Anda di halaman 1dari 14

Filsafat Ilmu

Pendekatan Positivistik, Pendekatan Postpositivistik,


Pendekatan Fenomenologik, dan Pandangan Dunia

OLEH :
Nur Ilmi Azisa/1828041014

PENDIDIKAN KESEJAHTERAAN KELUARGA


FAKULTAS TEKNIK

2020
BAB I

PENDAHULUAN

A. Latar Belakang

Filsafat ilmu adalah bagian dari filsafat yang menjawab beberapa pertanyaan


mengenai hakikat ilmu. Bidang ini mempelajari dasar-dasar filsafat, asumsi dan
implikasi dari ilmu, yang termasuk di dalamnya antara lain ilmu alam dan ilmu sosial.
Di sini, filsafat ilmu sangat berkaitan erat dengan epistemologi dan ontologi. Filsafat
ilmu berusaha menjelaskan masalah-masalah seperti: apa dan bagaimana suatu konsep
dan pernyataan dapat disebut sebagai ilmiah, bagaimana konsep tersebut dilahirkan,
bagaimana ilmu dapat menjelaskan, memperkirakan serta memanfaatkan alam
melalui teknologi; cara menentukan validitas dari sebuah informasi; formulasi dan
penggunaan metode ilmiah; macam-macam penalaran yang dapat digunakan untuk
mendapatkan kesimpulan; serta implikasi metode dan model ilmiah terhadap
masyarakat dan terhadap ilmu pengetahuan itu sendiri.

Intinya, filsafat ilmu adalah filsafat dengan pokok bahasan ilmu sebagai inti dari
apa yang dipertanyakan mengenai kebenaran. Masalahnya, mudah untuk mengingat
dan menjelaskan apa definisi dari filsafat ilmu namun sulit untuk benar-benar
memahami esensi apa yang dipelajari dalam filsafat ilmu.

Untuk memperdalam pemahaman terhadap filsafat ilmu pula kita harus benar-
benar paham apa yang dimaksud dengan filsafat dan mengetahui berbagai jenis
pendekatan dalam filsafat itu sendiri.

B. Rumusan Masalah
1. Apa yang dimaksud dengan Pendekatan Positivistik?
2. Apa yang dimaksud dengan Pendekatan Postpsitivistik?
3. Apa yang dimaksud dengan Pendekatan Fenomenologik?
4. Apa yang dimaksud dengan Pandangan Dunia?
C. Tujuan
1. Mengetahui apa yang dimaksud dengan pendekatan positivistik.
2. Mengetahui apa yang dimaksud dengan pendekatan postpositivistik.
3. Mengetahui apa yang dimaksud dengan pendekatan fenomenologik.
4. Mengetahui apa yang dimaksud dengan pandangan dunia.
BAB II

PEMBAHASAN

A. Pendekatan Pisitivistik

Positivistik atau positivisme (positivism) berasal dari bahasa


Latin positives atau ponere yang berarti meletakkan. Positivisme merupakan cara
pandang dalam memahami suatu objek berdasarkan sains . Dalam filsafat, positivisme
merupakan istilah umum untuk posisi filosofis yang menekan aspek faktual
pengetahuan, khususnya pengetahuan ilmiah. Sehingga dalam hal ini, pendekatan
positivistik lebih menekankan pada p engamatan secara langsung (empiris), serta juga
menggunakan  pada penalaran metode induktif, guna mendapatkan suatu kebenaran
yang pasti.

Lahirnya positivisme berawal dari keharusan untuk mendapatkan kepastian


dalam suatu kebenaran pada masa modern. Sehingga seorang pemikir filsafat berlatar
belakang kesarjanaan Matematika dan Fisika asal Perancis, Auguste Comte
mempelopori lahirnya aliran filsafat positivisme. Gagasan-gagasan aliran positivisme
bertumpukan pada bangunan ilmu pengetahuan positif, yang apabila kita telusuri
asumsi-asumsinya dapat dirumuskan sebagai berikut, Asumsi Pertama, ilmu
pengetahuan harus bersifat objektif (bebas nilai dan netral). Asumsi Kedua, ilmu
pengetahuan hanya berurusan dengan hal-hal yang berulang kali terjadi. Asumsi
Ketiga, ilmu pengetahuan menyoroti setiap fenomena atau kejadian alam dari saling
ketergantungan dan antarhubungannya dengan fenomena-fenomena atau kejadian-
kejadian lain. Ketiga asumsi tersebut di atas pada prinsipnya dilandasi oleh keyakinan
ontologis Comte yang bersifat naturalistik dan deterministik, yakni bahwa segenap
gejala dan kejadian, tanpa terkecuali, tunduk pada hukum alam.

Dalam hal ini, pandangan Comte mengenai ilmu pengetahuan positif bersifat
objektif, ilmiah dan universal. Pemikiran comte yang kuat akan keyakinan
epistemologis dan metodologis membuatnya menolak akan pemikiran yang bersifat
teologis dan metafisis. Menurutnya pandangan yang bersifat objektif, ilmiah dan
universal akan membawa dirinya kepada ilmu pasti. Serta menurutnya tanpa ilmu
pasti, pengetahuan akan kembali menjadi metafisika.
METODE SERTA CONTOH DARI POSITIVISTIK

Sebelum mengetahui contoh-contoh dari positivistik, penulis akan terlebih dahulu


memperkenalkan metode yang digunakan dari positivistik

1. Metode siklus empiric (L-H-V) untuk ilmu alam, misalnya tekanan udara dan
pengukurannya, ilmu falak dan sistem, ilmu kedokteran dan lain-lain
2. Metode Linier untuk ilmu sosial dan humanistik, dan tentuya menggunakan
sarana berfikir induktif dengan menggunakan logika dan statiska

Contoh dalam memakai metode siklus empiric ialah pada


”pemuaian”.Pemuaian  merupakan bertambahnya  ukuran suatu benda karena
pengaruh perubahan suhu atau bertambahnya ukuran suatu benda karena menerima
kalor. Pemuaian terjadi pada tiga zat yakni zat padat, zat cair, dan zat gas. Pemuaian
pada zat padat ada 3 jenis yaitu pemuaian panjang (untuk satu dimensi), pemuaian
luas (dua dimensi) dan pemuaian volume (untuk tiga dimensi). Sedangkan pada zat
cair dan zat gas hanya terjadi pemuaian volume saja. Contoh dari pemuaian adalah
pemuaian rel kereta api ketika siang hari. Pemuaian yang terjadi ada rel kereta api
termasuk dalam pemuaian panjanng.

Disamping itu, contoh dalam memakai metode linier adalah pada kasus yang
terjadi di Sragen. Seorang polisi menilang seorang pengendara mobil, akibat si
pengendara mobil menggunakan kertas karton sebagai mengganti plat nomor asli
mobil yang hilang. Walaupun maksud pengendara mobil baik,  tetapi dalam
pendekatan positivisme pemasangan plat mobil dari kertas karton tetap salah dan dan
si pengendara mobil ditilang, hal tersebut dikarenakan pengendara meelanggar pasal
68 ayat (3) sampai (6) tentang UU Lalu Lintas dan Angkatan Jalan.

B. Pendekatan PostPositivisme

Munculnya gugatan terhadap positivisme di mulai tahun 1970-1980an.


Pemikirannya dinamai “post-positivisme”. Tokohnya adalah Karl  R.  Popper, 
Thomas  Kuhn,  para  filsuf  mazhab  Frankfurt. Paham  ini  menentang  positivisme, 
alasannya  tidak  mungkin menyamaratakan ilmu-ilmu tentang manusia dengan ilmu
alam, karena tindakan manusia tidak bisa diprediksi dengan satu penjelasan yang
mutlak pasti, sebab manusia selalu berubah.
Postpositivisme adalah aliran yang ingin memperbaiki kelemahan pada
Positivisme. Postpositivisme sependapat dengan Positivisme bahwa realitas itu
memang nyata ada sesuai hukum alam. Tetapi  pada  sisi  lain,  Postpositivisme 
berpendapat  bahwa manusia tidak mungkin mendapatkan kebenaran dari realitas
apabila peneliti membuat  jarak  dengan  realitas  atau  tidak  terlibat  secara langsung
dengan realitas. Hubungan antara peneliti dengan realitas harus bersifat interaktif,
untuk itu perlu menggunakan prinsip  trianggulasi, yaitu  penggunaan  bermacam-
macam  metode,  sumber  data, data, dan lain-lain. Paradigma ini merupakan aliran
yang ingin memperbaiki kelemahan-kelemahan positivisme, yang hanya
mengandalkan kemampuan pengamatan langsung terhadap objek yang diteliti.

Secara ontologis aliran ini bersifat critical realism yang memandang bahwa


realitas memang ada dalam kenyataan sesuai dengan hukum alam, tetapi satu hal yang
mustahil bila suatu realitas dapat dilihat secara benar oleh manusia (peneliti). Oleh
karena itu, secara metodologis pendekatan eksperimental melalui observasi tidaklah
cukup, tetapi harus menggunakan metode triangulation, yaitu penggunaan bermacam-
macam metode, sumber data, peneliti, dan teori.

ASUMSI DASAR POST-POSITIVISME

Asumsi dasar post-positivisme tentang realitas adalah jamak individual.  Hal


itu berarti bahwa realitas (perilaku manusia) tidak tunggal, melainkan hanya bisa
menjelaskan dirinya sendiri menurut unit tindakan yang bersangkutan.  Fokus kajian
post-positivisme adalah tindakan-tindakan (actions) manusia sebagai ekspresi dari
sebuah keputusan.

Ada empat pertanyaan dasar yang akan memberikan gambaran tentang posisi aliran
post-positivisme dalam kancah paradigma ilmu pengetahuan, yaitu:

Pertama, Bagaimana sebenarnya posisi postpositivisme di antara paradigma-


paradigma ilmu yang lain? Apakah ini merupakan bentuk lain dari positivisme yang
posisinya lebih lemah? Atau karena aliran ini datang setelah positivisme sehingga
dinamakan postpositivisme? Harus diakui bahwa aliran ini bukan suatu filsafat baru
dalam bidang keilmuan, tetapi memang amat dekat dengan paradigma positivisme.
Salah satu indikator yang membedakan antara keduanya bahwa postpositivisme lebih
mempercayai proses verifikasi terhadap suatu temuan hasil observasi melalui berbagai
macam metode. Dengan demikian suatu ilmu memang betul mencapai objektivitas
apabila telah diverifikasi oleh berbagai kalangan dengan berbagai cara.

Kedua, Bukankah postpositivisme bergantung pada paradigma realisme yang


sudah sangat tua dan usang? Dugaan ini tidak seluruhnya benar. Pandangan awal
aliran positivisme (old-positivism) adalah anti realis, yang menolak adanya realitas
dari suatu teori. Realisme modern bukanlah kelanjutan atau luncuran dari aliran
positivisme, tetapi merupakan perkembangan akhir dari pandangan postpositivisme.

Ketiga, banyak postpositivisme yang berpengaruh yang merupakan penganut


realisme. Bukankah ini menunjukkan bahwa mereka tidak mengakui adanya sebuah
kenyataan (multiple realities) dan setiap masyarakat membentuk realitas mereka
sendiri? Pandangan ini tidak benar karena relativisme tidak sesuai dengan pengalaman
sehari-hari dalam dunia ilmu. Yang pasti postpositivisme mengakui bahwa paradigma
hanyalah berfungsi sebagai lensa bukan sebagai kacamata. Selanjutnya, relativisme
mengungkap bahwa semua pandangan itu benar, sedangkan realis hanya
berkepentingan terhadap pandangan yang dianggap terbaik dan benar. Postpositivisme
menolak pandangan bahwa masyarakat dapat menentukan banyak hal sebagai hal
yang nyata dan benar tentang suatu objek oleh anggotanya.

Keempat, karena pandangan bahwa persepsi orang berbeda, maka tidak ada
sesuatu yang benar-benar pasti. Bukankah postpositivisme menolak kriteria
objektivitas? Pandangan ini sama sekali tidak bisa diterima. Objektivitas merupakan
indikator kebenaran yang melandasi semua penyelidikan. Jika kita menolak prinsip
ini, maka tidak ada yang namanya penyelidikan. Yang ingin ditekankan di sini bahwa
objektivitas tidak menjamin untuk mencapai kebenaran.

Post-positivisme merupakan perbaikan positivisme yang dianggap memiliki


kelemahan-kelemahan, dan dianggap hanya mengandalkan kemampuan pengamatan
langsung terhadap objek yang diteliti. Secara ontologis aliran post-
positivisme bersifat critical realism dan menganggap bahwa realitas memang ada dan
sesuai dengan kenyataan dan hukum alam tapi mustahil realitas tersebut dapat dilihat
secara benar oleh peneliti. Secara epistomologis: Modified
dualist/objectivist, hubungan peneliti dengan realitas yang diteliti tidak bisa
dipisahkan tapi harus interaktif dengan subjektivitas seminimal mungkin. Secara
metodologis adalah modified experimental/ manipulatif.
Observasi yang didewakan positivisme dipertanyakan netralitasnya, karena
observasi dianggap bisa saja dipengaruhi oleh persepsi masing-masing orang. Proses
dari positivisme ke post-positivisme melalui kritikan dari tiga hal yaitu :

1) Observasi sebagai unsur utama metode penelitian,


2) Hubungan yang kaku antara teori dan bukti. Pengamat memiliki sudut
pandang yang berbeda dan teori harus mengalah pada perbedaan waktu,
3) Tradisi keilmuan yang terus berkembang dan dinamis (Salim, 2001).

Post positivisme merupakan sebuah aliran yang datang setelah positivisme dan
memang amat dekat dengan paradigma positivisme. Salah satu indikator yang
membedakan antara keduanya bahwa post positivisme lebih mempercayai proses
verifikasi terhadap suatu temuan hasil observasi melalui berbagai macam metode.
Dengan demikian suatu ilmu memang betul mencapai objektivitas apabila telah
diverifikasi oleh berbagai kalangan dengan berbagai cara.

C. Pendekatan Fenomenologi

Fenomenologi berasal dari bahasa Yunani, Phainoai, yang berarti


‘menampak’  dan phainomenon merujuk pada ‘yang menampak’. Istilah
fenomenologi diperkenalkan oleh Johann Heirinckh. Meskipun demikian pelopor
aliran fenomenologi adalah Edmund Husserl. Jika dikaji lagi Fenomenologi itu
berasal dari phenomenon  yang berarti realitas yang tampak. Dan logos yang berarti
ilmu. Jadi fenomenologi adalah ilmu yang berorientasi untuk mendapatkan penjelasan
dari realitas yang tampak.

Fenomenologi berusaha mencari pemahaman bagaimana manusia


mengkonstruksi makna dan konsep penting dalam kerangka intersubyektivitas
(pemahaman kita mengenai dunia dibentuk oleh hubungan kita dengan orang lain).
(Kuswarno,2009:2) . Fenomenologi berasumsi bahwa orang-orang secara aktif
menginterpretasi pengelaman-pengelamannya dan mencoba memahami dunia dengan
pengelaman pribadinya (Littlejohn,2009:57). Fenomena yang tampak adalah refleksi
dari realitas yang tidak dapat berdiri sendiri, karena ia memiliki makna yang
memerlukan penafsiran yang lebih lanjut. Tokoh-tokoh fenomenologi ini diantaranya
Edmund Husserl, Alfred Schutz dan Peter. L Berger dan lainnya.
Tujuan dari fenomenologi, seperti yang dikemukakan oleh Husserl, adalah
untuk mempelajari fenomena manusia tanpa mempertanyakan penyebabnya, realitas
yang sebenarnya, dan penampilannya. Husserl mengatakan, “Dunia kehidupan adalah
dasar makna yang dilupakan oleh ilmu pengetahuan.” Kita kerap memaknai
kehidupan tidak secara apa adanya, tetapi berdasarkan teori-teori, refleksi filosofis
tertentu, atau berdasarkan oleh penafsiran-penafsiran yang diwarnai oleh kepentingan-
kepentingan, situasi kehidupan, dan kebiasaan-kebiasaan kita. Maka fenomenologi
menyerukan zuruck zu de sachen selbst (kembali kepada benda-benda itu sendiri),
yaitu upaya untuk menemukan kembali dunia kehidupan.

Terdapat dua garis besar di dalam pemikiran fenomenologi, yakni


fenomenologi transsendental sepeti yang digambarkan dalam kerja Edmund Husserl
dan fenomenologi sosial yang digambarkan oleh Alfred Schutz. Menurut Deetz
(Ardianto,dkk, 2007:127) dari dua garis besar tersebut (Husserl dan Schutz) terdapat
tiga kesamaan yang berhubungan dengan studi komunikasi, yakni pertama  dan
prinsip yang paling dasar dari fenomenologi yang secara jelas dihubungkan dengan
idealism Jerman adalah bahwa pengetahuan tidak dapat ditemukan dalam pengalaman
eskternal tetapi dalam diri kesadaran individu.  Kedua, makna adalah derivasi dari
potensialitas sebuah objek atau pengalaman yang khusus dalam kehidupan pribadi.
Esensinya, makna yang beraal dari suatu objek atau pengalaman akan bergantung
pada latar belakang individu dan kejadian tertentu dalam hidup. Ketiga, kalangan
fenomenolog percaya bahwa dunia dialami dan makna dibangun melalui bahasa.
Ketiga dasar fenomenologi ini mempunyai perbedaan derajat signifikansi, bergantung
pada aliran tertentu pemikiran fenomenologi yang akan dibahas.

FENOMENOLOGI SOSIAL SCHUTZ

Schutz sering dijadikan centre dalam penerapan metodelogi penelitian


kualitatif yang menggunakan studi fenomenologi. Pertama, karena melalui Schutz-lah
pemikiran dan ide Husserl yang dirasa abstrak dapat dijelaskan dengan lebih
gamblang dan mudah dipahami. Kedua,  Schutz merupakan orang pertama yang
menerapkan fenomenologi dalam penelitian ilmu sosial.

Dalam mempelajari dan menerapkan fenomenologi sosial ini, Schutz


mengembangkan juga model tindakan manusia (human of action) dengan tiga dalil
umum yaitu:
1) The postulate of logical consistency (Dalil Konsistensi Logis)

Ini berarti konsistensi logis mengharuskan peneliti untuk tahu validitas tujuan
penelitiannya sehingga dapat dianalisis bagaimana hubungannya dengan kenyataan
kehidupan sehari-hari. Apakah bisa dipertanggungjawabkan ataukah tidak.

2) The postulate of subjective interpretation (Dalil Interpretasi Subyektif)

Menuntut peneliti untuk memahami segala macam tindakan manusia atau


pemikiran manusia dalam bentuk tindakan nyata. Maksudnya peneliti mesti
memposisikan diri secara subyektif dalam penelitian agar benar-benar memahami
manusia yang diteliti dalam fenomenologi sosial.

3) The postulate of adequacy (Dalil Kecukupan)

Dalil ini mengamanatkan peneliti untuk membentuk konstruksi ilmiah (hasil


penelitian) agar peneliti bisa memahami tindakan sosial individu. Kepatuhan terhadap
dalil ini akan memastikan bahwa konstruksi sosial yang dibentuk konsisten dengan
konstruksi yang ada dalam realitas sosial.

Dalam pandangan Schutz memang ada berbagai ragam realitas termasuk di


dalamnya dunia mimpi dan ketidakwarasan. Tetapi realitas yang tertinggi itu adalah
dunia keseharian yang memiliki sifat intersubyektif yang disebutnya sebagai the life
world.

Menurut Schutz ada enam karakteristik yang sangat mendasar dari the life
world ini, yaitu pertama, wide-awakeness (ada unsur dari kesadaran yang berarti sadar
sepenuhnya). Kedua, reality (orang yakin akan eksistensi dunia). Ketiga, dalam dunia
keseharian orang-orang berinteraksi. Keempat, pengelaman dari seseorang merupakan
totalitas dari pengelaman dia sendiri. Kelima, dunia intersubyektif dicirikan terjadinya
komunikasi dan tindakan sosial. Keenam, adanya perspektif waktu dalam masyarakat.

Dalam the life wolrd ini terjadi dialektika yang memperjelas konsep ‘dunia budaya’
dan ‘kebudayaan’.  Selain itu pada konsep ini Schutz juga menekankan adanya stock
of knowledge yang memfokuskan pada pengetahuan yang kita miliki atau dimiliki
seseorang. Stock of knowledge terdiri dari knowledge of skills dan useful knowledge.
Stock of knowledge sebenarnya merujuk pada  content (isi), meaning (makna),
intensity (intensitas), dan duration (waktu). Schutz juga sangat menaruh perhatian
pada dunia keseharian dan fokusnya hubungan antara dunia keseharian itu dengan
ilmu (science), khususnya ilmu sosial.

Realitas intersubyektif yang bersifat sosial memiliki tiga pengertian, yaitu:

1) Adanya hubungan timbal balik atas dasar asumsi bahwa ada orang lain dan
benda-benda yang diketahui oleh semua orang.
2) Ilmu pengetahuan yang intersubyektif itu sebenarnya merupakan bagian ilmu
pengetahuan sosial.
3) Ilmu pengetahuan yang bersifat intersubyektif memiliki sifat distribusi secara
sosial.

Ada beberapa tipifikasi yang dianggap penting dalam kaitan dengan


intersubyektivitas, antara lain :

1) Tipifikasi pengelaman (semua bentuk yang dapat dikenali dan diidentifikasi,


bahkan berbagai obyek yang ada di luar dunia nyata, keberadaannya
didasarkan pada pengetahuan yang bersifat umum).
2) Tipifikasi benda-benda (merupakan sesuatu yang kita tangkap sebagai ‘sesuatu
yang mewakili sesuatu’.
3) Tipifikasi dalam kehidupan sosial (yang dimaksudkan sosiolog
sebagai System, role status, role expectation, dan institutionalization itu
dialami atau melekat pada diri individu dalam kehidupan sosial).
D. Pandangan Dunia

Pada dasarnya dalam menjalani kehidupan, manusia sangat bergantung pada


pola atau kerangka pikir yang kemudian disebut sebagai pandangan dunia
atau worldview. Secara sederhana pandangan dunia adalah kerangka yang kita buat
untuk melihat dunia dan berbagai kejadian yang menyertainya. Berbagai kejadian dan
peristiwa kita beri makna dalam kerangka ini. Menurut Murtadha Muthahhari,
pandangan dunia inilah yang kemudian menjadi dasar dari ideologi yang dianut oleh
setiap individu dan golongan. Perbedaan pada ideologi yang dianut oleh setiap
manusia disebabkan perbedaan dalam hal menyusun kerangka pandangan dunia
Pandangan dunia, adalah bentuk dari sebuah kesimpulan, penafsiran, dan hasil kajian
yang ada pada seseorang berkenaan dengan Tuhan, alam semesta, manusia, dan
sejarah.
Pandangan dunia menyeluruh (atau pandangan dunia saja) adalah orientasi
kognitif mendasar suatu individu atau masyarakat yang mencakup seluruh
pengetahuan dan sudut pandang individu atau masyarakat, termasuk filsafat alami;
anggapan fundamental, eksistensial, dan normatif; atau tema, nilai, emosi, dan
etika. Kata ini merupakan calque dari bahasa Jerman Weltanschauung yang terdiri
dari Welt ('dunia') dan Anschauung ('pandangan').

Ali Syari’ati tentang Pandangan Dunia dan ideologi

Pandangan tentang dunia menurut Ali Syari’ati adalah pemahaman yang


dimiliki seseorang tentang wujud atau eksistensi. Misalnya, seseorang yang
menyakini bahwa dunia ini mempunyai Pencipta Yang Sadar dan mempunyai
kekuatan atau kehendak, dan bahwa dari catatan dan rekaman akurat yang disimpan,
ia akan menerima ganjaran atas amal perbuatannya atau dia akan dihukum lantaran
amal perbuatannya itu, maka ia adalah orang yang mempunyai pandangan tentang
dunia religius. Berdasarkan pandangan tentang dunia inilah seseorang lalu
mengatakan: ”Jalan hidupku mesti begini dan begitu dan aku mesti mengerjakan ini
dan itu”, inilah makna memiliki ideologi agama. Dengan demikian, idealism Hegel,
materialisme dialektik Marx, eksistensialisme Heiddeger, Taoisme Lao Tsu, wihdatul
wujud al-Hallaj, semuanya adalah pandangan tentang dunia. Setiap pandangan
tentang dunia ataupun mazhab pemikiran pasti akan memperbincangkan konsep
manusia sebagai konsep sentral.

Pandangan tentang dunia seseorang dipengaruhi oleh aspek-aspek spiritual dan


material yang khas dari masyarakatnya. Menurut Henry Bergson, dunia yang
dipandang oleh seorang individu yang hidup dalam suatu masyarakat tertutup
merupakan suatu dunia yang terkungkung. Begitu juga sebaliknya, seorang individu
yang hidup dalam masyarakat yang terbuka memandang dunia luar sebagai sesuatu
yang tidak terbatas, ekspansif dan senantiasa bergerak. Masyarakat dan agama selalu
menentukan visi manusia tentang dunia yang kemudian mempengaruhi tindakan-
tindakannya. Oleh karena itu, membahas pandangan tentang dunia pada hakikatnya
membahas tentang manusia sebagai subjek. Karena pandangan tentang dunia
mempengaruhi seseorang dalam mengambil pilihan tindakannya, maka mempelajari
pandangan hidup suatu komunitas sosial atau bangsa berarti mempelajari tipe-tipe dari
bentuk-bentuk dan pola kebudayaan serta berbagai karakteristik yang dikembangkan
oleh komunitas atau bangsa tersebut.

Di tengah dominasi pandangan tentang dunia yang materialistik sekarang ini,


Ali Syari’ati menegaskan dirinya pada pilihan pandangan dunia religius. Jenis
pandangan dunia ini yakin bahwa jagat raya adalah sesuatu yang datang dari Tuhan,
sadar dan responsif terhadap tuntutan-tuntutan spiritual serta aspirasi manusia. Hanya
saja, kerangka dasar pandangan dunia yang bersifat religius yang dimaksud adalah
cara pandang yang berbasis pada hasil riset ilmiah yang bersifat saintifik bukan
bentuk yang ortodoks atau ekstrim. Ali Syari’ati mengambil pilihan pandangan hidup
sintetik di antara kutub ekstrim di atas yaitu pandangan hidup religius
humanistik yang mensublimasi unsur manusia sebagai makhluk yang progresif, selalu
mencari kesempurnaan dan sangat manusiawi.

Ali Syari’ati menawarkan gagasan pandangan tentang dunia religius


humanistik untuk memerangi dualisme kelas antara kelas penguasa dan yang dikuasai,
antara kelas borjuasi dan proletariat, sehingga manusia akan menemukan keesaan
yang orisinil dalam rangka membangun kesadaran manusia pada misinya sebagai
wakil atau khalifah Tuhan di muka bumi. Menurutnya, manusia adalah makhluk
merdeka dan memiliki potensialitas tanpa batas untuk menentukan nasibnya sendiri
dan bukan ditentukan oleh kekuatan eksternal dengan membangun semangat Tauhid.

Pandangan dunia akhirnya bermetamorfosa dan membentuk ideologi sebagai


keyakinan dan cita-cita yang dianut oleh kelompok tertentu. Ali Syari’ati melakukan
redefenisi tentang pemahaman ideologi. Dimulai dari pendekatan etimologis, Ali
Syari’ati menjelaskan bahwa ideologi terdiri atas dua kata, idea dan logi. Idea berati
pemikiran, gagasan, keyakinan, cita-cita, dan kata logi yang berarti logika, ilmu, atau
pengetahuan, dengan demikian ideologi adalah ilmu tentang cita-cita atau keyakinan.
Menurut pengertian ini, seorang ideolog adalah seorang pembela suatu ideologi atau
keyakinan tertentu. Dengan demikian, ideologi terdiri dari berbagai keyakinan dan
cita-cita yang dianut oleh suatu kelompok tertentu, kelas sosial tertentu, atau suatu
bangsa.
BAB III

PENUTUP

Simpulan

 Positivistik atau positivisme (positivism) berasal dari bahasa


Latin positives atau ponere yang berarti meletakkan. Positivisme merupakan cara
pandang dalam memahami suatu objek berdasarkan sains .
 Postpositivisme adalah aliran yang ingin memperbaiki kelemahan pada Positivisme.
Postpositivisme sependapat dengan Positivisme bahwa realitas itu memang nyata ada
sesuai hukum alam. Tetapi  pada  sisi  lain, Postpositivisme  berpendapat  bahwa
manusia tidak mungkin mendapatkan kebenaran dari realitas apabila peneliti
membuat jarak dengan realitas atau tidak  terlibat  secara langsung dengan realitas.
Secara ontologis aliran ini bersifat critical realism yang memandang bahwa realitas
memang ada dalam kenyataan sesuai dengan hukum alam, tetapi satu hal yang
mustahil bila suatu realitas dapat dilihat secara benar oleh manusia (peneliti).
 Fenomenologi itu berasal dari phenomenon  yang berarti realitas yang tampak.
Dan logos yang berarti ilmu. Jadi fenomenologi adalah ilmu yang berorientasi untuk
mendapatkan penjelasan dari realitas yang tampak. Fenomenologi berasumsi bahwa
orang-orang secara aktif menginterpretasi pengelaman-pengelamannya dan mencoba
memahami dunia dengan pengelaman pribadinya.
DAFTAR PUSTAKA

Abidin, Zainal, Filsafat Manusia Memahami Manusia Melalui Filsafat, Bandung: PT Remaja


Rosdakarya, 2000
Suhasti, Ermi S., Pengantar Filsafat Ilmu, Yogyakarta: Prajnya Media, 2012
Abdul Hakim, Epistemologi Positivistik dalam Kajian Historis dan Metodologis, limn
Ushtiluddin, Vol. 5. No.l, Januari-Juni 2006, hal. 72-84 2.
http://id.wikipedia.org/wiki/Positivisme_logis 3.

Lubis, Akhyar Yusuf. 2009. Epitemologi Fundasional. Bogor: Akademika.

https://id.wikipedia.org/

http://blog.unnes.ac.id/efvinurhidayah/2017/12/03/paradigma-post-positivisme/

https://www.kompasiana.com/delupingge/552ad88af17e615848d6243a/filsafat-ilmu-
pendekatan-postpositivistik?page=all

http://thinker-asratisme.blogspot.com/2012/05/pandangan-dunia-dan-ideologi-perspektif.html

Anda mungkin juga menyukai