Anda di halaman 1dari 11

Positivisme Logis Verifikasi, Verifikasi dan Konfirmasi, Eliminasi Metafisika,

Perpaduan Ilmu(United Science)

Miftakhul Farid

Universitas Islam Negri Sunan Ampel Surabaya

05010521011@uinsby.ac.id

BAB I

A. Pendahuluan

Pertarungan antara rasionalisme dan empirisme, atau antara idealisme dan


materialisme, dalam sejarah perkembangan filsafat modern, merupakan reaksi
yang muncul terhadap upaya memahami realitas. Para filsuf yang mengutamakan
rasio manusia menganggap bahwa pengetahuan mumi dapat diperoleh melalui
rasio manusia sendiri. Aliran rasionalisme ini dirintis oleh Rene Descartes (1596-
1650), yang kemudian diikuti oleh filsuf lainnya seperti Nicolas Malebranche
(1638-1715), Baruch Spinoza (1632-1677), Gottfried Wilhelm von Leibniz (1646-
1716) dan Friedrich August Wolf (1759-1824). Aliran ini menganggap
bahwa. pengetahuan sejati dapat diperoleh dalam rasio sendiri dan
bersifat a priori. Pengetahuan ini bersifat transendental karena mengatasi
pengamatan empiris yang bersifat khusus dan berubah-ubah1

Pada bagian lain, aliran empirisme mengutamakan peranan pengalaman empiris


yang menganggap bahwa pengetahuan murni dapat diperoleh hanya melalui
pengamatan empiris terhadap objek pengetahuan. Aliran ini berpendirian bahwa
pengetahuan sejati dapat diperolah hanya melalui pengamatan empiris dan
karenanya ia bersifat aposteriori. Tokoh-tokoh aliran ini antara lain Thomas
Hobbes (1588-1679), John Locke (1632-1704), George Barkeley (1685-1753) dan
David Humme (1711-1776)2

Positivisme merupakan sebuah trend filsafat pada abad-20 yang membentuk


positivisme modern dengan mencabut filsafat dari akar pokoknya yakni metafisik.
1
Francisco Budi Hardiman, Kritik Idelogi: Pertautan pengetahuan dan Kepentingan, (Yogyakarta: penerbit
Kanisius, 1990), hal. 22
2
Ibid, hal. 23
Menurut sistem ini, pengetahuan tentang kenyataan diberikan hanya dalam
pemikiran ilmiah yang konkret sedangkan filsafat sebagai analisis bahasa yang
diungkapkan dalam suatu pemikiran yang terbatas dalam pengalaman langsung 3.
Pada masa ini ditandai oleh peranan yang sangat menentukan dari pikiran-pikiran
ilmiah atau ilmu pengetahuan modern. Kebenaran atau kenyataan filsafat dinilai
dan diukur menurut nilai positivistiknya. Perhatian orang terhadap filsafat
ditekankan pada segi-segi praktis dan tingkah laku manusia. Aliran ini dipelopori
oleh para filsuf Lingkungan Wina, kelompok ini tidak ada bedanya dengan kaum
atomisme logis dengan menggunakan teknik analisa bahasa dalam menanggapi
realitas yang ada hanya berbeda pada hasil penyampaian kesimpulannya.
Positivisme logis tidak menerima pendapat Atomisme logis karena masih
berhubungan dengan metafisik, karena pada Positivisme logis berdasar ilmu-ilmu
alam (empiris) sebagai satu-satunya sumber pengetahuan yang benar serta
menolak spekulasi dari suatu filosofis atau metafisik. Pokok masalah yang sering
dibahas dalam pembahasan filsafat analitik adalah kedekatannya dengan filsafat
bahasa, sehingga banyak kajian yang menyamakan filsafat analitik dengan filsafat
bahasa. Perkembangan filsafat analitis sangat berpengaruh pada perkembangan
ilmu pengetahuan saat ini, khususnya dalam menentukan kebenaran.

BAB II

3
Lorens Bagus, Kamus Filsafat, (Gramedia Pustaka Utama: Jakarta, 2000),hal.706
A. Positivisme Logis

Positivisme logis memiliki pandangan yang serupa dengan positivisme dalam hal
kepercayaan bahwa segala sesuatu harus dibuktikan secara ilmiah dan juga rasional
serta menolak hal-hal yang bersifat metafisika, dan dapat diterima secara logis. Secara
sekilas pandangan positivisme dan positivisme logis memiliki kesamaan dalam hal
kepercayaan, bahwa segala sesuatu harus biasa dibuktikan secara ilmiah serta menolak
pemikiran yang tidak bersifat logis atau metafisika. Tetapi perbedaan cara pandang
positivisme logis yang lebih menekankan pada pembuktian keberadaan suatu hal
melalui syarat-syarat yang ketat. Sekitar tahun 1920-an lahir suatu kelompok diskusi
yang terdiri dari para sarjana ilmu pasti dan alam yang berkedudukan di kota Wina,
Austria. Mereka tergabung dalam Lingkaran Wina (Vienna Circle)4. Setiap minggu
mereka berkumpul untuk mendiskusikan masalah-masalah filosofis yang menyangkut
ilmu pengetahuan. Kelompok ini didirikan oleh Moritz Schlick pada tahun 1924,
meskipun sebenarnya pertemuan-pertemuannya sejak berlangsung pada tahun 1922,
dan berjalan hingga 1938, Anggota-anggotanya antara lain: Moritz Schlick (1822-1936),
Hans Hahn (1880-1934), Otto Neurath (1882-1945), Victor Kraft (1880-1975), Harbert
Feigl (1902) dan Rudolf Carnap (1891-1970)5.

Pandangan yang dikembangkan oleh kelompok ini disebut neopositivisme, atau


sering juga dinamakan positivisme logis. Kaum positivisme logis memusatkan pada
bahasa dan makna6. Mereka mengklaim bahwa kekacauan kaum idealis dengan berbagai
pendekatan metafisika yang digunakan dalam melihat realitas, adalah karena bahasa
yang mereka pakai secara esensial tanpa makna. Sebagai penganut positivisme, secara
umum mereka berpendapat bahwa sumber pengetahuan adalah pengalaman, namun
secara khusus dan eksplisit pendirian mereka sebagai berikut:

1. Mereka menolak perbedaan ilmu-ilmu alam dan ilmu-ilmu sosial


2. Menganggap pernyataan-pernyataan yang tidak bisa diverifikasi secara empiris
seperti etika, estetika, agama, metafisika sebagai nonsense

4
Penamaan Positivisme Logis (Logical Positivim) diberikan oleh Heirbrt Feigl dan Blumberg terhadap
seperangkat gagasan filosofis yang diperkenalkan oleh Lingkaran Wina. Lihat John Passmore, “Logical
Positivsm,” dalam Paul Edward (Ed) The Encyclopedia of Philosophy, Vol.V, (New York, London: Macmillan
Publishing Co.Inc and The Free Press, 1967), hal. 52
5
Kees Bertens, Filsafat Barat Abad XX, (Jakarta: Gramedia, 1981), hal. 166
6
Manuel Velasque, Philosophy : A Text with Reading, (Belmont: Wordsword Publishing, 1999),hal. 203
3. Berusaha menyatukan semua ilmu pengetahuan di dalam satu bahasa ilmiah
yang universal (Unified Science)
4. Memandang tugas filsafat sebagai analisis atau kata-kata atau pernyataan-
pernyataan7

Ciri-ciri Filsafat Analitik :

Ciri khas filsafat analitik adalah kebenciannya pada metafisika. Dalam hal ini logika
bahasa digunakan untuk membersihkan pernyataan ilmiah dari pernyataan teologi dan
metafisika8Hunnex merumuskan pokok-pokok pemikiran positivisme logis (filsafat
analitik), khususnya mengenai bahasa yang ideal sebagai berikut:

1. Filsafat merupakan analisis logis terhadap konsep dan pernyataan ilmu


pengetahuan.
2. Pemikiran seseorang dapat diuji melalui bahasa, selama pemikiran itu
diungkapkan melalui bahasa. Hanya bahasa yang sempurna, bersifat universal,
dan logislah yang disebut sebagai bahasa ilmiah.
3.   Bahasa sehari-hari menyesatkan, karena itu bahasa sehari-hari harus direduksi
(diterjemahkan) ke bahasa artifisial atau bahasa ideal/formal.
4. Tugas utama filsafat adalah memperbaiki bahasa dengan menjadikan bentuk
gramatika dan sintaksisnya sesuai dengan fungsi logika aktualnya.
5.   Metafisika didasarkan pada kepercayaan entitas non-empiris dan re;asi internal
ditolak (tidak dapat diverifikasi). Realitas yang dapat diterima adalah realitas dan
relasi eksternal, dapat diobservasi dan atau merupakan entitas empiris.
6.     Definisi haruslah dibuat operasional. Menurut Bridgman, “Sesuatu yang tidak
bermakna itu tidak dapat diobservasi dan diukur.”.

Diantara para anggota lingkaran Wina, filsuf yang paling menarik perhatian adalah
Rudolf Carnap (1891-1970). Pengaruhnya atas filsafat dewasa ini dapat dibandingkan
dengan Russel dan Wittgeinstain. Ia seorang pemikir yang sistematis dan orisinil. Ia
pernah mengajar dan menjadi guru besar di Chicago, Princetton dan Univercity of
California di Los Angeles. Dengan tetap menyadari adanya perbedaan pemikiran dalam

7
F. Budi Hardiman, “Positivisme dan Hermeneutik, Suatu Usaha untuk Menyelamatkan Subjek” dalam Basis,
Maret 1991
8
Filsafat Ilmu Klasik hingga Kontemporer…, hlm. 153-154.
kelompok kajian tersebut, pembahasan ini akan banyak difokuskan pada pemikiran
Carnap.

Verifikasi dan Konfirmasi

Para filsuf pada kelompok lingkaran Wina pada umumnya mencurahkan perhatiannya
untuk mencari garis pemisah antara pernyataan yang bermakna (meaningful) dan
pernyataan yang tidak bermakna (meaningless) berdasarkan kemungkinan untuk
diverifikasi. Artinya apabila suatu pernyataan dapat diverifikasi, maka ia berarti
bermakna, sebaliknya jika tidak dapat diverifikasi maka tidak bermakna. Prinsip
verifikasi ini menyatakan bahwa suatu proposisi adalah bermakna jika ia dapat diuji
dengan pengalaman dan dapat diverifikasi dengan pengamatan (observasi). Sebagai
akibat dari prinsip ini, filsafat tradisional haruslah ditolak, karena ungkapan-
ungkapannya melampaui pengalaman, termasuk pada teologi dan metafisika pada
umumnya. Menurut Carnap, ilmu (science) adalah sebuah sistem pernyataan yang
didasarkan pada pengalaman langsung, dan dikontrol oleh verifikasi eksperimental.
Verifikasi dalam ilmu bukanlah pernyataan tunggal, tetapi termasuk sistem dan sub-
sistem pernyataan tersebut. Verifikasi didasarkan atas “pernyataan protokol” (protocol
statements). Istilah dipahami sebagai pernyataan yang termasuk protokol dasar atau
catatan langsung dari suatu pengalaman yang langsung pula9

Carnap selanjutnya membedakan antara verifikasi langsung dan tak langsung 10. Apabila
suatu pernyataan yang menunjukkan suatu persepsi sekarang seperti “ sekarang saya
melihat sebuah lapangan merah dengan dasar biru”, maka pernyataan ini dapat diuji
secara langsung dengan persepsi kita sekarang. Pernyataan tersebut dapat diverifikasi
secara langsung dengan penglihatan. Akhirnya jika tidak dilihatnya, maka ia terbantah 11.
Sementara verifikasi tidak langsung, Carnap memberikan jalan lewat deduksi dari
pernyataan perseptual. Suatu pernyataan yang mengandung makna teoritis, tidak
mungkin diverifikasi dengan menghadirkan image sesuatu, tetapi kemungkinan dengan
pendeduksian dari pernyataan tersebut. Karena kemungkinan verifikasi, kita tidak
punya gambaran aktual bidang tentang elektromagnetik dari bidang grafitasional,
namun pernyataan perseptualnya dapat dideksi dari pernyataan-pernyataan tersebut.
9
Rudolf Carnap, “Protocol Statements and Formal Mode of Speech”, dalam Oswald Hanfling (ed), Essentials
Reading in Logical Positivsm, (Oxford: Basil Blackwell, 1981,hal. 152.
10
Rudolf Carnap, “The Rejections of Metaphysic”, dalam Moris Weitz (ed), Twentieth-Century Philosophy: The
Analitic Tradition, (London, New York: The Free Press, 1966), hal.207
11
Ibid, hal. 208
Untuk lebih memahami verifikasi ala Carnap, dilihat mengenai pembedaannya mengenai
dua hukum dalam ilmu alam, yaitu hukum empiris dan hukum teoritis. Hukum empiris
adalah hukum-hukum yang dapat di konfirmasikan secara langsung dengan observasi
empiris. Istilah “Observable” sering digunakan untuk fenomena yang secara langsung
dapat diamati. Dengan kata lain hukum empiris adalah hukum tentang kelihatan atau
sesuatu yang terlihat (observable). Sementara hukum teoritis adalah hukum abstrak
karena ia merupakan hipotesis. Hukum teoritis disebut pula sebagai hukum-hukum
abstrak atau hipotesis. “Hipotesis” tidak mungkin sesuai karena ia memberi kesan
bahwa pembedaan antara dua tipe hukum itu didasarkan atas tingkat ‹degree) untuk hal
mana ia menjadi konfirmasi. Namun suatu hukum empiris, apabila ia adalah sebuah
hipotesis tentatif, hanya dikonfirmasikan kepada suatu tingkat yang rendah. la akan
masih menjadi satu hukum empiris meskipun ia mungkin dapat dikatakan bahwa ia
telah menjadi cukup hipotesis. Suatu hukum teoritis tidak dapat dibedakan dari satu
hukum empiris dengan fakta bahwa tak dapat dibangun dengan baik. Tetapi dengan
fakta bahwa ia memuat istilah-istilah dari jenis yang berbeda. lstilah-istilah dari satu
hukum teoritis tidak berkaitan dengan pengamatan ketika pemaknaan yang luas bagi
fisikawan terhadap apa yang dapat diamati itu diterima. Istilah-istilah itu adalah hukum-
hukum tentang entitas-entitas seperti molekul-molekul, atom- atom, elektron-elektron,
proton-proton, bidang elektromagnetik, dan lain- lainnya yang tak dapat diukur dengan
sederhana, dengan cara langsung. Para fisikawan menyebut suatu bidang yang kelihatan
karena ia dapat diukur dengan alat-alat sederhana Menurut Carnap, para fisikawan
sepakat bahwa hukum yang berkaitan tentang tekanan, volume, dan temperatur suatu
gas, adalah hukum empiris. Di pihak lain, prilaku dari molekul-molekul tunggal adalah
hukum teoritis. Hubungan kedua hukum ini bisa digambarkan, bahwa hukum empiris
menjelaskan suatu fakta yang diamati dan untuk memprediksi suatu fakta yang belum
diamati. Dan dengan cara yang sama, hukum teoritis membantu untuk menjelaskan
perumusan hukum teoritis dan memberikan peluang untuk men-derivasi-kan sebuah
hukum empiris yang baru12

Eliminasi Metafisika

Dalam pandangan lingkaran Wina, pernyataan metafisika, termasuk etika adalah tidak
bermakna karena menyajikan sesuatu yang tidak bisa diverifikasi, atau sebagai

12
Mohammad Muslih, Filsafat Ilmu, (LESFI: Yogyakarta, 2016), hal.118
proposisi yang “pseudo-statements”. Menurut Carnap, banyak penentang metafisika
sejak dari kaum skeptis pada zaman yunani hingga abad empiris ke-19 berpendapat
bahwa metafisika adalah salah (false), yang lain menyatakan tidak pasti (uncertain), atas
dasar bahwa problem-problemnya mengatasi (transcendent) batas-batas pengetahuan
manusia13.

Carnap menggunakan logika terapan atau teori pengetahuan melalui cara-cara analisis
logis untuk mengklarifikasi muatan kognitif pernyataan-pernyataan ilmiah dan makna
dari istilah-istilah yang dipakai dalam pernyataan tersebut sehingga diperoleh hasil
positif dan negatif. Hasil positif dilakukan didalam domain ilmu empiris; hubungan-
hubungan formal, logis dan epistimologinya dibuat eksplisit. Dalam domain metafisika,
termasuk semua filsafat nilai dan teori normatif, analisis logis menghasilkan hasil
negatif bahwa pernyataan-pernyataan (statements) yang dinyatakan adalah tanpa
makna. Dalam pengertian yang kaku, serangkaian kata-kata adalah tanpa makna apabila
ia bukan merupakan pernyataan di dalam bahasa yang spesifik 14. Seperti dijelaskan di
awal, bahwa dalam cara pandang positivisme logis, metafisika adalah tidak bermakna
karena ia menyajikan proposisi (statements) yang disebut Carnap sebagai “pseudo-
statements”. Menurut Carnap suatu pernyataan disebut “pseudo-statements” apabila ia
melanggar aturan-aturan sintaksis logika dari pembuktian empiris. Suatu pernyataan
metafisika harus ditolak atas dasar logika formal, karena melanggar aturan sintaksis
logika, bukan karena “subject-matternya” adalah metafisis, bertentangan dengan
kriteria empiris.

Penolakan terhadap metafisika oleh Carnap lebih ditujukan pada persoalan verifikasi,
yaitu bahwa pernyataan metafisika tidak dapat menghindarkan diri dari pernyataan
yang non-verifiable (tidak dapat diverifikasi). Para metafisikawan bisa saja membuat
peenyataan-pernyataan yang veriable, sejauh putusan-putusannya dalam hal kebenaran
atau kesalahan adalah didasarkan pada doktrin mereka yang memang tergantung dalam
pengalaman dan ini termasuk kedalam wilayah empiris. Menurut Carnap, pernyataan-
pernyataan metafisika menggunakan bahasa ekspresi sehingga tidak dapat diverifikasi
dan tidak dapat diuji dengan pengalaman. Carnap membedakan dua fungsi bahasa, yaitu
fungsi ekspresif dan fungsi kognitif atau representatif. Dalam fungsi ekspresif, bahasa

13
John Cottingham (ed), Western Philoshophy, An Anthology, (Oxford: Blackwell Publisher. Ltd, 1996), hal.117-
122
14
Rudolf Carnap, “The Elimination of Metaphysics,” hal.117
merupakan ungkapan atau pernyataan mengenai prasaan, sebagai ucapan keadaan hati,
dan memiliki kecondongan baik tetap atau sementara untuk bereaksi 15.

Dari dua fungsi bahasa tersebut menurut Carnap, pernyataan-pernyataan metafisika


hanya mempunya fungsi ekspresif, bukan fungsi representatif. Pernyataan metafisika
tidak mengandung benar atau salah sesuatu, karena pernyataannya diluar diskusi
kebenaran atau kesalahan seperti juga tertawa, lirik, dan musik, pernyataan metafisika
adalah ekspresif, tidak representatif dan tidak teoritis. Menurut Carnap, sebuah
pernyataan metafisis nampak seperti memiliki isi (content) dan dengan begitu tidak
hanya pembaca dikelabui, tetapi termasuk para metafisikawan sendiri 16.

Perpaduan Ilmu (United Science)

Seperti yang telah dijelaskan diawal, bahwa kelompok lingkaran Wina, pada
umumnya mencurahkan perhatiannya untuk mencari garis pemisah antara
pernyataan yang bermakna (meaningful) dan pernyataan yang tidak bermakna
(meaninglass) berdasarkan kemungkinan untuk diverifikasi. Dengan prinsip
verifikasi dan konfirmasi segera bisa dikenal, apakah suatu bahasa itu bermakna
atau tidak; jika bermakna maka disebut ilmiah, jika tidak bermakna disebut tidak
ilmiah. Dengan membuat distingsi ini, program yang berkaitan pembedaan dua
ilmu, yakni ilmu kealaman dan ilmu kemanusiaan menjadi tidak menarik, bahkan
perbedaan itu sendiri menjadi tidak ada. Carnap melihat bahwa setiap
pengertian dari bahasa fisik dapat direduksi kepada bahasa-benda (“batu,” “air”,
“gula”, dsb.) dan akhirnya kepada predikat-predikat-benda (seperti “elastis,”
“transparan,” “merah,” “biru,” “panas,” “dingin,” dsb.) yang kelihatan
(observable). Pada tahap ilmiah, menurut Carnap, kita mempunyai koefisien
kuantitatif dari elastisitas untuk istilah kualitatif “elastis” bahasa-benda.
Demikian pula kita mempunyai istilah kuantitatif ‘temperatur’ untuk pengertian
kualitatif ‘panas’ dan ‘dingin.’ Kita semua mempunyai istilah-istilah dengan cara
mana para fisikawan menjelaskan pernyataan temporer atau permanen dari
benda-benda atau proses-proses. Dari banyak istilah itu, seorang fisikawan
mengenai paling sedikit satu metode determinasi. Para fisikawan tidak akan
mengakui ke dalam pengertian bahasa mereka dengan metode determinasi
untuk observasi-observasi yang tidak dilakukan. Rumusan suatu metode, yakni
15
Rudolf Carnap, “The Rejection of Metaphysics”, hal.210
16
Ibid, hal. 215-216
deskripsi susunan pengalaman, adalah reduksi pernyataan-pernyataan untuk
istilah-istilah tersebut. Beberapa kali istilah itu tidak akan secara langsung
direduksi oleh pernyataan-pernyataan reduksi untuk predikat-predikat-benda,
tetapi yang pertama untuk istilah-istilah ilmiah yang lainnya. Suatu reduksi pada
akhirnya harus mengarah kepada predikat-predikat dari bahasa-benda, dan
untuk predikat-predikat-benda yang observable karena sebaliknya tidak akan
ada cara penentuan atau apa bukan istilah fisik dengan pertanyaan yang dapat
diterapkan dalam kasus khusus atas dasar pernyataan-pernyataan
observasi yang diberikan17

Semua usaha kemudian dicurahkan untuk mewujudkan bahwa pernyataan-pernyataan


(bahasa) ilmu pengetahuan semua bisa “diterjemahkan” ke dalam bahasa universal yang
sama. Lagi-lagi, Carnap adalah salah satu tokoh yang fokus pada hal ini. Ia coba
membuktikan bahwa setiap objek pengetahuan dapat didasarkan kepada pengalaman-
pengalaman element pengenal. Untuk itu ia menyusun hierarki bahasa. Setiap tingkatan
bahasa sesuai tingkatan objek-objek, dan urutan tingkatan sesuai dengan urutan dalam
struktur pengenalan. Yang menjadi dasar seluruh konstruksi ini adalah tingkatan auto-
psikologis (misalnya pengalaman saya tentang “merah”). Atas dasar ini kemudian
disusun secara berturut turut tingkatan: fisik, biologis, psikologis, sosial dan kultural. 18.

Dengan demikian, bahasa pada tingkatan sosio kultural didasarkan pada tingkatan
psikologis, dan tingkatan psikologis didasarkan atas tingkatan ilmu-ilmu alam, maka
dapat dirumuskan semua ucapan ilmu pengetahuan dalam bahasa dasariah yang
mengungkapkan pengalaman-pengalaman elementer kita. Karena itu “bahasa”
sedemikian rupa ini bagi semua ilmu pengetahuan dan tidak ada lagi banyak ilmu
pengetahuan yang berbeda beda, tetapi hanya satu ilmu pengetahuan yang
diungkapkan dengan bahasa universal. Banyak kalangan menilai, usaha Carnap usaha
yang membanggakan, meski dikemudian hari, banyak mendapatkan kesulitan juga,
terutama tantangan dari Neurath, yang menolak dasar kesatuan ilmu pengetahuan pada
ucapan-ucapan yang berkaitan ke-aku-an, atau auto psikologis. Tetapi haruslah terdiri
dari ucapan-ucapan yang bersifat umum dan terbuka secara intersubjektif19.

17
Rudolf Carnap, “Logical Foundation of The Unity of Science hal.121-122
18
Mohammad Muslih, Filsafat Ilmu, hal. 121-122
19
Ibid, hal. 122
Daftar Pustaka

Francisco Budi Hardiman, Kritik Ideologi: Pertautan pengetahuan dan Kepentingan,


(Yogyakarta: penerbit Kanisius, 1990), hal. 22

Lorens Bagus, Kamus Filsafat, (Jakarta: Gramedia Pustaka Utama, 2000),hal.706


John Passmore, “Logical Positivsm,” dalam Paul Edward (Ed) The Encyclopedia of
Philosophy, Vol.V, (New York, London: Macmillan Publishing Co.Inc and The Free Press,
1967), hal. 52

Kees Bertens, Filsafat Barat Abad XX, (Jakarta: Gramedia, 1981), hal. 166

Manuel Velasque, Philosophy : A Text with Reading, (Belmont: Wordsword Publishing,


1999),hal. 203

F. Budi Hardiman, “Positivisme dan Hermeneutik, Suatu Usaha untuk Menyelamatkan


Subjek” dalam Basis, Maret 1991

Rudolf Carnap, “Protocol Statements and Formal Mode of Speech”, dalam Oswald
Hanfling (ed), Essentials Reading in Logical Positivsm, (Oxford: Basil Blackwell,
1981,hal. 152.

Rudolf Carnap, “The Rejections of Metaphysic”, dalam Moris Weitz (ed), Twentieth-
Century Philosophy: The Analitic Tradition, (London, New York: The Free Press, 1966),
hal.207

Ibid, hal. 208

Mohammad Muslih, Filsafat Ilmu, (LESFI: Yogyakarta, 2016), hal.118

John Cottingham (ed), Western Philoshophy, An Anthology, (Oxford: Blackwell


Publisher. Ltd, 1996), hal.117-122

Anda mungkin juga menyukai