A. Pendahuluan
Dewasa ini terdapat perhatian yang semakin besar terhadap filsafat ilmu.
Perkembangan cepat dialami oleh banyak ilmu serta pengaruhnya yang semakin besar
terhadap kehidupan masyarakat. Filsafat ilmu ialah penyelidikan tentang ciri-ciri
pengetahuan ilmiah dan cara-cara memperolehnya. Dengan kata lain filsafat ilmu
sesungguhnya merupakan suatu penyelidikan lanjutan.1
Sampai saat ini sejarah tentang ilmu merupakan sebuah kisah kesuksesan,
kemenangan-kemenangan ilmu melambangkan suatu proses kumulatif peningkatan
pengetahuan dan rangkaian kemenangan terhadap kebodohan dan tahayul. Dan dari
ilmulah kemudian mengalir arus penemuan-penemuan yang berguna untuk kemajuan
hidup manusia. Sejarawan segera menyadari bahwa gagasan ilmu yang diperoleh selama
dalam pendidikaanya hanyalah salah satu dari sekian banyak gagasan dan itu merupakan
produk-produk dari konteks-konteks yang bersifat sementara.
Pembagian-pembagian nama dan istilah dalam filsafat mengkotak-kotakkan setiap
pengetahuan yang sering kali berdasar pada pengalaman, selain itu tidak dipungkiri
bahwa berfilsafat sebagai manifestasi kegiatan intelektual yang telah meletakkan dasar-
dasar paradigmatik bagi tradisi dalam kehidupan masyarakat ilmiah ala barat.
Sejalan dengan ajaran filsafat Auguste Comte yang dikenal sebagai bapak Sosiologi,
logico–positivisme yang juga digagas oleh dirinya, merupakan model epistemologi yang
di dalamnya terdapat lengkah-langkah progresinya menempuh jalan melalui observasi,
eksperimentasi dan komparasi mendapatkan apresiasi yang berlebihan sehingga model ini
juga mulai dikembangkan dalam penelitian ilmu-ilmu sosial.2 Dari sinilah kita akan
membahas tiga hal penting tentang positivisme dan post-positivisme saja.
1 Berling,
Kwee, Mooij Van Peursen, Pengantar filsafat lmu. PT Tiara Wacana:
Yogyakarta. Cet ke-V, 2003. Hlm 1.
2 Tim Dosen Filsafat Ilmu, Filsafat Ilmu: Liberty Yogyakarta. 2003. Hlm.6
B. PEMBAHASAN
1. Positivisme
Positivisme adalah suatu aliran filsafat yang menyatakan ilmu alam sebagai satu-
satunya sumber pengetahuan yang benar dan menolak aktifitas yang berkenaan dengan
metafisik. Tidak mengenal adanya spekulasi, semua didasarkan pada data empiris.
Menurut Amsal Bakhtiar dalam bukunya filsafat agama bahwa positivisme adalah
kelanjutan dari empirisme. Kalau empirisme menekankan pada pengalaman saja dan
merendahkan fungsi akal, adapun positivise menggabungkan keduanya.
Positivisme, kata asalnya adalah “positif”, berarti yang diketahui, yang factual, dan
yang positif. Segala uraian yang diluar fakta atau kenyataan dikesampingkan. Oleh
karena itu, metafisika ditolak. Apa yang diketahui secara positif adalah segala yang
tampak dan yang dapat diukur. Dengan demikian positivisme membatasi filsafat dan ilmu
pada bidang gejala-gejala saja.3
Dalam paradigma ilmu, ilmuwan telah mengembangkan sejumlah perangkat
keyakinan dasar yang mereka gunakan dalam mengungkapkan hakikat ilmu yang
sebenarnya dan bagaimana cara untuk mendapatkannya.
Tradisi pengungkapan ilmu ini telah ada sejak adanya manusia, namun secara
sistematis dimulai sejak abad ke-17, ketika Descartes (1596-1650) dan para peneru
snya
mengembangkan cara pandang positivisme, yang memperoleh sukses besar sebagia
mana terlihat pengaruhnya dalam pengembangan ilmu pengetahuan dan teknologi
dewasa ini. Paradigma ilmu pada dasarnya berisi jawaban atas pertanyaan fundamental
proses keilmuan manusia, yakni bagaimana, apa, dan untuk apa. Tiga pertanyaan dasar
itu kemudian dirumuskan menjadi beberapa dimensi.4
a. Dimensi ontologis, pertanyaan yang harus dijawab oleh seorang ilmuwan adalah:
Apa sebenarnya hakikat dari sesuatu yang dapat diketahui ( knowable), atau apa
sebenarnya hakikat dari suatu realitas (reality). Dengan demikian dimensi yang
dipertanyakan adalah hal yang nyata (what is nature of reality?).
3 Prof. Dr. Amsal Bakhtiar, M.A. Filsafat Agama. 2009. Rajawali Pers: Jakarta. Hlm.
114
7 Prof. I.R. Poedjaeijatna. Pembimbing ke Arah alam dan filsafat. 1997. PT. Rineka
Cipta: Jakarta. Hlm. 121.
8 Prof. Dr. Amsal Bakhtiar, M.A. Filsafat Agama. 2009. Rajawali Pers: Jakarta. hlm. 115.
Itu
merupakan kreasi simultan observasi dengan hukum dan merupakan lingkaran yang
tak berujung. Eksperimentasi menjadi metode yang kedua menurut Comte yaitu suatu
proses reguler phenomena dapat diintervensi dengan sesuatu yang lain. Komparasi
dipakai untuk halhal yang lebih kompleks seperti biologi dan sosiologi.
Comte-lah yang pertama kali menggunakan istilah sosiologi untuk menggantika
n istilah phisique sociale dari Quetelet. Ia membedakan antara social statics dan social
dynamic. Pembedaan itu hanyalah untuk tujuan analisis, keduanya menganalisa fakta
sosial yang sama, hanya dengan tujuan yang berbeda. Yang pertama menelaah fungsi
jenjang-jenjang peradaban, yang kedua menelaah perubahan-perubahan jenjang tersebut.9
Menurut Emile Durkheim (1982:59) objek studi sosiologi adalah fakta sosial (social-
fact): Fakta sosial yang dimaksud meliputi: bahasa, sistem hukum, sistem politik,
pendidikan, dan lain-lain. Sekalipun fakta sosial berasal dari luar kesadaran individu,
tetapi dalam penelitian positivisme, informasi kebenaran itu ditanyakan oleh penelitian
kepada individu yang dijadikan responden penelitian. Untuk mencapai kebenaran ini,
maka seorang pencari kebenaran (penelitian) harus menanyakan langsung kepada objek
yang diteliti, dan objek dapat memberikan jawaban langsung kepada penelitian yang
bersangkutan. Hubungan epistemologi ini, harus menempatkan si peneliti di belakang
layar untuk mengobservasi hakekat realitas apa adanya untuk menjaga objektifitas
temuan. Karena itu secara metodologis, seorang penelitian menggunakan metodologi
eksperimen-empirik untuk menjamin agar temuan yang diperoleh betul-betul objektif
dalam menggambarkan keadaan yang sebenarnya. Mereka mencari ketepatan yang tinggi,
pengukuran yang akurat dan penelitian objektif, juga mereka menguji hipotesis dengan
jalan melakukan analisis terhadap bilangan-bilangan yang berasal dari pengukuran.
Di bawah naungan payung positivisme, ditetapkan bahwa objek ilmu pengetahuan
maupun pernyataan-pernyataan ilmu pengetahuan (Scientific Proporsition) haruslah
memenuhi syarat-syarat (Kerlinger, 1973) sebagai berikut: dapat di/ter-amati
(observable), dapat di/ter-ulang (repeatable), dapat di/ter-ukur (measurable), dapat di/ter-
uji (testable), dan dapat di/ter-ramalkan (predictable).10.
9 Paradigm positivism dan postposivisme. Fakultas Ilmu Sosial dan Ilmu Politik
Universitas Muhammadiyah Tangerang. hlm.7.
11 Prof. Dr. Amsal Bakhtiar, M.A. Filsafat Agama. 2009. Rajawali Pers: Jakarta. hlm
121.
16 John W. Creswell. Research Desigh. 2003. Sage Plubication: Amerika. Hlm. 7-8.
Untuk mengetahui lebih jauh tentang postpositivisme empat pertanyaan dasar
berikut, akan memberikan gambaran tentang posisi aliran ini dalam kancah paradigma
ilmu pengetahuan.
Pertama, Bagaimana sebenarnya posisi postpositivisme di antara paradigma-
paradigma ilmu yang lain? Apakah ini merupakan bentuk lain dari positivisme yang
posisinya lebih lemah? Atau karena aliran ini datang setelah positivisme sehingga
dinamakan postpositivisme? Harus diakui bahwa aliran ini bukan suatu filsafat baru
dalam bidang keilmuan, tetapi memang amat dekat dengan paradigma positivisme. Salah
satu indikator yang membedakan antara keduanya bahwa postpositivisme lebih
mempercayai proses verifikasi terhadap suatu temuan hasil observasi melalui berbagai
macam metode. Dengan demikian suatu ilmu memang betul mencapai objektifitas
apabila telah diverifikasi oleh berbagai kalangan dengan berbagai cara.17
Kedua, Bukankah postpositivisme bergantung pada paradigma realisme yang sudah
sangat tua dan usang? Dugaan ini tidak seluruhnya benar. Pandangan awal aliran
positivisme (old-positivism) adalah anti realis, yang menolak adanya realitas dari suatu
teori. Realisme modern bukanlah kelanjutan atau luncuran dari aliran positivisme, tetapi
merupakan perkembangan akhir dari pandangan postpositivisme.18
Ketiga, banyak postpositivisme yang berpengaruh yang merupakan penganut
realisme. Bukankah ini menunjukkan bahwa mereka tidak mengakui adanya sebuah
kenyataan (multiple realities) dan setiap masyarakat membentuk realitas mereka sendiri?
Pandangan ini tidak benar karena relativisme tidak sesuai dengan pengalaman sehari-hari
dalam dunia ilmu. Yang pastipostpositivisme mengakui bahwa paradigma hanyalah
berfungsi sebagai lensa bukan sebagai kacamata. Selanjutnya, relativisme mengungkap
bahwa semua pandangan itu benar, sedangkan realis hanya berkepentingan terhadap
pandangan yang dianggap terbaik dan benar. Postpositivisme menolak pandangan bahwa
masyarakat dapat menentukan banyak hal sebagai hal yang nyata dan benar tentang suatu
objek oleh anggotanya.
Keempat, karena pandangan bahwa persepsi orang berbeda, maka tidak ada sesuatu
yang benar-benar pasti. Bukankah postpositivisme menolak kriteria objektivitas?
Pandangan ini sama sekali tidak bisa diterima. Objektivitas merupakan indikator
C. ANALISIS
1. Positivisme
Kita ketahui paradigma penelitian merupakan salah satu bagian yang tidak bisa
dilepaskan dari proses penelitian. Paradigma penelitian merupakan kerangka berpikir
yang menjelaskan bagaimana cara pandang peneliti terhadap fakta kehidupan sosial dan
perlakuan peneliti terhadap ilmu atau teori.
Dalam proses keilmuan, paradigm keilmuan memegang peranan penting. Fungsi
paradigm ilmu adalah memberikan kerangka, mengarahkan, bahkan menguji konsistensi
dari proses keilmuan.
Secara umum, paradigma diartikan sebagai seperangkat kepercayaan atau keyakinan
dasar yang menentukan seseorang dalam bertindak pada kehidupan sehari-hari.
Paradigma menggariskan apa yang harus dipelajari, pernyataan-pernyataan apa yang
seharusnya dikemukakan dan kaidah-kaidah apa yang seharusnya diikuti dalam
menafsirkan jawaban yang diperolehnya.
Harus diakui bahwa aliran ini merupakan filsafat baru dalam bidang keilmuan, tetapi
memang sangat dekat dengan paradigma positivisme. Salah satu indikator yang
membedakan antara keduanya bahwa positivisme lebih mempercayai proses verifikasi
terhadap suatu temuan hasil observasi melalui berbagai macam metode.
Pandangan aliran posotivisme bukan suatu realitas yang menolak adany realitas dari
suatu teori, realisme modern bukanlah kelanjutan atau luncuran dari aliran positivisme,
tetapi merupakan perkembangan akhir dari pandangan pospositisme.
Banyak pospositisme yang berpengaruh yang merupakan penganut realisme, dan ini
menunjukkan bahwa mereka tidak mengakui adanya sebuah kenyataan. Realisme
mengungkap bahwa semua pandangan itu benar sedangkan realis hanya berkepentingan
terhadap pandangan yang dianggap terbaik dan benar. Pospositivisme menolak
pandangan bahwa masyarakat dapat menentukan banyak hal sebagai hal yang nyata dan
benar tentang suatu obyek oleh anggotanya.
Karena pandangan bahwa persepsi orang berbeda, maka tidak ada sesuatu yang
benar-benar pasti. Pandangan ini tidak bisa diterima karena aktivitas merupakan indikator
kebenaran yang melandasi penyelidikan yang ingin ditekankan bahwa obyektivitas tidak
menjamin untuk mencapai kebenaran.
2. Post Positivisme
Banyak postpositisme yang berpengaruh yang merupakan penganut realisme,
dan ini menunjukkan bahwa mereka tidak mengakui adanya sebuah
kenyataan. Realisme mengungkap bahwa semua pandangan itu benar sedangkan realis
hanya berkepentingan terhadap pandangan yang dianggap terbaik dan benar. Post-
positivisme merupakan perbaikan positivisme. Secara ontologis aliran postpositivisme
bersifat critical realism artinya realitas itu memang ada, tetapi tidak akan pernah dapat
dipahami sepenuhnya
artinya post positivisme bergantung pada konteks value, kultur, tradisi, kebiasaan,
keyakinan, natural dan lebih manusiawi. Indikator yang membedakan antara Paradigma
positivisme dan postpositivism adalah post positivisme lebih mempercayai proses
verifikasi terhadap suatu temuan hasil observasi melalui berbagai macam metode.
D. PENUTUP
Kesimpulan
1. Positivisme merupakan aliran pemikiran yang membatasi pikiran pada segala hal yang dapat
dibuktikan dengan pengamatan atau pada analisis definisi dan relasi antara istilah-
istilah. Positifisme sekarang merupakan istilah umum untuk posisi filosofis yang
menekanakan aspek faktual pengetahuan, khususnya pengetahuan ilmiah dan umumnya
positivisme berupaya menjabarkan pernyataan-pernyataan faktual pada suatu landasan
pencerapan (sensasi). Atau dengan kata lain, positivime merupakan suatu aliran filsafat yang
menyatakan ilmu-ilmu alam (empiris) sebagai satu-satunya sumber pengetahuan yang benar
dan menolak nilai kognitif dari studi filosofi satau metafisik.
2. Post Positivisme lawan dari positivisme: cara berpikir yang subjektif Asumsi terhadap
realitas. Munculnya gugatan terhadap positivisme di mulai tahun 1970-
1980an. Salah satu pendiri pospositivisme adalah Karl Popper. Paham ini menentang
positivisme, alasannya tidak mungkin menyamaratakan ilmu-ilmu tentang manusia dengan
ilmu alam.
3. Untuk dapat membedakan paradigma Positivistik dan paradigm postpositivitik di lihat
dari segi asumsi ontology, asumsi epistemology dan asumsi aksiologi.
DAFTAR PUSTAKA
Bakhtiar, Amsal. 2009. Filsafat Agama. Jakarta: PT. Raja Grafindo Persada.
Berling, Kwee, Mooij Van Peursen. 2003. Pengantar Filsafat lmu. Yogyakarta: PT Tiara Wacana. Cet
ke-V.
[13].
[14].
[15].
[16].
[17].
[18].
[19].