Anda di halaman 1dari 7

PARADIGMA POSITIVISME DALAM STUDI HUKUM

ADAT INDONESIA

MAKALAH

Disusun untuk memenuhi salah satu tugas pada mata kuliah

FILSAFAT ILMU

Dosen pengampu :

Dr. H. Moh. Asror Yusuf, M. Ag

Oleh:

AGUSTYANA DWI RAHMAWATI 927.002.19.001


DEWI ROHMAH ARIFANI 927.002.19.003

PROGRAM STUDI HUKUM KELUARGA ISLAM


PASCASARJANA
INSTITUT AGAMA ISLAM NEGERI
IAIN KEDIRI
2019
A. Latar Belakang
Positivisme merupakan paradigma ilmu pengetahuan yang paling awal
muncul dalam dunia ilmu pengetahuan. Keyakinan dasar aliran ini berakar dari
paham ontologi realisme yang menyatakan bahwa realitas ada (exist) dalam
kenyataan yang berjalan sesuai dengan hukum alam (natural laws). Upaya
penelitian, dalam hal ini adalah untuk mengungkapkan kebenaran realitas yang
ada, dan bagaimana realitas tersebut senyatanya berjalan.Positivisme muncul pada
abad ke-19 dimotori oleh sosiolog Auguste Comte, dengan buah karyanya yang
terdiri dari enam jilid dengan judul The Course of Positive Philosophy (1830-
1842).
Paradigma positivisme telah menjadi pegangan para ilmuwan untuk
mengungkapkan kebenaran realitas. Kebenaran yang dianut positivisme dalam
mencari kebenaran adalah teori korespondensi. Teori korespondensi menyebutkan
bahwa suatu pernyataan adalah benar jika terdapat fakta-fakta empiris yang
mendukung pernyataan tersebut. Atau dengan kata lain, suatu pernyataan
dianggap benar apabila materi yang terkandung dalam pernyataan tersebut
bersesuaian (korespodensi) dengan obyek faktual yang ditunjuk oleh pernyataan
tersebut. Makalah ini kami susun berdasarkan Tugas Mata Kuliah Filsafat Ilmu,
dengan bahasan “Paradigma Potivisme” Makalah ini dititikberatkan pada
pemikiran-pemikiran para filosof aliran positivisme.
B. Rumusan Masalah
a. Bagaimana sejarah, perkembangan serta tahap-tahap perkembangan positivisme?
b. Apa ide-ide pokok serta ciri-ciri positivisme?
c. Perkembangan Studi Hukum Adat Positif.
d. Pandangan Dasar Ilmu Hukum Adat Positif.
C. Tujuan Penulisan
Pembuatan makalah ini bertujuan untuk lebih meningkatkan lagi pemahaman
kita mengenai filsafat pada umumnya, dan filsafat positivisme pada khususnya.
Pada filsafat ini nanti akan kita bahas mengenai sejarah dari positivisme, dan
tokoh-tokoh penganutnya. Selain itu juga akan kita bahas berbagai sub bab/pokok
yang berkaitan dengan positivisme. Sehingga diharapkan setelah membaca
makalah yang kami susun ini,kita semua bisa mengetahui tentang positivisme itu
sendiri dan dapat juga dapat mengambil hal positif untuk di aplikasikan dalam
kehidupan bermasyarakat.

BAB II
PEMBAHASAN
A. Sejarah filsafat positivisme
Positivisme adalah salah satu aliran filsafat modern. Secara umum boleh
dikatakan bahwa akar sejarah pemikiran positivisme dapat dikembalikan kepada
masa Hume (1711-1776) dan Kant (1724-1804). Hume berpendapat bahwa
permasalahan-permasalahan ilmiah haruslah diuji melalui percobaan (aliran
Empirisme). Sementara Kant adalah orang yang melaksanakan pendapat Hume
ini dengan menyusun Critique of pure reason (Kritik terhadap pikiran murni /
aliran Kritisisme). Selain itu Kant juga membuat batasan-batasan wilayah
pengetahuan manusia dan aturan-aturan untuk menghukumi pengetahuan tersebut
dengan menjadikan pengalaman sebagai porosnya.1 Istilah Positivisme pertama
kali digunakan oleh Saint Simon (sekitar 1825). Prinsip filosofik tentang
positivisme dikembangkan pertama kali oleh seorang filosof berkebangsaan
Inggris yang bernama Francis Bacon yang hidup di sekitar abad ke-17 .
Ia berkeyakinan bahwa tanpa adanya pra asumsi, komprehensi-komprehensi
pikiran dan apriori akal tidak boleh menarik kesimpulan dengan logika murni
maka dari itu harus melakukan observasi atas hukum alam. Pada paruh kedua
abad XIX munculah Auguste Comte (1798-1857), seorang filsuf sosial
berkebangsaan Perancis, yang menggunakan istilah ini kemudian mematoknya
secara mutlak sebagai tahapan paling akhir sesudah tahapan-tahapan agama dan
filsafat dalam karya utamanya yang berjudul Course de Philosophie Phositive,
Kursus tentang Filsafat Positif (1830-1842), yang diterbitkan dalam enam jilid.2
Melalui tulisan dan pemikirannya ini, Comte bermaksud memberi peringatan
kepada para ilmuwan akan perkembangan penting yang terjadi pada perjalanan

1
Endang Saifuddin Anshari, Ilmu Filsafat dan Agama (Surabaya: Bina Ilmu, 1987) , 99.
2
Achmadi Asmoro, Filsafat Umum (Jakarta: PT. RajaGrafindo Persada, 2012), 120.
ilmu ketika pemikiran manusia beralih dari fase teologis, menuju fase metafisis,
dan terakhir fase positif. Pada fase teologis (tahapan agama dan ketuhanan)
diyakini adanya kuasa-kuasa adikodrati yang mengatur semua gerak dan fungsi
yang mengatur alam ini. Zaman ini dibagi menjadi tiga periode: animisme,
politeisme dan monoteisme. Pada tahapan ini untuk menjelaskan fenomena-
fenomena yang terjadi hanya berpegang kepada kehendak Tuhan atau Tuhan-
Tuhan. Selanjutnya pada zaman metafisis (tahapan filsafat), kuasa adikodrati
tersebut telah digantikan oleh konsep-konsep abstrak, seperti kodrat‘ dan
penyebab‘. Pada fase ini manusia menjelaskan fenomena-fenomena dengan
pemahaman-pemahaman metafisika seperti kausalitas, substansi dan aksiden,
esensi dan eksistensi. Dan akhirnya pada masa positif (tahap positivisme) manusia
telah membatasi diri pada fakta yang tersaji dan menetapkan hubungan antar fakta
tersebut atas dasar observasi dan kemampuan rasio. Pada tahap ini manusia
menafikan semua bentuk tafsir agama dan tinjauan filsafat serta hanya
mengedepankan metode empiris dalam menyingkap fenomena-fenomena.3
B. Pengertian positivisme
Positivisme diturunkan dari kata positif, dalam hal ini positivisme dapat
diartikan sebagai suatu pandangan yang sejalan dengan empirisme, menempatkan
penghayatan yang penting serta mendalam yang bertujuan untuk memperoleh
suatu kebenaran pengetahuan yang nyata, karena harus didasarkan kepada hal-hal
yang positivisme. Dimana positivisme itu sendiri hanya membatasi diri kepada
pengalaman-pengalaman yang hanya bersifat objektif saja. Hal ini berbeda dengan
empirisme yang bersifat lebih lunak karena empirisme juga mau menerima
pengalaman-pengalaman yang bersifat batiniah atau pengalaman-pengalaman
yang bersifat subjektif juga.Positivisme mengajarkan bahwa kebenaran ialah
yang logis, ada bukti empirisme, yang terukur. “Terukur” inilah sumbangan
penting Positivisme.4
Positivisme adalah suatu aliran filsafat yang menyatakan ilmu alam sebagai
satu-satunya sumber pengetahuan yang benar dan menolak aktifitas yang

3
Soegiono dan Tamsil Muis, Filsafat Pendidikan (Bandung: PT. Remaja Rosdakarya, 2012), 39.
4
Juhaya S. Praja, Aliran Aliran Filsafat dan Etika Prenada (Jakarta: Media, 2003), 133.
berkenaan dengan metafisik. Tidak mengenal adanya spekulasi, semua didasarkan
pada data empiris. Sesungguhnya aliran ini menolak adanya spekulasi teoritis
sebagai suatu sarana untuk memperoleh pengetahuan (seperti yang diusung oleh
kaum idealisme khususnya idealisme Jerman Klasik).
Positivisme merupakan empirisme, yang dalam segi-segi tertentu sampai
kepada kesimpulan logis ekstrim karena pengetahuan apa saja merupakan
pengetahuan empiris dalam satu atau lain bentuk, maka tidak ada spekulasi yang
dapat menjadi pengetahuan.
C. Tahap-tahap perkembangan positivisme
Terdapat tiga tahap dalam perkembangan positivisme, yaitu:
1. Tempat utama dalam positivisme pertama diberikan pada Sosiologi, walaupun
perhatiannya juga diberikan pada teori pengetahuan yang diungkapkan oleh
Comte dan tentang Logika yang dikemukakan oleh Mill. Tokoh-tokohnya
Auguste Comte, E. Littre, P. Laffitte, JS. Mill dan Spencer.
2. Munculnya tahap kedua dalam positivisme (empirio-positivisme) berawal pada
tahun 1870-1890-an dan berpautan dengan Mach dan Avenarius. Keduanya
meninggalkan pengetahuan formal tentang obyek-obyek nyata obyektif, yang
merupakan suatu ciri positivisme awal. Dalam Machisme, masalah-masalah
pengenalan ditafsirkan dari sudut pandang psikologisme ekstrim, yang bergabung
dengan subjektivisme.
3. Perkembangan positivisme tahap terakhir berkaitan dengan lingkaran Wina
dengan tokoh-tokohnya O.Neurath, Carnap, Schlick, Frank, dan lain-lain. Serta
kelompok yang turut berpengaruh pada perkembangan tahap ketiga ini adalah
Masyarakat Filsafat Ilmiah Berlin. Kedua kelompok ini menggabungkan sejumlah
aliran seperti atomisme logis, positivisme logis, serta semantika. Pokok bahasan
positivisme tahap ketiga ini diantaranya tentang bahasa, logika simbolis, struktur
penyelidikan ilmiah dan lain-lain.5
D. Ide-ide pokok positivisme
Ide-ide pokok positivisme, antara lain :

5
Soegiono dan Tamsil Muis, Filsafat Pendidikan (Bandung: PT. Remaja Rosdakarya, 2012), 39.
1. Bahwa ilmu pengetahuan merupakan jenis pengetahuan yang paling tinggi
tingkatannya, dan karenanya kajian filsafat harus juga bersifat ilmiah .
2. Bahwa hanya ada satu jenis metode ilmiah yang berlaku secara umum, untuk
segala bidang atau disiplin ilmu, yakni metode penelitian ilmiah yang lazim
digunakan dalam ilmu alam.
3. Bahwa pandangan-pandangan metafisik tidak dapat diterima sebagai ilmu, tetapi
"sekadar" merupakan pseudoscientific.
Jadi, kebenaran yang dianut positivisme dalam mencari kebenaran adalah teori
korespondensi.Teori korespondensi menyebutkan bahwa suatu pernyataan adalah
benar jika terdapat fakta-fakta empiris yang mendukung pernyataan tersebut. Atau
dengan kata lain, suatu pernyataan dianggap benar apabila materi yang terkandung
dalam pernyataan tersebut bersesuaian (korespodensi) dengan obyek faktual yang
ditunjuk oleh pernyataan tersebut.6
E. Ciri-Ciri Positivisme
Ciri-ciri positivisme antara lain:
a) Objektif/bebas nilai: dikotomi yang tegas antara fakta dan nilai mengharuskan
subjek peneliti mengambil jarak dari realitas dengan bersikap bebas nilai. Hanya
melalui fakta-fakta yang teramati-terukur, maka pengetahuan kita tersusun dan
menjadi cermin dari realitas (korespondensi).
b) Fenomenalisme, tesis bahwa realitas terdiri dari impresi-impresi. Ilmu
pengetahuan hanya berbicara tentang realitas berupa impresi-impresi tersebut.
Substansi metafisis yang diandaikan berada di belakang gejala-gejala penampakan
ditolak (antimetafisika).
c) Nominalisme, bagi positivisme hanya konsep yang mewakili realitas partikularlah
yang nyata. Contoh: logam dipanaskan memuai, konsep logam dalam pernyataan
itu mengatasi semua bentuk particular logam: besi, kuningan, timah dan lain-lain.
d) Reduksionisme, realitas direduksi menjadi fakta-fakta yang dapat diamati.7

6
Susanto, Filsafat Ilmu (Jakarta: Bumi Aksara, 2011), 141.
7
Chaedar Alwasilah, Filsafat Bahasa dan Pendidikan (Bandung: PT. Remaja Rosdakarya, 2010),
29.
e) Naturalisme, tesis tentang keteraturan peristiwa-peristiwa di alam semesta yang
meniadakan penjelasan supranatural (adikodrati). Alam semesta memilii
strukturnya sendiri dan mengasalkan strukturnya sendiri.
f) Mekanisme, tesis bahwa semua gejala dapat dijelaskan dengan prinsip-prinsip
yang dapat digunakan untuk menjelaskan mesin-mesin (sistem-sistem mekanis).
Alam semesta diibaratkan sebagai a giant clock work.
F. Perkembangan Studi Hukum Adat Positif.
Hukum adat adalah sistem hukum yang dikenal dalam lingkungan
kehidupan sosial di Indonesia dan negara-negara Asia lainnya seperti Jepang,
India, dan Tiongkok. Sumbernya adalah peraturan-peraturan hukum tidak tertulis
yang tumbuh dan berkembang dan dipertahankan dengan kesadaran hukum
masyarakatnya. Karena peraturan-peraturan ini tidak tertulis dan tumbuh
kembang, maka hukum adat memiliki kemampuan menyesuaikan diri dan elastis.
Istilah Hukum Adat pertama kali diperkenalkan secara ilmiah oleh Prof.
Dr. C Snouck Hurgronje, Kemudian pada tahun 1893, Prof. Dr. C. Snouck
Hurgronje dalam bukunya yang berjudul "De Atjehers" menyebutkan istilah
hukum adat sebagai "adat recht" (bahasa Belanda) yaitu untuk memberi nama
pada satu sistem pengendalian sosial (social control) yang hidup dalam
Masyarakat Indonesia. Istilah ini kemudian dikembangkan secara ilmiah oleh
Cornelis van Vollenhoven yang dikenal sebagai pakar Hukum Adat di Hindia
Belanda (sebelum menjadi Indonesia).

G. Pandangan Dasar Ilmu Hukum Adat Positif.

Anda mungkin juga menyukai