsi atau pengertian-pengertian; bahwa orang harus menganalisis
proposisi-proposisi atau pernyataan-pernyataan atau kalimat-kalimat ketimbang pemikiranpemikiran atau kepercayaan-kepercayaan atau putusan-putusan.
Menurut Popper, persoalan epistemologi dapat didekati dari dua sisi:
Sebagai persoalan biasa atau pengetahuan akal-sehat.
Sebagai persoalan pengetahuan ilmiah
Para filsuf yang mendukung pendekatan pertama berpikir bahwa pengetahuan ilmiahhanya
dapat menjadi suatu perluasan pengetahuan akal sehat, dan mereka juga menyangka dengan
keliru, bahwa dari kedua hal itu, pengetahuan akal-sehat lebih mudah dianalisis. Dengan begini
para filsuf menggantikan cara baru ide-ide tersebut dengan analisis terhadap bahasa biasa
(ordinary langguage) bahasa yang di dalamnya pengetahuan akal-sehat dirumuskan. Mereka
mengantikan analisis terhadap visi atau persepsi atau pengetahuan tersebut dengan analisis
terhadap frasa aku melihat atau aku mencerap, atau aku tahu, aku percaya, aku melihat
bahwa ini mungkin.
Kepada orang yang mendukung pendekatan ini bagi teori pengetahuan, Popper menjawab:
walaupun saya setuju bahwa pengetahuan ilmiah hanyalah suatu pengembangan
pengetahuan biasa (ordinary knowledge) atau pengetahuan akal-sehat (common sense
knowledge), saya berpendapat bahwa persoalan-persoalan epistemologis yang paling penting
dan menarik (salah satunya adalah persoalan pertumbuhan pengetahuan manusia), pasti tetap
tak terlihat sama sekali oleh orang yang membatasi dirinya pada analisis pengetahuan biasa
atau akal sehat atau perumusannya dalam bahasa biasa. Sedikit renungan akan menunjukkan
bahwa sebagian besar persoalan yang berhubungan dengan pertumbuhan pengetahuan
manusia pasti selalu lebih penting daripada studi apapun yang dibatasi pada pengetahuan akal-

sehat sebagai lawan dari pengetahuan ilmiah. Karena cara yang paling penting bagaimana
pengetahuan akal-sehat bertumbuh, persisnya, adalah dengan kembali kepada pengetahuan
ilmiah.
Dalam konteks ini, hampir semua persoalan epistemologi tradisional dihubungkan dengan
persoalan pertumbuhan pengetahuan. Popper bahkan cendrung mengatakan lebih: dari Plato
sampai Descartes, Leibniz, Kant, Duhem, dan Poincare; dan dari Bacon, Hobbes, dan Locke,
sampai Hume, Mill, dan Russel, teori pengetahuan diilhami harapan bahwa ia akan
memungkinkan kita bukan hanya mengetahui lebih banyak tentang pengetahuan, melainkan
juga menyumbang bagi kemajuan pengetahuan yaitu, pengetahuan ilmiah.
Sebagian besar filsuf yang percaya bahwa metode filsafat yang khas adalah analisis bahasa
biasa, menurut Popper, telah menyerahkan kemajuan pengetahuan pada ilmuwan. Mereka
bahkan mendefinisikan filsafat sedemikian rupa sehingga, per definisi, menjadi tak mampu
membuat sumbangan apapun bagi pengetahuan manusia tentang dunia. Bagi Popper definisi
kata filsafat hanya bercirikan sebuah konvensi, suatu kesepakatan, bukan usulan sewenangwenang dari orang-orang tertentu yang mencegah orang lain yang belajar filsafat untuk
menyumbangkan pemikirannya.
Paradoksikal bagi Popper melihat para filsuf yang merasa bangga mengkhususkan diri dalam
studi bahasa biasa namun percaya mereka cukup mengetahui tentang kosmologi sehingga
dalam esensinya dikatakan kosmologi berbeda dari filsafat, sehingga filsafat tidak bisa
memberikan sumbangan apapun kepadanya. Mereka keliru kata Popper, karena dalam
faktanya bahwa ide-ide metafisik belaka (berarti juga ide-ide filosofis) mempunyai signifikansi
yang terbesar bagi kosmologi. Dari Thales sampai Einstein, dari Atomisme kuno sampai
spekulasi Descartes tentang materi, dari spekulasi-spekulasi Gilbert, Newton, Leibniz dan
Boscovic tentang gaya (forces) sampai ke Faraday dan Einstein tentang medan gaya (field of
forces), ide-ide metafisik telah menunjukkan jalan.

Kritik Popper terhadap Positivisme Logis


Popper menentang beberapa gagasan dasar Lingkaran Wina (pandangan yang dikembangkan
oleh kelompok ini disebut neopositivisme atau kerap juga dinamakan positivisme logus atau
empirisme logis). Pertama-tama ia menentang pembedaan antara ungkapan yang disebut
bermakna (meaningfull) dari yang tidak bermakna berdasarkan kriterium dapat tidaknya
dibenarkan secara empiris. Pembedaan ini digantinya dengan garis batas (demarkasi) antara
ungkapan ilmiah dan tidak ilmiah. Pokok demarkasi terletak pada ada tidaknya dasar empiris
bagi ungkapan bersangkutan. Ungkapan yang tidak bersifat ilmiah mungkin sekali amat
bermakna (meaningful). Apakah suatu ungkapan bersifat empiris atau tidak, atau dimanakah
letak ungkapan itu dari garis batas menurut Popper tidak dapat ditentukan berdasarkan asas

pembenaran yang dianut positivisme logis yakni melalui proses induksi. Dalam hal ini Popper
setuju dengan Hume, bahwa peralihan dari yang partikular ke yang universal tidak sah.
Kemudian Popper mengajukan prinsip falsifiabilitas, bahwa ciri khas pengetahuan ilmiah adalah
sesuatu yang dapat dibuktikan salah (it can falsified). Untuk mencapai pandangan ini Popper
menggunakan kebenaran logis yang sederhana. Dia memberikan contoh: dengan observasi
terhadap angsa-angsa putih, betapun besar jumlahnya, orang tidak dapat sampai pada
kesimpulan bahwa semua angsa bewarna putih, tetapi sementara itu cukup satu kali observasi
terhadap seekor angsa hitam untuk menyangkal pendapat tadi.
Asumsi pokok teorinya adalah satu teori harus diji dengan menghadapkannya pada fakta-fakta
yang dapat menunjukkan ketidakbenarannya, dan Popper menyajikan teori ilmu pengetahuan
baru ini sebagai penolakannya atas positivisme logis yang beranggapan bahwa pengetahuan
ilmiah pada dasarnya tidak lain hanya berupa generalisasi pengalaman atau fakta nyata dengan
menggunakan ilmu pasti dan logika. Dan menurut positivisme logis tugas filsafat ilmu
pengetahuan adalah menanamkan dasar untuk ilmu pengetahuan.
Hal yang dikritik oleh Popper pada Positivisme Logis adalah tentang metode Induksi, ia
berpendapat bahwa Induksi tidak lain hanya khayalan belaka, dan mustahil dapat menghasilkan
pengetahuan ilmiah melalui induksi. Tujuan Ilmu Pengetahuan adalah mengembangkan
pengetahuan ilmiah yang berlaku dan benar, untuk mencapai tujuan tersebut diperlukan logika,
namun jenis penalaran yang dipakai oleh positivisme logis adalah induksi dirasakan tidak tepat
sebab jenis penalaran ini tidak mungkin menghasilkan pengetahuan ilmiah yang benar dan
berlaku, karena elemahan yang bisa terjadi adalah kesalahan dalam penarikan kesimpulan,
dimana dari premis-premis yang dikumpulkan kemungkinan tidak lengkap sehingga kesimpulan
atau generalisasi yang dihasilkan tidak mewakili fakta yang ada. Dan menurutnya agar
pengetahuan itu dapat berlaku dan bernilai benar maka penalaran yang harus dipakai adalah
penalaran deduktif.
Penolakan lainnya adalah tentang Fakta Keras, Popper berpendapat bahwa fakta keras yang
berdiri sendiri dan terpisah dari teori sebenarnya tidak ada, karena fakta keras selalu terkait
dengan teori, yakni berkaitan pula dengan asumsi atau pendugaan tertentu. Dengan demikian
pernyataan pengamatan, yang dipakai sebagai landasan untuk membangun teori dalam
positivisme
logis
tidak
pernah
bisa
dikatakab
benar
secara
mutlak.
Pemikiran Popper Tentang Asas Falsifiabilitas
Menurut Popper teori yang melatar belakangi fakta-fakta pengamatan adalah titik permulaan
ilmu pengetahuan dan teori diciptakan manusia sebagai jawaban atas masalah pengetahuan
tertentu berdasarkan rasionya sehingga teori tidak lain hanyalah pendugaan dan pengiraan dan

tidak pernah benar secara mutlak sehingga perlu dilakukan pengujian yang secermatcermatnya agar diketahuan ketidakbenarannya.
Ilmu pengetahuan hanya dapat berkembang apabila teori yang diciptakannya itu berhasil
ditentukan ketidakbenarannya. Dan Popper mengganti istilah verifikasi dengan falsifikasi.
Keterbukaan untuk diuji atau falsifiabilitas sebagai tolok ukur mempunyai implikasi bahwa ilmu
pengetahuan dapat berkembang dan selalu dapat diperbaiki, dan pengetahuan yang tidak
terbuka untuk diuji tidak ada harapan untuk berkembang, dan sifatnya biasanya dogmatis serta
tidak dapat digolongkan sebagai pengetahuan ilmiah.
Adapun bagan mengenai metode falsifiabilitas yang dikemukankan oleh Popper dapat
ditunjukkan sebagai berikut :
Tahap 1: P1 TT EE P2
Tahap 2: P2 TT1 EE1 P3
Tahap dst..
Keterangan :
P1
:
TT
EE
P2
TT1
:
EE1
:
P3 : Problem baru

Permasalahan/
:
:
:
Tentative
Error

Problem
Tentative
Error
Problem
theory
Elimination

ke
ke

Awal
Theory
Elimination
baru
dua
dua

Dari bagan ini terlihat bahwa ilmu pengetahuan terus berkembang mengikuti alur diatas dan
penjelasan ini akan lebih jelas lagi dengan menyimak penjelasn yang berikut.

Proses Pengembangan Pengetahuan Ilmiah


Popper menekankan bahwa pengalaman merupakan unsur yang paling menentukan dan
pengalaman tidak mengenai sesuatu yang berdiri sendiri yang dapat dipakai sebagai tolok ukur
atau batu uji mutlak buat pembuktian atau embenaran suatu teori atay pernyataan, melainkan

mengenai cara menguji, atau metode penelitian itu sendiri. Jadi Popper mengatakan bahwa
pengalaman sama dengan pengujian dan pengujian sama dengan metode penelitian.
Popper juga mengungkapkan adanya tahap-tahap pengembangan pengetahuan ilmiah, yaitu
tahap 1, Penemuan masalah, ilmu pengetahuan mulai dari satu masalah yang bermula dari
suatu penyimpangan, dan penyimpangan ini mengakibatkan orang terpaksa mempertanyakan
keabsahan perkiraan itu dan ini merupakan masalah pengetahuan. Tahap 2, Pembuatan Teori,
langkah selanjutnya adalah merumuskan suatu Teori sebagai jawabannya yang merupakan
hasil daya cipta pikiran manusia dan sifatnya percobaan atau terkaan. Teori sifatnya lebih
abstrak dari masalah. Tahap 3, Perumusan ramalan atau hipotesis, Teori selanjutnya digunakan
untuk menurunkan ramalan atau hipotesis spesifik secara deduktif dan ini ditujukan kepada
kenyataan empiris tertentu. Tahap 4, Pengujuan ramalan atau hipotesis, selanjutnya hipotesis
diuji melalui pengamatan dan eksperimen tujuannya adalah mengumpulkan keterangan empiris
dan menunjukkan ketidakbenarannya. Tahap 5, Penilaian hasil, tujuan menilai benar tidaknya
suatu teori oleh Popper dinamakan pernyataan dasar yang menggambarkan hasil pengujian.
Pernyataan dasar ini memainkan peranan khusus yaitu pernyataan yang bertentangan dengan
teori, dan ini semacam petunjuk ketidakbenaran potensial dari teori yang ada. Dalam tahap ke 5
ini terdapat dua kemungkinan, pertama, teori ini diterima sehingga tidak berhasil ditunjukkan
ketidakbenarannya dan untuk sementara teori ini dapat dikategorikan sebagai pengetahuan
ilmiah sampai pada suatus aat dapat dirobohkan dengan menyusun suatu pengujian yang lebih
cermat. Kemungkinan kedua, adalah teori ini ditolak sehingga terbukti bahwa
ketidakbenarannya dan konsekuensinya muncul masalah baru dan harus segera dibentuk teori
baru untuk mengatasinya. Tahap 6, Pembuatan Teori Baru, dengan ditolaknya teori lama maka
muncullah masalah baru yang membutuhkan teori baru untuk mengatsinya dan sifat dari teori
ini tetap abstrak dan merupakan perkiraan atau dugaan sehingga merupakan suatu percobaan
yang harus tetap diuji.
Dari penjelasan diatas bahwa untuk mengembangkan pengetahuan ilmiah tentunya manusia
tidka akan lepas dari kegiatan percobaan, kesalahan, terkaan dan penolakan yang silih berganti
dan menurut Popper teori adalah unsur tetap dalam evolusi manusia dan teori pula adalah
unsur rasio dan bagian dari pembawaan manusia.
Menurut Popper filsafat ilmu pengetahuan tidak lain merupakan suatu pengujian untuk
memberikan alasan atau argumentasi untuk memilih teori satu dan membuang teori yang lain
dan bukan mengenai pembenaran suatu teori. Dan apa yang dapat dibuat tidak lain hanya
mengadakan pilihan rasional dalam keputusan tentang suatu pernyataan. Filsafat ilmu
pengetahuan hanya dapat berbicara tentang pengetahuan dalam arti kata produksi, sedangkan
masalah bagaimana pengetahuan itu dihasilkan atau ditemukan tidak bisa menjadi pokok
pembicaraan oleh karena meliputi intuisi kreatif yang tidak terbuka untuk ditelaah.

Apa yang dimaksud oleh Popper Rasionalisme Kritis adalah memberikan kebebasan pada
manusia untuk berfikir penuh kepada manusia. Pikiran manusia merupakan percobaan atau
terkaan belaka. Untuk memperbaiki nasibnya manusia dituntut mengembangkan pengetahuan
ilmiah dengan cara mengungkapkan kesalahan-kesalahan yang tersimpan dalam pikirannya
sendiri. Teori disatu pihak hanyalah alat untuk mencapai pikiran yang lain dan lebih tepat. Teori
pada hakekatnya merupakan jalan menuju fakta-fakta baru. Tugas Ilmuwan menurut Popper
adalah membebaskan manusia dari terkaan dan ia dituntut untuk berkarya dan menciptakan
fakta barusehingga dengan cara ini manusia dapat dibebaskan dari cengkraman kesalahan.

Pandangan Popper tentang 3 Dunia


Popper membedakan tiga dunia:
a. Dunia 1 (world I), yaitu kenyataan fisis dunia.
b. Dunia 2 (world II), yaitu segala kejadian dan kenyataan psikis dalam diri manusia
c. Dunia 3 (World III), yaitu segala hipotesa, hukum, dan teori ciptaan manusia dan hasil kerja
sama antara dunia 1 dan dunia 2 serta seluruh bidang kebudayaan, seni, metafisik, agama, dan
lain sebagainya.
Dunia 3 ini hanya ada selama dihayati, yaitu dalam karya dan penelitian ilmiah, dalam studi
yang sedang berlangsung, membaca buku, dalam ilham yang mengalir dalam diri para
seniman, dan penggemar seni yang mengandaikan adanya suatu kerangka. Sesudah
penghayatan itu, semuanya langsung mengendap dalam bentuk fisik alat-alat ilmiah, bukubuku, karya seni, kitab-kitab suci, dan lain sebagainya, yang semuanya merupakan bagian dari
dunia 1. Dalam pergaulan manusia dengan sisa-sisa dunia 3 dalam dunia 1 itu, dunia 2-lah
yang membuat manusia bisa membangkitkan kembali dan mengembangkan dunia 3 tersebut.
menurut Popper, dunia 3 itu mempunyai kedudukan sendiri. Dunia 3 bedaulat, artinya tidak
semata-mata begitu saja terikat pada dunia 1, tetapi sekaligus tidak terikat juga pada subjek
tertentu. Maksudnya tidak terikat pada dunia 2, yaitu pada orang tertentu, pada suatu
lingkungan masyarakat, maupun pada periode sejarah tertentu.
Poppe ingin menghindari dua kubu objektivisme kasar dan subjektivisme semata-mata.
Terhadap objektivisme kasar, dimana seolah-olah hukum-hukum alam ada dalam kenyataan
fisis bersangkutan, popper menganut indeterminisme (Pandangan indeterminisme memandang
segalanya serba tak pasti. Kebebasan manusia menunjukkan ketidakpastian itu dengan jelas).
Dan terhadap subjektivisme semata-mata, di mana seolah-olah hukum-hukum alam dimiliki
atau dikuasai manusia, Popper memilih pandangan yang mengatakan bahwa manusia bergerak
semakin mendekati kebenaran.

Penutup
Bagi Popper, ilmu dan filsafat menjadi menarik karena ia ingin mempelajari sesuatu tentang
teka-teki dunia tempat kita hidup, dan teka-teki pengetahuan manusia mengenai dunia itu. Dia
percaya bahwa hanya dengan penghidupan kembali minat pada teka-teki inilah yang dapat
menyelamatkan ilmu-ilmu dan filsafat dari spesialisasi sempit dan dari keyakinan kabur pada
keahlian khusus sang pakar dalam pengetahuan dan otoritas pribadinya.

Daftar Bacaan
Tulisan ini bersumber pada literatur berikut ini:

Verhaak, C dan R. Haryono Imam. Cetakan Kedua 1991. Filsafat Ilmu

Pengetahuan. Penerbit. Gramedia: Jakarta.


Popper, Karl R. Cetakan Pertama 2008. Logika Penemuan Ilmiah.

Diterjemahkan oleh M. Mustafied dari Buku Asli The Logic of Scientific


Discovery. Penerbit Pustaka Pelajar: Yogyakarta.
Wibowo, Arif. Published 31 Maret 2008. Karl Raimund Popper. Didownload

pada tanggal 11 Desember 2008 dari http:// staff.blog.ui.edu/ arif51/ 2008/03 /31/
karl-raimund-popper/.
Editor. First published 13 November 1997; substantive revision Mon Oct 9,
2006. Karl Popper. Didownload tanggal 11 Desember 2008. Stanford Encyclopedia
of Philosophy:http://plato.stanford. edu/entries/popper/
Sumber : https://grelovejogja.wordpress.com/2008/12/11/pemikiran-epistemologiskarl-raimund-popper/ diunduh pada tanggal 27 oktober 2015.

BAB I
PENDAHULUAN
A. Latar Belakang Masalah
Karl Popper adalah salah satu kritikus yang paling tajam terhadap gagasan lingkaran
Wina. Karena lingkaran ini dianggap menjadi mesin yang memproduk dan pengembang aliran
neopositivistik, yang pro terhadap metode berfikir induktivistik. Menurutnya metode ini
mengalami kegagalan, karena tidak dapat membedakan antarascience (pengetahuan ilmiah) dan
preude science (pengetahuan semu) atau empirical method and a non empirical method dalam
standar kriteria ilmu maupun sistem antaraempirical science dengan matematics and logic as
metaphysical sehingga ilmu pengetahuan sulit untuk dibedakan, mana yang berdasarkan logika
dan fakta empirik (empirical fact) dan mana pengetahuan berdasarkan pengalaman
pribadi (psychology of knowledge) yang dipengaruhi oleh tradisi, emosi, otoritas dan lain
sebaginya.[1]
Sebagaimana
Karl
Marx,
dengan
teori Sejarahnya,
Freud
dengan
teoriPsychoanalysisnya, Adler dengan teori Individual Analisis serta Newton dengan
teorigravitasi juga memcampuradukkan antara pengetahuan ilmiah dengan pengetahuan semu.
Di samping itu, pada masa Popper hidup, ilmu pengetahuan telah dikuasai oleh Induktivistik,
yaitu aliran yang menjadikan pengamatan dan pengalaman menjadi bukti keobyektifan sebuah
teori tanpa ada yang mengkritisinya seolah-olah kebenaran ilmu menjadi mutlak. Kondisi yang
demikian menjadi kegelisahan bagi Popper untuk mengkontruksi cara berfikir induktif menjadi
deduktif. Ia melihat beberapa titik kelemahan metode Induktif. Pertama, Induktifis menarik
hukum-hukum (statemen singular) menjadi bersifat umum (general) pada ilmu pengetahuan
yang bersumber dari pengalaman dan observasi serta fakta-fakta empirik. Kedua, Teori atau
pernyataan-pernyataan (statemen) ilmu pengetahuan dari hasil observasi dan pengalaman tidak
bersifat ilmiah karena belum diuji (testable) dan diuji kepalsuan (falsifiability) sehingga banyak
yang menyesatkan, baik dalam perspektif sejarah (historis), kejiwaan (psychology), Teori fisika
(Newton) maupun ilmu sosial.[2]
Di sinilah problem fundamental yang dihadapi oleh Karl Popper pada zamannya. Sebagai
antitesa atas kesalahan para penganut induktifis, maka Popper menawarkan sebuah gagasan
dengan cara uji kesalahan (falsifiable) dan uji logika realita (testability). Dengan harapan sebuah
teori benar-benar dari hasil uji kesahihan yang empirik serta bebas dari prasangka, ramalan,
prediksi yang bersifat personal.
Berdasarkan paparan problema yang dihadapi oleh Popper, penulis akan mendeskripsikan
lebih mendalam lagi tentang pemikiran-pemikiran Popper terhadap pandangannya mengenai
metodelogi ilmu ini dalam bab selanjutnya.
B.
1.
2.
3.

Rumusan Masalah
Bagaimana riwayat hidup Karl Raimund Popper?
Apa saja pokok pemikiran Karl Raimund Popper?
Bagaimana Refleksi atas Pemikiran Karl Raimund Popper?

BAB II
PEMBAHASAN
A.

Riwayat Hidup Karl Raimund Popper.


Karl Raimund Popper lahir di Wina pada tanggal 28 Juli tahun 1902.[3] Ayahnya Dr.
Simon Sigmund Carl Popper seorang pengacara yang sangat minat pada Filsafat.
Perpustakaannya luas mencakup kumpulan-kumpulan karya filsuf besar dan karya-karya
mengenai problem sosial. Agaknya Karl Popper mewarisi minatnya pada filsafat dan problem
sosial dari ayahnya. Orang tuanya keturunan Yahudi, tetapi tidak lama setelah menikah mereka
berdua dibabtis dalam gereja Protestan. Ayahnya adalah sarjana hukum dan pengacara yang
mencintai buku, dan musik. Pada umur 16 tahun Popper meninggalkan sekolahnya
realgymnasium dengan alasan bahwa pelajaran-pelajarannya sangat membosankan. Lalu ia
menjadi pendengar bebas pada
Universitas Wina dan baru tahun 1922 ia diterima sebagai mahasiswa.
Suatu dalil bahwa tindakan manusia didorong oleh perasan semacam inferioritas.
Misalnya kasus seorang laki-laki tidak mau menolong seorang anak yang terseret oleh arus,
karena takut dan karena ia memutuskan tidak menolong. Keputusan tidak menolong ini
dibenarkan oleh Adler, karena laki-laki tersebut telah mengatasi perasaan inferioritas
mendemontrasikan bahwa ia mempunyai kemauan keras untuk tetap berdiri di tepi sungai.
Ketika umur 17 tahun, selama beberapa tahun ia menganut komunisme, tetapi tidak lama
kemudian ia meninggalkan aliran politik ini, karena ia yakin bahwa penganutnya menerima
begitu saja suatu dokmatisme yang tidak kritis dan ia menjadi anti Marxis untuk seumur hidup.
Perjumpaannya dengan Marxisme diakui olehnya sebagai satu diantara peristiwa penting dalam
perkembangan intelektualnya. Dalam outobiografinya bercerita bahwa ia mengikuti aneka
macam kuliah, tentang sejarah, kesusasteraan, psikologi, filsafat bahkan tentang ilmu
kedokteran.
Pada tahun yang sama tahun 1919, Popper mendengar apa yang dikerjakan oleh Einstein
dan menurut pengakuannya merupakan suatu pengaruh dominan atas pemikirannya, bahkan
dalam jangka panjang pengaruhnya sangat berarti. Dalam suatu waktu Popper mendengarkan
ceramah Einstein di Wina. Ia terpukau oleh sikap Einsten terhadap teorinya yang tidak dapat
dipertahankan kalau gagal dalam tes tertentu. Ia mencari eksperimen-eksperimen yang
kesesuaiannya dengan ramalan-ramalannya belum berarti meneguhkan teorinya.
Sedangkan ketidaksesuaian antara teori dengan eksperimen akan menentukan apakah
teorinya bisa dipertahankan atau tidak. Sikap ini menurutnya berlainan dengan sikap Marxis
yang dogmatis dan selalu mencari pembenaran-pembenaran (verifikasi) terhadap teori
kesayangannya. Sampai pada kesimpulan bahwa sikap ilmiah adalah sikap kritis, yang tidak
mencari pembenaran-pembenaran melainkan tes yang serius, pengujian yang dapat menyangkal
teori yang diujinya, meskipun tak pernah dapat meneguhkannya.

Pada tahun 1928 ia meraih gelar Doktor Filsafat dengan suatu disertasi
tentang ZurMethodenfrage der Denkp Psychologei (Masalah Metode dalam Psikologi
Pemikiran), suatu karangan yang tidak diterbitkan. Pada tahun berikutnya Popper memperoleh
gelar Diploma pada bidang Matematika dan ilmu pengetahuan Alam. Dalam catatan sejarah,
Popper tidak pernah menjadi anggota Lingkaran Wina, tetapi ia mengenal anggota Lingkaran
Wina yang bekerja di universitas dan pada beberapa di antara mereka, ia mempunyai hubungan
khusus dengan anggota Lingkaran Wina di antaranya Viktor Kraft, Herert Feigl. Dalam usaha
studinya, Popper belajar banyak dari Karl Buhler, Profesor Psychologi di Universitas Wina yang
paling penting dalam perkembangannya di masa mendatang ialah teori Buhler tentang tiga
tingkatan bahasa yaitu fungsi ekspresi, fungsi stimulasi dan fungsi deskriptif. Menurut Buhler
fungsi pertama selalu hadir pada bahasa manusia maupun binatang, sementara fungsi yang ketiga
khas pada bahasa manusia. Popper sendiri kelak menambahkan fungsi yang keempat yaitu fungsi
argumentatif, yang dianggap penting karena merupakan basis pemikiran krisis. Pada tahun kedua
di Institut Pedagogis, Popper berjumpa dengan Prof Heinrich Gomperz dan banyak dimanfaatkan
untuk berdiskusi dengan problem psikologi pengetahuan atau psikologi penemuan. Hasil
pertemuannya dengan Prof. Heinrich melahirkan keyakinan Popper bahwa data indrawi, data
atau kesan sederhana itu semua khayalan yang berdasarkan usaha keliru yang mengalihkan
Atomisme dari fisika ke psikologi.
Sesudah perang dunia II selesai, Popper diangkat sebagai dosen di London School
of Economics, sebuah institut di bawah naungan Universitas London. Di sini ia mempersiapkan
suatu buku yang menguraikan perkembangan pemikirannya sejak bukuThe Logic of
Scientific Discovery, di antara buku yang diterbitkan antara lain Realism and Aim of Science:
Quantum Theory and the Schism in Physics The Open Sociaty and Its Enemies, dan The Poverty
of Historicism yang memberi analisis dan kritik Popper atas pemikiran tiga tokoh yang menurut
dia termasuk historisisme, yaitu Plato, Hegel, dan Marx.
Pada tahun 1977 Popper banyak memberikan ceramah dan kuliah tamu di Eropa,
Amerika, Jepang dan Australia. Ia banyak mengenali secara pribadi ahli-ahli kimia modern yang
besar seperti, Albert Einstein, Neil Bohr, Edwin Schrodinger. Popper meninggal dunia pada
tanggal 17 September 1994 di Croydon, London Selatan, dalam usia 92 tahun akibat komplikasi
penyakit kanker. Menjelang akhir hayatnya beberapa karyanya diterbitkan dengan bantuan orang
lain. Buku yang paling penting dari periode terakhir ini adalah A World of Propensities (1999) di
mana ia menguraikan pemikiran definitifnya tentang probabilitas dalam logika dan Ilmu
Pengetahuan.[4]

B.

Pokok Pemikiran Karl Raimund Popper


Menurut Popper, metode induktif meninggalkan banyak masalah dalam ilmu
pengetahuan, masalah itu apakah menyangkut proses cara memperoleh pengetahuan, ukuran
validitas kebenaran, hasil pengetahuannya bersifat subyektif dan lain sebagainya.
Pertama, dalam proses penyelidikan misalnya, kaum induktivis menggunakan observasi
dan pengalaman sebagai dasar satu-satunya dalam membuat pernyataan tunggal (singular
statemen) dan kemudian hasil pengamatan dan pengalaman pribadi yang belum teruji dapat
ditarik sebuah kesimpulan berupa teori, ironinya kebenarannya bersiftat general (berlaku secara
umum).Teori-teori ilmiah ditarik dengan cara ketat dari fakta-fakta pengalaman yang diperoleh

lewat observasi dan eksperimen. Ilmu didasarkan atas apa yang dapat dilihat, didengar, diraba,
dan sebagainya. Pengetahuan akan diterima bila berasal dari sense, expretion, (sensasional
impresion, perseptian visual or auditory. Prinsip di atas dipertanyakan oleh Popper terutama
volume eksperimen, berapa banyak observasi yang diperlukan untuk memenuhi? Haruslah
sebatang logam tertentu dipanasi 10 kali, 100 kali atau seberapa banyak kali sebelum kita dapat
menyimpulkan logam selalu memuai bila dipanaskan.
Di sini sebenarnya tingkat kesulitan yang dihadapi oleh kelompok Induktifis, bila mereka
mensyaratkan observasi dan eksperimen jadi acuan ilmu pengetahuan. Sanggahnya, penarikan
kesimpulan ini sangat berbahaya, sebagaimana Karl Maxs telah membuat teori sejarah dengan
ramalan-ramalan/prediksi yang salah tentang masyarakat kelas. Juga contoh lain mereka punya
anggapan bahwa semua angsa berwarna putih tanpa memperdulikan angsa yang berwarna lain,
Kertas Litmus berubah menjadi merah bila dicelupkan ke dalam cairan tanpa merinci cairan apa
yang dapat merubah.[5]
Kedua , tugas bagi ilmu pengetahuan adalah merumuskan hukum-hukum yang bersifat
umum dan mutlak. Jika mencari contoh yang sederhana: pernyataan bahwa logam yang
dipanaskan akan memuai merupakan hukum bagimana hukum ilmiah serupa itu sampai
terbentuk, pasti jawabanya bahwa hukum itu dihasilkan oleh suatu proses induktif. Artinya dari
sejumlah kasus yang cukup besar (bermacam-macam logam yang memuai setelah dipanaskan),
disimpulkan bahwa dalam keadaan yang tertentu gejala yang sama dan dimana-mana akan
terjadi. Pendek kata metode ini dijalankan dengan observasi dan eksperimen serta berdasarkan
fakta-fakta. Teori ini mendapatkan catatan dari David Home. Ia menyatakan bahwa dari sejumlah
fakta berapapun besar jumlahnya, secara logis tidak dapat disimpulkan suatu kebenaran umum.
Tidak ada keharusan logis bahwa fakta-fakta yang sampai sekarang selalu berlangsung dengan
cara yang sama. Dengan demikian bahwa induksi tidak dapat dibenarkan berdasarkan logika.
Ketiga, Induktifis mengunakan ilmu bantu lain yaitu Logika dan Probabilitas
(kemungkinan) selain dasar observasi dan eksperiman untuk mendapatkan justifikasi. Bantuan
logika ini dilakukan untuk memperkokoh argumen logis dari cara penarikan kesimpulan dari
pernyataan-pernyataan yang mereka buat. Misalnya argument yang logis yang valid ditandai
dengan fakta bahwa apabila premis argumen itu benar, maka kesimpulannya benar, tetapi
ternyata tidak demikian. Argumen-argumen induktif tidak merupakan argumen-argumen yang
valid secara logis, masalahnya bukanlah apabila premis suatu penyimpulan induktif benar, maka
kesimpulannya mesti benar. Bisa saja penyimpulan terjadi penyimpulan argumen induksi salah,
sedangkan premisnya benar dan ini terjadi tanpa harus merupakan kontradiksi. Misalnya tentang
pernyataan semua gagak adalah hitam. karena sampai hari ini saya telah melakukan observasi
terhadap sejumlah besar burung gagak pada variasi yang luas dan telah menyaksikan mereka
semua hitam dan berdasarkan fakta. Ini adalah satu penyimpulan induktif yang valid dan
sempurna.
Menurut Popper secara premis itu benar, akan tetapi secara logis itu salah, sebab tidak
ada jaminan logis bahwa gagak yang saya observasi kemudian tidak ada yang berwana coklat
atau merah jambu. Kalau hal ini terbukti mana kesimpulan; semua gagak hitam itu salah.
Jadi penyimpulan induktif awal yang jelas valid karena memenuhi kriteria yang telah
dispesifikasi oleh prinsip induksi, dapat membawa ke satu kesimpulan yang salah, sekalipun
fakta menunjukkan bahwa semua premisnya benar. Prinsip Probabilitas dipinjam oleh induktif
untuk mencari alternatif jawaban jika kebenaran atas bukti tunggal dipersalahkan. Mereka
menyatakan bahwa pengetahuan bukanlah pengetahuan yang telah dibuktikan, melainkan
pengetahuan yang probabel benar, semakin besar jumlah observasi yang membentuk dasar suatu

induksi dan semakin variasi kondisi dimana observasi dilakukan, maka semakin besar pula
probalilitas hasil generalisasi itu benar. Mungkin dapat diterima secara intuitif bahwa waktu
dukungan observasi terhadap hukum universal meningkat, maka probabilitas kebenaran hukum
itupun meningkat, namun intuisi ini tidak akan dapat diuji.
Berbeda dengan cara induktif, falsifikasi menggunakan cara kerja ilmu pengetahuan tidak
hanya menggunakan observasi dan pengalaman sebagai dasar di dalam menentukan hukumhukum ilmu pengetahuan (generalisasi), akan tetapi masih ada prasyarat lain yaitu uji kesalahan
(Falsifiable) melalui uji kesahihan (testable). Menurutnya Falsifikasi adalah untuk mematahkan
sesuatu keadaan yang salah, tidak benar. Suatu teori dapat dikatakan salah, jika meminta bantuan
pada hasil observasi dan eksperimen tanpa percobaan dan kesalahan (Trial and Error) melalui
dugaan dan penolakan hanya teori yang paling cocok dapat dipertahankan untuk menghindarkan
kesalahan-kesalahan yang pernah dilakukan oleh Neopositivisme, Popper membuat sistem kerja
ilmu dengan teori Falsifikasi.[6]
Pertama, Suatu pengetahuan empirik/ilmiah dinyatakan benar, bila sistem tersebut dapat
diuji (Falsifiabilitas) dan bukan veriabilitas. Contohnya Esok akan hujan, karena secara empiris
dapat disangkal. Popper mengusulkan tentang Falsifiabilitas sebagai kriteria demarkasi
didasarkan pada suatu asimetri antara verifialitas dan falsifiabilitas, sebab pernyataan universal
tidak dapat berasal dari pernyataan tunggal, sebaliknya dapat dikontradiksikan oleh penyataan
singular.
Kedua, Secara Metodologi Falsifikasi harus meragukan suatu pengetahuan yang mungkin
ada kesalahan dalam mengamati misalnya, bukan angsa yang diamati, melainkan seekor burung.
Maka untuk refutasi (penyangkalan) secara sistematis, maka teori harus dirumuskan secara jelas
sehingga membuka kemungkinan untuk penyangkalan yang mungkin diajukan. Sebaliknya suatu
teori tidak ditinggal dengan gampang, sebab ini mengidentikkan sikap yang tidak kritis terhadap
tes, dan dengan begitu berarti teori sendiri tidak diuji sekeras seperti seharusnya.
Ketiga, suatu hepotesis atau sistem hipotesis mau diakui memiliki status sebagai hukum
atau teori ilmiah. Apabila ia akan menjadi bagian dari ilmu, maka suatu hepotesa harus falsifabel,
sebelum melangkah lebih jauh. Contoh soal: semua zat memuai bila dipanasi. Pernyataan itu
falsifiabel, ia akan menjadi keliru bila ada keterangan observasi menunjukkan fakta ada suatu zat
x tidak memuai ketika dipanasi. Jadi suatu hipotesa adalah falsifiabel apabila terdapat suatu
keterangan observasi atau suatu perangkat keterangan observasi yang tidak konsisten dengannya,
yakni apabila ia dinyatakan sebagai benar, maka ia akan mengfalsifikasi isi hipotesa itu.
Keempat, Teori harus dinyatakan dengan jelas dan cermat dan jelas. Apabila suatu teori
diajukan sedemikian samar sehingga tidak jelas apa yang sebenarnya yang diinginkan, maka
bilamana diuji dengan observasi atau eksperimen lain, ia dapat diinterpretasikan demikian rupa
sehingga selalu konsisten dengan hasil pengujian. Dengan cara demikian, ia dapat dibela dalam
menghadapi falsifikasi. Situasi yang serupa terdapat hubungan dengan ketelitian, makin teliti
suatu teori dirumuskan, semakin ia menjadi falsifiabel. Apabila kita menerima bahwa makin
falsifiabel suatu teori, makin baik. Contoh misalnya planet-planet bergerak dalam bentuk ellip
mengitari matahari adalah lebih teliti dari pada rumusan planet-planet bergerak dalam bentuk
lingkaran tali bulat mengitari matahari.[7]
Kelima, Dugaan-dugaan spekulasi yang berani. Rahasia-rahasia ilmu akan berkembang
maju dengan bantuan kreatifitas dan mendasar. Semakin besar jumlah teori pendugaan
dikonfrontasikan dengan realitas, semakin besar jumlah kesempatan kemajuan yang penting
dalam ilmu. Popper memandang ilmu sebagai suatu perangkai hipotesa yang dikemukakan
secara coba-coba dengan tujuan melukiskan secara akurat. Suatu tuntutan bahwa teori harus

tinggi falsifiabilitasnya, teori harus dinyatakan dengan jelas dan cermat. Apabila suatu teori
diajukan sedemikian samar hingga tidak jelas apa sebenarnya yang ingin dinyatakan, maka bila
mana diuji dengan observasi atau eksperimen lain, ia dapat diinterpretasikan demikian rupa
hingga konsisten dengan hasil pengujian.
Selain prasyarat kriteria Falsifikasi Popper juga menggagas suatu metode praktis untuk
memecahkan masalah antara lain: Pertama, teori Varian Trial and Error. Yaitu suatu metode
percobaan dan pembuangan kesalahan. Metode ini kata Popper dipakai dalam perkembangan
pikiran manusia dan terutama perkembangan filsafat, bisa digambarkan sebagai varian istimewa.
Cara kerjanya teori diajukan secara tentatif dan dicobakan. Bila hasil suatu tes menunjukkan
bahwa teori itu salah maka teori itu dibuang. Metode percobaan dan pembuangan kesalahan pada
hakekatnya adalah metoda penyingkiran. Keberhasilan terutama tergantung pada tiga syarat:
yaitu bahwa banyak teori yang diajukan bervariasi serta dilakukan tes yang serius. Adapun
skema metode problem solving sebagi berikut :
P1 - TS - EE - P2

EE
P2

Uraiannya sebagai berikut:


P1
: Problem awal
TS
: Solusi tentatif, teori yang dicoba diajukan.
: Error elimination atau evaluasi dengan tujuan menemukan dan membuang kesalahan.
: Situasi baru yang diakibatkan oleh adanya evaluasi kritis atas solusi alternative dan tentatif
terhadap problema awal, sehingga timbul problem baru.
Skema tersebut di atas menggambarkan suatu proses yang dasarnya bersifat umpan balik.
Jadi bersifat tidak siklis sebab P2 selalu lain dari pada P1. Bila gagal memecahkan masalah, teori
yang dicoba itu mengajukan sesuatu yang baru kepada kita tentang dimana letak kesulitan dan
bagaimana syarat-syarat yang harus dipenuhi dan karenanya merupakan situasi problem. Proses
yang digambarkan itu juga bersifat dialektis, dalam arti Hegelian atau Marxian. Sebab
metode problem solving memandang kontradiksi sebagai sesuatu yang tak boleh diterima.
Menerima kontradiksi menurut Popper, menyebabkan kritik berhenti berfungsi dan dengan
begitu membawa kejatuhan ilmu.
Formula metode problem solving seperti diuraikan di atas mengandung beberapa unsur
gagasan Popper yang terpenting dan oleh Popper metode ini sering digunakan untuk memberikan
keterangan di banyak bidang. Bahkan boleh dikatakan teori tentang problem solving menjelujuri
seluruh karya Popper, baik karya dalam metodologis maupun karya dalam metafisis. Baik ketika
aktif berjibaku dengan kelompok lingkaran Wina maupun ketika berinteraksi dengan para ilmuan
di Amerika, Jepang, serta Australia. Hal ini sangat sesuai dengan sikap kritis yang dikembangkan
oleh Popper pada setiap ia berinteraksi dengan karya-karya ilmu pengetahuan sebagai
pertanggung jawaban sebagi ilmuan kritis yang selalu ingin menguji dan diuji.[8]
C. Refleksi atas Pemikiran Karl Raimund Popper.
Bila memperhatikan cara kerja yang begitu teliti dan cermatnya Popper, serta sikap
keterbukaannya (open anded) terhadap dunia keilmuan, maka hal yang patut kita tarik benang

merahnya ialah bahwa ilmu pengetahuan tidak bersifat mutlak (close) tidak kebal kritik
(Truth Claim) tetapi bersifat relatif dan partikularis dengan asumsi akan ada pemikiran baru yang
akan merevisi atau megklasifikasi setiap hasil pernyataan serta simpulan pemikiran ilmu
pengetahuan. Salah satu karakter ilmu pengetahuan adalah menerima pengetahuan lain sebagai
alat penguji atas kelemahan prosedur, metode atau hasil temuan manusia.
Istilah Arkoun on going`proces serta on going formation), termasuk juga produk
pemikiran Islam (teks klasik) tidak bebas kritik, tidak berlaku sepanjang zaman dan terbuka
untuk dikaji (condition sine qua non) bila memungkinkan dilakukan dekontruksi terhadap
pemikiran-pemikiran yang dianggap mapan. Bahwa ilmu pengetahuan merupakan produk
manusia dari hasil trial and error (percobaan dan salah) yang mengikuti perkembangan
peradaban manusia, maka tidak ada istilah statis, jumud, stagnan atau pintu ijtihad telah tertutup.
Pintu ijtihad pemikiran terbuka lebar, senyampang para ilmuan bersemangat untuk melaksanakan
riset, maka akan terlahir dinamika baru yang bersifat konstruktif.
Tidak ada otoritas dalam ilmu pengetahuan, sebagai konsekuensinya ilmu pengetahuan
terbebas dari kepentingan, terbebas dari nilai, ramalan, pretensi dari manapun yang dapat
merusak independensi imajinasi dan ekspresi para ilmuan atau lembaga keilmuan. Apalagi upaya
untuk mencampuradukkan antara Preudo Sience ke dalamScience.[9]

BAB III
PENUTUP

1.

2.

3.
4.

Simpulan:
Karl Raimund Popper adalah seorang filsuf kontemporer yang sangat berpengaruh
terhadap bidang sains dan politik. Dalam pemikirannya mengenai prinsip metodologi ilmu yaitu
dia menolak metode induksi yang kenyataannya bersifat valid, sehingga dia mengeluarkan
prinsip falsifikasi (pembenaran dari metode induksi) yaitu:
Suatu pengetahuan empirik/ilmiah dinyatakan benar, bila sistem tersebut dapat diuji
(Falsifiabilitas) dan bukan veriabilitas. Menurut Popper Falsifiabilitas adalah kriteria demarkasi
yang didasarkan pada suatu asimetri antara verifialitas dan falsifiabilitas, sebab pernyataan
universal tidak dapat berasal dari pernyataan tunggal, sebaliknya dapat dikontradiksikan oleh
penyataan singular.
Metodologi Falsifikasi harus meragukan suatu pengetahuan yang mungkin ada kesalahan dalam
mengamati. Maka dari itu untuk refutasi (penyangkalan) secara sistematis, maka teori harus
dirumuskan secara jelas sehingga membuka kemungkinan untuk penyangkalan yang mungkin
diajukan.
Suatu hepotesis atau sistem hipotesis mau diakui memiliki status sebagai hukum atau teori
ilmiah. Apabila ia akan menjadi bagian dari ilmu, maka suatu hepotesa harus falsifabel, sebelum
melangkah lebih jauh.
Teori harus dinyatakan dengan jelas dan cermat. Apabila suatu teori diajukan sedemikian samar
sehingga tidak jelas apa yang sebenarnya yang diinginkan, maka bilamana diuji dengan
observasi atau eksperimen lain, ia dapat diinterpretasikan demikian rupa sehingga selalu
konsisten dengan hasil pengujian. Dengan cara demikian, ia dapat dibela dalam menghadapi
falsifikasi. Situasi yang serupa terdapat hubungan dengan ketelitian, makin teliti suatu teori

dirumuskan, semakin ia menjadi falsifiabel. Apabila kita menerima bahwa makin falsifiabel
suatu teori, makin baik.
5. Dugaan-dugaan spekulasi yang berani. Rahasia-rahasia ilmu akan berkembang maju dengan
bantuan kreatifitas dan mendasar. Semakin besar jumlah teori pendugaan dikonfrontasikan
dengan realitas, semakin besar jumlah kesempatan kemajuan yang penting dalam ilmu.

DAFTAR PUSTAKA
Alfons Taryadi, Epistemologi Pemecahan Masalah Menurut Karl Popper Jakarta: Gramedia, 1991.
Ali Maksum, Pengantar Filsafat, Yogyakarta: Ar-Ruzz Media, 2011.
Amin Muzzakir, http://www.politik.lipi.go.id/in/kolom/jender-and-politik/590-karl-popper-dan-masadepan-masyarakat-terbuka-.html diakses Sabtu 10 November 2013.
C. Verhaak & R. Haryono Imam, Filsafat Ilmu Pengetahuan, Jakarta: PT. Gramedia Pustaka Utama,
1995.
Rizal Mustansyir & Misnal Munir, Filsafat Ilmu, Yogyakarta: Pustaka Pelajar, 2003.

[1]

Alfons Taryadi, Epistemologi Pemecahan Masalah Menurut Karl Popper (Jakarta: Gramedia, 1991), h.

16

[2] Ibid
[3] Ali Maksum, Pengantar Filsafat, (Yogyakarta: Ar-Ruzz Media, 2011), h. 220
[4] C. Verhaak & R. Haryono Imam, Filsafat Ilmu Pengetahuan, (Jakarta: PT. Gramedia Pustaka Utama,
1995), h. 156
[5] Rizal Mustansyir & Misnal Munir, Filsafat Ilmu, (Yogyakarta: Pustaka Pelajar, 2003), h. 118
[6] Alfons Taryadi, Epistemologi Pemecahan Masalah Menurut Karl Popper, op. cit., h. 18.
[7] Ibid, h. 19
[8] Ibid, h. 20
[9] Amin Muzzakir, http://www.politik.lipi.go.id/in/kolom/jender-and-politik/590-karl-popper-dan-masa-depanmasyarakat-terbuka-.html diakses Sabtu 10 November 2013, jam 17:00 Wib.

Sumber : http://wardahcheche.blogspot.co.id/2014/04/pemikiran-karl-raimundpopper.html diunduh pada tanggal 27 oktober 2015.

Karl Popper dan Masa Depan Masyarakat Terbuka

Pendahuluan
Karl Popper adalah nama yang cukup familiar tidak hanya di kalangan filsuf tetapi juga di kalangan masyarakat yang lebih luas. Dua
bukunya, The Open Society and its Enemies dan The Poverty of Historicsm,1 telah diterjemahkan ke dalam berbagai bahasa,
termasuk Bahasa Indonesia. Dalam dua karyanya itu Popper mengingatkan bahayanya sikap tertutup terhadap
ilmu (science) karena itu akan menjadi dasar bagi ideologi totaliter yang membahayakan kebebasan umat manusia. Popper,
sebaliknya, mengajukan pentingnya sikap terbuka terhadapnya, yaitu sikap yang siap dengan kemungkinan bahwa ia bisa benar
dan/atau bisa salah. Gagasan yang kemudian disebut prinsip falsifikasi tersebut sentral dalam pemikiran Popper. Dengan tegas
Popper menyatakan bahwa problem demarkasi antara apa yang disebutnya ilmu dan ilmu-semu berpangkal pada pertanyaan
apakah ia bisa dibuktikan salah atau tidak.2

Pada bagian awal, tulisan ini akan mendiskusikan pandangan Popper pada ranah epistemologi dan ontologi. Pada bagian
seterusnya, kita akan melihat bagaimana itu digunakan oleh Popper untuk memahami persoalan sosial dan politik, berpusat pada
apa yang dia sebut sebagai masyarakat terbuka. Sebagai ilustrasi, Popper pernah mengemukakan contoh kasus yang sangat
terkenal tentang angsa putih dan angsa hitam. Sekian lama orang Eropa berkesimpulan bahwa semua angsa adalah putih. Popper
menolak kesimpulan itu. Dia mengatakan bahwa dengan observasi terhadap angsa-angsa putih, betapapun besar jumlahnya,
orang tidak dapat sampai pada kesimpulan bahwa semua angsa berwarna putih, tetapi sementara itu cukup satu kali observasi
terhadap seekor angsa hitam untuk menyangkal pendapat tadi.3 Pandangan Popper jelas menyangkal prinsip verifikasi yang
dikenal dalam tradisi empirisme, namun dia juga tidak setuju dengan rasionalisme Cartesian. Lebih lanjut Popper mengembangkan
apa yang disebutnya sebagai rasionalisme kritis. Sebelum membahas tema-tema tersebut itu lanjut, perlu kiranya disampaikan
deskripsi tentang kehidupan Popper secara singkat.

Siapakah Popper?
Karl Raimund Popper lahir di Himmelhof, sebuah distrik di Wina, Austria, pada tanggal 28 Juli 1902. Ayahnya adalah seorang
pengacara yang menaruh minat besar pada filsafat dan ilmu-ilmu sosial, sementara ibunya adalah seorang yang sangat mencintai
musik. Di perpustakaan pribadi ayahnya tersimpan koleksi buku-buku yang cukup banyak di bidang itu. Dia tumbuh di lingkungan
yang decidedly bookish. Sejak kecil ketertarikan popper terhadap dunia intelektual sudah terbentuk. Pada usia 16 tahun Popper
meninggalkan sekolah realgymnasium-nya karena menurutnya pelajaran-pelajaran di sana terlalu membosankan. Dia kemudian
menjadi pendengar bebas di Universitas Wina dan baru pada usia 20 tahun diterima resmi menjadi mahasiswa di universitas itu. 4

Ketika Popper studi di universitas, Eropa sedang goncang. Kemaharajaan Austria-Hongaria runtuh akibat kekalahannya dalam
Perang Dunia I. Kondisi perekonomian memburuk secara drastis, sehingga kelaparan dan kerusuhan terjadi di seluruh penjuru
negeri. Pada saat itu Popper sempat masuk perkumpulan pelajar sosialis dan seorang pengagum Marxisme. Akan tetapi
kekaguman Popper terhadap Marxisme pudar setelah menyaksikan kebrutalan yang dilakukan oleh kelompok komunis terhadap
lawan ideologisnya. Rangkaian peristiwa tersebut cukup membekas pada Popper, sehingga sejak itu topik tentang kebebasan
menjadi sentral dalam filsafat sosial politiknya. Dalam pandangan Popper, sosialisme negara hanyalah opresi dan tidak bisa
direkonsiliasi dengan kebebasan; bahwa kebebasan lebih penting daripada persamaan karena jika kebebasan hilang, tidak akan
ada persamaan bahkan di antara orang yang tak bebas.5
Pada tahun 1937 Popper dan istrinya pergi meninggalkan Austria untuk menghindari fasisme Nazi. Perlu diketahui, meskipun
dibaptis di gereja Protestan, Popper adalah keturunan Yahudi. Popper pergi ke Selandia Baru melalui Inggris. Di tempat barunya dia
mengajar filsafat di Canterbury University College, Christchurch. Di sana dia menyelesaikan buku Open Society and Its Enemies
dan the Poverty of Historicism. Di buku pertama dia mengkritisi pemikiran Plato, Hegel, dan Marx. Di buku kedua dia menujukkan

bahwa ketiga pemikiran tersebut pada dasarnya adalah ramalan sejarah, dia menyebutnya sebagai historisisme, yang berubah
menjadi ideologi. Dalam praktiknya, ideologi cenderung bersifat totaliter karena ia tidak bisa/mau dikritisi dan, apalagi, disalahkan.
Setelah Perang Dumia II berakhir, Popper pindah ke Inggris untuk mengajar di London School of Economics (LSE). Di sana dia
terus mengembangkan pemikirannya, termasuk menerjemahkan tulisan-tulisannya dalam bahasa Jerman ke dalam bahasa Inggris.
Sejak itu pengaruh Popper meluas cepat. Setelah resmi pensiun pada 1969, Popper tetap aktif menulis dan memberikan kuliah,
termasuk beberapa kali kunjungan ke berbagai negara, sampai meninggal pada 1994. Oleh para pengagumnya, gagasan Popper
tentang masyarakat terbuka terus menerus dikembangkan dan dijadikan jargon cita-cita politik dan ekonomi liberal. George Soros,
bekas muridnya di LSE, mendirikan The Open Society Foundation yang bertujuan untuk opening up closed societies, making open
societies more viable, and promoting a critical mode of thinking. 6 Dengan dana yang dimilikinya, yayasan ini aktif mempromasikan
nilai-nilai yang sedikit banyak mengacu pada pemikiran Popper ke seluruh dunia. Di Indonesia, baru-baru ini majalah Prisma yang
diterbitkan oleh LP3ES (Lembaga Penelitian, Pendidikan, dan Pengembangan Ekonomi dan Sosial) bekerjasama dengan Yayasan
Tifa mengangkat tema Masyarakat Terbuka Indonesia: Pesona atau Persoalan?. Di sana ada tulisan menarik dari Karlina Supelli
yang membahas problematik gagasan masyarakat terbuka Popper jika diimplementasikan di Indonesia. 7 Di bagian akhir kita akan
kembali ke topik ini, namun sebelumnya kita akan mendiskusikan terlebih dahulu pemikiran Popper pada ranah epistemologi dan
ontologi.

Dasar-dasar Pemikiran Popper


Epistemologi adalah cabang filsafat yang membicarakan ruang lingkup dan cara memperoleh pengetahuan. Sejak masa Yunani
Kuno diskusi tentang epistemologi telah dimunculkan, terutama oleh kaum Sophis yang mengajukan skeptisisme. Akan tetapi,
terutama pada Plato-lah epistemologi menemukan rumusannya yang lebih spesifik. Plato mengajukan pertanyaan-pertanyaan
berikut: Apa pengetahuan itu? Di mana pengetahuan biasanya diperoleh? Di antara apa yang biasa kita anggap kita ketahui berapa
yang benar-benar pengetahuan? Dapatkah indera menghasilan pengetahuan? Bisakah akal memberikan pengetahuan? Apa
hubungan antara pengetahuan dan kepercayaan yang benar?8
Pada periode modern, Descartes mengembangkan apa yang disebut rasionalisme. Pandangan inidikenal sebagai pandangan
Cartesianmendasarkan diri pada prosedur tertentu dari akal atau rasio. Descartes percaya bahwa pengetahuan rasional bersifat
mutlak dan berlaku universal. Sebagai reaksi terhadap pandangan Cartesian ini muncul empirisme. Tokoh utamanya adalah John
Locke. Dia menyatakan bahwa pengetahuan yang benar didapatkan dari pengamatan inderawi. Akan tetapi, David Hume, seorang
yang sebenarnya beraliran empiris, meragukan kemampuan inderawi untuk benar-benar menjangkau semesta pengetahuan. Hume
lebih lanjut menyangsikan apakah pengetahuan yang partikular, yang disusun secara induktif, bisa menjadi pengetahuan yang
universal.
Immanuel Kant adalah filsuf yang berusaha mengatasi rasionalisme dan empirisme. Dalam banyak hal, Popper menyetujui
pandangan Kant, termasuk pandangannya tentang pengetahuan apriori, yaitu pengetahuan yang ada sebelum pengalaman. 9 Akan
tetapi, Popper tidak setuju dengan Kant mengenai keabsahan pengetahuan apriori. Bagi Popper, teori pengetahuan adalah
penemuan kita yang bersifat konjektur, sehingga ia bisa salah kalau dikemudian hari ditemukan pengetahuan yang lebih
meyakinkan. Mengikuti Darwin, Popper melihat teori pengetahuan atau epistemologi secara evolutif dan saling berkompetisi. Tidak
ada epistemologi yang tunggal. Oleh karena itu, teori pengetahuan tidak bisa menjadi sebuah dogma yang berlaku sepanjang
sejarah, melainkan sebentuk hipotesis yang bisa dikritisi dan bahkan disalahkan.

Popper, dengan demikian, ingin menyelamatkan rasionalisme tetapi dengan catatan. Rasionalisme Popper dikenal dengan
rasionalisme kritis. Proyek Popper ini terutama ditujukkan untuk membantah kaum positivisme logis yang berbasis di Wina, Austria
dikenal sebagai Lingkaran Wina. Salah satu proyek mereka adalah hendak memisahkan mana ungkapan yang bermakna dan
ungkapan yang tidak bermakna. Ungkapan ini bisa ditemukan dalam bahasa sebagai objektifikasi pikiran manusia. Menurut kaum
postivisme logis, pemisahan itu ditentukan oleh sejauh mana ungkapan-ungkapan itu bisa ditangkap oleh inderawi atau tidak.

Ungkapan yang tidak bisa ditangkap inderawi berarti tidak bermakna. Sebaliknya, ungkapan yang bisa ditangkap oleh inderawi
adalah yang bermakna. Ungkapan yang bermakna inilah, yang hanya bisa diverifikasi secara empiris, yang dianggap oleh kaum
positivisme logis sebagai pengetahuan.
Popper menyangkal pandangan kaum positivisme logis tersebut. Dalam pemahamannya manusia tidak mungkin mengetahui
semesta pengetahuan hanya dengan mengandalkan verifikasi empiris. Popper memberi contoh kasus angsa putih dan angsa
hitam. Orang Eropa selama ratusan atau mungkin ribuan tahun percaya bahwa semua angsa adalah putih karena memang sejauh
itu tidak ditemukan angsa selain angsa putih. Keyakinan ini goyah dan kemudian runtuh ketika para pelancong Eropa menemukan
angsa hitam di Sungai Victoria di Australia pada pertengahan abad ke-17. Dengan penemuan itu keyakinan orang Eropa terbukti
salah. Contoh serupa bisa ditemukan dalam semua hal yang ada di dunia objektif. Oleh karena itu, bagi Popper, teori pengetahuan
selalu bersifat hipotesis dan konjektural.
Melihat argumennya, Popper jelas tetap berusaha menyelamatkan empirisme tetapi dengan catatan. Bagaimanapun prinisp
falsifikasi Popper dilakukan melalui pengujian yang sifatnya empiris. Akan tetapi, empirisme Popper tidak berasal dari sebabmusabab yang berujung pada akibat, dari yang partikular menuju yang universal. Empirisme Popper lahir dari pengetahuan apriori
yang ditimba dari pengetahuan apriori-nya Kant, tetapi Popper meneruskan itu dengan menambahkan prinsip falsifikasi.

10

Ketika

ada bukti empiris yang lebih kuat, teori pengetahuan lama otomatis terbukti salah. Namun jika bukti empiris baru ternyata lebih
lemah, teori pengetahuan lama justru dikuatkan (corroborated) oleh bukti empiris baru tersebut. Dengan prinsip inilah ilmu
penegetahuan berkembang dan terhindar dari pembakuan yang bisa memerosotkan ilmu menjadi mitos dan ideologi.
Berangkat dari prinsip falsifikasi, Popper ingin menghindari objektivisme dan subjektivisme dalam pengertiannnya yang ekstrem.
Untuk itu dia mengajukan gagasan ontologis tentang tiga Dunia. Dunia 1 adalah dunia fisik, Dunia 2 adalah dunia mental, Dunia 3
adalah dunia objektif. Dunia 1 dan Dunia 2 saling berinteraksi. Dunia 2 dan Dunia 3 saling berinteraksi. Akan tetapi, Dunia 1 tidak
bisa langsung berinteraksi dengan Dunia 3 kecuali melalui Dunia 2. Dengan kata lain, benda-benda fisiologis berinteraksi dengan
benda-benda psikologis, benda-benda psikologis berinteraksi dengan benda-benda logis, tetapi benda-benda fisiologis tidak bisa
langsung berinteraksi dengan benda-benda logis kecuali terlebih dulu melalui dunia psikologis. 11
Apa yang dimaksud Dunia 3 tak lain adalah pendekatan objektif. Pada Popper, itu berarti pendekatan yang memandang
pengetahuan manusia sebagai suatu sistem pernyataan atau teori yang dihadapkan pada diskusi kritis, ujian intersubjektif, atau
kritik timbal-balik. Pendekatan objektif adalah kata lain untuk epistemologi pemecahan-masalah (problem-solving). 12 Analisis yang
lahir dari epistemologi Popper ini bersifat situasional, sehingga ia hanya sebuah solusi tentatif. Ia mesti menyesuaikan diri secara
terus menerus dengan problem-problem baru.
Pendapat Popper tentang Dunia 3 adalah gagasan ontologis yang berpijak pada bahasa sebagai objektifikasi dunia mental manusia
yang subjektif. Secara jelas Popper menyatakan bahwa ... Diri kita, fungsi bahasa yang tinggi (deskriptif dan argumentatif) dan
Dunia 3 telah berevolusi dan muncul bersama dalam interaksi yang terus menerus ... untuk lebih spesifik, saya menyangkal bahwa
binatang mempunyai kesadaran penuh atau bahwa mereka mempunyai diri yang sadar. Diri kita berkembang bersama dengan
fungsi-fungsi bahasa yang lebih tinggi yaitu fungsi yang deskriptif dan argumentatif.13 Kutipan ini merupakan kritik Popper terhadap
kaum positivisme logis yang juga sama-sama berangkat dari permasalahan bahasa.
Popper dan Persoalan Sosial Politik
Epistemologi Popper yang menekankan prinsip falsibilitas tercermin dalam filsafat sosial dan politiknya. Berbicara tentang metodemetode ilmu sosial, Popper secara tegas menolak pandangan historisisme, yaitu suatu pendekatan terhadap ilmu-ilmu sosial yang
mengasumsikan bahwa tujuan ilmu-ilmu sosial dapat dicapai dengan menemukan 'ritme' atau 'pola', 'hukum' atau 'tren' yang
mendasari evolusi sejarah. 14 Bagi Popper, pandangan ini tidak hanya berbahaya karena cenderung totaliter, tetapi juga tidak
memadai untuk memahami realitas sosial yang kompleks. Selain itu, pandangan kaum historisis juga problematis karena
mengombinasikan tesis-tesis pro-naturalistis pada satu sisi tetapi anti-naturalistis pada sisi yang lain. Maksudnya, pada satu sisi
mereka percaya pada hukum-hukum sosial yang bekerja sebagaimana hukum-hukum alam, sehingga menghasilkan prediksi
sejarah, tetapi pada satu sisi mereka juga mempunyai kepercayaan yang besar pada keagenan manusia, sehingga jatuh pada

pandangan deterministik, seperti konsepsi kelas pada kelompok Marxis sebagai contoh.
Dalam sebuah tulisannya, Popper menegaskan kembali posisinya terhadap kaum historisis.15 Di sana Popper sekali lagi menyerang
Marxisme. Sebagaimana telah disinggung sebelumnya, sejak remaja Popper mengungkapkan kekecewaannya terhadap Marxisme.
Menurut Popper, Marxisme tak lebih dari sebuah doktrin yang mendasarkan diri pada prediksi dan kenubuatan (prophecy). Bertolak
dari dua hal tersebut, Marxisme menyusun proyek politiknya, padahal menurut Popper dua hal tersebut sejatinya adalah
pengandaian normatif, tetapi oleh para pengikutnya dipaksakan untuk dibuktikan benar dalam sejarah. Selain itu, Popper juga
mengkritik teori psikoanalisa-nya Freud dan teori psikologi individual-nya Alfred Adler. Teori-teori tersebut, menurut Popper, terlalu
mengandalkan subjektivitas sehingga tidak menghasilkan objektifitas yang bisa difalsifikasi. 16 Akan tetapi, William A. Gorton
berpendapat bahwa Popper sebenarnya mengagumi Marx sebagai seorang ilmuwan sosial yang hebat dan dia mengambil
beberapa inspirasi darinya. 17 Apa yang disebut Popper sebagai Oedipus effect diambil dari Marx yang berbicara tentang
unintended consequensces of human actions. Oedipus effect berarti prediksi bisa mempengaruhi peristiwa yang diprediksi. 18
Menurut Popper, teori ilmu-ilmu sosial seharusnya trace the unintended social repercussions of intentional human actions. Dengan
itu, ilmu-ilmu sosial akan terhindar dari ideologisasi dan mencapai objektifikasi. Menurut Popper, seperti juga ilmu-ilmu alam,most
of the objects of social science, if not all of them, are abstract objects; they are theoritical constructions. (Even the war or the army
are abstract concepts, strange as this may sound to some. What is concrete is the many who are killed; or the men and women in
uniform, etc.,).19 Oleh sebab itu, dunia objektif-nya Popper berbeda dengan relativisme epistemologis yang dianut oleh banyak
antropolog atau sejarawan.20 Pada Popper, terdapat konstruksi teoritis tertentu yang objektif, yang menjadi benang merang antara
realitas yang satu dan realitas yang lain. Di sini terlihat pemikiran Popper masih diwarnai oleh positivisme. Pada titik ini Popper
menjadi sasaran kritik Adorno dan para eksponen Madzhab Frankfurt lainnya.21

Lepas dari itu, gagasan Popper tentang masyarakat terbuka sangat menarik dan terus menerus menjadi topik perdebatan sampai
sekarang. Akan tetapi persis dalam gagasan ini pula Popper sering disalahpahami. Hari ini gagasan tersebut sering diasosiasikan
dengan George Soros, seorang pengagum abadi Popper yang mendirikan The Open Society Foundation tetapi lebih dikenal publik
sebagai seorang spekulan saham yang menjatuhkan ekonomi Asia pada krisis finansial 1998. Pengasosiasian itu tidak sepenuhnya
salah, tetapi kita perlu memeriksa terlebih dahulu apa yang sesungguhnya diusulkan Popper dengan konsep masyarakat terbuka.
Apa kaitan antara konsep yang awalnya dikemukakan oleh Henri Bergson itu dengan kapitalisme dan demokrasi liberal seperti yang
sering kita baca dan lihat di media-media?
Popper mengaku sebagai seorang liberal dalam pengertian klasik, tetapi bukan seorang simpatisan partai politik. Dia menyebut
dirinya simply a man who values individual freedom and who is alive to the dangers inherent in all forms of power and
authority. 22Dalam perbincangan kita sehari-hari, khususnya di Indonesia, liberalisme dan kapitalisme memang seringkali
problematis, lebih sering ditanggapi secara emosional daripada mendudukkan perkaranya secara rasional. Dalam lingkup global,
istilah-istilah itu sering dialamatkan kepada kebijakan neoliberal Thatcher di Inggris dan Reagen di Amerika Serikat pada 1980-an.
Menurut mereka, peran negara dalam ekonomi harus diminimalisasi, bahkan sebaiknya angkat kaki. Pada masa itu Popper dan von
Hayek diusung oleh kaum libertarian sebagai pemikir utama Kanan Baru. Dalam berbagai kesempatan Popper bahkan sering
dijadikan senjata untuk menyerang model negara kesejahteraan seperti yang dipraktikkan di negara-negara Skandinavia.
Akan tetapi, beberapa pengamat seperti Brian Magee dan Ralf Dahrendorf mengklasifikasi Popper sebagai seorang sosial
demokrat. Pengamat lain, Malachi Haim Hacohen, justeru menekankan latar belakang sosialis Popper ketika masih tergabung
dalam kelompok pemuda sosialis di Wina. Hacohen berpendapat bahwa ketika menulis The Open Society sewaktu Perang, Popper
tidak tahun apapun tentang Uni Soviet. Oleh karena itu, buku itu harus dibaca sebagai perlawanan terhadap fasisme, bukan sebuah
charter of cold war liberalism. Popper, kata Hacohen, memang menekukan pandangan fasis pada Platon dan Hegel, tetapi Marx
sebenarnya seorang demokrat progresif yang terperangkap jeratan historisisme.23
Popper membedakan masyarakat terbuka dengan masyarakat tertutup yang magis atau tribal atau kolektivis. Dalam masyarakat
terbuka individuals are confronted with personal decisions dan dengan demikian mereka mempunyai tanggung jawab dalam

menerima kebijakan publik. Menurut Niiniluoto, dalam konteks publik Popper sangat menekankan prinsip hukum dan etis, sehingga
dia menolak the unrestrained capitalism. Yang didukung oleh Popper bukan kapitalisme, melainkan ekonomi pasar. Dua hal itu
mempunyai pengertian kontras. Pengertian kapitalisme lebih dekat dengan pengertian kaum Darwinisme sosial yang menyatakan
bahwa evolusi sejarah manusia hanya akan menyisakan kemenangan bagi mereka yang terkuat. Dalam pengertian ini pula terdapat
keyakinan bahwa campur tangan negara terhadap ekonomi akan mengganggu alih-alih membantu. Ekonomi akan selalu mencapai
titik keseimbangannya melalui kehadiran tangan yang tak terlihat. Di sisi lain, ekonomi pasar berbasis pada kompetisi bebas, tetapi
para pemain dalam kompetisi bebas tersebut tetap dibatasi oleh prinsip hukum dan etika yang berlaku. Juga kompetisi ini harus
bebas dari manipulasi. Yang ditekankan oleh Popper adalah kebaikan bersama dan keadilan sosial. Untuk menjamin itu, campur
tangan negara adalah keniscayaan, we must demand the unrestrained capitalism give way to an economic interventionism. Alasan
Popper adalah kebebasan pada dirinya sendiri menyimpan paradoks sejak unlimited freedom means that a strong man is free to
bully one who is weak and to rob him of his freedom, demikian kata Popper sebagaimana dikutip oleh Niinilouto. 24

Oleh karena itu tidak tepat kalau dikatakan bahwa masyarakat terbukanya Popper sebagai anti-negara kesejahteraan. Untuk
mencapai masyarakat terbuka, ekonomi pasar harus diisi dan diperkaya dengan prinsip-prinsip keadilan. Dalam tafsiran Niiniluoto,
bertentangan dengan pandangan libertarian yang menekankan persaingan antar individu yang bebas, gagasan masyarakat terbuka
lebih dekat dengan pandangan etik komunitarian yang menekankan kerjasama dan dan saling hormat antara warga negara dan
bangsa. Mengacu pada konsepsi keadilan Rawls, aktifitas ekonomi dalam masyarakat terbuka harus memberi keuntungan pada
semua.25
Dalam politik, gagasan masyarakat terbuka jelas menolak segala bentuk totalitarianisme. Popper sendiri sudah mengulas banyak
tentang itu dalam The Open Society dan The Poverty of Historicism. Lalu bagaimana kita menanggapi pendapat kalangan yang
menyatakan bahwa demokrasi liberal adalah akhir perjalanan sejarah umat manusia seperti dikatakan Francis Fukuyama? Kalau
mengikuti Popper, pendapat tersebut jelas bertentangan dengan prinsip falsifikasi, sehingga harus ditolak. Dengan kata lain itu tak
lebih dari ekspresi dari historisisme kontemporer yang justeru semakin berkembang terutama pasca tragedi 9/11. Kita tentu saja
tidak bisa menolelir aksi terorisme yang telah membuat banyak orang kehilangan hak hidupnya. Mereka adalah individu atau orang
yang terperosok dalam lubang historisisme, menganggap nilai (agama) yang mereka yakini merupakan jalan hidup terbaik yang
harus ditempuh umat manusia meski itu harus dibayar dengan aksi bom bunuh diri. Namun di sisi lain, perang terhadap terorisme
(war on terror) yang pernah digelorakan oleh George W. Bush sewaktu menjabat Presiden Amerika Serikat juga sama-sama
merupakan bentuk historisisme. Menurut Niiniluoto, terorisme tidak bisa diserang dengan membawa kembali jenis historisisme yang
lain ke dalam gelanggang politik, yaitu kenubuatan bahwa demokrasi liberal ala Barat adalah sebuah keniscayaan sejarah. Jika
pemahaman ala Bush diteruskan, yang terjadi adalah benturan antara historisisme yang telah mapan dan historisisme yang sedang
diproyeksikan. Alternatif untuk mempromosikan dan membumikan gagasan masyarakat terbuka sangat diperlukan, yaitu dengan
jalan pendidikan, argumentasi rasional, kebebasan berpikir, pengakuan dan penghormatan diri, dan, yang tidak boleh dilupakan,
kesejahteraan ekonomi dan keadilan sosial.26

Penutup
Karlina Supelli menyatakan bahwa kondisi kita adalah kondisi ultraliberal atomis dan atomistik yang sesekali ditabrak oleh
kekuatan-kekuatan tribal sektarian dalam bentuk sektarianisme agama, etnis, dan sebagainya. 27 Jika kesimpulan Supelli tersebut
tepat, apakah gagasan masyarakat terbuka Popper bisa diterapkan di Indonesia? Persoalan utamanya mungkin bukan bisa atau
tidak bisa diterapkan dalam pengertian hitam putih, tetapi yang terpenting adalah bagaimana caranya. Tafsir libertarian terhadap
masyarakat terbuka tentu harus ditinjau ulang, sebab yang terasa hilang dalam kehidupan berbangsa kita di Indonesia justru
ketiadaan rasa kepemilikan atau solidaritas terhadap cita-cita bersama. Kebersamaan tidak harus selalu identik dengan
kolektivisme yang dikritik Popper sebagai ciri masyarakat tertutup. Kebersamaan adalah kesamaan gerak menuju cita-cita kita
sebagai sebuah kolektivitas politik sebagaimana tertuang dalam Konstitusi. Tentang bagaimana cara mencapai itu, resep dari
Popper masih sangat relevan diperhatikan. Dia tidak mengajurkan revolusi tetapi kemudian memakan anak kandungnya sendiri. Dia
mengusulkan piecemeal social engineering dengan prinsip minimizing avoidable suffering. Yang kita butuhkan adalah kesetiaan

merawat cita-cita bersama karena bangsa Indonesia adalah poyek politik yang belum dan tidak akan pernah selesai, sambil tetap
membuka ruang kemugkinan untuk koreksi, sehingga bisa terus menerus difalsifikasi. (Amin Mudzakkir)

Endnotes
1. Karl R. Popper, Gagalnya Historisisme, terj. Nena Suprapto (Jakarta: LP3ES, 1985); Karl R. Popper, Masyarakat Terbuka dan
Musuh-Musuhnya, terj. Uzair Fauzan (Yogyakarta: Pustaka Pelajar, 2008)
2. Karl R. Popper, Conjectures and Refutations: The Growth of Scientific Knowledge (London dan New York: Routledge, 1989 [edisi
kelima]), hlm. 39.
3. Dikutip dalam C. Verhaak dan R. Haryono Imam, Filsafat Ilmu Pengetahuan: Telaah atas Cara Kerja Ilmu-Ilmu (Jakarta:
Gramedia, 1991 [cetakan kedua]), hlm. 159.
4. Roberta Corvi, An Introduction to the Thought of Karl Popper, translated by Patrick Camiller (London dan New York, 1997), hlm. 3.
5. Ibid., hlm. 4.
6. William A. Gorton, Karl Popper and the Social Sciences (Albany: State University of New York Press, 2006), hlm. 1.
7. Lihat, misalnya, Karlina Supelli, Masyarakat Terbuka: Catatan Kritis untuk Pesona Sebuah Konsep, Prisma, Vol. 30, No. 1,
2011, hlm. 3-14.
8. Alfons Taryadi, Epistemologi Pemecahan Masalah Menurut Karl Popper (Jakarta: Gramedia, 1991), hlm. 18.
9. Corvi, op. cit., hlm. 16.

10. Corvi, loc. cit.


11. Taryadi, op. cit., hlm. 94-95.
12. Ibid., hlm. 30-33.
13. Ibid., hlm. 102
14. Corvi, op. cit., hlm. 47-48.
15. Karl R. Popper, Prediction and Prophecy in the Social Sciences dalam Patrick Gardiner (ed.), Theories of History (New York:
The Free Press, 1959), hlm. 276-285.
16. Popper, Conjectures and Refutations, hlm. 34-35.
17. Gorton, op. cit., hlm. 4
18. Popper, conjectures and refutations, hlm. 38.

19. Corvi, op. cit., hlm. 49.


20. Relativsme epistemologis adalah suatu paham yang mengingkari adanya dan dapat diketahuinya kebenaran yang objektif dan
universal oleh manusia. Lihat, Sudarminta, Epistemologi Dasar: Pengantar Filsafat Pengetahuan (Yogyakarta: Kanisius, 2002),
hlm. 55; lihat juga, Anton van Harskamp (ed.), Konflik-Konflik dalam Ilmu Sosial (Yogyakarta: Kanisius, 2005), hlm. 14.
21. Perdebatan mereka direkam dalam Theodor W. Adorno et. all., The Positivist Dispute in German Sociology, translated by Glyn
Adey dan David Frisby (London: Heinemann, 1977).

22. Dikutip dalam Ilkka Niiniluoto, The Open Society and Its New Enemies: Critical Reflections on Democracy and Market
Economy, http://www.tampereclub.org/e-publications/vol2_niiniluoto.pdf, diakses 8 Januari 2012. Uraian selanjutnya tentang
gagasan masyarakat terbuka Popper dalam tulisan ini didasarkan pada penafsiran Niiniluoto. Ilkka Niiniluoto adalah seorang
profesor filsafat dan matematika di Universitas Helsinki, Finlandia dan penulis buku Critical Scientific Realism (New York: Oxford
University Press, 1999)
23. Ibid., hlm. 2.
24. Ibid., hlm. 11
25. Ibid., hlm. 12.
26. Ibid., hlm. 15.
27. Supelli, op. cit., hlm. 13-14.

Daftar Pustaka
Adorno, Theodor W., et. all., The Positivist Dispute in German Sociology, translated by Glyn Adey dan David Frisby, London:
Heinemann, 1977.
Corvi, Roberta, An Introduction to the Thought of Karl Popper, translated by Patrick Camiller, London dan New York, 1997.
Gorton, William A., Karl Popper and the Social Sciences, Albany: State University of New York Press, 2006.
Hedstrom, Peter, Richard Swedberg, dan Lars Udehn, Poppers Situational Analysis and Contemporary Sociology, Philosophy of
the Social Sciences, Vol. 28, No. 3, September 1998.
Niiniluoto, Ilkka, The Open Society and Its New Enemies: Critical Reflections on Democracy and Market Economy,
http://www.tampereclub.org/e-publications/vol2_niiniluoto.pdf, diakses 8 Januari 2008.
Popper, Karl R., Prediction and Prophecy in the Social Sciences dalam Patrick Gardiner (ed.), Theories of History, New York: The
Free Press, 1959.
----------, Gagalnya Historisisme, terj. Nena Suprapto, Jakarta: LP3ES, 1985.

----------, Conjectures and Refutations: The Growth of Scientific Knowledge, London dan New York: Routledge, 1989, edisi kelima.
----------, Masyarakat Terbuka dan Musuh-Musuhnya, terj. Uzair Fauzan
Yogyakarta: Pustaka Pelajar, 2008.
Sudarminta, J., Epistemologi Dasar: Pengantar Filsafat Pengetahuan, Yogyakarta: Kanisius, 2002.
Supelli, Karlina, Masyarakat Terbuka: Catatan Kritis untuk Pesona Sebuah Konsep,
Prisma, Vol. 30, No. 1, 2011, hlm. 3-14.
Taryadi, Alfons, Epistemologi Pemecahan Masalah Menurut Karl Popper, Jakarta: Gramedia, 1991.
Verhaak, C. dan R. Haryono Imam, Filsafat Ilmu Pengetahuan: Telaah atas Cara Kerja Ilmu-Ilmu, Jakarta: Gramedia, 1991, cetakan
kedua.
van Harskamp, Anton (ed.), Konflik-Konflik dalam Ilmu Sosial, Yogyakarta: Kanisius, 2005.

Sumber: http://www.politik.lipi.go.id/in/kolom/jender-and-politik/590-karl-popperdan-masa-depan-masyarakat-terbuka-.html diunduh pada tanggal 27 oktober 2015.

Anda mungkin juga menyukai