Anda di halaman 1dari 15

BAB I

PENDAHULUAN

A. Latar Belakang
Karl Popper hadir untuk mengkritisi dan menentang beberapa gagasan dasar
dari lingkaran Wina. Metode Induksi yang diterapkan dalam ilmu pengetahuan
mengandung permasalahan yang mengkonfirmir bahwa induksi tidak luput dari kritik-
kritik. Karl Popper adalah salah satu tokoh yang mengkritik konsepsi induksi. Kritik
Popper terhadap induktivisme telah membuka perspektif baru bagi ilmu pengetahuan,
yang jauh berbeda dari perspektif yang didasarkan pada induktivisme. Popper
memperkenalkan apa yang disebutnya falsifikasi. Falsifikasi menjadi alternatif dari
induktivisme.
Menurut Popper, titik permasalahan sentral dari filsafat ilmu adalah demarkasi
antara ungkapan yang ilmiah dan tidak ilmiah. Karena itu, untuk memahami
falsifikasi dalam konteks pemikiran Popper perlulah pemakalah memaparkan tentang
biografi, konsep pemikiran falsifikasi, konsep demarkasi, kritik terhadap konsep
Popper serta implikasinya dalam pendidikan Islam. Karena dengan memahami kritik
Popper terhadap epistemologi logis, merupakan pintu masuk ke dalam
epistemologinya.

B. Rumusan Masalah
1. Siapakah Karl R. Popper itu?
2. Bagaimanakah konsep falsifikasi Karl R. Popper?
3. Bagaimanakah konsep demarkasi Karl R. Popper?
4. Bagaimanakah kritik/kelemahan teori Karl R. Popper?
5. Bagaimanakah jika konsep teori Karl R. Popper diimplikasikan dalam pendidikan
Islam?

C. Tujuan
1. Mengenal tokoh Karl R. Popper
2. Memahami konsep falsifikasi Popper
3. Memahami konsep demarkasi Popper
4. Memahami kritik terhadap konsep pemikiran Popper
5. Memahami implikasi konsep pemikiran Popper dalam pendidikan Islam

1
A. Riwayat Hidup Sir Karl Popper

Karl Raimund Popper lahir di Himmelhof Wina pada tanggal 28 Juli tahun
1902. Popper merupakan anak terakhir dari tiga bersaudara. Ayahnya Dr. Simon
Sigmund Carl Popper seorang pengacara yang sangat minat pada Filsafat.
Perpustakaannya luas mencakup kumpulan-kumpulan karya filsuf besar dan karya-
karya mengenai problem sosial. Agaknya Karl Popper mewarisi minatnya pada
filsafat dan problem sosial dari ayahnya.1 Orang tuanya keturunan Yahudi, tetapi tidak
lama setelah menikah mereka berdua dibabtis dalam gereja Protestan. Ayahnya adalah
sarjana hukum dan pengacara yang mencintai buku, dan musik. Pada umur 16 tahun
Popper meninggalkan sekolahnya “realgymnasium” dengan alasan bahwa pelajaran-
pelajarannya sangat membosankan.

Lalu ia menjadi pendengar bebas pada Universitas Wina dan baru tahun 1922
ia diterima sebagai mahasiswa. Ketika umur 17 tahun, selama beberapa tahun ia
menganut komunisme, tetapi tidak lama kemudian ia meninggalkan aliran politik ini,
karena ia yakin bahwa penganutnya menerima begitu saja suatu dokmatisme yang
tidak kritis dan ia menjadi anti Marxis untuk seumur hidup.2

Perjumpaannya dengan Marxisme diakui olehnya sebagai satu di antara


peristiwa penting dalam perkembangan intelektualnya. Dalam outobiografinya
bercerita bahwa ia mengikuti aneka macam kuliah, tentang sejarah, kesusasteraan,
psikologi, filsafat bahkan tentang ilmu kedokteran. Pada tahun yang sama tahun 1919,
Popper mendengar apa yang dikerjakan oleh Einstein dan menurut pengakuannya
merupakan suatu pengaruh dominan atas pemikirannya, bahkan dalam jangka panjang
pengaruhnya sangat berarti.3

Dalam suatu waktu Popper mendengarkan ceramah Einstein di Wina. Ia


terpukau oleh sikap Einsten terhadap teorinya yang tidak dapat dipertahankan kalau
gagal dalam tes tertentu. Ia mencari eksperimen-eksperimen yang kesesuaiannya
dengan ramalan-ramalannya belum berarti meneguhkan teorinya. Sedangkan
1
Alfon Taryadi, Epistemologi Pemecahan Masalah Menurut Karl R Popper (Jakarta:
Gramedia, 1991), hlm. 1, lihat juga dalam Roberta Covei, An Introduction To The Thought Of Karl
Popper, London: Routledge, 1997), hlm.3.
2
K Bertens, Filsafat Barat Kontemporer Inggris-Jerman (Jakarta : Gramedia, 2003), 72.
3
Alfon Taryadi, Epistemologi Pemecahan Masalah Menurut Karl R Popper (Jakarta:
Gramedia, 1991), hlm. 3

2
ketidaksesuaian antara teori dengan eksperimen akan menentukan apakah teorinya
bisa dipertahankan atau tidak. Sikap ini menurutnya berlainan dengan sikap Marxis
yang dogmatis dan selalu mencari pembenaran-pembenaran (verifikasi) terhadap teori
kesayangannya. Sampai pada kesimpulan bahwa sikap ilmiah adalah sikap kritis, yang
tidak mencari pembenaran-pembenaran melainkan tes yang serius, pengujian yang
dapat menyangkal teori yang diujinya, meskipun tak pernah dapat meneguhkannya.
Pada tahun 1928 ia meraih gelar Doktor Filsafat dengan suatu disertasi tentang Zur
Methodenfrage der Denkp Psychologei (Masalah Metode dalam Psikologi
Pemikiran), suatu karangan yang tidak diterbitkan. Pada tahun berikutnya Popper
memperoleh gelar Diploma pada bidang Matematika dan ilmu pengetahuan Alam.

Dalam catatan sejarah, Popper tidak pernah menjadi anggota Lingkaran Wina,
tetapi ia mengenal anggota Lingkaran Wina yang bekerja di universitas dan pada
beberapa di antara mereka, ia mempunyai hubungan khusus dengan anggota
Lingkaran Wina di antaranya Viktor Kraft, Herert Feigl. Dalam usaha studinya,
Popper belajar banyak dari Karl Buhler, Profesor Psychologi di Universitas Wina
yang paling penting dalam perkembangannya di masa mendatang ialah teori Buhler
tentang tiga tingkatan bahasa yaitu fungsi ekspresi, fungsi stimulasi dan fungsi
deskriptif.

Menurut Buhler fungsi pertama selalu hadir pada bahasa manusia maupun
binatang, sementara fungsi yang ketiga khas pada bahasa manusia. Popper sendiri
kelak menambahkan fungsi yang keempat yaitu fungsi argumentatif, yang dianggap
penting karena merupakan basis pemikiran krisis. Pada tahun kedua di Institut
Pedagogis, Popper berjumpa dengan Prof Heinrich Gomperz dan banyak
dimanfaatkan untuk berdiskusi dengan problem psikologi pengetahuan atau psikologi
penemuan.4Hasil pertemuannya dengan Prof. Heinrich melahirkan keyakinan Popper
bahwa data indrawi, data atau kesan sederhana itu semua khayalan yang berdasarkan
usaha keliru yang mengalihkan Atomisme dari fisika ke psikologi.

Sesudah perang dunia II selesai, Popper diangkat sebagai dosen di London


School of Economics, sebuah institut di bawah naungan Universitas London. Di sini
ia mempersiapkan suatu buku yang menguraikan perkembangan pemikirannya sejak
buku The Logic of Scientific Discovery, di antara buku yang diterbitkan antara lain
4
Alfon Taryadi, Epistemologi Pemecahan Masalah Menurut Karl R Popper (Jakarta:
Gramedia, 1991), hlm. 4

3
Realism and Aim of Science: Quantum Theory and the Schism in Physics The Open
Sociaty and Its Enemies, dan The Poverty of Historicism yang memberi analisis dan
kritik Popper atas pemikiran tiga tokoh yang menurut dia termasuk historisisme, yaitu
Plato, Hegel, dan Marx.

Pada tahun 1977 Popper banyak memberikan ceramah dan kuliah tamu di
Eropa, Amerika, Jepang dan Australia. Ia banyak mengenali secara pribadi ahli-ahli
kimia modern yang besar seperti, Albert Einstein, Neil Bohr, Edwin Schrodinger.
Popper meninggal dunia pada tanggal 17 September 1994 di Croydon, London
Selatan, dalam usia 92 tahun akibat komplikasi penyakit kanker. Menjelang akhir
hayatnya beberapa karyanya diterbitkan dengan bantuan orang lain. Buku yang paling
penting dari periode terakhir ini adalah A World of Propensities (1999) dimana ia
menguraikan pemikiran definitifnya tentang probabilitas dalam logika dan Ilmu
Pengetahuan.5

B. Konsep Falsifikasi Karl. R. Popper


Falsifikasi merupakan metode yang digunakan oleh Popper untuk menolak
gagasan dari lingkaran Wina tentang metode verifikasi induktif.6 Alasan penolakan
Popper ini, karena dalam rangka membedakan ilmu yang bermakna dan tidak
bermakna masih menjunjung tinggi induksi.7 Beberapa kritik yang dikemukakan
Popper terhadap prinsip verifikasi: Pertama, prinsip verifikasi tidak pernah mungkin
untuk menyatakan kebenaran hukum-hukum umum. Menurut Popper, hukum-hukum
umum dan ilmu pengetahuan tidak pernah dapat diverifikasi. Karena itu, seluruh ilmu
pengetahuan alam (yang sebagian besar terdiri dari hukum-hukum umum tidak
bermakna, sama seperti metafisika); kedua, sejarah membuktikan bahwa ilmu
pengetahuan juga lahir dari pandangan-pandangan metafisis. Karena itu Popper
menegaskan bahwa suatu ucapan metafisis bukan saja dapat bermakna tetapi dapat
5
K Bertens, Filsafat Barat Kontemporer Inggris-Jerman (Jakarta : Gramedia, 2003), 76.
6
Joseph Antonius Ufi, “Metodologi Problem Solving dalam Pandangan Karl R. Popper”.
(Skripsi S-1 STF Seminari Pineleng,), hlm. 12-13.
7
Sebuah proses penarikan kesimpulan dapat dikatakan sebagai proses „induktif‟ apabila ia
berawal dari pernyataan tunggal (terkadang disebut juga pernyataan „khusus‟), yang merupakan hasil
pengamatan atau percobaan, kemudian berkembang menjadi pernyataan pernyataan universal seperti
hipotesis atau teori. Dari sudut pandang logis, saat ini sangat tak jelas bahwa kita dibenarkan untuk
menarik kesimpulan universal berdasarkan pernyataan tunggal, tidak perduli berapapun banyaknya
pernyataan seperti itu; karena setiap kesimpulan yang diambil dengan cara seperti ini cenderung salah,
sebagai contoh; tidak perduli berapa pun banyaknya jumlah angsa yang putih yang telah kita amati, hal
ini tidak membenarkan kesimpulan bahwa semua angsa berwarna putih. Pertanyaan tentang apakah
penarikan kesimpulan secara induktif dibenarkan, atau dalam kondisi apa saja ia dapat dibenarkan,
dikenal dengan masalah induktif. Lihat dalam Karl Popper, Logika Penemuan Ilmiah, Trj. Amstrong F
dkk, (Bandung: Perpustakaan Sains Kebumian Institut Teknologi Bandung, 2011), hlm. 2.3.

4
benar juga, walaupun baru menjadi ilmiah setelah diuji; ketiga, untuk menyelidiki
bermakna atau tidaknya suatu ucapan atau teori, lebih dulu harus kita mengerti ucapan
atau teori itu.8
Solusi yang diberikan oleh Popper terhadap problem induksi ternyata
mengarahkan perhatiannya secara lebih serius kepada problem demarkasi, atau
problem batas antara pengetahuan yang ilmiah dan pengetahuan yang bukan ilmiah.
Dalam konteks penolakan terhadap induktivisme para pendukung teori
falsifikasi menyatakan bahwa setiap penelitian ilmiah dituntun oleh teori tertentu yang
mendahuluinya. Karena itu, semua keyakinan bahwa kebenaran teori-teori ilmiah
dicapai melalui kepastian hasil observasi, sungguh-sungguh ditolak. Teori merupakan
hasil rekayasa intelek manusia yang kreatif dan bebas untuk mengatasi problem-
problem yang dihadapinya dalam kehidupan sehari-hari. Teori-teori itu kemudian
diuji dengan eksperimen-eksperimen atau observasi-observasi. Teori yang tidak dapat
bertahan terhadap suatu eksperimen harus dinyatakan gagal dan digantikan oleh teori
spekulatif lain. Itu berarti, ilmu pengetahuan berkembang melalui kesalahan dan
kekeliruan, melalui hipotesis dan refutasi.
Menurut teori falsifikasi, ada teori yang dapat dibuktikan salah berdasarkan
hasil observasi dan eksperimen. Ilmu pengetahuan tidak lain dari rangkaian hipotesis-
hipotesis yang dikemukakan secara tentatif untuk menjelaskan tingkah laku manusia
atau kenyataan dalam alam semesta. Tetapi tidak setiap hipotesis dapat begitu saja
diklasifikasikan di bawah ilmu pengetahuan. Hipotesis yang layak disebut sebagai
teori atau hukum ilmiah harus memenuhi syarat fundamental berikut: hipotesis itu
harus terbuka terhadap kemungkinan falsifikasi. Contoh:
1. Tidak pernah turun hujan pada hari-hari Rabu
2. Semua substansi akan memuai jika dipanaskan
Pernyataan (1) dapat difalsifikasikan karena dengan suatu observasi kita dapat
menunjukkan bahwa pada hari Rabu terntentu ada hujan. Pernyataan (2) pun dapat
difalsifikasi karena melalui observasi kita dapat memperlihatkan bahwa ada substansi
tertentu tidak memuai jika dipanaskan. Pernyataan berikut ini tidak memenuhi syarat
yang dikemukakan oleh Popper dan konsekuensinya tidak dapat difalsifikasikan;
1. Baik pada hari hujan maupun rabu tidak hujan saya datang
Tidak ada suatu pernyataan observasi yang secara logis dapat menyangkal pernyataan
(1). Pernyataan ini benar, bagaimanapun keadaan cuaca. Pernyataan di atas ini tidak
8
Muhammad Muslih, Filsafat Ilmu, (Yogyakarta: Belukar,2004), hlm. 108

5
dapat difalsifikasikan9, sebab semua kemungkinan yang akan terjadi atau diturunkan
dari pernyataan di atas, tetap benar.10
Metode Falsifikasi
Pendekatan falsifikasi11 dikembangkan oleh Karl Raymund Popper yang tidak
puas dengan pendekatan induktif. Menurut Popper, tujuan dari suatu penelitian ilmiah
adalah untuk membuktikan kesalahan (falsify) hipotesa, bukannya untuk membuktkan
kebnaran hipotesa tersebut. Oleh karena itulah pendekatan ini dinamakan pendekatan
falsifikasionisme. Untuk mengatasi masalah empirisme logis, Karl Raymund Popper
menawarkan suatu metode alternatif untuk menjustifikasi suatu teori. Popper
menerima kenyataan bahwa observasi selalu diawali oleh suatu sistem yang
diharapkan. Proses ilmu pengetahuan berawal dari observasi yang berbenturan dengan
teori yang ada atau prakonsepsi.
Jika masalah ini terjadi maka kita dihadapkan kepada masalah ilmu
pengetahuan,teori kemudian diajukan untuk memecahkan masalah dan hipotesa diuji
secara empiris yang tujuannya menolak hipotesa. Jika peramalan teori itu disalahkan
(falsify),maka teori tersebut ditolak. Teori yang tahan uji dari falsifikasi dikatakan
bahwa teori tersebut kuat dan dapat diterima sementara sebagai teori yang benar.
Menurut falsifikasionis ilmu berkembang secara pendugaan dan penolakan
(conjencture and refutation) atau secara trial and error, tujuan ilmu adalah
memecahkan masalah dan pemecahan masalah tadi diwujudkan dalam teori yang
mungkin akan disalahkan secara tes empiris. Teori yang bertahan dan tidak dapat
9
K.R. Popper, “The Logic of Scientific Discovery “, (New York: Basic Books, 1959) hlm 41.
10
Sejatinya ilmu pengetahuan adalah kumpulan hipotesis/dugaan dengan menggunakan
asumsi-asumsi dan tidak mutlak kebenarannya Falsifikasi tidak selalu mengubah secara radikal suatu
teori ilmiah, melainkan untuk mengeliminasi kekurangan atau menyempurnakan teori ilmiah tersebut.
Perubahan tersebut namun juga bisa meneguhkan dengan berbagai tambahan argumentatif baru, atau
bisa juga mengoreksi dan menambal sulam sebuah kebenaran. Apabila suatu teori ilmiah terbukti tidak
dapat disempurnakan lagi maka dapat diterima sebagai suatu kebenaran. Kebenaran tersebut juga
bersifat sementara, karena jika suatu saat teori tersebut dapat dibuktikan kelemahan/kesalahannya maka
akan tereliminasi. Lihat dalam Logika Penemuan Ilmiah, Trj. Amstrong F dkk, (Bandung:
Perpustakaan Sains Kebumian Institut Teknologi Bandung, 2011), hlm. 65.
11
Sebelum membahas lebih jauh teori falsifikasi Popper, diuraikan beberapa terminologi yang
digunakan untuk memudahkan dalam pemahamannya. Beberapa terminolgi yang digunakan adalah
falsify, falsifiable, falsification, dan falsifiability. Falsify merupakan kata kerja yang dalam kontek ini
diterjemahkan sebagai menyempurnakan. Bentuk kata sifatnya adalah falsifiable yang diartikan dengan
dapat disempurnakan. Falsification merupakan bentuk kata benda dari falsifiable yang diterjemahkan
sebagai falsifikasi adalah penyempurnaan yang dilakukan untuk memperbaiki suatu hipotesis.
Falsifiabillity yang diterjemahkan dengan falsifiabilitas adalah kemampuan suatu untuk
disempurnakan. Sesuatu yang dapat disempurnakan adalah yang masih mengandung
kesalahan/kelemahan atau perlu dilengkapi. Suatu teori ilmiah tidak ada mutlak kebenarannya,
sehingga perlu terus disempurnakan. Lihat dalam Karl Popper, Logika Penemuan Ilmiah, Trj.
Amstrong F dkk, (Bandung: Perpustakaan Sains Kebumian Institut Teknologi Bandung, 2011), hlm.
65.

6
disalahkan akan diterima secara tentatif untuk memecahkan masalah. Dengan kata
lain, teori menurut pendekatan falsifikasi adalah hipotesa yang belum dibuktikan
kesalahannya. Teori bukanlah sesuatu yang benar atau faktual tetapi sesuatu yang
belum terbukti salah. Proses dari falsifikasi Popper, dapat dilihat pada gambar berikut
ini.

Langkah-langkah Pengujian Falsifikasi Popper12

Pada gambar langkah-langkah pengujian falsifikasi, terlihat bahwa fakta yang


didapat dari pengalaman pada saat berbenturan dengan teori bila ia konsisten, maka ia
akan diterima sebagai teori yang digunakan saat ini. Bila tidak kita membuat suatu
teori dimana suatu hipotesis dimunculkan dan diuji secara empiris.Pada saat teori
tersebut tidak sesuai dengan kebenaran atau falsified maka teori tersebut ditolak lalu
kita kembali membuat suatu teori. Bila teori tersebut lolos dari falsifikasi maka teori
tersebut diterima sebagai teori yang digunakan sementara.
C. Problem Induksi
Menurut Popper, metode induktif meninggalkan banyak masalah dalam ilmu
pengetahuan, masalah itu apakah menyangkut proses cara memperoleh pengetahuan,
ukuran validitas kebenaran, hasil pengetahuannya bersifat subyektif dan lain
sebagainya.13 Pertama, dalam proses penyelidikan misalnya, kaum induktivis

12
http://www.geocities.ws/feubl/art2.htm diakses pada 19/12/2017 pukul 22.30 WIB
13
Karl R. Popper, The Logic of Scientific Discovery (London : Routledge, 1992). 28.

7
menggunakan observasi dan pengalaman sebagai dasar satu-satunya dalam membuat
pernyataan tunggal (singular statemen) dan kemudian hasil pengamatan dan
pengalaman pribadi yang belum teruji dapat ditarik sebuah kesimpulan berupa teori,
ironinya kebenarannya bersiftat general (berlaku secara umum).Teori-teori ilmiah
ditarik dengan cara ketat dari fakta-fakta pengalaman yang diperoleh lewat observasi
dan eksperimen. Ilmu didasarkan atas apa yang dapat dilihat, didengar, diraba, dan
sebagainya.14 Pengetahuan akan diterima bila berasal dari sense, expretion,
(sensasional impresion, perseptian visual or auditory.15
Prinsip di atas dipertanyakan oleh Popper terutama volume eksperimen,
berapa banyak observasi yang diperlukan untuk memenuhi? Haruslah sebatang logam
tertentu dipanasi 10 kali, 100 kali atau seberapa banyak kali sebelum kita dapat
menyimpulkan logam selalu memuai bila dipanaskan. Di sini sebenarnya tingkat
kesulitan yang dihadapi oleh kelompok Induktifis, bila mereka mensyaratkan
observasi dan eksperimen jadi acuan ilmu pengetahuan.16
Sanggahnya, penarikan kesimpulan ini sangat berbahaya, sebagaimana Karl
Maxs telah membuat teori sejarah dengan ramalan-ramalan/prediksi yang salah
tentang masyarakat kelas. Juga contoh lain mereka punya anggapan bahwa semua
angsa berwarna putih tanpa memperdulikan angsa yang berwarna lain, Kertas Litmus
berubah menjadi merah bila dicelupkan ke dalam cairan tanpa merinci cairan apa
yang dapat merubah.
Kedua,tugas bagi ilmu pengetahuan adalah merumuskan hukum-hukum yang
bersifat umum dan mutlak. Jika mencari contoh yang sederhana: pernyataan bahwa
logam yang dipanaskan akan memuai “merupakan hukum “ bagimana hukum ilmiah
serupa itu sampai terbentuk, pasti jawabanya bahwa hukum itu dihasilkan oleh suatu
proses induktif. Artinya dari sejumlah kasus yang cukup besar (bermacam-macam
logam yang memuai setelah dipanaskan), disimpulkan bahwa dalam keadaan yang
tertentu gejala yang sama dan dimana-mana akan terjadi. Pendek kata metode ini
dijalankan dengan observasi dan eksperimen serta berdasarkan fakta-fakta. Teori ini
mendapatkan catatan dari David Home. Ia menyatakan bahwa dari sejumlah fakta
berapapun besar jumlahnya, secara logis tidak dapat disimpulkan suatu kebenaran

14
M. Syamsul Huda : Karl Raimund Popper: Problem Neopositivistik dan Teori Kritis
Falsifikasi dalam ISLAMICA, Vol. 2, No. 1, September 2007, hlm. 76.
15
Karl R. Popper, The Logic of Scientific Discovery (London : Routledge, 1992). 35.
16
M. Syamsul Huda : Karl Raimund Popper: Problem Neopositivistik dan Teori Kritis
Falsifikas..., hlm. 76.

8
umum. Tidak ada keharusan logis bahwa fakta-fakta yang sampai sekarang selalu
berlangsung dengan cara yang sama. Dengan demikian bahwa induksi tidak dapat
dibenarkan berdasarkan logika.
Argumen-argumen induktif tidak merupakan argumen-argumen yang valid
secara logis, masalahnya bukanlah apabila premis suatu penyimpulan induktif benar,
maka kesimpulannya mesti benar. Bisa saja penyimpulan terjadi penyimpulan
argumen induksi salah, sedangkan premisnya benar dan ini terjadi tanpa harus
merupakan kontradiksi
D. Konsep Demarkasi Karl R. Popper
Berangkat dari skeptisme Popper terhadap status ilmiah dari teori-teori yang
ada. Contohnya teori newton, teori yang sangat mapan seperti itu saja dapat runtuh,
bisa salah. Tak satupun pengetahuan yang bersifat mutlak.
Dilain pihak, Popper melihat teori-teori seperti teori Mark tentang sejarah,
teori Freud tentang psikoanalisa, teori alfred aldler yang disebut “psikologi
individual” seolah-olah orang mengesankan para pengagumnya oleh daya penjelasan
yang terkandung didalamnya. Dengan mempelajari teori-teori itu, orang seperti
memperoleh wahyu yang membuka mata terhadap kebenaran baru yang semula
tersembunyi. Seolah-olah dunia penuh verifikasi atas teori-teori tersebut.
Popper akhirnya menemukan sudut pandang lain. Berangkat dari terkesannya
Popper terhadap teori relativitas Einstein, Popper mulai membangun garis
pemikirannya. Teori gravitasi einstein mengajukan ramalan yang penuh resiko untuk
difalsifikasikan. Inilah yang mengesankan Popper.
Jika teori Mark, Freud, dan Adler mencari pembenaran teori mereka, einstein
mencari eksperimen-ekperimen crucial (gawat), yang kesesuaiannya dengan
ramalannya tidak mengukuhkan teorinya secara positif, sementara
ketidaksesuaiannya, seperti yang dia tetapkan, akan memfalsifikasi teorinya. Ini
dianggap Popper sebagai sikap ilmiah sejati, yang sama sekali berbeda dari dogmatis
yang terus-menerus menuntut untuk menemukan “verifikasi” bagi teori
kesayangannya.
Dengan begitu Popper sampai pada kesimpulan bahwa sikap ilmiah adalah
sikap kritis yang tidak mencari verifikasi atas teorinya, melainkan tes-tes yang akan
merefutasinya, meski tak akan mengukuhkannya.

9
Dengan kata lain Popper hendak merumuskan sebuah kriteria demarkasi
antara ilmu dan non ilmu (metafisika) 17. Kriteria verifiabilitas bukanlah suatu kriteria
demarkasi ilmu, melainkan sebagai kriteria kemaknaannya. Bermakna tidaknya suatu
pernyataan atau hipotesis ilmiah ditentukan oleh corak empiris positifnya. Logika
induktif dan prinsip verifiabilitas mengakibatkan pengetahuan yang bukan ilmiah
(metafisika) tidak bermakna sama sekali. Kriteria demarkasi dan logika induktif
mengakibatkan terjadinya percampurbauran antara metafisika dan ilmu pengetahuan,
yang pada gilirannya dapat mengaburkan kedua-duanya. 18 Hal inilah yang membuat
Karl Popper menentang gagasan dari lingkaran Wina dan membuat demarkasi lain
dengan kriteria falsifikasi.19
Kriteria demarkasi yang digunakan oleh Popper adalah kriteria falsifiabilitas
(kemampuan dan kemungkinan disalahkan atau disangkal). Setiap pernyataan ilmiah
pada dasarnya mengandung kemampuan disangkal, jadi ilmu pengetahuan empiris
harus bisa diuji secara deduktif dan terbuka kepada kemungkinan falsifikasi empiris.
Contoh:
1. Akan terjadi atau tidak terjadi hujan di sini esok
2. Akan terjadi hujan di sini esok
Pernyataan (1) tidak bersifat empiris oleh karena tidak dapat disangkal. Sedangkan
pernyataan (2) bersifat empiris karena dapat disangkal.
Kriteria demarkasi Popper didasarkan pada suatu asimetri logis antara verifiabilitas
dan falsifiabilitas.20 Pernyataan universal tidak bersumber dari pernyataan tunggal,
tetapi sebaliknya bisa bertentangan dengannya. Dengan logia deduktif, maka
generalisasi empiris atau pernyataan universal dapat diuji dan disangkal secara
empiris, tetapi tidak dapat dibenarkan. Hal ini berarti bahwa hukum-hukum ilmiah
17
K.R. Popper, “The Logic of Scientific Discovery” (New York: Basic Books, 1959), hlm
34.
18
K.R. Popper, “The Logic of Scientific Discovery” (New York: Basic Books, 1959),
hlm.36-37.
19
Science yang sejati menurut Popper adalah sikap kritis yang tidak mencari verifikasi atas
teorinya, melainkan tes-tes yang akan mereputasikannya, meski tak akan pernah mengukuhkannya.
Dengan kata lain kriterium demarkasi antara ilmu dan pseudo ilmu ialah falsifiabilitas (pernyataan bisa
disangka). Contoh kriteria ilmu pengetahuan (science yang benar sebagaimana usaha Einstein tentang
teori gravitasi. Teori gravitasi Einsten menyimpulkan bahwa cahaya meski mengalami daya tarik oleh
benda-benda besar seperti matahari. Maka bisa dihitung bahwa cahaya bintang tertentu tampak
berposisi dekat dengan matahari akan mencapai bumi dari arah sedemikian rupa sehingga tampaknya
bintang itu sedikit bergeser dari bumi. Dalam menyusun teori Einsten tidak menggunakan ramalan-
ramalan atau mencari dalil-dali untuk memperkuat keyakinannya, akan tetapi ia mencari eksperimen-
eksperimen crusial (serius).
20
K.R. Popper, “The Logic of Scientific Discovery” (New York: Basic Books, 1959), hlm.
35

10
pada dasarnya dapat diuji, kendatipun tidak dapat dibenarkan atau dibuktikan secara
induktif.
E. Kritik terhadap Epistemologi Karl R. Popper
Para pendukung teori falsifikasi menolak pandangan induktivisme bahwa
ilmu pengetahuan selalu berangkat dari observasi-observasi, karena menurut
pendukung teori falsifikasi setiap penelitian ilmiah dituntun oleh teori tertentu yang
mendahuluinya. Teori ini kemudian diuji dengan eksperimen-eksperimen atau
observasi, bila ada teori yang tidak bertahan akan dinyatakan gagal dan harus diganti
oleh teori spekulatif lainnya. Namun, apa yang dikritik oleh pendukung teori
falsifikasi ini sekaligus menjadi kelemahan mereka.
Pertama, karena pernyataan-pernyataan observasi sangat tergantung pada
teori dan dapat salah. Dan sering terjadi justru pernyataan-pernyataan observasi yang
salah. Karena itu, tidak benar bahwa pernyataan observasi selau benar sedangkan
hipotesis atau teori mengandung kemungkinan salah. Bisa jadi bahwa teori yang
difalsifikasi bertahan sedangkan pernyataan observasi itu yang salah dan disingkirkan.
Kedua, menurut pendukung teori falsifikasi, hipotesis yang tidak bertahan
terhadap pernyataan-pernyataan eksperimen dan observasi harus mundur karena tidak
lagi penting. Akan tetapi pandangan ini tidak sesuai dengan kenyataan histories,
karena ada hipotesis yang dikemukakan dan tidak konsisten sesuai dengan pernyataan
observasi, tetapi tidak pernah ditolak.
Kuhn juga mengkritik Popper yang berpendapat bahwa aktivitas-aktivitas
ilmiah berpusat pada falsifikasi atau menguji teori; kemudian, dengan berpegang pada
pernyataan-pernyataan observasi seorang ilmuwan bertugas menguji semua teori atau
hipotesis. Kuhn mengkritik karena menurutnya, para ilmuwan yang berkecimpung
dalam “normal science” bukan lagi penguji teori tetapi pemecah masalah dan
kesulitan hidup. Dalam kemapaman paradigma itu tidak ada lagi pertentangan antara
paradigma. Karena paradigma yang telah diterima dipakai sebagai landasan dan
pedoman untuk praksis kehidupan. Dengan demikian Kuhn memberikan suatu
sumbangan yang besar kepada manusia, bahwa ilmu pengetahuan dan aktivitas-
aktivitas ilmiah tidak mempunyai tujuan dalam dirinya sediri, melainkan bertugas
melayani manusia. Selain itu Kuhn juga mengkritik Popper yang dianggapnya telah
memutarbalikkan kenyataan dengan menguraikan terjadinya ilmu empiris melalui
jalan hipotesis disusul upaya falsifikasi. Melawan Popper, Kuhn mendasarkan pada
sejarah ilmu, ia berpendapat bahwa terjadinya perubahan-perubahan yang berarti tidak

11
pernah terjadi berdasarkan upaya empiris untuk membuktikan salah suatu teori/sistem
melainkan berlangsung melalui revolusi-revolusi ilmiah . Yang dimaksud dengan
revolusi ilmiah,”Segala perkembangan nonkumulatif di mana paradigma yang telebih
dahulu ada diganti dengan tak terdamaikan lagi, keseluruhan ataupun sebagian,
dengan yang baru.” Bachelard juga turut memberikan kritik baik kepada Popper:
bahwa tidak ada suatu norma umum dan transhistoris untuk menentukan kebenaran
dalam ilmu pengetahuan, kebenaran pengetahuan ilmiah tidak berasal dari suatu
pendasaran logis atau filosofis, tetapi bergantung pada duduknya persoalan suatu ilmu
pada saat tertentu dalam perkembangan historisnya. Karena itu, usaha untuk menarik
garis pemisah antara ucapan-ucapan ilmiah dan non-ilmiah oleh kelompok Wina dan
Karl Popper tidak relevan menurut Bachelard.21

F. Implementasi Prinsip Falsifikasi dalam Dunia Pendidikan

Prinsip falsifikasi membentuk manusia rasional yang selalu berpikir logis,


kritis, objektif, plural, dan evolutif. Salah satu perwujudannya adalah dialog kritis dan
kritik yang rasional, yang sekaligus menjadi sarana konstruktif demi sebuah
objektivitas dalam pertumbuhan dan kemajuan ilmiah. Popper menyebutnya sebagai
rasionalisme kritis. Rasionalisme kritis yang menjadi dasar dari prinsip falsifikasi
juga menyentuh bidang sosial-politis dan etis-moral. Rasionalisme kritis menjadi
instrumen utama dalam pengembangan kehidupan sosial masyarakat. Rasionalisme
kritis memberikan kejelasan arah tetapi juga standar-standar etis dan moral atas suatu
tindakan politis. Rasionalisme kritis tidak memberikan harapan yang sia-sia dalam
pengembangan kehidupan masyarakat.22 Pada rasionalisme kritis nampak dalam cara
kerja diskusi ilmiah dan saling mengkritik. Hal itu juga yang menjadi landasan dalam
fungsi heuristik23 dari ilmu-ilmu.
Metode Debat Sebagai Bentuk Aplikasi Teori Falsifikasi
Menurut Popper kepribadian manusia dan penalarannya berkembang bersama
dengan fungsi bahasa deskriptif dan argumentatif, terutama dalam kapasitas untuk

21
http://leonardoansis.wordpress.com/goresan-pena-sahabatku-yono/kritik-atas-teori
falsifikasi-popper/ diakses pada 16/12/2017 11.21 WIB
22
Popper, Open Society and It’s Enemies: Vol. II The High Tide of Prophecy: Hegel and
Marx and The Aftermath, hlm. 204.
23
Fungsi heuristik dalam ilmu pengetahuan digunakan untuk mengevaluasi keadaan-keadaan
problema individual dan menentukan seberapa jauh hal tersebut dapat digunakan untuk mendapatkan
solusi yang diinginkan. Jadi lebih sebagai sebuah metodologi problem solving. Lih. Bagus, Kamus
Filsafat, hlm. 285.

12
mengkritik.24 Kritik yang membentuk sikap kritis dan objektif dalam diri itu juga telah
ditunjukkan dalam fungsi heuristik ilmu seperti dalam prinsip falsifikasi Popper.
Fungsi heuristik dalam prinsip falsifikasi bertujuan untuk mengatasi kecenderungan
metodologis Popper dalam ilmu pengetahuan sebagai variabel yang independen dalam
perkembangan sosio-kultural.25
Metode terbaik dalam mengaplikasikan teori falsifikasi popper adalah metode
debat, karena dalam debat akan ditemukan pemaparan teori, dan penyangkalan atas
teori-teori yang dipaparkan tersebut. Sehingga memunculkan teori baru yang masih
dimungkinkan akan adanya kritik argumentaif dari pihak lawan, sampai pada titik
dimana teori tersebut berdiri dengan kokoh namun tidak anti terhadap kritik.
Menurut Popper, pendekatan ilmiah yang kritis dapat diaplikasikan pada
pengetahuan pada umumnya maupun dalam kehidupan setiap organisme.26 Secara
eksplisit pemikiran Popper memberikan warna tersendiri bagi sistem pemikiran
global, terutama di bidang ilmu pengetahuan dan teknologi. Hal ini memengaruhi cara
pikir, cara merasa dan cara bertindak global yang cenderung rasional, ilmiah dan
objektif serta empiris positif.

24
Taryadi, Epistemologi Pemecahan Masalah menurut Karl Raimund Popper, hlm. 102.
25
Ignas Kleden, Sikap Ilmiah dan Kritik Kebudayaan (Jakarta: LP3ES, 1987), hlm. xxxiv.
26
Popper, The Logic of Scientific Discovery, hlm. 18-19; Popper, An Intelectual
Autobiography: Unended Quest, hlm. 133-134.

13
BAB III

KESIMPULAN

Karl Popper adalah Seorang Pemikir yang menguasai banyak bidang;


sejarah, sastra, psikologi, politik dan filsafat. The Logic of Scientific Discovery
menjadikannya terkenal sebagai seorang filusuf. Ia banyak berhubungan dengan
anggota-anggota lingkaran wina dan melontarkan banyak kritikan soal metode
induktif yang berdasarkan fakta. Ia mempertanyakan, berapa pun jumlah fakta yang
dikumpulkan tidak dapat menjamin sebagai sebuah kebenaran umum.

Menurut Popper sikap ilmiah adalah sikap kritis yang tidak mencari verifikasi
atas teorinya, melainkan tes-tes yang akan merefutasinya, meski tak akan
mengukuhkannya. Inilah yang disebut dengan falsifikasi.

Popper merumuskan sebuah kriteria demarkasi antara ilmu dan non ilmu
(metafisika). Kriteria deMarkasi yang digunakan oleh Popper adalah kriteria
falsifiabilitas (kemampuan dan kemungkinan disalahkan atau disangkal). Setiap
pernyataan ilmiah pada dasarnya mengandung kemampuan disangkal, jadi ilmu
pengetahuan empiris harus bisa diuji secara deduktif dan terbuka kepada
kemungkinan falsifikasi empiris.

Kelemahan-kelemahan teori falsifikasi Popper diantaranya; pertama,


pernyataan-pernyataan observasi sangat tergantung pada teori dan dapat salah. Kedua,
ada hipotesis yang dikemukakan dan tidak konsisten sesuai dengan pernyataan
observasi, tetapi tidak pernah ditolak

DAFTAR PUSTAKA

Bertens K. Filsafat Barat Kontemporer Inggris-Jerman. Jakarta : Gramedia, 2003.


Covei , Roberta. An Introduction To The Thought Of Karl Popper. London:
Routledge, 1997
http://www.geocities.ws/feubl/art2.htm diakses pada 19/12/2017 pukul 22.30 WIB
Huda , M, Syamsul: Karl Raimund Popper: Problem Neopositivistik dan Teori Kritis
Falsifikasi dalam ISLAMICA, Vol. 2, No. 1, September 2007..
Kleden, Ignas. Sikap Ilmiah dan Kritik Kebudayaan, Jakarta: LP3ES, 1987.

14
Muhammad. Filsafat Ilmu.Yogyakarta: Belukar,2004.
Popper, Karl. Logika Penemuan Ilmiah, Trj. Amstrong F dkk. Bandung: Perpustakaan
Sains Kebumian Institut Teknologi Bandung, 2011.
Popper, Karl. The Logic of Scientific Discovery. London : Routledge, 1992.
Popper. Open Society and It’s Enemies: Vol. II The High Tide of Prophecy: Hegel
and Marx and The Aftermath.
Taryadi , Alfon. Epistemologi Pemecahan Masalah Menurut Karl R Popper. Jakarta:
Gramedia, 1991.
Ufi, Joseph, Antonius. Metodologi Problem Solving dalam Pandangan Karl R.
Popper. .Skripsi S-1 STF Seminari Pineleng

15

Anda mungkin juga menyukai