Anda di halaman 1dari 21

FILSAFAT ILMU PENGETAHUAN

A. Pendahuluan
1. Pertanyaan filsafat
Pertanyaan filsafat bertalian dengan hakikat dari sesuatu, makna dari
sesuatu, kebenaran dari sesuatu, dan hubungan logis di antara ide-ide dasar
(keyakinan, asumsi, dan konsep) yang tidak dapat dipecahkan dengan ilmu-ilmu
empiris. Filsafat mendalami “sesuatu” dengan pertanyaan “apa itu”, “dari mana”,
dan “ke mana”. Dalam filsafat, kita tidak mencari tahu sebab dan akibat dari suatu
masalah, seperti yang diselidikiilmu pengetahuan, tetapi kita mencari tahu akibat
dari “sesuatu” hakikat dari suatu masalah: apa sesuatu itu, dari mana terjadinya, dan
kemana tujuannya. Filsafat mempertanyakan segala seusatu khususnya yang
menyangkut “nasib” diri manusia, lebih jauh dan lebih dalam dibandingkan dengan
pertanyaan-pertanyaan yang diajukan oleh ilmu pengetahuan.
Dalam bukunya metafisika, Aristoteles menyebut Thales sebagai filsuf
perdana yang secara rasional mengajukan pertanyaan mengenai kakikat alam
semesta. Sementara itu menurut Betrand Russell, Thales adalah pemula filsafat
barat. Thales berusaha menerangkan fenomena alam tanpa merujuk pada mitologi.
Dalam hal ini, ia mempunyai pengaruh yang sangat besar. Hampir semua filsuf pra-
Sokrates mengikuti pandangan Thales dalam usaha memberi suatu penjelasan ultima
tentang substansi, perubahan, dan eksistensi dunia ini tanpa merujuk pada mitologi.
Semua filsuf lain itu memang mempunyai pengaruh juga, tetapi penolakan Thales
terhadap penjelasan-penjelasan mitologis menjadi tonggak sejarah penting bagi
revolusi ilmu pengetahuan atau sains.
Konsep logos dalam bahasa Yunani memiliki beberapa arti, antara lain’akal
budi’, yakni pengetahuan tentang prinsip dasar atau hukum universal yang
menguasai seluruh kenyataan. Dengan akal budi, manusia mencari tahu apa yang
menjadi hakikat (Yunani : arkhe) kenyataan. Setiap kenyataan memiliki unsur hakiki
yang menunjukkan kesamaan dengan kenyataan sejenis.
Logos adalah pengetahuan rasional tentang apa yang sesungguhnya menjadi
kakikat kenyatan. Dalam alam pemikiran Yunani, ber-logka adalah mempraktikkan
kemampuan kal budi. Melalui refleksi, akal budi mencari secara dialektik hakikat
kenyataan dari apa yang secara konkret dialami.
Aristoteles merupakan murid yang menerima pelajaran filsafat dari plato di
akademia Yunani. Minat Aristoteles kepada realitas (alam) sebagai titik tolak filsafat
ditunjukkan dalam usahanya mempelajari botani dan mengklasifikasikan akhluk
hidup menurut genus, species dan differentia specifica. Dengan memanfaatkan,
klasifikasi, Aristoteles mematangkan penggunaan logika dalam menganalisis alam
material (fisika) yang sudah dirintis oleh para pemikir Yunani kuno sejak Thales.
Mulai dari Thales, objek material dalam studi filsafat adalah kenyataan yang
direfleksikan dari sudut hakikatnya. Maka, objek formal dalam studi filsafat adalah
hakikat atau asal usul yang melampaui (metafisika) kenyataan yang tampak (fisika).
Dengan memahami kakikat kenyataan (ontologi), kegiatan filsafat dapat
dikembangkan menjadi pertanyaan mengenai kemungkinan pengetahuan manusia
epistimologi) dan bagaimana seharusnya perilaku manusia (etika).
2. Pertanyaan ilmu pengetahuan
Ilmu merupakan kegiatan akal budi untuk menjelaskan kenyataan empiris
secara spesifik menurut tiga kriteria utama: rasional, metodis, dan sistematis.
Dengan istilah “rasional”, mau dikatakan bahwa apa yang diklaim oleh suatu ilmu
sebagai kebenaran dapat diterima karena masuk akal, yaki logis, kritis dan terbuka
untuk perbaikan. Jadi, apa yang rasional tidak kebal kritik. Derhubungan dengan
istilah “metodis”, dikatakan bahwa cara kerja suatu ilmu harus mengikuti suatu
prosedur yang dapat diterima oleh anggota komunitas ilmuwan karena prosedur
yang diikuti dengan baik mengantar si ilmuwan sampai pada suatu kesimpulan atau
klaim, yang secara argumentatif bisa dibuktikan.
3. Kekhasan metode filsafat
sebagai metode, filsafat cenderung memiliki tiga ciri di bawah ini, yang dimiliki
ilmu pengetahuan.
a. Filsafat sebagian besar dihubungkan dengan pertanyaan-pertanyaan yang belum
pernah bisa dijawab secara memuaskan dengan satu cara yang sistematis.
b. Pertanyaan-pertanyaan filsafat cenderung mengenai apa yang dinamakan
pertanyaan-pertanyaan yang berhubungan dengan fenomena-fenomena dalam
garis besar daripada pertanyaan-pertanyaan yang spesifik mengenai kenyataan.
c. Pertanyaan-pertanyaan filsafat yang secara khusus berhubungan dengan
masalah-masalah konseptual, yakni pemahaman kita dari hubungan anatara
pemahaman tentang realitas dan realitas itu sendiri.
B. Positivisme logis
Positivisme adalah pandangan bahwa ilmu alam merupakan satu-satunya sumber
pengetahuan yang benar. Aktivitas akal budi yang bersifat spekulatif menghasilkan
pernyataan-pernyataan yang tidak dapat dibuktikan secara empiris, dan karena itu tidak
bersifat ilmiah karena tidak bisa dibuktikan secara empiris, benar atau salah. Jadi,
positivisme menekankan pengalaman dan kehedak bebas. Pengalaman merupakan data
indrawi yang bisa dibuktikan, jika bukan data indrawi, maka tidak bisa dibuktikan
sebagai fakta. Melalui penekanan terhadap pengalaman dan kehendak bebas, positivisme
menolak teologi dan metafisika sebagai pengetahuan ilmiah karena keduanya bersifat
spekulatif dan preskriptif.
1. Positivisme dan perkembangannya
a. Tahap 1 positivisme klasik
Positivisme merupakan empirisme yang menekankan hanya pengalaman empiris
sebagai satu-satunya sumber pengetahuan ilmiah karena dapat diuji kebenarannya
secara faktual. Positivisme klasik dikembangkan oleh A. Comte, terutama dalam
bidang sosiologi dengan tujuan untuk menemukan hukum-hukum sosial
kemasyarakatan secara empiris. Dalam positivisme klasik tersebut, comte
menjelaskan masyarakat dalam tiga tahap perubahan (teologis, metafisis, dan
positif). Menurut comte, analisis perubahan sosial mengharuskan penggunaan
metode yang menkankan fakta sebagai titik tolak, karena syarat perbaikan sosial
adalah pengalaman empiris yang menjamin kepastian dalam pelaksanaannya
secara cermat. Untuk itu, comte mendorong positivisme dapat dijalankan dalam
dua metode, yaitu metode positif dan metode historis, untuk mewujudkan
perubahan sosial yang adil. Positivisme klasik comte ini dikembangkan secara
terpisah dan menghasilkan dua aliran positivisme yang bersebaranagan satu sama
lain, yakni positivisme yang menekankan hanya metode positif, dan positivisme
yang menekankan metode historis.
b. Tahap II: positivisme Empiris
Positivsme secara umum merupakan empirisme yang menekankan pengalaman
empiris sebagai satu-satunya sumber pengetahuan. Karena itu, positivisme
sesungguhnya sama dengan empirisme keduanya saling melengkapi membentuk
sebuah aliran yang disebut positivisme empiris. E. Mach dan R. Avenarius
mengembangkan positivisme sebagai sebuah metode positif yang semakin
meninggalkan ciri positivisme klasisk yang secara formal menekankan objek-
objek nyata objektif. Sebelum positivisme mencapai taraf kematangannya sebagai
positivisme logis, muncul aliran dalam positivismeyang memberi perhatian
khusus pada masalah hubungan antara bahasa dan kenyataan, yang dikenal
sebagai aliran atomisme logis. Menurut atomisme logis, tugas logika adalah
menganalisis realitas kedalam kalimat-kalimat yang merefleksikan pengertian
paling elemneter dari kenyataan.
c. Tahap III : Positivisme logis
Positivisme logis dikaitkan dengan tokoh-tokoh lingkaran Wina seperti O.
Neurath, R.Carnap, M. Schlick, dan R. Frank. Positivisme logis adalah pandanga
mengenai ilmu pengetahuan yang dikaitkan dengan dua tradisi filsafat, yakni
empirisme-positivisme dan logika.
Empirisme adalah aliran filsafat yang menekankan bahwa pengalaman inderawi
merupakan satu-satunya sumber pengetahuan. Pandangan ini sama dengan
positivisme yang menekankan aspek kebebasan manusia untuk memperlakukan
apa yang diinderainya sebagai kenyataan dan sumber satu-satunya dari
pengetahuan ilmiah. Logika adalah bahasa formal yang dapat digunakan untuk
menjelaskan kenyataan menurut model-model matematis sehingga menjai
pengetahuan yang jelas, pasti dan benar.
2. Kekhususan positivisme logis
a. Aposteriorisme
Aposteriorisme atau posteriorisme adalah pandangan yang mengatakan bahwa
pengetahuan berasal dari pengalaman tentang sesuatu yang sudah terjadi (fakta).
Kant melakukan sintesis atas empirisme dan rasionalisme sebagai langkah kritis
untuk mengatasi redupya metafisika berhadapan dengan perkembangan ilmu
pengetahuan empiris. Pendirian Kant adalah mempertahankan metafisika agar
tetap eksis, tetapi untuk tetap eksis, metafisika harus dipraktikan sebagaimana
prosedur yang diberlakukan dalam ilmu pengetahuan. Sintesis yang dilakukan
oleh Kant memang dapat mengintegrasikan pengalaman (empirisme) dengan
refleksi kritis (rasionalisme) dan bahkan mengatasi keduanya dalam merumuskan
apa yang disebutnya pengetahuan rasional yang meliputi pengetahuan analitis,
sintesis a priori, dan sintesis a posteriori.
b. Eksplanasi deduktif-nomologis
Eksplanasi deduktif-nomologis merupakan metode positivisme logis yang
dikembangkan dalam penelitian ilmiah sebagai metode yang menjamin kesatuan
ilmu pengetahuan. Eksplanasi adalah pandangan bahwa pengalaman empiris atau
fakta merupakan data inderawi yang tidak bisa dipakai begitu saja. Melalui
observasi, data inderawi dihimpun, lalu diklasifikasikan menurut gejala-gejala
yang sama untuk merumuskan hukum. Dengan hukum, eksplanasi
memperlihatkan ciri inferensial, yakni penyimpulan sebuah pernyataan empiris
secara deduktif atau menurut hubungan sebab akibat. Prediksi dan hipotesis
membantu eksperimen selanjutnya yang menghasilka teori.
Secara singkat, eksplanasi ilmiah sesungguhnya adalah hipotesis karena
eksplanasi merupakan pernyataan yang dapat diterima jika didukung oleh evidensi
atau pembuktian empiris. Evidensi merupakan pengalaman empiris yang benar
dan dapat diulang degan kesimpulan yang sama oleh peneliti atau ilmuan yang
lain, metode eksplanas ini dalam positivisme logis disebut sebagai Eksplanasi
deduktif-nomologis atau covering law model, yakni penjelasan yang didasarkan
hubungan kausal yang memungkinkan prediksi dalam menguji apakah sebuah
teori benar atau salah.
3. Siklus empiris
Siklus empiris merupakan pendekatan ilmiah yang mengembangkan positivisme
logis. A.D. de Groot dalam methodologie (1961) menjelaskan bahwa penelitian ilmiah
memiliki lima komponen utama : waarnemen, vermoeden, verwachten, toetsen, dan
b
O
I
d
D
s
e
lT
a
v
E
g
n
tio
r
c
u
evalueren.

Wallace menjelaskan bahwa proses penelitian ilmiah memuat dua komponen utama,
yaitu informasi dan metodologi. Bagi Wallace komponen informasi memiliki lima
unsur hakiki, yakni (1) hipotesis (2) pengujian hipotesis (3) keputusan untuk
menerima atau menolak hipotesis (4) generalisasi empiris dan (5) logika penarikan
kesimpulan
Selanjutnya komponen metodologi memuat enam unsur hakiki yakni, (1) pengamatan,
(2) pengukuran-ringkasan sampel dan perkiraan parameter (3) pembentukan konsep
pembentukan proposisi dan penyusunan proposisi, (4) taori (5) deduksi nomologis (6)
penjabaran instrumentasi- pembentukan skala dan penentuan sampel. Pemikiran
positivisme logis menghasilkan empat metode empiris, masing-masing merupakan
cara para ahli menjelaskan proses ilmu pengetahuan.
4. Kritik terhadap siklus empiris
Metode empiris tidak baru sama sekali, Suatu empiris bukannlah sesuatu yang sama
sekali baru dalam khazanah ilmu pengetahuan empiris. Pemul metode ilmu
pengetahuan empiris adalah Aristoteles dan kemudian dikembangkan oleh para filsuf
islam (arab) dan kristen (eropa). Ilmuwan islam mengembangkan ilmu pengetahuan
empiris ini sepanjang abad X- XIV. Al-Haytham diakui sebagai perintis metode ilmu
pengetahuan empiris yang menekankan bahwa sebuah klaim ilmiah diperoleh melalui
tahap berikut :
 Pengamatan gejala alam
 Pernyataan masalah
 Perumusan hipotesis
 Asesmen dan analisis hasil
 Interpretasi data dan menarik kesimpulan
 Publikasi hasil penelitian

Bacon mengembangkan metode ilmu pengetahuan sebagai sebuah proses induksi


yang meliputi

 Pengamatan empiris
 Percobaan-percobaan secara sistematis
 Analisis bukti-bukti secara eksperimental
 Penalaran induktif
Descartes memperkenalkan metode deduksi yang bertolak belakang dengan induksi,
yakni
 Penentuan prinsip universal
 Penalaran deduktif
 Interpretasi
 Anlisis matematis
5. Kelemahan-kelemahan siklus empiris
Siklus empiris dipahami sebagai cara menyimpulkan pengetahuan ilmiah menurut
penjelasan hubungan sebab akibat seakan-akan kemungkinan untuk menjelaskan
pengetahuan ilmiah sampai tingkat pemahaman masalah tidak penting. Akibat dari
penggunaan siklus empiris adalah mengganti hegemoni metode induktif sebagai satu-
satunya cara memperoleh pengetahuan ilmiah. Kontigensi, relatifitas dan historiritas
pengetahuan disingkirkan dari metode ilmiah karena tidak bisa dijelaskan menurut
hubungan sebab akibat.
C. Komentar dan kritik Karl Popper
Popper adalah salah satu filsuf Austria-Inggrs yang besar pengaruhnya dalam
pemikiran mengenai filsafat ilmu pengetahuan dalam abad XX. Ia menolak positivisme
logis, ia mengajukan metode falsifikasi empirik untuk menggantikan apa yang oleh
positivisme logis disebut metode ferifikasi empirik. Positivisme logis berpihak pada
rasionalisme justifikatoris, sedangkan Popper mengajukan tandingannya, yakni
kritisisme non-justifikatoris yang untuk pertama kalinya dalam sejarah filsafat
1. Apa itu imu pengetahuan
a. Dalam positivisme logis, metode ilmu pengetahuan empiris adalah metode
induksi yang mendefenisiskan penemuan ilmiah sebagai penerapan metode
induktif dalam menganalisis pengalaman secara logis.
b. Perlunya pengeliminasian psikologisme dari logika ilmu pengetahuan atau
masalah fakta dari masalah validitas.
c. Pengujian teori secara deduktif harus dilakukan sebagai metode pengujian
teori secara kritis
d. Masalah demarkasi antara ilmu pengethuan dan metafisika telah menimbulkan
masalah mengenai pemisahan antara yang empiris dan yang non empiris, yang
tidak berhasil dijelaskan secara memadai oleh Hume dan Kant.
e. Pengalaman sebagai metode memiliki kelemahan yang menekankan bahwa
ilmu empiris hanya dapat mengatakan satu dunia, yakni dunia rill sebagai
dunia pengalaman. Ilmu pengetahuan empiris dalam arti diatas mensyaratkan :
(1) sintesis pengalaman (2) prinsip demarkasi yang memisahkan ilmu
pengetahuan dari metafisika (3) sebagai sebuah sistem yang
mempresentasikan pengalaman.
f. Falsifiabilitas sebagai kriteria demarkasi harus menggantikan verifiabilitas
sebagai kriteria demarkasi untuk memperlihatkan bahwa pernyataan yang
meaninfull dapat dipilih karena benar dan dapat disanggah.
g. Masalah dasar empiris berkaitan denga pernyyatan singular yang berfungsi
sebagai premis, bagaimana menguji hubungan antara persepsi dan pernyataan
singular tetap kabur dan tidak menjelaskan
h. Objektivitas ilmiah dan subjektivitas konvensi merupakan dua konsep
berlawanan
i. Perkembangan ilmu pengetahuan merupakan sebuah proses evolusi yang
ditandai dengan formula : SM (situasi masalah)1 – TT (Teori Tentatif)1 – EK
(Eliminasi Kesalahan)1 – SM (situasi masalah) 2. Artinya apabila berhadapan
dengan sebuah situasi masalah (SM), maka sejumlah prediksi atau teori
tentatif (TT) dilakukan sebagai falsifikasi untuk mengeliminasi kesalahan
(EK). Eliminasi kesalahan berlaku sama seperti seleksi natural yang berlaku
dalam evaluasi biologis. Teori yang bertahan terhadap penolakan bukan berarti
bahwa teori itu lebih benar, melahirkan teori itu lebih sesuai dengan kata lain
teori itu lebih bisa diterapkan untuk memecahkan masalah yang ada.
j. Popper menampilkan sebuah pandangan kritik sejarah dan pembelaannya
terhadap open society.

D. Context pf discovery, historis kontekstual (de facto)


Thomas Kuhn menegaskan bahwa proses perkembangan dan perubahan dalam
paradigma ilmu pengetahuan berjalan lambat dan bersifat bertahap. Popper menekankan
falsifikasi sehingga suatu data menentang sebuah teori dengan sendirinya teori itu gugur
dan tidak akan berkembang. Kuhn sebaliknya menekankan proses, bahwa proses
eksperimen ilmiah meskipun tidak sepenuhnya benar, tidak sepenuhnya ambigu,
falsifikasi bukan satu-satunya yang menetukan perkembangan teori ilmu pengetahuan.
Paul Feyerabend secara lebih ekstrim menolak verifikasi dan falsifikasi, lebih dekat
dengan Kuhn, ia menegaskan pluralisme metodologi yang mengizinkan apa pun dapat
dilakukan secara ilmiah sampai waktu menentukan metode mana bisa bertahan dan mana
yang tidak bertahan lalu gugur.
1. Teori paradigma Thomas Kuhn dan Relativisme Historis
Dalam bukunya yang berjudul scientific revolution, Thomas Kuhn
berpendapat bahwa perkembangan ilmu pengetahuan tidak berlangsung sebagai
akumulasi pengetahuan menurut garis lurus, tetapi menurut suatu revolusi yang
bersifat berkala, yakni perubahan paradigma di mana penelitian ilmiah dalam
suatu bidang tiba-tiba berubah secara drastis. Dengan berpegang pada ilmu
pengetahuan normal, para ilmuan memproduksi dan memajukan ilmu
pengetahuan dengan komitmen terhadap paradigma yang diyakini tersebut.
Kuhn menyadari bahwa tidak ada standar objektif yang sama yang dipakai
ilmuwan yang berbeda dengan hasil ilmiah yang sama. Maka, ia mengemukakan
pandangannnya mengenai inommensurability, yakni pemahaman kita mengenai
ilmu pengetahuan tidak pernah didasarkan pada sesuatu yang benar-benar objektif,
oleh sebab itu aspek subjektif dalam ilmu pengetahuan harus dikaji secara
seimbang dengan aspek objektif ilmu pengetahuan.
Kuhn memahami kodrat manusia yang terbatas dan rasional tersebut
sebagai landasan pembangunan teori ilmu pengetahuan yang bersifat
paradigmatik, yakni pemahaman terhadap ilmu pengetahuan sebagai kerangka
referensi yang mendasari praktik-praktik ilmiah dalam periode tertentu. Dengan
paradigma, Kuhn mau memperlihatkan bahwa ilmu pengetahuan terkait dengan
kerangka konseptual yang digunakan para ilmua dalam periode tertentu dan tidak
bisa begitu saja diklaim berlaku pada periode yang lain.
Perkembangan mengindikasikan peralihan dari suatu yang sebelumnya
biasa menjadi sesuatu yang lain dari biasa. Secara singkat, perkembangan
menyatakan adanya perubahan. Oleh sebab itu, pernyataannya adalah apa yang
menyebabkan atau mensyaratkan sesuatu bisa berubah dan apa akibatnya? Dalam
sosilogi dikenal anomi, yakni tidak berlakunya norma yang lama, sementara
norma baru belum ada atau belum terlembagakan. Dalam ilmu pengetahuan
dikenal istilah krits, yakni anomali yang ditimbulkan oleh ilmu pengetahuan
normal, sementara belum ada ilmu pengetahuan baru yang diterima oleh kaum
ilmuwan. Dalam teori sosial kritis dikenal kontradiksi, yaitu situasi konfliktual
karena pertentangan antara ideologi yang menggambarkan masyarakat dan
kenyataan sosial. Jadi, anomi, anomali, dan kontradiksi merupakan situasi kritis
yang mengambisikan proses perubahan, baik secara perlahan-lahan maupun
secara cepat, di dalam masyarakat mengenai cara manusia memahami realitas
dalam kaitan dengan arti dan tujuan hidupnya. Dengan pemikiran Thomas Khun,
kita bisa meredefinisikan revolusi ilmu pengetahuan sebagai perubahan paradigma
dengan kata lain, revolusi ilmu pengetahuan harus dipahami sebagai perubahan
paradigma, yang berlangsung dalam sebuah era, yang di satu pihak melepaskan
cara pandang yang tidak relevan dengan kebutuhan aktual, dan dipihak lain
melanjutkan dengan memperkembankan lebih jauh di masa depan potensi-potensi
pengetahuan yang sudah di hasilkan oleh manusia dalam sejarah masa kini. Siklus
empiris sebagai cara pandang ilmu pengetahuan positif tidak seluruhnya dibuang,
tetapi potensi-potensi yang dimilikinya, the logic of justification dapat
dimanfaatkan dengan mengintegrasikannya melalui the logic of discovery, untuk
memajukan ilmu pengetahuan ketingkat yang lebih reliable untuk rasonalitas
masyarakat. Berdasarkan historisitas dan prediksi yang menyifatkan ilmu
pengetahuan disimpulkan bahwa kebenaran ilmu pengetahuan tidak mutlak. Ilmu
pengetahuan berkembang sebagai suatu kontinuitas dari apa yang sudah ada dalam
pemikiran manusia, dari satu generasi ke generasi lain.
2. Perubahan Paradigma
Sumbangan pemikiran Khun yang utama adalah pemikiran mengenai ilmu
pengetahuan. Ilmu pengetahuan berlangsung periodik, paradigm shift, dari pada
berkembang secara linear dalam suatu cara yang kontiniu. Perubahan paradigma
memperkenalkan pendekatan baru bagi pemahaman yang sebelumnya tidak
disadari ilmuan sebagai suatu pendekatan yang valid. Ilmuan tidak bisa
melepaskan pandangan pribadinya dari apa yang dilakukannya, dengan demikian
pemahaman kita mengenai ilmu pengetahuan tidak pernah didasakan pada suatu
objektifitas yang penuh, dengan kata lain, kita harus memberi perhatian juga pada
perspektif pribadi ilmuan.Khun memberi penekanan yang berbeda dari Popper,
bahwa ilmu pengetahuan berlangsung dalam sebuah seri paradigma, dan bukan
menurut metode falsifikasi. Alasannya, tidak ada teori yang pernah memecahkan
seluruh teka-teki yang dihadapu dalam periode tertentu, dan tidak ada pemecahan
yang tuntan dan perfek. Apabila dasar teori tidak lagi kuat, maka teori itu ditolak
dan menghasilkan situasi anomali atau krisis yang mendorong kelahiran teori
baru. Khun mengemukakan pandangannya bahwa ilmu pengetahuan tidak
berkembang sebagai akumulasi pengetahuan baru dalam sebuah garis lurus, tetapi
ilmu pengetahuan itu berkembang melalui sebuah revolusi periode, yaitu
pergantian paradigma.
Revolusi periodik tersebut menggambarkan hakikat ilmu pengetahuan
sebagai pergantian cara pandang dalam satu bidang pengetahuan yang tiba-tiba
terjadi. Secara umum perubahan itu melewati 3 tahap yang berbeda :
a. Tahap prailmu pengetahuan, yang belum ada paradigma
b. Tahap ilmu pengetahuan normal,
c. bila mana ilmuan berusaha untuk menggunakan paradigma tertentu dalam
memecah teka-teki puzzle solving

Berdasarkan paradigma tersebut, ilmu pengetahuan normal berhasil secara


nyata : apabila paradigma tersebut berhasil, profesi ilmuwan akan memecahkan
problem mereka degan menggunakan paradigma tersebut. Selama periode ilmu
pengetahuan normal tersebut, kegagalan penerapan paradigma menyatakan bahwa
paradigma tersebut tidak berlaku atau terbukti salah. Akibatnya, situasi menjadi
anomali yang mendorong ilmu pengetahuan memasuki krisis sebagai tahap ketiga
dan mengondisikan lahirnya paradigma baru yang akhirnya diterima. Proses itu
disebut sebagai revolusi ilmu pengetahuan.
3. Incommensurability
Kuhn berpendapat bahwa paradigma bersifat incommensurable yakni
pandangan yang mengatakan bahwa tidak mugkin untuk memahami suatu
paradigma dengan perantaraan paradigma yang lain. Terhadap pandangan Khun
tersebut, timbul krtik terhadapnya bahwa kalau begitu, tidak ada teori pilihan
karena pemikiran tentang Incommensurability mengandaikan bahwa tidak dapat
dibandingkan satu teori dengan teori yang lain sehingga suatu “pilihan” bersifat
“irasional”. Kritik ini datang dari David Stove (Popper and After, 1982), yang
mengatakan bahwa apabila teori tandingan tidak ada, maka pilihan tidak tersedia.
Hal ni sama artinya dengan mengatakan bahwa semua teori sama, dan karena itu
tidak ada hal yang baru yang lebih baik. Kuhn menjelaskan mengenai
Incommensurability ilmu pengetahuan bersifat objektif dan dapat dijadikan dasar
untuk melakukan suatu pilihan ilmiah menurut lma pengertian berikut:
a. Akurat, yakni secara empiris sesuai dengan eksperimen dan observasi.
b. Konsisten yakni secara internal konsisten dengan teori-teori yang lain.
c. Jangkauan yang luas, yakni akibat-akibat dari sebuah teori harus bisa
dijelaskan oleh teori itu sebagaimana seharusnya teori itu direncanakan
d. Sederhana, yakni penjelasan teori yang paling sederhana secara prinsip serupa
dengan Ockham’s razor, yakni tidak bisa begitu saja menyimpulkan sesuatu
itu harus dari kenyataan bahwa sesuatu itu ada.
e. Berguna, yakni sebuah teori harus membuka fenomena baru atau hubungan
baru antarfenomen.
f. Kelima ciri yang menandai sesuatu pilihan ilmiah di atas memanai theory
choice yang didalam kenyataannya hal itu digunakan sesuai dengan situasi
pribadi si ilmuan.

Jadi paradigma shift merupakan evolusi paradigma, sedangkan makna


revolusi menunjuk pada perkembangan yang luas yang terjadi dalam seluruh
bidang ilmu pengetahuan. Pandangan Khun tersebut digunakan dalam ilmu-ilmu
sosial, khususnya sosiologi ilmu pegetahuan.
4. Relativisme historis
Istilah perubahan paradigma pertama-tama digunkan oleh . M.Polanyi dan
dikembangkan oleh Khun. Keduanya yakin bahwa pengalaman subjektif ilmuwan
menjadikan ilmu pengetahuan suatu disiplin yang relatif. Polanyi sudah
membcarakan hal ini beberapa dekade sebelum Khun menerbitkan the structure of
scientific revolutions. Para pendukung Polanyi menilai Khun menjiplak Polanyi
karena Khun pernah menghadiri kuliah-kuliah yang diberikan Polanyi. Keduanya
lama berdebat mengenai masalah epistimologi sampai akhirnya sepakat bahwa
apa yang dikembangkan itu demi perkembangan ilmu pengetahuan.
E. Program Riset Imre Lakatos : Context of Intergration (Perpaduan)
Imre Lakatos (1922-1974) adalah murid Popper yang berusaha mendamaikan
pemikiran Popper mengenai falsifikasi dan pemikiran Khun tentang paradigma. Menurut
Lakatos, teori falsifikasi jika diterapkan sebagaimana yang dimaksud Popper akan
menghasilkan falsifikasionisme yang naif, maka falsifikasi harus diperlakukan lebih
menyerupai sebuah program riset ketimbang pernyataan universal mengenai pembuktian
empiris. Lakatos yang dikenal sebagai filsuf matematika dan filsafat ilmu pengetahuan
menulis tesis mengenai valibilitas matematika serta metodologi pembuktian dan
penolakan yang disebutnya metodologi program riset matematika.

1. Posisi dasar
a. Teori bergerak dalam dinamika pembuktian dan penolakan
Penolakan terhadap klaim kebenaran universal dilakukan melalui metode
verfikasi maupun falsifikasi. Karya filosofis Lakatos dipengaruhi dialektika
Hegel dan Marx serta teori ilmu pengetahuan dari Popper dan ahli matematika
George Poyla. Buku Proofs and Revutation merupakan esai dalam bifang
logika matematika. Dalam buku ini, Lakatos membuktikan bahwa teorema
dalam ilmu matematika tidak memiliki kepastian mutlak sehingga sebagai
sebuah hukum, terema berlaku sejauh belum ada yang menentang dan
menggantikannya.
b. Heurisme
Kata Yunani eurike merupakan asal usul kata heuristic dalam bahasa Inggris
yang melukiskan bahwa ilmu pengetahuan muncul sebagai penemuan yang
melewati dinamika trial and error. Ilmu pengetahuan pertama-tama bukan
masalah pembuktian benar atau salah, melainkan insight yang ditemukan
sebagai pemecahan masalah. Bagi Lakatos, matematika hanya membantu
sebagai sarana untuk memahami sesuatu, tetapi matematika tidak memberi
jaminan 100% kepastian ilmu pengetahuan. Lebih jauh Lakatos mengatakan
bahwa matematikawan dapat memutuskan suatu bukti valid secara matematis,
tetapi tidak secara dialektis, maka harus diterima bahwa validitas matematis
bukanlah bukti empiris, kecuali itu merupakan usaha untuk memprediksi suatu
kenyataan.
Falsifikasi dan perubahan paradigma masing-masing tidak cukup untuk
menjelaskan kebenaran ilmiah kecuali keduanya diintegrasikan dalam sebuah
program riset yang progresif.
1) Teori Popper sering secara keliru dkutip untuk menjelaskan bahwa ilmuan
berhenti menggunakan sebuah teori segera setelah ditemukan bukti yang
mempersalahkan sebuah teori, dan segera menggantikannya dengan teori
baru yang lebih baik.
2) Khun menjelaskan bahwa ilmu pengetahuan itu terdiri dari periode-periode
ilmu pengetahuan normal dan berhadapan dengan anomali-anomali yang
berbaur sampai terjadi suatu perubahan baru.

c. Program riset progresif


Berbeda dengan Popper yang menganggap hipotesis pendukung hanya
bersifat ad hoc, Lakatos ingin memperlihatkan bahwa penggunaan hipotesis
pendukung bukanlah hal yang tidak berguna, melainkan hal penting dalam
riset tanpa harus bertanya apakah sebuah hipotesis benar atau salah.
Sebuah program riset bersifat progresif (berkembang) apabila ada
perkembangan berupa penemuan fakta baru, pengembangan teknik
eksperimen yang baru, akurasi prediksi yang lebih jitu, dan lain-lain. Apabila
syarat-syarat ini tidak terpenuhi dalam sebuah program riset, maka program
riset tersebut bersifat degeneratif karena tidak menunjukkkan perkembangan
yang memungkinkan penemuan fakta baru.
Program riset yang bersifat progresif ditandai oleh kemajuan-kemajuan
dalam menemukan fakta baru yang spektakuler, pengembangan teknik
pengamatan yang baru, prediksi yang lebih jitu, dan seterusnya. Sebaliknya,
suaru program riset bersifat degeneratif apabila tidak ada kemajuan dan
penemuan fakta baru, terutama karena tidak ada hipotesis pendukung yang
berfungsi sebagai sabuk pengaman hard core penelitian, lalu menjadi
hambatan bagi penemuan fakta baru.
2. Yunani sebagai asal usul filsafat
Pada awal abad VI sebelum masehi, terkenallah tujuh orang bijaksana di
Melitis, Yunani, yaitu Thales, Kleobulos, Periandos, Solon, Bias, Pittakos dan
Chilon. Mereka menerobos batas-batas kebiasaan yang tidak mempertanyakan
secara rasional pengalaman sehari-hari, dengan bertanya tentang hakikat atau asal-
usul, arkhe, dari kenyataan yang tampak dalam pengalaman kehidupan sehari-
hari. Mereka disebut filsuf terutama karena mereka memperlihatkan
kemampuannya menerobos lingkaran kebiasaan yang tidak mempersoalkan hal
ihwal sehari-hari. Mereka ingi mengubah cara pandang masyarakat yang selama
ini menjelaskan kenyataan berdasarkan mitos yakni cerita-cerita mengenai asal-
usul alam semesta yang bersifat turun-temurun tanpa mempertanyakan
kebearannya secara kritis. Keberanian menerobos kebiasaan berpikir mitis
menjadi berfikir logis menadai peralihan suatu era, dari mitos ke logos. Yang
menarik ialah logos mengenai arkhe sejak awal sudah menimbulkan perbedaan
pendapat di antara para filsuf dan ini merupakan problem ilmu pengetahuan yang
paling awal, yakni problem ontologis.
Ontologis merupakan ilmu pengetahuan (logos) mengenai asal-usul
(arkhe) dari apa yang tampak sebagai kenyataan (ontos). Plato mengembangkan
pemikiran ontologis tersebut dalam filsafatnya mengenai asal-usul kenyataan pada
idea tentang yang baik. Bagi Plato, idea merupakan asal-usul kenyataan. Idea
merupakan the really real karena apa yang tampak sebagai kenyataan hanyalah
tiruan apa yang sungguh ada, idea. Kenyataan bersifat bersifat majemuk
disimpulkan secara deduktif dari satu prinsip, yakni idea universal. Aristoteles
melanjutkan pembicaraan mengenai hakikat kenyataan bersifat metafisis dari
dunia phenomenon yang tampak majemuk menyimpulkan adanya prinsip
pemersatu sebagai idea universal. Secara metodik, Plato merumuskan hakikat
kenyataan secara deduktif berpusat pada idea universal, sedangkan Aristoteles
merumuskan hakikat kenyataan melalui cara induktif, yakni dari apa yang tampak
dan dialami dalam pengalaman. Dari sana disimpulkan “prinsip universal” yang
mendasari kenyataan ajemuk. Tidak disangkal bahwa pendekatan ontologis dalam
filsafat ilmu pengetahuan membawa kemajuan berupa pengenalan hakikat
kenyataan menurut aspek-aspek tertentu, tergantung pada bagaimana ontologi
igunakan oleh aliran-aliran seperti realisme, naturalisme, dan empirisme dalam
mengembangkan ilmu pengetahuan.
3. Pendekatan ilmu pengetahuan dalam context of integration
Dengan kata lain, pendekatan lmu pengetahuan bersifat ateis, yang berarti
pendekatan itu tidak secara langsung dikaitkan dengan masalah ketuhanan dalam
iman kepercayaan apapun. Hal ini berarti bahwa pendasaran ilmu pengetahun
adalah akal budi, bukan iman kepercayaan. Iman kepercayaan itu penting, tetapi
tidak digunakan untuk menjelaskan kebenaran ilmu pengetahuan. Iman
kepercayaan membantu dengan memberi motif bagi manusia untuk menerima
keterbatasan akal budi, tetapi tidak membatalkan pendasaran ilmu pengetahuan
pada perhitungan rasional. Deuas ex machina merupakan cara mengelak untuk
menerima keterbatasan akal budi manusia dengan mengatakan bahwa sesuatu
terjadi karena kehendak Tuhan. Argumen Deuas ex machina bukanlah suatu sikap
yang jujur untuk menerima keterbatasan manusia, melainkan sebuah ilusi yang
memperbesar kesombongan dan ketololan manusia sendiri. Alasannya, apabila
realitas yang nyata tidak sanggup dijelaskan, mustahil manusia berbicara
mengenai apa yang tidak diketahuinya dengan mendasarkan pada pikiran Illahi
yang tidak diketahuinya.
F. Pengetahuan dan Kepentingan Kognitif Manusia Jurgen Hubermas
Hubungan antara pengetahuan dan kepentingan manusia merupakan jawaban
atas krisis teori ilmu pengetahuan atau epistimologi dalam era modernisme yang
berusaha menjawab pertanyaan : “how reliable knowledge possible ?”. pada era
puncak modernisme, empirisme atau positifisme logis menempati posisi paling utama
dalam diskursus metodologi ilmu pengetahuan dan secara radikal memaklumkan
pengalaman empiris sebagai satu-satunya sumber pengetahuan ilmiah dan mengklaim
bahwa pengetahuan itu tidak ada hubungannya dengan nilai karena apa yang diklaim
sebagai pengetahuan harus bersifat objektif dan dapat dibuktikan secara empiris
sebagai fakta. Konsep dalam pengertian empiris positivistik adalah reliabilitas
pengetahuan yang diklaim apakah sesuai dengan kenyataan. Penentuan reliabilitas
pengetahuan dilakukan dengan cara verifikasi, yakni pembuktian teori dengan data
empiris.
1. Teori dan praksis
Istilah teori yan digunakan dalam empirisme atau pisitivisme logis berbeda
artinya dengan pemahaman arti istilah teori dalam metafisika. Dalam pengertian
metafisis, teori adalah kontemplasi mengeani hakikat kenyataan. Penekanan arti
kontemplatif itu memperlihatkan pengaruh filsafat Yunani, yakni apa yang
sesungguhnya ada sebagai noumenon dan menjadi prinsip untuk memahami
kenyataan empiris. Teori dikaitkan dengan theos, yakni “Tuhan” atau nilai
transendental yang mendasari pengalaman praktis. Dengan kata lain, untuk
memperoleh teori seseorang harus melakukan kontemplasi, yakni memusatkan
pikiran pada esensi dari realitas, bukan menyibukkan diri dengan aspek praktis
mengenai bagaimana fakta itu digunakan. Aspek praktis dan pragmatis dari
pengetahuan tidak mendapat perhatian yang utama dalam metafisika.
Sebaliknya dalam empirisme, segi praktis dan pragmatis dari pengetahuan
mendapat perhatian yang utama sehingga ilmu pengetahuan dipahami sebagai
teori dalam arti fungsional atau teknis sejauh mana ilmu pengetahuan itu berguna
dalam praksis kehidupan manusia. Dalam empirisme, teori merupakan
pengetahuan yang diperoleh melalui proses konfirmasi sebuah hipotesis dengan
fakta yang dibahasakan secara formal sehingga dijamin bahwa sebuah teori jelas,
pasti, dan dapat diaplikasikan. Empirisme atau positivisme logis menghasilkan
teori dengan menggunakan metode induktif, yakni generasi hukum universal
untuk memprediksi akibat yang khusus yang terjadi sebagai konfirmasi terhadap
hukum universal. Supaya ilmu pengetahun bersifat universal, teori harus dipahami
secara radikal sebaga cara membatasi arti pengalaman. Cara membatasi arti dari
pengalaman dapat dilakukan secara induktif atau deduktif dengan tujuan praktis,
yakni menimbulkan pemahaman timbal balik antara subjek dan objek, penutur dan
lawan bicara.
2. Teori sebagai aksi yang berorientasi praksis.
Dengan penekanan tersebut, arti teori diepaskan dari pemahaman
tradisional yang mengaitkan teori dengan kontemplasi atas kebenaran dunia ideal.
Orientasi praktis dari teori membuka pemahaman yang baru bahwa teori adalah
aksi atau tindakan manusia yang secra terencana dapat diaplikasikan untuk dan
atau mewujudkan kebutuhan manusia.
Teori dalam pemahaman tradisional merupakan deskripsi hukum
universal, sedangkan teori dalam arti empiris adalah deskripsi yang
menggeneralisasikan hukum universal. Dengan cara ini, empirisme berusaha
untuk menghilangkan cara pandang metafisis mengenai kenyataan dan
memperjuangkan kesatuan metode ilmu pengetahuan, yakni induktfisme. Paham
inuktifisme adalah pandangan yang hanya mengakui data indrawi sebagai
pengetahuan ilmiah.
3. Teori dan kepentingan
Empirisme menolah pernyataan-pernyataan metafisis sebagai spekulasi
atau a priori karena pernyataan-pernyataan tersebut tidak bebas dari kepentingan
subjek yang mengatakannya. Sebalikya, pernyataan ilmiah dalam pemahaman
empirisme bersifat objektif dan bebas dari kepentingan subjek yang
mengatakannya. Teori kritis adalah penolakan mahzab Frankfurt terhadap
empirisme dan positivisme logis dengan menyingkapkan tahayul aliran tersebut
yang memberhalakan rasio instrumental. Apabila empirisme mengatakan bahwa
pengetahuan ilmiah bersifat bebas nilai atau lepas dari kepentingan subjektif,
maka teori kritis menekankan bahwa pengetahuan ilmiah tidak bebas nilai, tetapi
tercakup kepentingan subjek atau tidak netral.
4. Pengetahuan tercakup kepentingan
Anggota generasi kedua mahzab Frankfurt, J. Habermas mengatakan
bahwa pengetahuan tercakup kepentingan terdapat dalam semua jenis dan bentuk
ilmu pengetahuan.
a. Ilmu empiris analitis tercakup kepentingan teknis, yakni kemampuan untuk
membuat prediksi berdasarkan hukum-hukum induktif.
b. Ilmu historis harmeneutis tercakup kepentingan praktis, yakni kemampuan
untuk menjalin hubungan-hubungan di dalam masyarakat melalui interpretasi
atas realita sosial.
c. Ilmu pengetahuan reflektif tercakup kepentingan emansipatoris, yakni
kemampuan refleksi diri untuk memahami kebebasan pribadi dalam
keharusan-keharusan hukum alam.
G. Tiga Ranah Ilmu Pengetahuan
Plato menentukan ranah ilmu pengetahuan yang sesungguhnya adalah dunia
ideal, yakni pikiran sebagai prinsip yang satu dan yang umum menjadi asal usul dari
kenyataan yang banyak. Pandangan tentang kesatuan pengetahuan dalam dunia ideal
melahirkan lairan yang disebut idealisme, yaitu bahwa idea merupakan sumber dari
kenyataan yang majemuk. Sebaliknya, Aristoteles mengembangkan realisme, yakni
pandangan bahwa kesatuan ilmu pengetahuan diperoleh dati pengalaman tentang
kenyataan yang majemuk. Kenyataan yang majemuk tersebut dikelompokkan menjadi 3
jenis ilmu pengetahuan yang berbeda, yakni ilmu teoritis, ilmu praktis, dan ilmu
produktif. Tiga kelompok ilmu pengetahun ini bertolak dari kenyataan yang
membuktikan bahwa ketiganya dapat disatukan oleh sebuah prinsip yang dapat
dijelaskan secara logis, yakni metafisika. Ilmu pengetahuan dapat dikelompokkan dalam
rumpun disuatu ranah dengan wilayah spesifik yang membedakan satu rumpun ilmu
pengetahuan dengan rumpun ilmu pengetahuan lain.
1. Ilmu pengetahuan di ranah fakta mengacu pada wilayah spesifik, yakni alam.
Termasuk dalam rumpun ilmu pengetahuan ini adalah ilmu pengetahuan analitis
empiris. Acuan ilmu analitis empiris adalah dunia fakta, maka untuk menjelaskan
fakta secara ilmiah rumpun ilmu analitis empiris membangun metode yang
memanfaatkan instrumen yang sesuai sebagai cara untuk menguasai alam. Yang
bersifat induksi, yaitu menggunakan pengamatan atas kasus-kasus individual
merumuskan hukum untuk menguji hipotesis yang menjadi teori yang dapat
diaplikasikan untuk menerangkan dan menguasai bagi pemenuhan kebutuhan
manusia.
2. Ilmu pengetahuan di ranah nilai atau makna mengacu pada wilayah spesifik, yakni
masyarakat. Termasuk dalam rumpun ilmu pengetahuan ini adalah ilmu
pengetahuan historis harmeneutis. Acuan ilmu ini adalah dunia sosial, dengan
memperoleh pengetahuan ini manusia dapat memahami realitas sosial budaya
melalui interpretasi yang memberi makna tertentu pada suatu peristiwa sosial.
3. Ilmu pengetahuan di ranah kemandirian mengacu pada wilayah spesifik, yakni
manusia sebagai pribadi. Rumpun ilmu pengetahuan tentang kemandirian adalah
refleksi kritis yang memberi perhatian pada jerat-jerat atau simpul-simpul
kepalsuannya.

Fakta, nilai, dan pribadi


a. Fakta
Istilah fakta berasal dari kata Latin facere, membuat. Dalam bentuk
particpium (faktum) mengandung arti sesuatu yang sudah atau telah terjadi.
Dengan fakta kita mengartikan segala sesuatu yang ditangkap panca indera
sebagai suatu kenyataan.
Fakta bersifat objektif yakni mengenai sebuah objek yang nyata atau benar-
benar terjadi dan dapat dibuktikan.
Jenis-jenis fakta dapat dibedakan sebagai berikut : fakta ilmiah dapat diukur
dan dibuktikan. Termasuk dalam fakta ilmiah adalah fakta sosial yang
meliputi struktur, norma kebudayaan, dan wilayah sosial yang dipaksakan
kepada pelaku sosial.
Fakta non ilmiah bersifat pseudo fakta, tidak dapat diukur dan dbuktikan. Fiksi
atau rekaan serta opini atau pendapat termasuk pseudo fakta yang tidak secara
langsung menyumbang pada perkembangan ilmu pengetahuan. Fiksi adalah
sebuah rekacipta sastra atau karangan yang menampilkan imajinasi penulis
tentang sesuatu yang terjadi diangan-angan. Opini adalah pendapat seseorang
atau kelompok.
b. Nilai
Nilai adalah sesuatu yang berharga, bermutu, menunjukkan kualitas, dan
berguna bagi manusia. Ciri-ciri nilai yaitu :
1) Nilai bersifat abstrak
Nilai adalah suatu kualitas yang bersifat abstrak dan tidak bisa berdiri
sendiri, kecuali dikenakan pada sesuatu yang lain untuk menunjukkan nilai
dari suatu objek.
2) Nilai bersifat subjektif
Nilai yang berkaitan dengan penilaian dari satu subjek terhadap suatu
objek maka nilai bersifat subjektif atau nilai relatif pada si penilai.
3) Nilai bersifat normatif
Sifat normatif pada nilai berlaku secara gradual, semakin tinggi sebuah
nilai, semakin menjadi tolak ukur perilaku yang dicita-citakan.
Jenis-jenis nilai yaitu :
1) Nilai logis, berkaitan dengan salah
2) Nilai estetis, berkaitan dengan keindahan
3) Nilai moral, berkaitan dengan kebaikan

Ilmu pengetahuan sebagai teori

Ilmu pengetahuan adalah teori, tetapi teori tidak sama dengan ilmu pengetahuan. Ilmu
pengetahuan adalah teori khusus yang digunakan untuk menjelaskan aspek tertentu dari
realitas sosial secara ilmiah. Teori adalah bahasa yang membedakan ilmu pengetahuan dari
teologi dan ideologi. Bahasa teologi merupakan konstruksi rasional atas sistem kepercayaan,
sedangkan bahasa ideologi didasrkan pada kepercayaan doktrinal atau dogmatik tentang
bagaimana masyarakat itu diatur.
Ilmu pengetahuan adalah teori spesifik yang membedakan tiga jenis tiga bahasa yang
digunakan untuk merumuskan teori sebagai konsep mengenai realitas menurut tiga aspek
yang berbeda. Akibatnya, ilmu-ilmu sosial budaya membedakan tiga jenis teori, yang
membedakan tiga jenis kelompok ilmu pengetahuan yakni, metateori, teori empiris, dan teori
normatif. Ilmu-ilmu alam hanya menekankan satu apek dari teori, yakni pandangan mengenai
kenyataan sebagai fakta yang bisa diverifikasi.
a. Ilmu alam sebagai teori
Teori ilmu alam adalah positivisme atau empirisme, yakni hanya pengalaman empiris
dapat dijelaskan dan dibuktikan benar atau salah. Pembuktian teori dapat dlakukan
melalui metode yang lazim disebut sebagai siklus empiris, yakni cara kerja ilmu
pengetahuan yang didasarkan pada metode induksi.
b. Ilmu sosial budaya sebagai teori
Sebagai teori kritik sosial, ilmu-ilmu sosial budaya memainkan peran penting dalam
pembentukan masyarakat modern dan demokrasi liberal. Ilmu-ilmu sosial budaya
bertujuan merekonstruksi sebuah metode ilmu pengetahuan sosial budaya yang
memainkan peranan penting dalam menginterpretasi krisis budaya dan krisis sosial
ekonomi di era postmodernisme

Anda mungkin juga menyukai