Anda di halaman 1dari 12

Karl Popper dan Masa Depan Masyarakat Terbuka

Kategori: Gender and Politics


Karl Popper dan Masa Depan Masyarakat Terbuka

Pendahuluan
Karl Popper adalah nama yang cukup familiar tidak hanya di kalangan filsuf tetapi juga di
kalangan masyarakat yang lebih luas. Dua bukunya, The Open Society and its Enemies dan The
Poverty of Historicsm,1 telah diterjemahkan ke dalam berbagai bahasa, termasuk Bahasa
Indonesia. Dalam dua karyanya itu Popper mengingatkan bahayanya sikap tertutup terhadap ilmu
(science) karena itu akan menjadi dasar bagi ideologi totaliter yang membahayakan kebebasan
umat manusia. Popper, sebaliknya, mengajukan pentingnya sikap terbuka terhadapnya, yaitu
sikap yang siap dengan kemungkinan bahwa ia bisa benar dan/atau bisa salah. Gagasan yang
kemudian disebut prinsip ‘falsifikasi’ tersebut sentral dalam pemikiran Popper. Dengan tegas
Popper menyatakan bahwa ‘problem demarkasi’ antara apa yang disebutnya ‘ilmu’ dan ‘ilmu-
semu’ berpangkal pada pertanyaan apakah ia bisa ‘dibuktikan salah’ atau tidak.2

Pada bagian awal, tulisan ini akan mendiskusikan pandangan Popper pada ranah epistemologi
dan ontologi. Pada bagian seterusnya, kita akan melihat bagaimana itu digunakan oleh Popper
untuk memahami persoalan sosial dan politik, berpusat pada apa yang dia sebut sebagai
‘masyarakat terbuka’. Sebagai ilustrasi, Popper pernah mengemukakan contoh kasus yang sangat
terkenal tentang angsa putih dan angsa hitam. Sekian lama orang Eropa berkesimpulan bahwa
semua angsa adalah putih. Popper menolak kesimpulan itu. Dia mengatakan bahwa “dengan
observasi terhadap angsa-angsa putih, betapapun besar jumlahnya, orang tidak dapat sampai
pada kesimpulan bahwa semua angsa berwarna putih, tetapi sementara itu cukup satu kali
observasi terhadap seekor angsa hitam untuk menyangkal pendapat tadi”.3 Pandangan Popper
jelas menyangkal prinsip verifikasi yang dikenal dalam tradisi empirisme, namun dia juga tidak
setuju dengan rasionalisme Cartesian. Lebih lanjut Popper mengembangkan apa yang disebutnya
sebagai ‘rasionalisme kritis’. Sebelum membahas tema-tema tersebut itu lanjut, perlu kiranya
disampaikan deskripsi tentang kehidupan Popper secara singkat.

Siapakah Popper?
Karl Raimund Popper lahir di Himmelhof, sebuah distrik di Wina, Austria, pada tanggal 28 Juli
1902. Ayahnya adalah seorang pengacara yang menaruh minat besar pada filsafat dan ilmu-ilmu
sosial, sementara ibunya adalah seorang yang sangat mencintai musik. Di perpustakaan pribadi
ayahnya tersimpan koleksi buku-buku yang cukup banyak di bidang itu. Dia tumbuh di
lingkungan yang ‘decidedly bookish’. Sejak kecil ketertarikan popper terhadap dunia intelektual
sudah terbentuk. Pada usia 16 tahun Popper meninggalkan sekolah ‘realgymnasium’-nya karena
menurutnya pelajaran-pelajaran di sana terlalu membosankan. Dia kemudian menjadi pendengar
bebas di Universitas Wina dan baru pada usia 20 tahun diterima resmi menjadi mahasiswa di
universitas itu.4

Ketika Popper studi di universitas, Eropa sedang goncang. Kemaharajaan Austria-Hongaria


runtuh akibat kekalahannya dalam Perang Dunia I. Kondisi perekonomian memburuk secara
drastis, sehingga kelaparan dan kerusuhan terjadi di seluruh penjuru negeri. Pada saat itu Popper
sempat masuk perkumpulan pelajar sosialis dan seorang pengagum Marxisme. Akan tetapi
kekaguman Popper terhadap Marxisme pudar setelah menyaksikan kebrutalan yang dilakukan
oleh kelompok komunis terhadap lawan ideologisnya. Rangkaian peristiwa tersebut cukup
membekas pada Popper, sehingga sejak itu topik tentang kebebasan menjadi sentral dalam
filsafat sosial politiknya. Dalam pandangan Popper, “sosialisme negara hanyalah opresi dan tidak
bisa direkonsiliasi dengan kebebasan; bahwa kebebasan lebih penting daripada persamaan”
karena “jika kebebasan hilang, tidak akan ada persamaan bahkan di antara orang yang tak
bebas”.5

Pada tahun 1937 Popper dan istrinya pergi meninggalkan Austria untuk menghindari fasisme
Nazi. Perlu diketahui, meskipun dibaptis di gereja Protestan, Popper adalah keturunan Yahudi.
Popper pergi ke Selandia Baru melalui Inggris. Di tempat barunya dia mengajar filsafat di
Canterbury University College, Christchurch. Di sana dia menyelesaikan buku Open Society and
Its Enemies dan the Poverty of Historicism. Di buku pertama dia mengkritisi pemikiran Plato,
Hegel, dan Marx. Di buku kedua dia menujukkan bahwa ketiga pemikiran tersebut pada
dasarnya adalah ramalan sejarah, dia menyebutnya sebagai historisisme, yang berubah menjadi
ideologi. Dalam praktiknya, ideologi cenderung bersifat totaliter karena ia tidak bisa/mau
dikritisi dan, apalagi, disalahkan.

Setelah Perang Dumia II berakhir, Popper pindah ke Inggris untuk mengajar di London School
of Economics (LSE). Di sana dia terus mengembangkan pemikirannya, termasuk
menerjemahkan tulisan-tulisannya dalam bahasa Jerman ke dalam bahasa Inggris. Sejak itu
pengaruh Popper meluas cepat. Setelah resmi pensiun pada 1969, Popper tetap aktif menulis dan
memberikan kuliah, termasuk beberapa kali kunjungan ke berbagai negara, sampai meninggal
pada 1994. Oleh para pengagumnya, gagasan Popper tentang ‘masyarakat terbuka’ terus menerus
dikembangkan dan dijadikan jargon cita-cita politik dan ekonomi liberal. George Soros, bekas
muridnya di LSE, mendirikan The Open Society Foundation yang bertujuan untuk “opening up
closed societies, making open societies more viable, and promoting a critical mode of
thinking”.6 Dengan dana yang dimilikinya, yayasan ini aktif mempromasikan nilai-nilai yang
sedikit banyak mengacu pada pemikiran Popper ke seluruh dunia. Di Indonesia, baru-baru ini
majalah Prisma yang diterbitkan oleh LP3ES (Lembaga Penelitian, Pendidikan, dan
Pengembangan Ekonomi dan Sosial) bekerjasama dengan Yayasan Tifa mengangkat tema
‘Masyarakat Terbuka Indonesia: Pesona atau Persoalan?’. Di sana ada tulisan menarik dari
Karlina Supelli yang membahas problematik gagasan masyarakat terbuka Popper jika
diimplementasikan di Indonesia.7 Di bagian akhir kita akan kembali ke topik ini, namun
sebelumnya kita akan mendiskusikan terlebih dahulu pemikiran Popper pada ranah epistemologi
dan ontologi.

Dasar-dasar Pemikiran Popper


Epistemologi adalah cabang filsafat yang membicarakan ruang lingkup dan cara memperoleh
pengetahuan. Sejak masa Yunani Kuno diskusi tentang epistemologi telah dimunculkan,
terutama oleh kaum Sophis yang mengajukan skeptisisme. Akan tetapi, terutama pada Plato-lah
epistemologi menemukan rumusannya yang lebih spesifik. Plato mengajukan pertanyaan-
pertanyaan berikut: Apa pengetahuan itu? Di mana pengetahuan biasanya diperoleh? Di antara
apa yang biasa kita anggap kita ketahui berapa yang benar-benar pengetahuan? Dapatkah indera
menghasilan pengetahuan? Bisakah akal memberikan pengetahuan? Apa hubungan antara
pengetahuan dan kepercayaan yang benar?8

Pada periode modern, Descartes mengembangkan apa yang disebut rasionalisme. Pandangan ini
—dikenal sebagai pandangan Cartesian—mendasarkan diri pada prosedur tertentu dari akal atau
rasio. Descartes percaya bahwa pengetahuan rasional bersifat mutlak dan berlaku universal.
Sebagai reaksi terhadap pandangan Cartesian ini muncul empirisme. Tokoh utamanya adalah
John Locke. Dia menyatakan bahwa pengetahuan yang benar didapatkan dari pengamatan
inderawi. Akan tetapi, David Hume, seorang yang sebenarnya beraliran empiris, meragukan
kemampuan inderawi untuk benar-benar menjangkau semesta pengetahuan. Hume lebih lanjut
menyangsikan apakah pengetahuan yang partikular, yang disusun secara induktif, bisa menjadi
pengetahuan yang universal.

Immanuel Kant adalah filsuf yang berusaha mengatasi rasionalisme dan empirisme. Dalam
banyak hal, Popper menyetujui pandangan Kant, termasuk pandangannya tentang pengetahuan
apriori, yaitu pengetahuan yang ada sebelum pengalaman.9 Akan tetapi, Popper tidak setuju
dengan Kant mengenai keabsahan pengetahuan apriori. Bagi Popper, teori pengetahuan adalah
penemuan kita yang bersifat konjektur, sehingga ia bisa salah kalau dikemudian hari ditemukan
pengetahuan yang lebih meyakinkan. Mengikuti Darwin, Popper melihat teori pengetahuan atau
epistemologi secara evolutif dan saling berkompetisi. Tidak ada epistemologi yang tunggal. Oleh
karena itu, teori pengetahuan tidak bisa menjadi sebuah dogma yang berlaku sepanjang sejarah,
melainkan sebentuk hipotesis yang bisa dikritisi dan bahkan disalahkan.

Popper, dengan demikian, ingin menyelamatkan rasionalisme tetapi dengan catatan.


Rasionalisme Popper dikenal dengan rasionalisme kritis. Proyek Popper ini terutama ditujukkan
untuk membantah kaum positivisme logis yang berbasis di Wina, Austria—dikenal sebagai
Lingkaran Wina. Salah satu proyek mereka adalah hendak memisahkan mana ungkapan yang
bermakna dan ungkapan yang tidak bermakna. Ungkapan ini bisa ditemukan dalam bahasa
sebagai objektifikasi pikiran manusia. Menurut kaum postivisme logis, pemisahan itu ditentukan
oleh sejauh mana ungkapan-ungkapan itu bisa ditangkap oleh inderawi atau tidak. Ungkapan
yang tidak bisa ditangkap inderawi berarti tidak bermakna. Sebaliknya, ungkapan yang bisa
ditangkap oleh inderawi adalah yang bermakna. Ungkapan yang bermakna inilah, yang hanya
bisa diverifikasi secara empiris, yang dianggap oleh kaum positivisme logis sebagai
pengetahuan.

Popper menyangkal pandangan kaum positivisme logis tersebut. Dalam pemahamannya manusia
tidak mungkin mengetahui semesta pengetahuan hanya dengan mengandalkan verifikasi empiris.
Popper memberi contoh kasus angsa putih dan angsa hitam. Orang Eropa selama ratusan atau
mungkin ribuan tahun percaya bahwa semua angsa adalah putih karena memang sejauh itu tidak
ditemukan angsa selain angsa putih. Keyakinan ini goyah dan kemudian runtuh ketika para
pelancong Eropa menemukan angsa hitam di Sungai Victoria di Australia pada pertengahan abad
ke-17. Dengan penemuan itu keyakinan orang Eropa terbukti salah. Contoh serupa bisa
ditemukan dalam semua hal yang ada di ‘dunia objektif’. Oleh karena itu, bagi Popper, teori
pengetahuan selalu bersifat hipotesis dan konjektural.

Melihat argumennya, Popper jelas tetap berusaha menyelamatkan empirisme tetapi dengan
catatan. Bagaimanapun prinisp falsifikasi Popper dilakukan melalui pengujian yang sifatnya
empiris. Akan tetapi, empirisme Popper tidak berasal dari sebab-musabab yang berujung pada
akibat, dari yang partikular menuju yang universal. Empirisme Popper lahir dari pengetahuan
apriori yang ditimba dari pengetahuan apriori-nya Kant, tetapi Popper meneruskan itu dengan
menambahkan prinsip falsifikasi. 10 Ketika ada bukti empiris yang lebih kuat, teori pengetahuan
lama otomatis terbukti salah. Namun jika bukti empiris baru ternyata lebih lemah, teori
pengetahuan lama justru dikuatkan (corroborated) oleh bukti empiris baru tersebut. Dengan
prinsip inilah ilmu penegetahuan berkembang dan terhindar dari pembakuan yang bisa
memerosotkan ilmu menjadi mitos dan ideologi.

Berangkat dari prinsip falsifikasi, Popper ingin menghindari objektivisme dan subjektivisme
dalam pengertiannnya yang ekstrem. Untuk itu dia mengajukan gagasan ontologis tentang tiga
Dunia. Dunia 1 adalah dunia fisik, Dunia 2 adalah dunia mental, Dunia 3 adalah dunia objektif.
Dunia 1 dan Dunia 2 saling berinteraksi. Dunia 2 dan Dunia 3 saling berinteraksi. Akan tetapi,
Dunia 1 tidak bisa langsung berinteraksi dengan Dunia 3 kecuali melalui Dunia 2. Dengan kata
lain, benda-benda fisiologis berinteraksi dengan benda-benda psikologis, benda-benda psikologis
berinteraksi dengan benda-benda logis, tetapi benda-benda fisiologis tidak bisa langsung
berinteraksi dengan benda-benda logis kecuali terlebih dulu melalui dunia psikologis.11
Apa yang dimaksud Dunia 3 tak lain adalah pendekatan objektif. Pada Popper, itu berarti
pendekatan yang memandang pengetahuan manusia sebagai suatu sistem pernyataan atau teori
yang dihadapkan pada diskusi kritis, ujian intersubjektif, atau kritik timbal-balik. Pendekatan
objektif adalah kata lain untuk epistemologi pemecahan-masalah (problem-solving).12 Analisis
yang lahir dari epistemologi Popper ini bersifat situasional, sehingga ia hanya sebuah solusi
tentatif. Ia mesti menyesuaikan diri secara terus menerus dengan problem-problem baru.

Pendapat Popper tentang Dunia 3 adalah gagasan ontologis yang berpijak pada bahasa sebagai
objektifikasi dunia mental manusia yang subjektif. Secara jelas Popper menyatakan bahwa “...
Diri kita, fungsi bahasa yang tinggi (deskriptif dan argumentatif) dan Dunia 3 telah berevolusi
dan muncul bersama dalam interaksi yang terus menerus ... untuk lebih spesifik, saya
menyangkal bahwa binatang mempunyai kesadaran penuh atau bahwa mereka mempunyai diri
yang sadar. Diri kita berkembang bersama dengan fungsi-fungsi bahasa yang lebih tinggi yaitu
fungsi yang deskriptif dan argumentatif”.13 Kutipan ini merupakan kritik Popper terhadap kaum
positivisme logis yang juga sama-sama berangkat dari permasalahan bahasa.

Popper dan Persoalan Sosial Politik


Epistemologi Popper yang menekankan prinsip falsibilitas tercermin dalam filsafat sosial dan
politiknya. Berbicara tentang metode-metode ilmu sosial, Popper secara tegas menolak
pandangan historisisme, yaitu “suatu pendekatan terhadap ilmu-ilmu sosial yang mengasumsikan
bahwa tujuan ilmu-ilmu sosial dapat dicapai dengan menemukan 'ritme' atau 'pola', 'hukum' atau
'tren' yang mendasari evolusi sejarah”. 14 Bagi Popper, pandangan ini tidak hanya berbahaya
karena cenderung totaliter, tetapi juga tidak memadai untuk memahami realitas sosial yang
kompleks. Selain itu, pandangan kaum historisis juga problematis karena mengombinasikan
tesis-tesis pro-naturalistis pada satu sisi tetapi anti-naturalistis pada sisi yang lain. Maksudnya,
pada satu sisi mereka percaya pada hukum-hukum sosial yang bekerja sebagaimana hukum-
hukum alam, sehingga menghasilkan prediksi sejarah, tetapi pada satu sisi mereka juga
mempunyai kepercayaan yang besar pada keagenan manusia, sehingga jatuh pada pandangan
deterministik, seperti konsepsi kelas pada kelompok Marxis sebagai contoh.

Dalam sebuah tulisannya, Popper menegaskan kembali posisinya terhadap kaum historisis.15 Di
sana Popper sekali lagi menyerang Marxisme. Sebagaimana telah disinggung sebelumnya, sejak
remaja Popper mengungkapkan kekecewaannya terhadap Marxisme. Menurut Popper, Marxisme
tak lebih dari sebuah doktrin yang mendasarkan diri pada prediksi dan kenubuatan (prophecy).
Bertolak dari dua hal tersebut, Marxisme menyusun proyek politiknya, padahal menurut Popper
dua hal tersebut sejatinya adalah pengandaian normatif, tetapi oleh para pengikutnya dipaksakan
untuk dibuktikan benar dalam sejarah. Selain itu, Popper juga mengkritik teori psikoanalisa-nya
Freud dan teori psikologi individual-nya Alfred Adler. Teori-teori tersebut, menurut Popper,
terlalu mengandalkan subjektivitas sehingga tidak menghasilkan objektifitas yang bisa
difalsifikasi.16 Akan tetapi, William A. Gorton berpendapat bahwa Popper sebenarnya
mengagumi Marx sebagai seorang ilmuwan sosial yang hebat dan dia mengambil beberapa
inspirasi darinya. 17 Apa yang disebut Popper sebagai ‘Oedipus effect’ diambil dari Marx yang
berbicara tentang ‘unintended consequensces of human actions’. ‘Oedipus effect’ berarti prediksi
bisa mempengaruhi peristiwa yang diprediksi.18

Menurut Popper, teori ilmu-ilmu sosial seharusnya “trace the unintended social repercussions of
intentional human actions”. Dengan itu, ilmu-ilmu sosial akan terhindar dari ideologisasi dan
mencapai objektifikasi. Menurut Popper, seperti juga ilmu-ilmu alam, “most of the objects of
social science, if not all of them, are abstract objects; they are theoritical constructions. (Even
‘the war’ or ‘the army’ are abstract concepts, strange as this may sound to some. What is
concrete is the many who are killed; or the men and women in uniform, etc.,)”.19 Oleh sebab itu,
dunia objektif-nya Popper berbeda dengan relativisme epistemologis yang dianut oleh banyak
antropolog atau sejarawan.20 Pada Popper, terdapat konstruksi teoritis tertentu yang objektif,
yang menjadi benang merang antara realitas yang satu dan realitas yang lain. Di sini terlihat
pemikiran Popper masih diwarnai oleh positivisme. Pada titik ini Popper menjadi sasaran kritik
Adorno dan para eksponen Madzhab Frankfurt lainnya.21

Lepas dari itu, gagasan Popper tentang ‘masyarakat terbuka’ sangat menarik dan terus menerus
menjadi topik perdebatan sampai sekarang. Akan tetapi persis dalam gagasan ini pula Popper
sering disalahpahami. Hari ini gagasan tersebut sering diasosiasikan dengan George Soros,
seorang pengagum abadi Popper yang mendirikan The Open Society Foundation tetapi lebih
dikenal publik sebagai seorang spekulan saham yang menjatuhkan ekonomi Asia pada krisis
finansial 1998. Pengasosiasian itu tidak sepenuhnya salah, tetapi kita perlu memeriksa terlebih
dahulu apa yang sesungguhnya diusulkan Popper dengan konsep masyarakat terbuka. Apa kaitan
antara konsep yang awalnya dikemukakan oleh Henri Bergson itu dengan kapitalisme dan
demokrasi liberal seperti yang sering kita baca dan lihat di media-media?

Popper mengaku sebagai seorang liberal dalam pengertian klasik, tetapi bukan seorang
simpatisan partai politik. Dia menyebut dirinya “simply a man who values individual freedom
and who is alive to the dangers inherent in all forms of power and authority”. 22 Dalam
perbincangan kita sehari-hari, khususnya di Indonesia, liberalisme dan kapitalisme memang
seringkali problematis, lebih sering ditanggapi secara emosional daripada mendudukkan
perkaranya secara rasional. Dalam lingkup global, istilah-istilah itu sering dialamatkan kepada
kebijakan ‘neoliberal’ Thatcher di Inggris dan Reagen di Amerika Serikat pada 1980-an.
Menurut mereka, peran negara dalam ekonomi harus diminimalisasi, bahkan sebaiknya angkat
kaki. Pada masa itu Popper dan von Hayek diusung oleh kaum libertarian sebagai pemikir utama
Kanan Baru. Dalam berbagai kesempatan Popper bahkan sering dijadikan senjata untuk
menyerang model ‘negara kesejahteraan’ seperti yang dipraktikkan di negara-negara
Skandinavia.
Akan tetapi, beberapa pengamat seperti Brian Magee dan Ralf Dahrendorf mengklasifikasi
Popper sebagai seorang ‘sosial demokrat’. Pengamat lain, Malachi Haim Hacohen, justeru
menekankan latar belakang sosialis Popper ketika masih tergabung dalam kelompok pemuda
sosialis di Wina. Hacohen berpendapat bahwa ketika menulis The Open Society sewaktu Perang,
Popper tidak tahun apapun tentang Uni Soviet. Oleh karena itu, buku itu harus dibaca sebagai
perlawanan terhadap fasisme, bukan sebuah “charter of cold war liberalism”. Popper, kata
Hacohen, memang menekukan pandangan fasis pada Platon dan Hegel, tetapi Marx sebenarnya
seorang demokrat progresif yang terperangkap jeratan historisisme.23

Popper membedakan masyarakat terbuka dengan masyarakat tertutup yang ‘magis atau tribal
atau kolektivis’. Dalam masyarakat terbuka “individuals are confronted with personal decisions”
dan dengan demikian mereka mempunyai tanggung jawab dalam menerima kebijakan publik.
Menurut Niiniluoto, dalam konteks publik Popper sangat menekankan prinsip hukum dan etis,
sehingga dia menolak ‘the unrestrained capitalism’. Yang didukung oleh Popper bukan
kapitalisme, melainkan ekonomi pasar. Dua hal itu mempunyai pengertian kontras. Pengertian
kapitalisme lebih dekat dengan pengertian kaum Darwinisme sosial yang menyatakan bahwa
evolusi sejarah manusia hanya akan menyisakan kemenangan bagi mereka yang terkuat. Dalam
pengertian ini pula terdapat keyakinan bahwa campur tangan negara terhadap ekonomi akan
mengganggu alih-alih membantu. Ekonomi akan selalu mencapai titik keseimbangannya melalui
kehadiran ‘tangan yang tak terlihat’. Di sisi lain, ekonomi pasar berbasis pada kompetisi bebas,
tetapi para pemain dalam kompetisi bebas tersebut tetap dibatasi oleh prinsip hukum dan etika
yang berlaku. Juga kompetisi ini harus bebas dari manipulasi. Yang ditekankan oleh Popper
adalah kebaikan bersama dan keadilan sosial. Untuk menjamin itu, campur tangan negara adalah
keniscayaan, “we must demand the unrestrained capitalism give way to an economic
interventionism”. Alasan Popper adalah kebebasan pada dirinya sendiri menyimpan paradoks
sejak “unlimited freedom means that a strong man is free to bully one who is weak and to rob
him of his freedom”, demikian kata Popper sebagaimana dikutip oleh Niinilouto.24

Oleh karena itu tidak tepat kalau dikatakan bahwa masyarakat terbukanya Popper sebagai anti-
negara kesejahteraan. Untuk mencapai masyarakat terbuka, ekonomi pasar harus diisi dan
diperkaya dengan prinsip-prinsip keadilan. Dalam tafsiran Niiniluoto, bertentangan dengan
pandangan libertarian yang menekankan persaingan antar individu yang bebas, gagasan
masyarakat terbuka lebih dekat dengan pandangan etik komunitarian yang menekankan
kerjasama dan dan saling hormat antara warga negara dan bangsa. Mengacu pada konsepsi
keadilan Rawls, aktifitas ekonomi dalam masyarakat terbuka harus memberi keuntungan pada
semua.25
Dalam politik, gagasan masyarakat terbuka jelas menolak segala bentuk totalitarianisme. Popper
sendiri sudah mengulas banyak tentang itu dalam The Open Society dan The Poverty of
Historicism. Lalu bagaimana kita menanggapi pendapat kalangan yang menyatakan bahwa
demokrasi liberal adalah akhir perjalanan sejarah umat manusia seperti dikatakan Francis
Fukuyama? Kalau mengikuti Popper, pendapat tersebut jelas bertentangan dengan prinsip
falsifikasi, sehingga harus ditolak. Dengan kata lain itu tak lebih dari ekspresi dari historisisme
kontemporer yang justeru semakin berkembang terutama pasca tragedi 9/11. Kita tentu saja tidak
bisa menolelir aksi terorisme yang telah membuat banyak orang kehilangan hak hidupnya.
Mereka adalah individu atau orang yang terperosok dalam lubang historisisme, menganggap nilai
(agama) yang mereka yakini merupakan jalan hidup terbaik yang harus ditempuh umat manusia
meski itu harus dibayar dengan aksi bom bunuh diri. Namun di sisi lain, perang terhadap
terorisme (war on terror) yang pernah digelorakan oleh George W. Bush sewaktu menjabat
Presiden Amerika Serikat juga sama-sama merupakan bentuk historisisme. Menurut Niiniluoto,
terorisme tidak bisa diserang dengan membawa kembali jenis historisisme yang lain ke dalam
gelanggang politik, yaitu kenubuatan bahwa demokrasi liberal ala Barat adalah sebuah
keniscayaan sejarah. Jika pemahaman ala Bush diteruskan, yang terjadi adalah benturan antara
historisisme yang telah mapan dan historisisme yang sedang diproyeksikan. Alternatif untuk
mempromosikan dan membumikan gagasan masyarakat terbuka sangat diperlukan, yaitu dengan
jalan pendidikan, argumentasi rasional, kebebasan berpikir, pengakuan dan penghormatan diri,
dan, yang tidak boleh dilupakan, kesejahteraan ekonomi dan keadilan sosial.26

Penutup
Karlina Supelli menyatakan bahwa “kondisi kita adalah kondisi ultraliberal atomis dan atomistik
yang sesekali ditabrak oleh kekuatan-kekuatan tribal sektarian dalam bentuk sektarianisme
agama, etnis, dan sebagainya”.27 Jika kesimpulan Supelli tersebut tepat, apakah gagasan
masyarakat terbuka Popper bisa diterapkan di Indonesia? Persoalan utamanya mungkin bukan
bisa atau tidak bisa diterapkan dalam pengertian hitam putih, tetapi yang terpenting adalah
bagaimana caranya. Tafsir libertarian terhadap masyarakat terbuka tentu harus ditinjau ulang,
sebab yang terasa hilang dalam kehidupan berbangsa kita di Indonesia justru ketiadaan rasa
kepemilikan atau solidaritas terhadap cita-cita bersama. Kebersamaan tidak harus selalu identik
dengan ‘kolektivisme’ yang dikritik Popper sebagai ciri masyarakat tertutup. Kebersamaan
adalah kesamaan gerak menuju cita-cita kita sebagai sebuah kolektivitas politik sebagaimana
tertuang dalam Konstitusi. Tentang bagaimana cara mencapai itu, resep dari Popper masih sangat
relevan diperhatikan. Dia tidak mengajurkan revolusi tetapi kemudian memakan anak
kandungnya sendiri. Dia mengusulkan ‘piecemeal social engineering’ dengan prinsip
‘minimizing avoidable suffering’. Yang kita butuhkan adalah kesetiaan merawat cita-cita
bersama karena bangsa Indonesia adalah poyek politik yang belum dan tidak akan pernah selesai,
sambil tetap membuka ruang kemugkinan untuk koreksi, sehingga bisa terus menerus
difalsifikasi. (Amin Mudzakkir)
Endnotes

1. Karl R. Popper, Gagalnya Historisisme, terj. Nena Suprapto (Jakarta: LP3ES, 1985); Karl R.
Popper, Masyarakat Terbuka dan Musuh-Musuhnya, terj. Uzair Fauzan (Yogyakarta: Pustaka
Pelajar, 2008)

2. Karl R. Popper, Conjectures and Refutations: The Growth of Scientific Knowledge (London
dan New York: Routledge, 1989 [edisi kelima]), hlm. 39.

3. Dikutip dalam C. Verhaak dan R. Haryono Imam, Filsafat Ilmu Pengetahuan: Telaah atas Cara
Kerja Ilmu-Ilmu (Jakarta: Gramedia, 1991 [cetakan kedua]), hlm. 159.

4. Roberta Corvi, An Introduction to the Thought of Karl Popper, translated by Patrick Camiller
(London dan New York, 1997), hlm. 3.

5. Ibid., hlm. 4.

6. William A. Gorton, Karl Popper and the Social Sciences (Albany: State University of New
York Press, 2006), hlm. 1.

7. Lihat, misalnya, Karlina Supelli, “Masyarakat Terbuka: Catatan Kritis untuk Pesona Sebuah
Konsep”, Prisma, Vol. 30, No. 1, 2011, hlm. 3-14.

8. Alfons Taryadi, Epistemologi Pemecahan Masalah Menurut Karl Popper (Jakarta: Gramedia,
1991), hlm. 18.

9. Corvi, op. cit., hlm. 16.

10. Corvi, loc. cit.


11. Taryadi, op. cit., hlm. 94-95.

12. Ibid., hlm. 30-33.

13. Ibid., hlm. 102

14. Corvi, op. cit., hlm. 47-48.

15. Karl R. Popper, “Prediction and Prophecy in the Social Sciences” dalam Patrick Gardiner
(ed.), Theories of History (New York: The Free Press, 1959), hlm. 276-285.

16. Popper, Conjectures and Refutations, hlm. 34-35.

17. Gorton, op. cit., hlm. 4

18. Popper, conjectures and refutations, hlm. 38.

19. Corvi, op. cit., hlm. 49.

20. Relativsme epistemologis adalah “suatu paham yang mengingkari adanya dan dapat
diketahuinya kebenaran yang objektif dan universal oleh manusia”. Lihat, Sudarminta,
Epistemologi Dasar: Pengantar Filsafat Pengetahuan (Yogyakarta: Kanisius, 2002), hlm. 55;
lihat juga, Anton van Harskamp (ed.), Konflik-Konflik dalam Ilmu Sosial (Yogyakarta:
Kanisius, 2005), hlm. 14.

21. Perdebatan mereka direkam dalam Theodor W. Adorno et. all., The Positivist Dispute in
German Sociology, translated by Glyn Adey dan David Frisby (London: Heinemann, 1977).

22. Dikutip dalam Ilkka Niiniluoto, “The Open Society and Its New Enemies: Critical
Reflections on Democracy and Market Economy”, http://www.tampereclub.org/e-
publications/vol2_niiniluoto.pdf, diakses 8 Januari 2012. Uraian selanjutnya tentang gagasan
masyarakat terbuka Popper dalam tulisan ini didasarkan pada penafsiran Niiniluoto. Ilkka
Niiniluoto adalah seorang profesor filsafat dan matematika di Universitas Helsinki, Finlandia dan
penulis buku Critical Scientific Realism (New York: Oxford University Press, 1999)

23. Ibid., hlm. 2.

24. Ibid., hlm. 11

25. Ibid., hlm. 12.

26. Ibid., hlm. 15.

27. Supelli, op. cit., hlm. 13-14.

Daftar Pustaka

Adorno, Theodor W., et. all., The Positivist Dispute in German Sociology, translated by Glyn
Adey dan David Frisby, London: Heinemann, 1977.

Corvi, Roberta, An Introduction to the Thought of Karl Popper, translated by Patrick Camiller,
London dan New York, 1997.

Gorton, William A., Karl Popper and the Social Sciences, Albany: State University of New York
Press, 2006.

Hedstrom, Peter, Richard Swedberg, dan Lars Udehn, “Popper’s Situational Analysis and
Contemporary Sociology”, Philosophy of the Social Sciences, Vol. 28, No. 3, September 1998.
Niiniluoto, Ilkka, “The Open Society and Its New Enemies: Critical Reflections on Democracy
and Market Economy”, http://www.tampereclub.org/e-publications/vol2_niiniluoto.pdf, diakses
8 Januari 2008.

Popper, Karl R., “Prediction and Prophecy in the Social Sciences” dalam Patrick Gardiner (ed.),
Theories of History, New York: The Free Press, 1959.

----------, Gagalnya Historisisme, terj. Nena Suprapto, Jakarta: LP3ES, 1985.

----------, Conjectures and Refutations: The Growth of Scientific Knowledge, London dan New
York: Routledge, 1989, edisi kelima.

----------, Masyarakat Terbuka dan Musuh-Musuhnya, terj. Uzair Fauzan


Yogyakarta: Pustaka Pelajar, 2008.

Sudarminta, J., Epistemologi Dasar: Pengantar Filsafat Pengetahuan, Yogyakarta: Kanisius,


2002.

Supelli, Karlina, “Masyarakat Terbuka: Catatan Kritis untuk Pesona Sebuah Konsep”,
Prisma, Vol. 30, No. 1, 2011, hlm. 3-14.

Taryadi, Alfons, Epistemologi Pemecahan Masalah Menurut Karl Popper, Jakarta: Gramedia,
1991.

Verhaak, C. dan R. Haryono Imam, Filsafat Ilmu Pengetahuan: Telaah atas Cara Kerja Ilmu-
Ilmu, Jakarta: Gramedia, 1991, cetakan kedua.

van Harskamp, Anton (ed.), Konflik-Konflik dalam Ilmu Sosial, Yogyakarta: Kanisius, 2005.

Anda mungkin juga menyukai