Anda di halaman 1dari 17

Jurnal Filsafat Kelimuan: Filsafat Positivisme

FILSAFAT KEILMUAN POSITIVISME

Hikmatyar
tyarmazmun11@gmail.com
UIN ALAUDIN MAKASSAR

ABSTRAK

Positivisme adalah sebuah filsafat yang menyakini bahwa satu-satunya

pengetahuan yang benar adalah yang didasarkan pada pengalaman aktualfisikal.

Pengetahuan demikian hanya bisa dihasilkan melalui penetapan teori-teori melalui

metode saintifik yang ketat, yang karenanya spekulasi metafisis dihindari.

Positivisme, dalam pengertian di atas dan sebagai pendekatan telah dikenal sejak

Yunani kuno. Terminologi positivisme dicetuskan pada pertengahan abad ke-19

oleh salah satu pendiri ilmu sosiologi yaitu Auguste Comte. Comte percaya bahwa

dalam alam pikiran manusia melewati tiga tahapan historis yaitu teologi,

metadisik, dan ilmiah. Artikel ini membahas filsafat keilmuan, di dalamnya

dipaparkan tentang sejarah, pengertian, dan tokoh-tokoh yang menganut paham

positivism serta kelebihan dan kelemahannya.

Kata Kunci: Filsafat, Positivisme, August Comte

ABSTRACT

Positivism is a philosophy which believes that the only true knowledge is that

which is based on actual physical experience. Such knowledge can only be

generated through the establishment of theories through a rigorous scientific

method, for which metaphysical speculation is avoided. Positivism, in the above

1
Jurnal Filsafat Kelimuan: Filsafat Positivisme

sense and as an approach has been known since Ancient Greece. The term

positivism was coined in the mid-19th century by one of the founders of

sociology, Auguste Comte. Comte believed that the human mind went through

three historical stages, namely theological, metadisc, and scientific. This article

discusses the philosophy of science, in which it describes the history,

understanding, and figures who adhere to positivism and their strengths and

weaknesses.

Keyword: Philosophy, Positivism, August Comte

PENDAHULUAN

Dalam kajian Filsafat, terdapat istilah yang disebut dengan positivisme.

Positivisme ditengarahi sebagai paham yang mempengaruhi pesatnya

perkembangan ilmu pengetahuan saat ini. Dalam catatan sejarah positivisme

dengan metodenya mampu mempengaruhi penganutnya untuk bangkit membuat

temuan-temuan ilmiah yang sangat spektakuler sampai saat ini. Munculnya paham

ini bertepatan dengan masa Renaissance yang dikenal sebagai masa kebangkitan

filsafat.

Dalam Filsafat Ilmu kita mengenal sebuah istilah yang disebut dengan

Sumber Pengetahuan yang mempersoalkan dari mana sebuah Ilmu pengetahuan

diperoleh atau lewat apa pengetahuan itu didapat. Dalam hal ini ada beberapa

pendapat tentang sumber pengetahuan. Ada yang disebut dengan empirisme, yaitu

pengetahuan yang didapatkan melalui pengalaman. Pengalaman yang dimaksud

2
Jurnal Filsafat Kelimuan: Filsafat Positivisme

adalah pengalaman indrawi.1Sumber ilmu pengetahuan lainnya adalah

Rasionalisme yang menyatakan bahwa akal adalah dasar kepastian pengetahuan.

Pengetahuan yang benar diperoleh dan diukur dengan akal.2 Kedua sumber ilmu

pengetahuan itu mempunyai kelemahan masing-masing sehingga dari dua aliran

tersebut terlahirlah metode ilmiah atau pengetahuan sains. Dalam hal ini panca

indera mengumpulkan data-data, sedangkan akal menyimpulkan berdasarkan pada

prinsip-prinsip universal, yang kemudian disebut universal. Tapi kebenaran yang

model ini bukan kebenaran mutlak, tapi kebenaran yang dekat dengan hakikat,

yaitu menurut kesanggupan tertinggi dari akal dalam mendekati hakikat itu.

Dari sinilah kemajuan sains benar-benar dimulai. Kebenaran diperoleh

dengan akal dengan didukung bukti-bukti empiris yang terukur.

SEJARAH FILSAFAT POSITIVISME

Positivisme adalah salah satu aliran filsafat modern. Secara umum boleh

dikatakan bahwa akar sejarah pemikiran positivisme dapat dikembalikan kepada

masa Hume (1711-1776) dan Kant (1724-1804). Hume berpendapat bahwa

permasalahan-permasalahan ilmiah haruslah diuji melalui percobaan (aliran

Empirisme). Sementara Kant adalah orang yang melaksanakan pendapat Hume ini

dengan menyusun Critique of pure reason (Kritik terhadap pikiran murni/aliran

Kritisisme). Selain itu Kant juga membuat batasan-batasan wilayah pengetahuan

manusia dan aturan-aturan untuk menghukumi pengetahuan tersebut dengan

menjadikan pengalaman sebagai porosnya. Istilah Positivisme pertama kali


1
Amsal Bakhtiar, Filsafat Ilmu, (Jakarta: PT RajaGrafindo Persada, 2005), h. 98.
2
Ibid., h. 102-103.

3
Jurnal Filsafat Kelimuan: Filsafat Positivisme

digunakan oleh Saint Simon (sekitar 1825). Prinsip filosofik tentang positivisme

dikembangkan pertama kali oleh seorang filosof berkebangsaan Inggris yang

bernama Francis Bacon yang hidup di sekitar abad ke-17.

Ia berkeyakinan bahwa tanpa adanya pra asumsi, komprehensi-

komprehensi pikiran dan apriori akal tidak boleh menarik kesimpulan dengan

logika murni maka dari itu harus melakukan observasi atas hukum alam. Pada

paruh kedua abad XIX munculah Auguste Comte (1798-1857), seorang filsuf

sosial berkebangsaan Prancis, yang menggunakan istilah ini kemudian

mematoknya secara mutlak sebagai tahapan paling akhir sesudah tahapan-tahapan

agama dan filsafat dalam karya utamanya yang berjudul Course de Philosophie

Phositive (Kursus tentang Filsafat Positif) (1830-1842), yang diterbitkan dalam

enam jilid.

Melalui tulisan dan pemikirannya ini, Comte bermaksud memberi

peringatan kepada para ilmuwan akan perkembangan penting yang terjadi pada

perjalanan ilmu ketika pemikiran manusia beralih dari fase teologis, menuju fase

metafisis, dan terakhir fase positif. Pada fase teologis (tahapan agama dan

ketuhanan) diyakini adanya kuasa-kuasa adikodrati yang mengatur semua gerak

dan fungsi yang mengatur alam ini. Zaman ini dibagi menjadi tiga periode:

animisme, politeisme dan monoteisme. Pada tahapan ini untuk menjelaskan

fenomena-fenomena yang terjadi hanya berpegang kepada kehendak Tuhan atau

Tuhan-Tuhan. Selanjutnya pada zaman metafisis (tahapan filsafat), kuasa

adikodrati tersebut telah digantikan oleh konsep-konsep abstrak, seperti kodrat

dan penyebab. Pada fase ini manusia menjelaskan fenomena-fenomena dengan

4
Jurnal Filsafat Kelimuan: Filsafat Positivisme

pemahaman-pemahaman metafisika seperti kausalitas, substansi dan aksiden,

esensi dan eksistensi. Dan akhirnya pada masa positif (tahap positivisme) manusia

telah membatasi diri pada fakta yang tersaji dan menetapkan hubungan antar fakta

tersebut atas dasar observasi dan kemampuan rasio. Pada tahap ini manusia

menafikan semua bentuk tafsir agama dan tinjauan filsafat serta hanya

mengedepankan metode empiris dalam menyingkap fenomena-fenomena.

PENGERTIAN POSITIVISME

Positivisme (disebut juga sebagai empirisme logis, empirisme rasional,

dan juga neo-positivisme) adalah sebuah filsafat yang berasal dari Lingkaran

Wina pada tahun 1920-an. Positivisme Logis berpendapat bahwa filsafat harus

mengikuti rigoritas yang sama dengan sains. Filsafat harus dapat memberikan

kriteria yang ketat untuk menetapkan apakah sebuah pernyataan adalah benar,

salah atau tidak memiliki arti sama sekali.

Positivisme adalah suatu aliran filsafat yang menyatakan ilmu alam

sebagai satu-satunya sumber pengetahuan yang benar dan menolak aktifitas yang

berkenaan dengan metafisika. Tidak mengenal adanya spekulasi, semua

didasarkan pada data empiris. Positivis memerupakan empirisme, yang dalam

segi-segi tertentu sampai kepada kesimpulan logis ekstrim karena pengetahuan

apa saja merupakan pengetahuan empiris dalam satu atau lain bentuk, maka tidak

ada spekulasi dapat menjadi pengetahuan.

Tokoh-tokoh yang menganut paham positivisme logis ini antara lain

Moritz Schlick, Rudolf Carnap, Otto Neurath, dan A.J. Ayer Karl Popper, meski

5
Jurnal Filsafat Kelimuan: Filsafat Positivisme

awalnya tergabung dalam kelompok Lingkaran Wina, adalah salah satu kritikus

utama terhadap pendekatan neo-positivis ini.

Positivisme diturunkan dari kata positif, dalam hal ini positivisme dapat

diartikan sebagai suatu pandangan yang sejalan dengan empirisme, menempatkan

penghayatan yang penting serta mendalam yang bertujuan untuk memperoleh

suatu kebenaran pengetahuan yang nyata, karena harus didasarkan kepada hal-hal

yang positivisme. Dimana positivisme itu sendiri hanya membatasi diri kepada

pengalaman-pengalaman yang hanya bersifat objektif saja. Hal ini berbeda dengan

empirisme yang bersifat lebih lunak karena empirisme juga mau menerima

pengalaman-pengalaman yang bersifat batiniah atau pengalaman-pengalaman

yang bersifat subjektif juga.

Positivisme mengajarkan bahwa kebenaran ialah yang logis, ada bukti

empirisme, yang terukur. “Terukur” inilah sumbangan penting positivisme.

Positivisme adalah suatu aliran filsafat yang menyatakan ilmu alam

sebagai satu-satunya sumber pengetahuan yang benar dan menolak aktifitas yang

berkenaan dengan metafisik. Tidak mengenal adanya spekulasi, semua didasarkan

pada data empiris. Sesungguhnya aliran ini menolak adanya spekulasi teoritis

sebagai suatu sarana untuk memperoleh pengetahuan (seperti yang diusung oleh

kaum idealisme khususnya idealisme Jerman klasik).

Positivisme merupakan empirisme yang dalam segi-segi tertentu sampai

kepada kesimpulan logis ekstrim karena pengetahuan apa saja merupakan

pengetahuan empiris dalam satu atau lain bentuk, maka tidak ada spekulasi yang

dapat menjadi pengetahuan.

6
Jurnal Filsafat Kelimuan: Filsafat Positivisme

Secara umum, para penganut paham positivisme memiliki minat kuat

terhadap sains dan mempunyai sikap skeptis terhadap ilmu agama dan hal-hal

yang berbau metafisika. Mereka meyakini bahwa semua ilmu pengetahuan

haruslah berdasarkan inferensi logis yang berdasarkan fakta yang jelas. Sehingga,

penganut paham ini mendukung teori-teori paham realisme, materialisme,

naturalisme, filsafat dan empirisme.3

TAHAP-TAHAP PERKEMBANGAN POSITIVISME

Terdapat tiga tahap dalam perkembangan positivisme, yaitu:

1. Tempat utama dalam positivisme pertama diberikan pada Sosiologi, walaupun

perhatiannya juga diberikan pada teori pengetahuan yang diungkapkan oleh

Comte dan tentang Logika yang dikemukakan oleh Mill. Tokoh-tokohnya

Auguste Comte, E. Littre, P. Laffitte, JS. Mill dan Spencer.

2. Munculnya tahap kedua dalam positivisme (empirio-positivisme) berawal

pada tahun 1870-1890-an dan berpautan dengan Mach dan Avenarius.

Keduanya meninggalkan pengetahuan formal tentang obyek-obyek nyata

obyektif, yang merupakan suatu ciri positivisme awal. Dalam Machisme,

masalah-masalah pengenalan ditafsirkan dari sudut pandang psikologisme

ekstrim, yang bergabung dengan subjektivisme.

3. Perkembangan positivisme tahap terakhir berkaitan dengan lingkaran Wina

dengan tokoh-tokohnya O.Neurath, Carnap, Schlick, Frank, dan lain-lain.

Serta kelompok yang turut berpengaruh pada perkembangan tahap ketiga ini

adalah Masyarakat Filsafat Ilmiah Berlin. Kedua kelompok ini

3
Zainal Abidin, Filsafat Manusia, (Bandung: PT Remaja Rosdakarya, 2002), h. 129.

7
Jurnal Filsafat Kelimuan: Filsafat Positivisme

menggabungkan sejumlah aliran seperti atomisme logis, positivisme logis,

serta semantika. Pokok bahasan positivisme tahap ketiga ini diantaranya

tentang bahasa, logika simbolis, struktur penyelidikan ilmiah dan lain-lain.

TOKOH-TOKOH YANG MENGANUT PAHAM POSITIVISME

1. Auguste Comte ( 1798 – 1857 )

Bernama lengkap Isidore Marrie Auguste Francois Xavier Comte.

Comte Lahir di Montpellier, sebuah kota kecil di bagian barat daya dari

Negara Prancis. Setelah bersekolah disana, ia melanjutkan pendidikannya di

Politeknik Ecole di Paris. Politeknik Ecole saat itu terkenal dengan

kesetiaannya kepada idealis republikanisme dan filosofi proses. Pada tahun

1818, politeknik tersebut ditutup untuk re-organisasi. Comte pun

meninggalkan Ecole dan melanjutkan pendidikannya di sekolah kedokteran di

Montpellier.

Tak lama kemudian, ia melihat sebuah perbedaan mencolok antara

agama Katolik yang ia anut dengan pemikiran keluarga monarki yang

berkuasa sehingga ia terpaksa meninggalkan Paris. Kemudian pada bulan

Agustus 1817 dia menjadi murid sekaligus sekretaris dari Claude Henri de

Rouvroy, Comte de Saint-Simon, yang kemudian membawa Comte masuk ke

dalam lingkungan intelek. Pada tahun 1824, Comte meninggalkan Saint-

Simon karena lagi-lagi ia merasa ada ketidakcocokan dalam hubungannya.

Saat itu, Comte mengetahui apa yang ia harus lakukan selanjutnya:

meneliti tentang filosofis positivisme. Rencananya ini kemudian

dipublikasikan dengan nama Plan de travaux scientifiques nécessaires pour

8
Jurnal Filsafat Kelimuan: Filsafat Positivisme

réorganiser la société (1822) (Terjemah: Rencana studi ilmiah untuk

pengaturan kembali masyarakat). Tetapi ia gagal mendapatkan posisi

akademis sehingga menghambat penelitiannya. Kehidupan dan penelitiannya

kemudian mulai bergantung pada sponsor dan bantuan finansial dari beberapa

temannya.

Ia kemudian menikahi seorang wanita bernama Caroline Massin.

Comte dikenal arogan, kejam dan mudah marah sehingga pada tahun 1862 dia

dibawa ke sebuah rumah sakit jiwa, tetapi ia kabur sebelum sembuh kemudian

setelah kondisinya distabilkan oleh Massin, ia mengerjakan kembali apa yang

dulu direncanakannya. Namun sayangnya, ia bercerai dengan Massin pada

tahun 1842 karena alasan yang belum diketahui. Saat-saat di antara pengerjaan

kembali rencannya sampai pada perceraiannya, ia mempublikasikan bukunya

yang berjudul Le Cours de Philosophie Positivistic.

Pada tahun 1844, Comte menjalin kasih dengan Clotilde de Vaux,

dalam hubungan yang tetap platonic. Setelah Clotilde wafat, kisah cinta ini

menjadi quasi-religius. Tak lama setelahnya, Comte, yang merasa dirinya

adalah seorang penemu sekaligus seorang nabi dari “agama kemanusiaan”

(religion of humanity), menerbitkan bukunya yang berjudul Système de

politique positive (1851-1854).

Dia wafat di Paris pada tanggal 5 September 1857 dan dimakamkan di

Père Lachaise.

August Comte merumuskan apa yang disebutnya “hukum tiga tahap”:

Roh manusia dalam perkembangannya melalui tiga tahap, yaitu tahap teologis,

9
Jurnal Filsafat Kelimuan: Filsafat Positivisme

tahap metafisik, dan tahap positivistic. Tahap teologis adalah tahap kekuasaan

kasta pendeta dan ksatria, di situ manusia menjelaskan kejadian-kejadian

alami dari jiwa yang ada dalam benda-benda alami itu atau dari kekuatan-

kekuatan adiduniawi. Comte di sini memasukkan fetisisme, politeisme, dan

monoteisme. Tahap kedua adalah metafisik, tahap para filosof. Tahap itu

dibuka oleh para filosof Yunani yang bertanya tentang archai, dasar-dasar

realitas yang ada. Para filosof itu menjelaskan realitas dengan sebab-sebab,

“idea-idea” dan “kekuatan-kekuatan” abstrak. Tahap terakhir yang positivistic

adalah tahap ilmu pengetahuan, tahap persatuan teori dan praktek, di mana

manusia, melalui pengamatan dan eksperimen, berusaha untuk semakin

memahami kaitan-kaitan antara gejala-gejala yang dialaminya; kaitan-kaitan

yang tetap dirumuskan sebagai “hukum” misalnya “hukum alam”.4

Metodologi August Comte

Alat penelitian yang pertama menurut Comte adalah observasi. Kita

mengobservasi fakta, dan kalimat yang penuh tautologi hanyalah pekerjaan

sia-sia. Tindak mengamati sekaligus menghubungkan dengan suatu hukum

yang hipotethik, diperbolehkan oleh Comte. Itu merupakan kreasi simultan

observasi dengan hukum, dan merupakan lingkaran tak berujung.

Eksperimentasi menjadi metode yang kedua menurut Comte. Suatu proses

reguler phenomena dapat diintervensi dengan sesuatu lain tertentu. Komparasi

4
Franz Magnis-Suseno, Pijar-Pijar Filsafat, (Yogyakarta: Penerbit Kanisius, 2005), h.
11.

10
Jurnal Filsafat Kelimuan: Filsafat Positivisme

adalah metode penelitian yang terbaik untuk hal-hal yang lebih kompleks

seperti biologi dan sosiologi.

Sosiologi August Comte

Comte adalah orang yang pertama kali menggunakan istilah sosiologi

untuk menggantikan istilah phisique sociale dari Quetelet. Comte

membedakan antara social statics dan social dynamics. Pembedaan tersebut

hanyalah untuk tujuan analisis. Keduanya menganalisis fakta sosial yang

sama, hanya dengan tujuan berbeda, yang pertama menelaah fungsi jenjang-

jenjang peradaban, yang kedua menelaah perubahan-perubahan jenjang

tersebut.

Comte juga membedakan antara konsep order dan progress. Order

terjadi bila masyarakatnya stabil berpegang pada prinsip dasar yang sama, dan

terdapat persamaan pendapat. Disebut ada progress, dengan dicontohkan

ketika muncul ide protestantisme dan revolusi Perancis.5

2. John Stuart Mill (1806 – 1873)

Ia adalah seorang filosof Inggris yang menggunakan sistem

positivisme pada ilmu jiwa, logika, dan kesusilaan. John Stuart Mill

memberikan landasan psikologis terhadap filsafat positivisme. Karena

psikologi merupakan pengetahuan dasar bagi filsafat. Seperti halnya dengan

kaum positif, Mill mengakui bahwa satu-satunya yang menjadi sumber

pengetahuan ialah pengalaman. Karena itu induksi merupakan metode yang

paling dipercaya dalam ilmu pengetahuan.

5
Prof. Dr. Noeng Muhadjir, Filsafat Ilmu, (Yogyakarta: Rake Sarasin, 2015), h. 61.

11
Jurnal Filsafat Kelimuan: Filsafat Positivisme

3. H. Taine (1828 – 1893)

Ia mendasarkan diri pada positivisme dan ilmu jiwa, sejarah, politik,

dan kesastraan.

4. Emile Durkheim (1852 – 1917)

Ia menganggap positivisme sebagai asas sosiologi.

ILMU PENGETAHUAN ERA FILSAFAT POSITIVISME

Mulai abad ke-14 orang-orang Eropa merindukan kebudayaan klasik

Yunani dan Romawi yang memungkin orang berpikir bebas. Zaman ini

berlangsung hingga abad ke-16. pikiran orang lebih tertuju kepada manusia

sendiri (antroposentris) tidak kepada kosmos atau Tuhan. Manusia menjadi animal

rationale, yang kesemuanya ini merintis pengetahuan modern. Pada masa ini juga

terjadi reformasi (31 Oktober 1517) yang dipelopori oleh Marthin Luther.

Jika sebelumnya hasil pemikiran oleh filsafat dan ilmu pengetahuan ditulis

dengan tangan pada tahun 1440-an Johann Gutenberg (1396-1468) di Jerman

menemukan mesin cetak, sehingga penyebaran ilmu pengetahuan menjadi cepat.

Mesin cetak ini sangat mendukung perkembangan ilmu pengetahuan pada zaman

modern.

Ilmuwan yang berpengaruh besar pada waktu itu adalah Nicolaus

Copernicus (1473-1543) di Polandia, seorang ahli astronomi yang mengemukan

teori heliosentris, bahwa bukan matahari yang mengelilingi bumi, tetapi bumi dan

bulanlah yang mengelilingi matahari. Pendapat ini didukung oleh Tycho Brahe

(1546-1601) di Denmark, ahli astronomi yang dengan memakai alat-alat besar

12
Jurnal Filsafat Kelimuan: Filsafat Positivisme

mengamati dnegan teliti benda-bemda di langit dan mengatakan bahwa bumi

mengelilingi matahari dengan orbit berbentuk lingkaran. 6

Johannes Kepler (1571-1630) juga mendukung teori heliosentris tetapi

mengatakan bahwa orbit berbentuk elips.

Galileo Galilei (1546-1642) di Italia dengan memakai teropong yang lebih

sempurna mendukiung teori heliosentris, bahkan dapat melihat adanya gunung-

gunung di bulan. Galileo banyak melakukan percobaan dalam mekanika dan

fisika, sehingga dia dianggap sebagai pelopor dalam metode ekperimental. Gereja

Katolik Roma beranggapan bahwa heliosentrisme bertentangan dengan apa yang

tertulis dalam Alkitab, sehingga memaksa Galileo untuk menarik pendapatnya.

Andreas Vesalius (1514-1564) di Italia meneliti anatomi manusia, banyak

memberi koreksi pada pendapat Galen yang telah dipakai sejak abad ke-1. Ahli

filsafat yang berpengaruh besar pada saat itu adalah Francis Bacon (1561-1626) di

Inggris yang dalam bukunya Novum Organum menyatakan bahwa dengan

pemikiran rasional dedukitif seperti yang ditulis Aristoteles dalam Organom orang

tidak akan menemukan hal yang baru. Oleh karena itu harus memakai cara-cara

empiris, dengan penalaran deduktif. Bacon dianggap sebagai “Knowledge is

power”, pengetahuan adalah kekuasaan sehingga pengetahuan harus

disebarluaskan kepada masyarakat.

Ahli filsafat lain adalah Rene Descrates (1596-1650) di Perancis, seorang

ahli matematika yang mengatakan bahwa manusia harus memakai rasionya,

berpikir kritis dan meragukan segala hal. Agar mudah memecahkannya masalah

6
Irham Nugroho, Positivisme Auguste Comte: Analisa Epistemologis dan Nilai Etisnya
terhadap Sains.Vol. XI, No. 2, (Magelang: Jurnal, Cakrawala, 2016), h.142.

13
Jurnal Filsafat Kelimuan: Filsafat Positivisme

yang komplek dipecah menjadi masalah kecil-kecil, dan diselelsaikan mulai dari

yang paling mudah. Dia terkenal dengan pernyataannya “Cogito ergo sum”, saya

berpikir karena itu saya ada.

Untuk mendorong kemajuan dalam ilmu pengetahuan di banyak negara

didirikan Akademi Ilmu Pengetahuan. Akademi-akademi ini mengatur

penyelenggaraan pertemuan-pertemuan untuk membahas ilmu pengetahuan,

seperti yang didirikan di Roma (1603), Florence (1657), London (1662), Paris

(1666), Berlin (1700), dan St. Petersburg (1724).7

KELEBIHAN FILSAFAT POSITIVISME

Di antara kelebihan positivisme adalah:

1. Positivisme lahir dari faham empirisme dan rasional, sehingga kadar dari

faham ini jauh lebih tinggi dari pada kedua faham tersebut.

2. Hasil dari rangkaian tahapan yang ada di dalamnya, maka akan menghasilkan

suatu pengetahuan yang mana manusia akan mempu menjelaskan realitas

kehidupan tidak secara spekulatif, arbitrary, melainkan konkrit, pasti dan bisa

jadi mutlak, teratur dan valid.

3. Dengan kemajuan dan dengan semangat optimisme, orang akan didorong

untuk bertindak aktif dan kreatif, dalam artian tidak hanya terbatas

menghimpun fakta, tetapi juga meramalkan masa depannya.

4. Positivisme telah mampu mendorong lajunya kemajuan disektor fisik dan

teknologi.

7
Ibid. Hlm 154

14
Jurnal Filsafat Kelimuan: Filsafat Positivisme

5. Positivisme sangat menekankan aspek rasionali-ilmiah, baik pada

epistemology ataupun keyakinan ontologik yang dipergunakan sebagai dasar

pemikirannya.

KELEMAHAN POSITIVISME

Di antara kelemahan positivisme adalah:

1. Analisis biologik yang ditransformasikan ke dalam analisis sosial dinilai

sebagai akar terpuruknya nilai-nilai spiritual dan bahkan nilai-nilai

kemanusiaan. Hal ini dikarenakan manusia tereduksi ke dalam pengertian

fisik-biologik.

2. Akibat dari ketidakpercayaannya terhadap sesuatu yang tidak dapat diuji

kebenarannya, maka faham ini akan mengakibatkan banyaknya manusia yang

nantinya tidak percaya kepada tuhan, malaikat, setan, surga dan neraka.

Padahal yang demikian itu di dalam ajaran agama adalah benar kebenarannya

dan keberadaannya. Hal ini ditandai pada saat paham positivisme berkembang

pada abad ke 19, jumlah orang yang tidak percaya kepada agama semakin

meningkat.

3. Manusia akan kehilangan makna, seni atau keindahan, sehingga manusia tidak

dapat merasa bahagia dan kesenangan itu tidak ada. Karena dalam positivisme

semua hal itu dinafikan.

4. Hanya berhenti pada sesuatu yang nampak dan empiris sehingga tidak dapat

menemukan pengetahuan yang valid.

5. Positivisme pada kenyataannya menitik beratkan pada sesuatu yang nampak

yang dapat dijadikan obyek kajiaannya, dimana hal tersebut adalah bergantung

15
Jurnal Filsafat Kelimuan: Filsafat Positivisme

kepada panca indera. Padahal perlu diketahui bahwa panca indera manusia

adalah terbatas dan tidak sempurna. Sehingga kajiannya terbatas pada hal-hal

yang nampak saja, padahal banyak hal yang tidak nampak dapat dijadikan

bahan kajian.

6. Hukum tiga tahap yang diperkenalkan Comte mengesankan dia sebagai teorisi

yang optimis, tetapi juga terkesan lincah, seakan setiap tahapan sejarah evolusi

merupakan batu pijakan untuk mencapai tahapan berikutnya, untuk kemudian

bermuara pada puncak yang digambarkan sebagai masyarakat positivisme.

Bias teoritik seperti itu tidak memberikan ruang bagi realitas yang

berkembang atas dasar siklus, yakni realitas sejarah berlangsung berulang-

ulang tanpa titik akhir sebuah tujuan sejarah yang final.

KESIMPULAN

Positivisme adalah suatu aliran filsafat yang menyatakan ilmu alam sebagai satu-

satunya sumber pengetahuan yang benar dan menolak aktifitas yang berkenaan

dengan metafisika. Positivisme merupakan empirisme, yang dalam segi-segi

tertentu sampai kepada kesimpulan logis ekstrim karena pengetahuan apa saja

merupakan pengetahuan empiris dalam satu atau lain bentuk, maka tidak ada

spekulasi dapat menjadi pengetahuan. Pada dasarnya, positivisme adalah sebuah

filsafat yang menyakini bahwa satu-satunya pengetahuan yang benar adalah yang

didasarkan pada pengalaman aktualfisikal. Terminologi positivisme dicetuskan

pada pertengahan abad ke-19 oleh salah satu pendiri ilmu sosiologi yaitu Auguste

Comte. Comte percaya bahwa dalam alam pikiran manusia melewati tiga tahapan

historis yaitu teologi, metadisik, dan ilmiah.

16
Jurnal Filsafat Kelimuan: Filsafat Positivisme

SARAN

Melalui tulisan ini tentunya penulis sangat berharap akan adanya pencerahan

kepada pembaca mengenai filsafat positivisme. Pada akhirnya, meskipun penulis

menginginkan kesempurnaan dalam penulisan dan penyusunan jurnal ini, tetapi

tentu pada kenyataannya masih banyak terdapat banyak kekurangan dan

kesalahan. Oleh karena itu, penulis berharap kiranya pembaca dapat memberikan

saran dan masukan guna dilakukan perbaikan sehingga tercapai apa yang kita

harapkan bersama.

DAFTAR PUSTAKA

Bakhtiar, Amsal. 2005. Filsafat Ilmu, Jakarta: PT RajaGrafindo Persada.

Abidin, Zainal. 2002. Filsafat Manusia, (Bandung: PT Remaja Rosdakarya.

Magnis-Suseno, Franz. 2005. Pijar-Pijar Filsafat, Yogyakarta: Penerbit Kanisius.

Muhadjir .Noeng, 2015. Filsafat Ilmu, Yogyakarta: Rake Sarasin.

Nugroho, Irham. 2016. Positivisme Auguste Comte: Analisa Epistemologis dan

Nilai Etisnya terhadap Sains.Vol. XI, No. 2, Magelang: Jurnal, Cakrawala.

17

Anda mungkin juga menyukai