FILSAFAT KONTEMPORER:
Dosen pengampuh:
Dr.Danny Abrianto,S.Th.I.,Mpd
Disusun oleh:
Rafika Fadila(2017520001)
Melakukan CriticalBook Riview pada suatu buku sangat penting dilakukan, karena
darikegiatan tersebut kita bisa menemukan kekurangan dan kelebihan dari buku buku yang
di revies.Kemudian setelah kita bisa menemukan beberapa kekurangan tersebut maka
dapat memperolehsuatu informasi yang kompeten pada buku tersebut dengan cara
menggabungkan beberapainformasi dari buku pembandingnya.
IDENTITAS BUKU
Cover Buku:
Secara umum, sejarah filsafat barat terbagi menjadi 3 periode: 1) Filsafat Zaman
Yunani dan Romawi; 2) Filsafat Abad Pertengahan; 3) Filsafat Modern. Periode ketiga ini
biasanya dianggap berakhir dengan pembahasan pemikiran filsuf Jerman Friederich
Nietzsche (1844-1900). Namun hari ini ada yang mengembangkan sejarah periodisasi filsafat
barat yaitu periode dimana kita hidup saat atau periode 4) Filsafat Kontemporer. Filsafat
kontemporer muncul dan berkembang pesat di berbagai belahan dunia pada abad 20.
Istilah kontemporer memiliki makna sekarang, saat ini, atau zaman yang kita saat
penutur/pembicara/pendengar alami. Filsafat kontemporer adalah cara pandang dan berpikir
mendalam menyangkut kehidupan pada masa kini. Ciri filsafat kontemporer adalah memiliki
sifat yang heterogen.
Sebagian besar peneliti sepakat cikal bakal filsafat kontemporer dimulai setelah era
pemikiran filsafat Nietzsche. Niestzsche mengkritik habis-habisan moral kebudayaan Barat,
baginya tidak ada lagi ruang bagi pertimbangan moral, begitu manusia berpikir tentang
kepentingannya, maka ukuran baik-buruk ditentukan oleh kepentingan sang penguasa.
Nietzsche mengkritik kegagalan pemikiran filsafat modernisme.
Perkembangan Filsafat Barat Kontemporer tentu saja tidak dapat dilepaskan dari
perkembangan filsafat sebelumnya, yaitu Filsafat Barat Modern. Masalah yang dihadapi
manusia modern sangat berbeda dengan manusia abad XX. Kehidupan manusia abad XX
adalah kehidupan yang rumit dan penuh dengan berbagai persoalan. Oleh karena itu para
filsuf sepakat bahwa munculnya permasalahan adalah dari cara berfikirnya. Sehingga filsuf-
filsuf di berbagai belahan dunia termasuk mencetuskan pemikiran-pemikiran baru yang khas
yaitu filsafat kontemporer. Bagaimana pandangan para filsuf dari Jerman dan Inggris akan
dijelaskan lebih lanjut sebagai berikut.
1. Idealisme
Pada awal abad 20, aliran filosofis yang dominan di inggris adalah idealisme. Kadang
juga disebut sebagai neohegelianisme, karena filsafat Hegel sebagai sumber inspirasi
utama bagi para penganut filsafat idealisme. Filsafat idealisme di Inggris berkembang
sebagai reaksi atas materialisme dan positivisme. Salah satu ide fislafat idelaisme berasal
dari filsuf Bernard Bosanquet (1848-1923) yang menganggap kebenaran adalah
keseluruhan. Benda-benda atau fakta hanya mendapat maknanya karena tercantum dalam
keseluruhan. Dengan kata lain, yang individual harus dimengerti dalam hubungan
dengan absolut.
4. Ludwig Wittgeinstein
Wittgeinsten memiliki pandangan yang mirip dengan Russell mengenai teori atomisme
logis. Teori pertama Wittgeinsten disebut Tractatus Logico-philosophicus, yaitu suatu
proposisi elementer menunjuk pada suatu state of affairs dalam realitas. Suatu proposisi
elementer terdiri dari nama-nama. Suatu nama menunjuk kepada suatu objek dalam
realitas. Tetapi nama-nama tersendiri tidak memiliki makna. Nama-nama tersendiri tidak
mengatakan sesuatu dan akibatnya tidak mungkin bersifat benar atau tidak benar. Hanya
proposisilah yang memiliki makna.
Teori kedua adalah Philosophical Investigations. Teori ini sedikit banyak mengkiritik
teorinya yang pertama yaitu tractacus. Secara umum pandangan ini berbicara bahwa
filsafat harus mnyelidiki permainan-permainan bahasa yang berbeda-beda, menunjukkan
aturan-aturan yang berlaku di dalamnya, menetapkan logikanya dan sebagainya. Filsafa
tidak campur tangan dalam pembentukan suatu permainan bahasa. Filsafat hanya
melukiskan berfungsinya. Dengan menerangkan cara bahasa dipakai sering kali masalah-
masalah filosofis dapat dipecahkan.
1. Neokantianisme
Salah satu aliran penting di Jerman pada paruh kedua abad ke- 19 yang memberi
perhatian baru pada filsafat Immanuel Kant (1724-1804) yaitu neokantianisme. Ada 2
madzhab utama: Madzhab Marburg. Madzhab ini dirintis oleh Herman Cohen (1842-
1918). Ia menganggap filsafat sebagai analisis logis tentang pemikiran manusia.
Pengetuan yang paling ideal adalah pengetahuan eksakta yang dihasilkan oleh ilmu
pengetahuan alam. Ernest Cassier (1874-1945), sempat diusulkan oleh Cohen sebagai
penerus di Marburg, namun tidak disetujui oleh Universitas. Cassier menulis Filsafat
tentang Bentuk-bentuk Simbolis. Dia mencari apa yang menandai manusia sebagai
manusia, dalam perbedaannya dengan makhluk-makhluk lain. Dia berfikir pemecahan
masalah ini harus dicari dalam simbol. Ciri khas manusia ialah bahwa ia merupakan
animal symbolicum, makhluk yang mengerti serta membentuk simbol. Tanda menunjuk
pada satu hal saja, sedangkan simbol bersifa universal dan karena itu relatif. Karena
adanya simbol, manusia dapat mneciptakan suatu dunia kulutural, dimana terdapat
bahasa, mitos dan agama, kesenian, ilmu pengetahuan.
Madzhab kedua adalah Madzhab Baden. Filsuf yang meninjol dalam madzhab ini adalah
Wihelm Windelband (1848-1915). Menurut Windelband ada dua jenis ilmu pengetahuan
yang masing-masing memiliki sifat tersendiri: ilmu pengetahuan alam dan ilmu
pengetahuan budaya atau ilmu pengetahuan historis. Ilmu pengetahuan alam disifatkan
sebagai ilmu pengetahuan nomotetis, yang membahas fenomena-fenomena pengalaman
inderawi yang dapat diulangi terus menerus dan hanya merupakan kasus-kasus yang
menyangkut suatu hukum umum dalam alam. Sedangkan ilmu pengethauan budaya
disebut sebagai ilmu pengetahuan idiografis, yang membahas individual yang unik, yang
hanya satu kali terjadi dan ia coba mencari keunikannya. Selain itu Windelband, tokoh
lain yang menonjol dalam Madzhab Baden adalah Heinrich Ricket (1863-1936) dan Emil
Lask (1875 dan 1915).
2. Wihelm Dilthey dan Filsafat Kehidupan
Wihelm Dithney (1833-1911) menaruh perhatian pada filsafat kehidupan. (Philosophie
des Lebens). Dia mengembangkan pendapat Windelband mengenai pembagian ilmu
pengetahuan menajdi dua yaitu Naturswissenschaften yang berkaitan dengan ilmu
pengetahuan alam dan Geitseswissenschaften yang berkaitan dengan ilmu pengetahuan
budaya. Ia lebih terperinci dalam mempelajari ilmu budaya yang digolongkan seperti
ilmu sejarah, ekonomi, ilmu hukum dan politik, ilmu agama, ilmu kesusastraan,
psikologi, dan sebagainya. Menurut Dilthey, ilmu pengetahuan budaya memiliki metode
tersendiri yang tidak dapat disamakan dengan ilmu pengetahuan alam. Ia meamandang
ilmu budaya bahwa dalam ilmu pengetahuan itu dipraktikkan apa yang disebutnya
verstehen (mengerti), yaitu menemukan makna suatu prouk manusiawi yang hanya dapat
dilakukan dengan menempatkannya dalam kontkesnya . Sedangkan ilmu pengetahuan
alam berdasar pada ekclaren, yaitu menjelaskan suatu kejadian atas dasar penyebabnya.
3. Neothomisme
Sekitar pertengahan abad ke- 19, kalangan katolik di Jerman dan Italia terdapat sejumlah
filsuf yang mencari inspirasi dari Filsufa abad ke- 13 yaitu Thomas Aquinas. Hal yang
memperkuat bertahannya pemikiran Aquinas karena pada tahun 1879 Paus Leo XII
mengeluarkan suatu ensilik (edaran) yang mnganjurkan seluruh umat katolik mengikuti
pemikiran filsafat Thomas Aquinas. Para pemimpin katolik pada abad pertengahan
memang menaruh perhatian khusus pada perkembangan pemikiran filsafat, terutama
postifisme dan materialisme yang dianggap kurang cocok untuk kaum katolik. Mereka
mengembangkan opsi pemikiran filasfat lain seperti fidelisme, tradisionalisme dan
ontologisme yang memberikan seuatu keseimbgangan yang mengagumkan antara iman
dan ratio. Beberapa tokoh utama neothomisme adalah Joseph Geyser (1869-1948), Joseph
Pieper (1904-1997), Gustav Siewerth (1903-1963), Gallus Manser (1866-1950), Paul Wyser
(1904-1964), Karl Rahner (1904-1984) Emerich Coreth (1919-2006), Martin Grabmann
(1875-1949), Josef Koch (1885-1967), dan Paul Wilpert (1906-1967).
5. Max Scheler
Max Scheler (1878-1928), merupakan filsuf yang mendapat insipirasi dari banyak filsuf
lain seperti Rudolf Eucken, Nietzsche, Dilthey, dan Bergson. Dia menyumbangkan
pemkiran filsafat fenomenologi, membagi menjadi 3 unsur yaitu penghayatan (Erleben),
perhatian kepada washeit, dan perhatian kepada hubungan satu sama lain
(Wesenzusammenhang). Selain fenomenologi, Scheler juga mengajarkan tentang etika
pada tingkat agama. Nilai-nilai terbagi menjadi 4 yaitu (1) nilai-nilai yang menyangkut
kesenangan; (2) nilai-nilai berkaitan dengan vitalitas; (3) nilai-nilai rohani tidak
tergantung dari hubungan timbal balik antara organisme dengan dunia di sekitarnya.
“Yang kudus” dan “yang tidak kudus” merupakan nilai-nilai yang menyangkut objek-
objek absolut. Mengenai Persona, Scheler mengkritik pandangan dari Kant dan kaum
Skolastik. Dia menganggap persona dasr kesatuan pelbagai aktus yang belainan-lainan
jenisnya. Suatu inidividu yang menjalankan aktus-aktus sejenis, tidak dapat disebut
persona. Misalnya, Allah seperti dimengerti oleh Aristoteles sebagai “pemikiran yang
memandang pemikirannya”, bagi Scheler tidak bisa dianggap sebagai persoona. Persona
tidak merupakan suatu hal di atas atau di belakang aktus-aktus konkret, tetapi hanya ada
dan menghayati diri dalam perwujudan aktus-aktus. Pengertian persona menurut Scheler
bersifat dinamis. Dalam memandang hubungan agama dengan filsafat, Scheler menolak
setiap percobaan untuk mengidentifikasi dua hal tersebut, baik percobaan filsafat
mencakup agama ataupun percobaan teologi mencakup filsafat.
6. Nikolai Hartmann
Nikolai Hartman (1882) menciptakan suatu ontologi baru, suatu ajaran tentang “ada”. Dia
menulis buku mengenai Metafisika Pengenalan menurut Garis Besarnya (1921). Dalam
buku itu dia mengkritik neokantianisme yang mengatakan bahwa objek pengenaan
tergantung pada subjek. Menurut Hartman, pengenalan hanya mungkin, jika objek
tersebut tidak tergantung pada subjek.
8. Martin Heidegger
Pemikiran Martin Heidegger (1889) terbagi ke dalam dua periode. Peridoe pertama
Heidegger membahas tentang Ada dan Waktu. Menurut Heidegger, untuk membeberkan
pertanyaan tentang Ada, lebih dahulu kita harus bertanya akan Ada-nya makhluk satu-
satunya yang mengajukan pertanyaan itu, yaitu manusia. Manusia ditunjuk Heideger
dengan nama Dasein, yang dimaksud bahwa manusia adalah “ada” (sein) yang berada
“disitu” (da). Manusia tidak ada begitu saja, tetapi seacara erat berpautan dengn Ada-nya
sendiri. Berbeda dengan benda-benda dan binatang-binatang, manusia terlibat dalamAda-
nya. Dasein diterjemahkan sebagai “eksistensi” dan “berada-dalam-dunia”. Periode
Kedua Heidegger mengalami perubahan penting dalam konsep Ada dan Waktu. Terdapat
pembalikan (kahre) pemikiran Heidegger di periode kedua dibaningkan periode pertama.
Di periode kedua, Dasein tidak lagi menjadi titik pangkal untuk membeberkan
pertanyaan-akan-Ada, karena analisis tersebut hanyalah mungkim bila Ada itu sendiri
tampak sebagai “tidak-tersembunyi”. “Tidak-tersembunyi” merupakan kata yang dipakai
Heidegger untuk menunjukkan konsep “benar”. Heidegger dalam periode kedua
menginsafi bahwa ketidaksembunyiannya Ada merupakan kejadian paling asalmi yang
memungkinkan analisis tentang Dasein dan tidak sebaliknya.
9. Filsuf Yahudi
a. Franz Rosenweig
Franz Rosenzweig (1886) merupakan seorang filsuf yahudi dengan memiliki
pemikiran kaitan filsafat dengan agama. Ia disebut sebagai the father of Jewish
existentialism, meskipun dia sendiri tidak pernah menggunakan kalimat eksistensi.
Bukunya terdiri dari 3 bagian, buku pertama berkaitan dengan tiga fenomena
fundamental dari pengalaman kita, yaitu Allah, dunia dan manusia. Rosenzweig
menentang setiap macam monisme dan ia berpendapat bahwa monisme ini
memuncak dalam idealisme Hegel. Ia menekankan bahwa realitas mendahului
pemikiran dan karena itu tidak mungkin tergantung dari pemikiran, se.bagaimana
dikatakan dalam idelaisme. Buku bagian kedua berbicara tentang penciptaan,
pewahyuan serta penebusan dan menjelaskan bagaimana melalui penciptaan,
pewahyuan dan penebusan diadakan hubungan satu sama lain antara Allah, dunia
dan manusia. Dalam Penciptaan Allah memilih dan memanggil dunia dan manusia.
Dengan pewahyuan, yaitu bila Allah menyatakan namanya keadaan terttutup
manusia dibongkar dan relasi Aku-Engkau diadakan. Jika Manusia menjawab, ia
dapat meneruskan dialog. Jika ia tidak mau menjawab, ia menghambat
berlangsungnya dialog. Dalam penebusan yang berasal dari perintah yang
disampaikan dalam pewahyuan, terlaksanalah keterarahan pada dunia dan orang lain.
Pada bagian ketiga buku, menyoroti hasil hubungan-hubungan yang dibahas
dibagian kedua. Bagian ini diberi semboyan In tyrannos “melawan para tiran”.
Maksudnya dengan “tiran-tiran” ialah kuasa-kuasa yang mepertahankan status quo
atau realitas yang tertutup pada dirinya.
b. Martin Buber
Pemikiran utama Martin Buber (1878) adalah hubungan Aku-Engkau dan Aku-Itu.
Sepanjang kehidupan manusia ditandai dengan relasi Aku-Engkau dan mengerucut
pada relasi Aku-Itu yang dominan. Relasi Aku-Engkau memuncak dalam relasi Aku
dengan Allah sebagai Engkau yang abadi. Melawan tendensi mistik yang
meleburkan pribadi manusia ke dalam Allah, Buber menekankan bahwa pada taraf
religius sungguh terdapat relasi Aku-Engkau.
KESIMPULAN
Buku Filsafat Barat Kontemporer ini masih mengikuti pandangan tradisional yang memulai
Filsafat Kontemporer langsung sesudah berakhirnya abad ke-19. Dan cara menguraikan
pemikiran filsafat di sini adalah menurut kawasan bahasa dan tidakseperti barangkali lebih
banyak dilakukanmenurut aliran-aliran filsafat yang melintasi suatu kawasan nasional,
misalnya idealisme, positivisme, eksistensialisme, dll. Karena itu, Jilid I ini hanya
membahas pemikiran filsafat di wilayah Inggris (United Kingdom) dan Jerman.
Buku ini mempunyai riwayat yang sudah cukup panjang. Versi pertama terbit pada 1981
dengan judul Filsafat Barat Abad XX, Jilid I (Inggris-Jerman). Lalu, ada beberapa kali
cetak ulang di mana selalu ada sejumlah kecil perubahan dan koreksi. Pada tahun 2002
terbit edisi revisi dan perluasan. Kini, edisi terbaru terbit kembali dengan sedikit tambahan
dan cukup banyak koreksi
Daftar Pustaka
Bertens, K. (2013). Filsafat Barat Kontemporer: Inggris dan Jerman. Jakarta. Penerbit:
Gramedia