Anda di halaman 1dari 13

A.

PENDAHULUAN
1. Latar Belakang
Di zaman modern sekarang ini, berbagai fasilitas dengan
segala kemudahannya membuat semua orang bebas untuk
mengungkapkan pendapat dengan berbagai metode, alasan,
tujuan, topik, dan bahasa. Namun sayangnya, sebagian besar dari
warga mengungkapkan pendapatnya tanpa dasar atau fakta yang
jelas serta menomor satukan egoisitas atau kepentingan pribadi
mereka. Hingga terkadang pendapat dengan dasar yang tidak jelas
tersebut mampu menyulut pertentangan yang dapat berakibat
menjadi perkelahian atau perpecahan. Hal ini tentu saja membuat
kehidupan menjadi tidak harmonis, nyaman, damai, dan tentram.
Adanya kebebasan tanpa batas saat ini merupakan salah
satu akibat dari perkembangan dunia barat. Termasuk
perkembangan pemikiran barat yang tercermin dalam pandangan
filsafatnya. Makalah ini akan membahas mengenai salah satu
perkembangan filsafat modern dunia barat yaitu filsafat
positivisme dan juga fenomenologi. Positivisme merupakan salah
satu aliran filsafat yang menolak adanya spekulasi dan semua
didasarkan pada data empiris. Sedangkan fenomenologi adalah
suatu kajian tentang bagaimana manusia sebagai subyek
memaknai obyek-obyek di sekitarnya. Makalah ini diharapkan
dapat menjadi alternatif jawaban untuk permasalahan kebebasan
tanpa batas sekarang ini.
2. Rumusan Masalah
1. Apa yang dimaksud filsafat positivisme?
2. Bagaimana sejarah munculnya filsafat positivisme?
3. Siapa tokoh penganut filsafat positivisme?
4. Apakah yang dimaksud dengan fenomenologi?
5. Siapa tokoh penganut fenomenologi?

1
3. Tujuan
Tujuan dari penyusunan makalah ini adalah untuk
membahas atau memaparkan mengenai bagian dari
perkembangan filsafat modern yaitu filsafat positivisme dan
fenomenologi. Makalah ini juga akan membahas mengenai sejarah
munculnya positivisme serta tokoh penganut filsafat positivisme
dan fenomenologi. Diharapkan pembaca dari makalah ini dapat
mengetahui dan memahami filsafat positivisme dan fenomenologi
lebih jelas dan mengambil hal-hal positif yang dapat diterapkan
dalam kehidupan sehari-hari.

B. PEMBAHASAN
1. Pengertian Filsafat Positivisme
Nama positivisme diintroduksi A. Comte dalam
perbendaharaan kata filosofis. Tentu saja, nama ini berasal dari
kata “positif”. Di sini kata “positif” sama artinya dengan faktual
(apa yang berdasarkan fakta-fakta). Menurut positivisme,
pengetahuan kita tidak pernah boleh melebihi fakta-fakta. Oleh
karenanya tidak mengherankan, bila positivisme menolak cabang
filsafat yang biasanya disebut metafisika. Menanyakan “hakikat”
benda-benda atau “penyebab yang sebenarnya”, bagi positivisme
tidak mempunyai arti apapun. Ilmu pengetahuan, termasuk juga
filsafat, hanya menyelidiki fakta-fakta dan hubungan yang
terdapat antara fakta-fakta.1 Di sinilah letak kesamaan antara
positivisme dan empirisme, bahwa keduanya mengutamakan
pengalaman. Perbedaannya terletak disini, bahwa positivisme
hanya membatasi diri pada pengalaman-pengalaman obyektif,
tetapi empirisme menerima juga pengalaman-pengalaman batiniah
atau pengalaman yang subyektif.2
1
Prof. K. Bertens.Ringkasan Sejarah Filsafat (Yogyakarta: Penerbit Kanisius,2011), 77.
2
Maman Rachman,dkk.Filsafat Ilmu (Semarang: UPT MKU Unnes,2006), 46.

2
Pada dasarnya, positivisme bukanlah suatu aliran yang khas
berdiri sendiri. Ia hanya menyempurnakan empirisme dan
rasionalisme yang bekerja sama. Dengan kata lain, ia
menyempurnakan metode ilmiah (scientific method) dengan
memasukkan perlunya eksperimen dan ukuran-ukuran. Jadi,
pada dasarnya positivisme itu sama dengan empirisme plus
rasionalisme.3
Secara umum, para penganut paham positivisme memiliki
minat kuat terhadap sains dan mempunyai sikap skeptis terhadap
ilmu agama dan hal-hal yang berbau metafisika. Mereka meyakini
bahwa semua ilmu pengetahuan haruslah berdasarkan inferensi
logis yang berdasarkan fakta yang jelas. Sehingga, penganut
paham ini mendukung teori-teori paham realisme, materialisme,
naturalisme, filsafat dan empirisme.

2. Sejarah Munculnya Filsafat Positivisme


Paham ini muncul di Prancis yang dipelopori oleh Auguste
Comte (1798 – 1857). Menurutnya untuk menciptakan masyarakat
baru yang serba teratur, maka perlu adanya perbaikan jiwa atau
budi terlebih dahulu. Menurut Comte pemikiran atau jiwa atau
budi manusia berkembang dalam tiga tahap atau zaman, yaitu
zaman teologis, zaman ontologis atau metafisis dan zaman
positivistis.4
1. Tahap Teologi
Tahap atau tingkat yang menerangkan segalanya dengan
pengaruh dan sebab-sebab yang melebihi kodrat. Pada zaman
atau tahap teologis, orang mengarahkan rohnya kepada hakekat
batiniah segala sesuatu, kepada sebab pertama dan tujuan
3
Prof. Dr. Ahmad Tafsir.FILSAFAT UMUM Akal dan Hati Sejak Thales Sampai Capra
(Bandung: Pt Remaja Rosdakarya,2000) .
4
Drs. Sudarsono, S.H. M.Si.Ilmu Filsafat Suatu Pengantar (Jakarta: PT Rineka
Cipta,2001), 332.

3
terakhir segala sesuatu. Jadi orang masih percaya kepada
kemungkinan adanya pengetahuan atau pengenalan yang mutlak.
Orang yakin bahwa di belakang tiap kejadian tersirat suatu
pernyataan kehendak yang secara khusus.
2. Tahap Metafisika
Tahap atau tingkat metafisika hendak menerangkan segala
sesuatunya melalui abstraksi. Pada zaman metafisika, kekuatan-
kekuatan yang adikodrati atau dewa-dewa hanya diganti dengan
kekuatan-kekuatan yang abstrak, dengan pengertian-pengertian,
atau pengada-pengada yang lahiriah, yang kemudian dipersatukan
dalam sesuatu yang bersifat umum, yang disebut alam, dan yang
dipandang sebagai asal segala penampakan atau gejala yang
khusus.
3. Tahap Positif
Tahap atau tingkat positif hanya menghiraukan yang sungguh-
sungguh serta sebab-akibat yang sudah tertentukan. Zaman
positif adalah zaman ketika orang tahu, bahwa tiada gunanya
untuk berusaha mencapai pengenalan atau pengetahuan yang
mutlak, baik pengenalan teologis maupun pengenalam metafisis.
Ia tidak mau lagi melacak asal dan tujuan akhir seluruh alam
semesta ini, atau melacak hakekat yang sejati dari segala sesuatu
yang berada di belakang segala sesuatu. Sekarang orang berusaha
menemukan hukum-hukum kesamaan dan urutan yang terdapat
pada fakta-fakta yang telah dikenal atau disajikan kepadanya,
yaitu dengan pengamatan dan dengan memakai akalnya.
Menurut Comte, semua ilmu pengetahuan semula dikuasai
oleh pengertian-pengertian teologis, sesudah itu dikeruhkan
oleh pemikiran metafisis, dan akhirnya tiba di zaman positif.

3. Tokoh Penganut Filsafat Positivisme

4
1. Auguste Comte (1798 – 1857)
Bernama lengkap Isidore Marrie Auguste Francois Xavier
Comte, lahir di Montepellier, Perancis (1798). Keluarganya
beragama khatolik yanga berdarah bangsawan. Dia mendapat
pendidikan di Ecole Polytechnique di Paris dan lama hidup disana.
Auguste Comte beberapa tahun lamanya menjadi sekretaris pada
seorang bangsawan Perancis yang bernama Henri de Saint-Simon.
Orang ini bergiat dalam bidang sosial berhubungan dengan
problem-problem baru yang muncul pada waktu itu karena
lahirnya industri. Karya Comte yang utama adalah Cours de
philosophie positive (Kursus tentang filsafat positif) yang terdiri dari
enam jilid.5
2. John Stuart Mill (1806-1873)
Ia adalah seorang filosof Inggris yang menggunakan sistem
positivisme pada ilmu jiwa, logika, dan kesusilaan. John Stuart
Mill memberikan landasan psikologis terhadap filsafat positivisme.
Karena psikologi merupakan pengetahuan dasar bagi filsafat.
Seperti halnya dengan kaum positif, Mill mengakui bahwa satu-
satunya yang menjadi sumber pengetahuan ialah pengalaman.
Karena itu induksi merupakan metode yang paling dipercaya
dalam ilmu pengetahuan.
3. H. Taine (1828-1893)
Ia mendasarkan diri pada positivisme dan ilmu jiwa, sejarah,
politik, dan kesastraan.
4. Emile Durkheim (1852-1917)
Ia menganggap positivisme sebagai asas sosiologi.

4. Pengertian Fenomenologi

5
Prof. K. Bertens.Ringkasan Sejarah Filsafat..... 78.

5
Secara harfiah fenomenologi atau fenomenalisme adalah aliran
atau faham yang menganggap bahwa fenomenalisme (gejala)
6
adalah sumber pengetahuan dan kebenaran. Kata fenomenologi
berasal dari bahasa Yunani, phainomenon, dari phainesthai /
phainomai / phainein yang artinya menampakkan atau
memperlihatkan.7 Fenomenologi juga berarti ilmu pengetahuan
(logos) tentang apa yang tampak (phainomenon). Jadi,
fenomenologi itu mempelajari apa yang tampak atau apa yang
menampakkan diri.8
Fenomenologi merupakan kajian tentang bagaimana manusia
sebagai subyek memaknai obyek-obyek di sekitarnya. Ketika
berbicara tentang makna dan pemaknaan yang dilakukan, maka
hermeneutik terlibat di dalamnya. Pada intinya, bahwa aliran
fenomenologi mempunyai pandangan bahwa pengetahuan yang
kita ketahui sekarang ini merupakan pengetahuan yang kita
ketahui sebelumnya melalui hal-hal yang pernah kita lihat, rasa,
dengar oleh alat indera kita. Fenomenologi merupakan suatu
pengetahuan tentang kesadaran murni yang dialami manusia.
Seorang fenomenalisme suka melohat gejala. Dia berbeda
dengan seorang ahli ilmu positif yang mengumpulkan data,
mencari korelasi dan fungsi, serta membuat hukum-hukum dan
teori. Fenomenalisme bergerak di bidang yang pasti. Hal yang
menampakkan dirinya dilukiskan tanpa meninggalkan bidang
evidensi yang langsung. Fenomenalisme adalah suatu metode
pemikiran, “a way of looking at things.”. Gejala adalah akivitas ,
misalnya gejala gedung putih adalah akomodasi, konvergensi, dan

6
Ali Maksum.Pengantar Filsafat (Jogjakarta: Ar-Ruzz Media,2011), h. 368.
7
Save M. Dagun, Filsafat Eksistensialisme (Jakarta: Rineka Cipta, 1990), Cet. 1, 37.
8
K. Bertens, Filsafat Barat Abad XX Jerman (Jakarta: PT. Gramedia, Anggota IKAPI,
1981), h. 100.

6
fiksasi dari mata orang yang melihat gedung itu, ditambah
aktivitas lain yang perlu supaya gejala itu muncul.9
Dari beberapa pengertian di atas, maka dapat difahami bahwa
fenomenologi berarti ilmu tentang fenomenon-fenomenon apa saja
yang nampak. Sebuah pendekatan filsafat yang berpusat pada
analisi terhadap gejala yang menampakkan diri pada kesadaran
kita.

5. Tokoh – tokoh Penganut Fenomenologi


1. Edmund Husserl (1859-1938)
Edmund Husserl (1859-1938) lahir di kota kecil Proznitz
daerah Moravia dan berasal dari golongan Yahudi menengah.
Selama hidupnya, Husserl banyak menulis naskah-naskah
(50.000 lembar tulisan) mengenai fenomenologi namun sedikit
yang ditebitkan pada waktu hidupnya.
Fenomenologi adalah cara berpikir (metode) yang
dikemukakan oleh Husserl pada awa abad ke-20. Ia
mengupayakan fenomenologi sebagai metode ketat untuk
memperoleh teori yang benar dan pasti seperti kepastian
matematik. Dalam fenomenologi Husserl, ada beberapa istilah
penting yang perlu dipahami. Di antara istilah tersebut seperti
epoche, reduksi, intensionalitas, dan Lebenswelt.10
a. Epoche
Hal utama yang menunjang keberhasilan metode
fenomenologis tersebut adalah ketika seseorang (peneliti, ilmuwan,
dan lain sebagainya) mampu membebaskan dirinya dari praduga-
praduga atau penilaian atau pengandaian. Praduga-praduga itu
dapat berbentuk keyakinan, stigma, stereotipe, teori-teori atau

9
Ali Maksum.Pengantar Filsafat..... ,368.
10
Dr.Akhyar Yusuf Lubis.Filsafat Ilmu Klasik Hingga Kontemporer.(Jakarta: PT.
RajaGrafindo Persada, 2015), Cet. 2, 209.

7
langgam berpikir yang sudah menjadi kebiasaan. Hal-hal semacam
itu oleh Husserl mesti disimpan atau diletakkan di dalam tanda
kurung [( )]. Maksud disimpan dalam tanda kurung bukanlah
berarti menyingkirkan hal-hal yang terdapat dalam tanda kurung
tersebut (seperti paduga-praduga, penilaian, pengandaian tadi)
melainkan menunda atau mengosongkan diri dari hal tersebut.
Dengan kata lain, tanpa memberi keterangan benar-salah terlebih
dahulu kepada fenomena yang muncul atau tampak itu.
Inilah yang disebut dengan epoche (penundaan) tersebut.
Tujuannya agar keterangan yang tampak dalam fenomena itu
benar-benar asli, genuine atau tidak terlebih dahulu
disusupi/dicampuri oleh praduga-praduga, pengandaian,
penilaian pengamat.
b. Reduksi
Dalam rangka untuk memunculkan hakekat tersebut, maka
epoche mengisyaratkan reduksi-reduksi (penyaringan-
penyaringan) tertentu. Menurut Husserl, ada tiga reduksi yang
dapt digunakan. Ketiga reduksi tersebut adalah reduksi
fenomenologis, reduksi eidetis, dan reduksi transendental.
c. Intensionalitas
Kesadaran selalu merupakan kesadaran akan sesuatu,
demikian ujar Husserl. Dengan kata lain, kesadaran selalu terarah
pada suatu objek. Kesadaran yang selalu terarah pada suatu
objek, inilah yang dimaksud dengan istilah intensionalitas itu
(intensionalitas berasal dari bahasa Latin yakni intendere yang
mengandung arti “mengarah kepada” atau “keterarahan”).
d. Lebenswelt
Lebenswelt adalah dunia sebagaimana kita atau saya hayati
(dunia-pengalaman/dunia yang dihayati/dunia sehari-hari).
Lebenswelt itu atau dunia yang dihayati itu bukanlah mengacu

8
kepada “dunia nyata” yang sudah dikategorikan oleh kategori-
kategori filosofis atau ilmiah seperti yang terdapat pada
pandangan idealisme maupun realisme. Tidak sebagaimana dunia
yang dipandang oleh idealisme dan realisme tersebut atau juga
dunia nyata yang sudah dikategorikan oleh kategori-kategori
filosofis atau ilmiah, Lebenswelt lebih mengacu kepada dunia yang
belum ditafsirkan atau dikategorikan baik oleh ilmu pengetahuan
(ilmiah) maupun filsafat. Dengan kata lain, Lebenswelt adalah
dunia yang disadari secara pra-filosofis, pra-ilmiah dan pra-
reflektif.
Husserl menolak positivisme. Positivisme menurut Husserl
telah ”membunuh” filsafat. Alasannya, karena paradigma
positivisme tidak mampu melihat kesadaran, makna hidup, dan
motivasi sebagai pemberi makna pada fakta fisis (tingkah laku).
Positivisme telah mengubah Lebenswelt sedemikian rupa sehingga
kita mengalami kesulitan untuk melihat benda-benda
sebagaimana aslinya. Husserl menolak pandangan positivisme
(objektivisme) ini, karena secara nyata pandangan itu
mengabaikan peran manusia (dimensi subjek) dalam menciptakan
ilmu pengetahuan.
2. Max Scheller (1874-1928)
Scheller berpendapat bahwa metode fenomenologi sama
dengan cara tertentu untuk memandang realitas. Dalam
hubungan ini kita mengadakan hubungan langsung dengan
realitas berdasarkan intuisi (pengalaman fenomenologi).
Menurutnya ada 3 fakta yang memegang peranan penting dalam
pengalaman filsafat. Diantaranya:
1. Fakta natural, yaitu berdasarkan pengalaman inderawi yang
menyangkut benda-benda yang nampak dalam pengalaman
biasa.

9
2. Fakta ilmiah, yaitu yang mulai melepas diri dari penerapan
inderawi yang langsung dan semakin abstrak.
3. Fakta fenomenologis, merupakan isi intuitif yang merupakan
hakikat dari pengalaman langsung.
3. Hartman (1882-1950)
Nicolai Hartman berpendapat bahwa antara subjek dan
objek itu saling berhadapan. Objek menentukan sifat
pengetahuan. Objek itu mungkin ada lepas dari subjek dan dapat
disebut sesuatu yang berdiri sendiri (ansichsein). Subtansi ini
mempunyai objek yang riil dan idial. Tetapi ini belum menentukan
arah kerealisme atau keidealisme. Analisa lebih lanjut
menyatakan, bahwa realisme lebih dapat menerangkan, dan
mengartikan gejala pengetahuan daripada idiealsme. Semua
macam idealisme mengandung pertentangan. Yang menyokong
realisme pertama ialah cenderung manusia realistis. Ini tentu saja
bukan bukti, akan tetapi kalau idealisme mau benar, maka
haruslah ia dapat menerangkan gejala relisme pada manusia ini.
4. Martin Heidegger (1889-1976)
Heidegger menyebut fenomenologinya sebagai “fenomenologi
hermeneutika”. Terkadang, fenomenologi Heidegger juga disebut
sebagai “analisis eksistensial.” Ini lantaran fokus pengamatan
Heidegger atau fenomenologinya adalah diarahkan kepada dunia
manusia atau dalam sitilah Heidegger yakni in-der-welt-sein (“ada-
dalam-dunia”). “Ada-dalam-dunia” menunjukkan keterlibatan
(concerned with), keterikatan (proccupation), komitmen
(commitment) dan keakraban (familiaruty) manusia dengan
11
lingkungan alam dan budayanya.
5. Jean Paul Sartre (1905-1980)

11
Dr.Akhyar yusuf Lubis... 213.

10
Jean-Paul Sartre lahir di Paris, Perancis, 21 Juni 1905 –
meninggal di Paris, 15 April 1980 pada umur 74 tahun. ia adalah
seorang filsuf dan penulis Perancis. Ialah yang dianggap
mengembangkan aliran eksistensialisme. Sartre menyatakan,
eksistensi lebih dulu ada dibanding esensi (Lexistence precede
lessence). Manusia tidak memiliki apa-apa saat dilahirkan dan
selama hidupnya ia tidak lebih hasil kalkulasi dari komitmen-
komitmennya di masa lalu. Karena itu, menurut Sartre
selanjutnya, satu-satunya landasan nilai adalah kebebasan
manusia (Lhomme est condamne a etre libre).
Pada tahun 1964 ia diberi Hadiah Nobel Sastra, namun
Jean-Paul Sartre menolak. Ia meninggal dunia pada 15 April 1980
di sebuah rumah sakit di Broussais (Paris). Upacara
pemakamannya dihadiri kurang lebih 50.000 orang.
6. Maurice Merleau-Ponty (1908-1961)
Maurice Merleau-Ponty adalah seorang filsuf fenomenologi,
"kesadaran" abad 20. Aliran filsafatnya mula-mula dipengaruhi
oleh fenomenologi dari Husserl dan Heidegger serta Sartre, namun
lambat laun di memisahkan diri dan memasukkan teori dari
Saussure dalam buku Levi Strauss dalam bidang bahasa.
Salah satu teori Pounty dapat dilihat dari caranya
melakukan kritisisme, dari hipotesa yang dilakukan secara
psikologi, dia berpendapat bahwa manusia melakukan tindakan
berawal dari refleksi psikologinya. Dari perilaku yang dia jadikan
"tanda" atau fenomena, maka dapat kita peroleh data tentang
seseorang terkait prinsip hidup yang menjadikannya bertindak.
Selalu ada kaitan antara pengalaman masa lalu yang
mempengaruhi perilaku saat ini. Keterhubungan ini terjadi pada
neuro-psikologi manusia.

11
C. PENUTUP
1. Kesimpulan
1. Positivisme berarti aliran filsafat yang beranggapan bahwa
pengetahuan itu semata-mata berdasarkan pengalaman dan
ilmu yang pasti. Sesuatu yang maya dan tidak jelas
dikesampingkan, sehingga aliran ini menolak sesuatu
seperti metafisik dan ilmu gaib dan tidak mengenal adanya
spekulasi.
2. Sejarah pengetahuan itu berkembang melalui tiga tahap
yaitu Teologi, Metafisis dan Positif.
3. Tokoh-tokoh yang menganut paham positivisme : Auguste
Comte ( 1798 – 1857 ), John Stuart Mill ( 1806 – 1873 ), H.
Taine ( 1828 – 1893 ), Emile Durkheim (1852 – 1917 ).
4. Fenomenologi merupakan sebuah aliran. Yang berpendapat
bahwa, hasrat yang kuat untuk mengerti yang sebenarnya
dapat dicapai melalui pengamatan terhadap fenomena atau
pertemuan kita dengan realita. Karenanya, sesuatu yang
terdapat dalam diri kita akan merangsang alat inderawi yang
kemudian diterima oleh akal ( otak ) dalam bentuk
pengalaman dan disusun secara sistematis dengan jalan
penalaran.
5. Aliran fenomenologi mempunyai beberapa tokoh-tokoh yang
menjadi acuan dasar yang mengemukakan tentang aliran
fenomenologi tersebut. Diantara tokoh-tokohnya yaitu
Edmund Husserl, Max Scheller, Nicolai Hartman, Martin
Heidegger, Jean-Paul Sartre, dan Maurice merlea-ponty.
2. Saran
Penulisan makalah ini tentunya masih jauh dari
kesempurnaan. Oleh karena itu, kritik yang sifatnya membangun
dan saran-saran dari pembaca sangat diharapkan oleh penulis

12
demi menutupi kekurangan-kekurangan yang terdapat pada
makalah ini.

D. DAFTAR PUSTAKA

Bertens, K., Filsafat Barat Abad XX Jerman, Jakarta: PT.


Gramedia, Anggota IKAPI, 1981.

Bertens, K., Ringkasan Sejarah Filsafat, Yogyakarta : Penerbit


Kanisius, 2011.

Dagun, Save M., Filsafat Eksistensialisme, Jakarta: Rineka Cipta,


1990.

Sudarsono, Ilmu Filsafat Suatu Pengantar, Jakarta: PT RINEKA


CIPTA, 2001.

Tafsir, Ahmad, FILSAFAT UMUM Akal dan Hati Sejak Thales


Sampai Capra, Bandung: PT REMAJA ROSDAKARYA,
2000.

13

Anda mungkin juga menyukai