Anda di halaman 1dari 10

ALIRAN POSITIVISME HUKUM

Positivisme adalah salah satu aliran filsafat modern. Secara umum boleh
dikatakan bahwa akar sejarah pemikiran positivisme dapat dikembalikan kepada
masa Hume (1711-1776) dan Kant (1724-1804). Hume berpendapat bahwa
permasalahan-permasalahan ilmiah haruslah diuji melalui percobaan (aliran
Empirisme). Sementara Kant adalah orang yang melaksanakan pendapat Hume
ini dengan menyusun Critique of pure reason (Kritik terhadap pikiran murni /
aliran Kritisisme). Selain itu Kant juga membuat batasan-batasan wilayah
pengetahuan manusia dan aturan-aturan untuk menghukumi pengetahuan tersebut
dengan menjadikan pengalaman sebagai porosnya. Istilah Positivisme pertama
kali digunakan oleh Saint Simon (sekitar 1825). Prinsip filosofik tentang
positivisme dikembangkan pertama kali oleh seorang filosof berkebangsaan
Inggris yang bernama Francis Bacon yang hidup di sekitar abad ke-17 .

Ia berkeyakinan bahwa tanpa adanya pra asumsi, komprehensi-


komprehensi pikiran dan apriori akal tidak boleh menarik kesimpulan dengan
logika murni maka dari itu harus melakukan observasi atas hukum alam. Pada
paruh kedua abad XIX munculah Auguste Comte (1798-1857), seorang filsuf
sosial berkebangsaan Perancis, yang menggunakan istilah ini kemudian
mematoknya secara mutlak sebagai tahapan paling akhir sesudah tahapan-tahapan
agama dan filsafat dalam karya utamanya yang berjudul Course de Philosophie
Phositive, Kursus tentang Filsafat Positif (1830-1842), yang diterbitkan dalam
enam jilid.

Melalui tulisan dan pemikirannya ini, Comte bermaksud memberi


peringatan kepada para ilmuwan akan perkembangan penting yang terjadi pada
perjalanan ilmu ketika pemikiran manusia beralih dari fase teologis, menuju fase
metafisis, dan terakhir fase positif. Pada fase teologis (tahapan agama dan
ketuhanan) diyakini adanya kuasa-kuasa adikodrati yang mengatur semua gerak
dan fungsi yang mengatur alam ini. Zaman ini dibagi menjadi tiga periode:
animisme, politeisme dan monoteisme. Pada tahapan ini untuk menjelaskan
fenomena-fenomena yang terjadi hanya berpegang kepada kehendak Tuhan atau
Tuhan-Tuhan. Selanjutnya pada zaman metafisis (tahapan filsafat), kuasa
adikodrati tersebut telah digantikan oleh konsep-konsep abstrak, seperti kodrat‘
dan penyebab‘. Pada fase ini manusia menjelaskan fenomena-fenomena dengan
pemahaman-pemahaman metafisika seperti kausalitas, substansi dan aksiden,
esensi dan eksistensi. Dan akhirnya pada masa positif (tahap positivisme) manusia
telah membatasi diri pada fakta yang tersaji dan menetapkan hubungan antar fakta
tersebut atas dasar observasi dan kemampuan rasio. Pada tahap ini manusia
menafikan semua bentuk tafsir agama dan tinjauan filsafat serta hanya
mengedepankan metode empiris dalam menyingkap fenomena-fenomena.

B. Pengertian positivisme

Positivisme diturunkan dari kata positif, dalam hal ini positivisme dapat
diartikan sebagai suatu pandangan yang sejalan dengan empirisme, menempatkan
penghayatan yang penting serta mendalam yang bertujuan untuk memperoleh
suatu kebenaran pengetahuan yang nyata, karena harus didasarkan kepada hal-hal
yang positivisme. Dimana positivisme itu sendiri hanya membatasi diri kepada
pengalaman-pengalaman yang hanya bersifat objektif saja. Hal ini berbeda dengan
empirisme yang bersifat lebih lunak karena empirisme juga mau menerima
pengalaman-pengalaman yang bersifat batiniah atau pengalaman-pengalaman
yang bersifat subjektif juga.

Positivisme mengajarkan bahwa kebenaran ialah yang logis, ada bukti


empirisme, yang terukur. “Terukur” inilah sumbangan penting Positivisme.

Positivisme adalah suatu aliran filsafat yang menyatakan ilmu alam


sebagai satu-satunya sumber pengetahuan yang benar dan menolak aktifitas yang
berkenaan dengan metafisik. Tidak mengenal adanya spekulasi, semua didasarkan
pada data empiris. Sesungguhnya aliran ini menolak adanya spekulasi teoritis
sebagai suatu sarana untuk memperoleh pengetahuan (seperti yang diusung oleh
kaum idealisme khususnya idealisme Jerman Klasik).
Positivisme merupakan empirisme, yang dalam segi-segi tertentu sampai
kepada kesimpulan logis ekstrim karena pengetahuan apa saja merupakan
pengetahuan empiris dalam satu atau lain bentuk, maka tidak ada spekulasi yang
dapat menjadi pengetahuan.

C. Tahap-tahap perkembangan positivisme

Terdapat tiga tahap dalam perkembangan positivisme, yaitu:

1. Tempat utama dalam positivisme pertama diberikan pada Sosiologi,


walaupun perhatiannya juga diberikan pada teori pengetahuan yang
diungkapkan oleh Comte dan tentang Logika yang dikemukakan oleh Mill.
Tokoh-tokohnya Auguste Comte, E. Littre, P. Laffitte, JS. Mill dan
Spencer.
2. Munculnya tahap kedua dalam positivisme (empirio-positivisme) berawal
pada tahun 1870-1890-an dan berpautan dengan Mach dan Avenarius.
Keduanya meninggalkan pengetahuan formal tentang obyek-obyek nyata
obyektif, yang merupakan suatu ciri positivisme awal. Dalam Machisme,
masalah-masalah pengenalan ditafsirkan dari sudut pandang psikologisme
ekstrim, yang bergabung dengan subjektivisme.
3. Perkembangan positivisme tahap terakhir berkaitan dengan lingkaran
Wina dengan tokoh-tokohnya O.Neurath, Carnap, Schlick, Frank, dan
lain-lain. Serta kelompok yang turut berpengaruh pada perkembangan
tahap ketiga ini adalah Masyarakat Filsafat Ilmiah Berlin. Kedua
kelompok ini menggabungkan sejumlah aliran seperti atomisme logis,
positivisme logis, serta semantika. Pokok bahasan positivisme tahap ketiga
ini diantaranya tentang bahasa, logika simbolis, struktur penyelidikan
ilmiah dan lain-lain.
D. Ide-ide pokok positivism

Ide-ide pokok positivisme, antara lain :

1. Bahwa ilmu pengetahuan merupakan jenis pengetahuan yang paling tinggi


tingkatannya, dan karenanya kajian filsafat harus juga bersifat ilmiah .
2. Bahwa hanya ada satu jenis metode ilmiah yang berlaku secara umum,
untuk segala bidang atau disiplin ilmu, yakni metode penelitian ilmiah
yang lazim digunakan dalam ilmu alam.
3. Bahwa pandangan-pandangan metafisik tidak dapat diterima sebagai ilmu,
tetapi "sekadar" merupakan pseudoscientific.

Jadi, kebenaran yang dianut positivisme dalam mencari kebenaran adalah


teori korespondensi.Teori korespondensi menyebutkan bahwa suatu pernyataan
adalah benar jika terdapat fakta-fakta empiris yang mendukung pernyataan
tersebut. Atau dengan kata lain, suatu pernyataan dianggap benar apabila materi
yang terkandung dalam pernyataan tersebut bersesuaian (korespodensi) dengan
obyek faktual yang ditunjuk oleh pernyataan tersebut.

E. Ciri-Ciri Positivisme

Ciri-ciri positivisme antara lain:

1. Objektif/bebas nilai: dikotomi yang tegas antara fakta dan nilai


mengharuskan subjek peneliti mengambil jarak dari realitas dengan
bersikap bebas nilai. Hanya melalui fakta-fakta yang teramati-terukur,
maka pengetahuan kita tersusun dan menjadi cermin dari realitas
(korespondensi).
2. Fenomenalisme, tesis bahwa realitas terdiri dari impresi-impresi. Ilmu
pengetahuan hanya berbicara tentang realitas berupa impresi-impresi
tersebut. Substansi metafisis yang diandaikan berada di belakang gejala-
gejala penampakan ditolak (antimetafisika).
3. Nominalisme, bagi positivisme hanya konsep yang mewakili realitas
partikularlah yang nyata. Contoh: logam dipanaskan memuai, konsep
logam dalam pernyataan itu mengatasi semua bentuk particular logam:
besi, kuningan, timah dan lain-lain.
4. Reduksionisme, realitas direduksi menjadi fakta-fakta yang dapat diamati.
5. Naturalisme, tesis tentang keteraturan peristiwa-peristiwa di alam semesta
yang meniadakan penjelasan supranatural (adikodrati). Alam semesta
memilii strukturnya sendiri dan mengasalkan strukturnya sendiri.
6. Mekanisme, tesis bahwa semua gejala dapat dijelaskan dengan prinsip-
prinsip yang dapat digunakan untuk menjelaskan mesin-mesin (sistem-
sistem mekanis). Alam semesta diibaratkan sebagai a giant clock work.

F. Tokoh-tokoh filsafat positivisme

a) Auguste Comte

Philosophe Isidore Auguste Marie Francois Xavier Comte, yang lebih


dikenal dengan Auguste Comte, adalah seorang filsuf Perancis. Dia adalah pendiri
dari disiplin sosiologi dan doktrin positivisme. Lahir: 19 Januari 1798,
Montpellier, Prancis. Meninggal: 5 September 1857, Paris, Prancis. Nama
lengkap: Isidore Auguste Marie François Xavier Comte. Pendidikan: Universitas
Montpellier, École Polytechnique

b) John Stuart Mill

Adalah seorang filsuf Inggris, ekonom politik dan pegawai negeri sipil.
Dia adalah seorang kontributor berpengaruh untuk teori sosial, teori politik dan
ekonomi politik. Lahir: 20 Mei 1806, Pentonville, London. Meninggal: 8 Mei
1873, Avignon, Prancis. Pasangan: Harriet Taylor Mill. (M 1851-1858).
Pendidikan: University College London. Orangtua: James Mill, Harriet Burrow

c) Hippolyte Taine Adolphe

Adalah seorang kritikus Perancis dan sejarawan. Dia adalah pengaruh


teoritis kepala naturalisme Perancis, pendukung utama positivisme sosiologis dan
salah satu praktisi pertama kritik historis. Lahir: 21 April 1828, Vouziers, Prancis.
Meninggal: 5 Maret 1893, Paris, Prancis. Pendidikan: École Normale Supérieure
d) Émile Durkheim

Sosiolog David Émile Durkheim adalah seorang sosiolog Perancis,


psikolog sosial dan filsuf. Ia secara resmi mendirikan disiplin akademis dan,
dengan Karl Marx dan Max Weber, yang sering dikutip sebagai kepala sekolah.
Lahir: 15 April 1858, Épinal, Prancis. Meninggal: 15 November 1917, Paris,
Prancis. Pendidikan: Lycée Louis-le-Grand, École Normale
Supérieure,Universitas Leipzig.

G. METODE POSITIVISME

Metode ini berpangkal dari apa yang telah diketahui, yang faktual, yang
positif. Ia mengenyampingkan segala uraian/ persoalan di luar yang ada sebagai
fakta. Oleh karena itu, ia menolak metafisika. Apa yang diketahui secara positif,
adalah segala yang tampak dan segala gejala. Dengan demikian metode ini dalam
bidang filsafat dan ilmu pengetahuan dibatasi kepada bidang gejala-gejala saja.

Menurut Agus Comte(1798 - 1857 M), bahwa indera itu amat penting
dalam memperoleh pengetahuan, tetapi harus dipertajam dengan alat bantu dan
diperkuat dengan eksperimen. Kekeliruan indera akan dapat dikoreksi lewat
eksperimen. Eksperimen memerlukan ukuran-ukuran yang jelas. Misal panas
diukur dengan derajat panas, jauh di ukur dengan ukuran meteran. berat dengan
kiloan, dan sebagainya.Jadi, kita tidak cukup hanya dengan mengatakan api itu
panas, matahari panas, kopi panas, ketika panasa, juga kita tidak cukup
mengatakan panas sekali, panas, tidak panas. Namun kita memerlukan ukuran
yang teliti (secara ilmiah). Dari sinilah kemajuan sains benar-benar dimulai.

Menurut Comte, perkembangan pemikiran manusia berlangsung dalam


tiga tahap: teologis, metafisis, dan positif. Pada tahap teologis, orang
berkeyakinan bahwa dibalik segala sesuatu tersirat pernyataan kehendak khusus.

Pada tahap metafisik, kekuatan adikodrati itu diubah menjadi kekuatan


yang abstrak, yang kemudian dipersatukan dalam pengertian yang bersifat umum
yang disebut alam dan dipandangnya sebagai asal dari segala gejala.
Pada tahap ini, usaha mencapai pengenalan yang mutlak, baik
pengetahuan teologis ataupun metafisi dipandang tak berguna, menurutnya,
tidaklah berguna melacak asal dan tujuan akhir seluruh alam; melacak hakikat
yang sejati dari segala sesuatu. Yang penting adalah menemukan hukum-hukum
kesamaan dan urutan yang terdapat pada fakta-fakta dengan pengamatan dan
penggunaan akal.

Positivisme ini sebagai perkembangan yang ekstrem, yakni pandangan


yang menganggap bahwa yang dapat diselidiki atau dipelajari hanyalah “data-data
yang nyata/empiric”, atau yang mereka namakan positif. Nilai-nilai politik dan
sosial menurut positivism dapat digeneralisasikan berdasarkan fakta-fakta yang
diperoleh dari penyelidikan terhadap kehidupan masyarakat itu sendiri.

Nilai-nilai politik dan sosial juga dapat dijelaskan secara ilmiah, dengan
mengemukakan perubahan historis atas dasar cara berpikir induktif, Jadi, nilai-
nilai tersebut tumbuh dan berkembang dalam suatu proses kehidupan dari suatu
masyarakat itu sendiri.

Jadi, penganut faham positivisme meyakini bahwa hanya ada sedikit


perbedaan (jika ada) antara ilmu sosial dan ilmu alam, karena masyarakat dan
kehidupan sosial berjalan berdasarkan aturan-aturan, demikian juga alam.

Dan bahasa adalah gambar dari kenyataan, karena bahasa sehari-hari tidak
bisa menggambarkan kenyataan secara benar maka dikembangkanlah bahasa logis
dengan kecermatan matematis yg akurat. Positif berarti, “apa yg berdasarkan pada
fakta objektif”.Asumsi dasar positivisme tentang realitas adalah tunggal, dalam
artian bahwa fenomena alam dan tingkah laku manusia itu terikat oleh tertib
hukum.Fokus kajian-kajian positivis adalah peristiwa sebab-akibat (kausalitas).

Dalam hal itu aliran positivisme ini menyebutkan, hanya ada dua jalan
untuk mengetahui :

(1) Verifikasi langsung melalui data pengindera (empirikal).

(2) Penemuan lewat logika (rasional).


H. Kelebihan dan Kelemahan Filsafat Positivisme

a. Kelebihan Positivisme

1. Positivisme lahir dari faham empirisme dan rasional, sehingga kadar dari
faham ini jauh lebih tinggi dari pada kedua faham tersebut.
2. Hasil dari rangkaian tahapan yang ada didalamnya, maka akan
menghasilkan suatu pengetahuan yang mana manusia akan mempu
menjelaskan realitas kehidupan tidak secara spekulatif, arbitrary,
melainkan konkrit, pasti dan bisa jadi mutlak, teratur dan valid.
3. Dengan kemajuan dan dengan semangat optimisme, orang akan didorong
untuk bertindak aktif dan kreatif, dalam artian tidak hanya terbatas
menghimpun fakta, tetapijuga meramalkan masa depannya.
4. Positivisme telah mampu mendorong lajunya kemajuan disektor fisik dan
teknologi.
5. Positivisme sangat menekankan aspek rasionali-ilmiah, baik pada
epistemology ataupun keyakinan ontologik yang dipergunakan sebagai
dasar pemikirannya.

b. Kelemahan Positivisme

1. Analisis biologik yang ditransformasikan ke dalam analisis sosial dinilai


sebagai akar terpuruknya nilai-nilai spiritual dan bahkan nilai-nilai
kemanusiaan. Hal ini dikarenakan manusia tereduksi ke dalam pengertian
fisik-biologik.
2. Akibat dari ketidakpercayaannya terhadap sesuatu yang tidak dapat diuji
kebenarannya, maka faham ini akan mengakibatkan banyaknya manusia
yang nantinya tidak percaya kepada Tuhan, Malaikat, Setan, surga dan
neraka. Padahal yang demikian itu didalam ajaran Agama adalah benar
kebenarannya dan keberadaannya. Hal ini ditandai pada saat paham
positivistik berkembang pada abad ke 19, jumlah orang yang tidak percaya
kepada agama semakin meningkat.
3. Manusia akan kehilangan makna, seni atau keindahan, sehingga manusia
tidak dapat merasa bahagia dan kesenangan itu tidak ada. Karena dalam
positivistic semua hal itu dinafikan.
4. Hanya berhenti pada sesuatu yang nampak dan empiris sehingga tidak
dapat menemukan pengetahuan yang valid.
5. Positivisme pada kenyataannya menitik beratkan pada sesuatu yang
nampak yang dapat dijadikan obyek kajiaannya, di mana hal tersebut
adalah bergantung kepada panca indera. Padahal perlu diketahui bahwa
panca indera manusia adalah terbatas dan tidak sempurna. Sehingga
kajiannya terbatas pada hal-hal yang nampak saja, padahal banyak hal
yang tidak nampak dapat dijadikan bahan kajian.
6. Hukum tiga tahap yang diperkenalkan Comte mengesankan dia sebagai
teorisi yang optimis, tetapi juga terkesan lincar seakan setiap tahapan
sejarah evolusi merupakan batu pijakan untuk mencapai tahapan
berikutnya, untuk kemudian bermuara pada puncak yang digambarkan
sebagai masyarakat positivistic.
REFERENSI :

Hardiman, Budi, Melampaui Moderenitas dan Positivisme., Yogyakarta: Penerbit


Kanisius, 2012.

Muhadjir, Noeng, Filsafat Ilmu., Yogyakarta: Rakesarasin, 2001.

Riyanto, Earyani Fajar, Filsafat Ilmu., Yogyakarta: Integrasi Interkoneksi Press,


2011.

Soyomukti, Nurani, Pengantar Filsafat Umum., Jogjakarta: Ar-Ruzz Media, 2011.

Wibisono, Koento, Arti Perkembangan Menurut Filsafat Positivisme Aguste


Comte., Yogyakarta: Gadjah Mada University Press, 1982.

Anda mungkin juga menyukai