Anda di halaman 1dari 3

071811233054_Ageng Hau Gumilang_Week 5_Positivisme

Perspektif Positivisme dalam Hubungan Internasional

Ilmu Hubungan Internasional dalam perkembangannya selalu mengalami pembaruan dengan mulai
muncul perspektif-perspektif baru yang ada di dalamnya. Setelah sebelumnya terdapat perspektif neo-neo,
yaitu neorealisme, neoliberalisme, dan dilanjutkan dengan neomarxis. Ada salah satu perspektif dalam
Hubungan Internasional yang cukup unik dan berbeda engan ketiga perspektif sebelumnya, perspektif
tersebut adalah perspektif positivisme. Perspektif positivisme membawa perubahan yang besar dalam
hubungan internasional. Positivisme menjadi awal sebuah era dimana mulai digunakannya ilmu alam untuk
mengkaji sesuatu dalam ilmu sosial. Mulai masuknya ilmu alam ke dalam ilmu sosial menjadikan
pandangan sosial atau asumsi personal tidak begitu valid dalam mengukur secara logis suatu fenomena.
Adanya perspektif positivisme ini juga cukup memberikan dampak bagi perkembangan studi HI.
Kemunculan positivisme sejatinya sudah mulai dirasakan sekitar abad ke-19, dimana pada saat itu
terdapat seorang filsuf bernama Auguste Comte yang memperkenalkan positivisme ke ranah ilmu sosial.
Dalam pandangan Auguste Comte menjelaskan jika ilmu pengetahuan alam yang bersifat empiris yakni
dapat dibuktikan dan dicari hukumnya dapat dijadikan sebagai pandangan yang dapat menjelaskan suatu
fenomea yang terjadi dalam hubungan internasional. Comte memiliki tujuan untuk mengembangkan sains
dalam masyarakat yang bisa menjelaskan dan mengungkapkan hukum sebab akibat evolusi yang dijelaskan
fenomena yang dapat dirasakan aau ditangkap oleh inderawi (Smith, 1996). Paham mengenai positivisme
juga pernah diutarakan oleh Saint-Simon, ia menjelaskan jika positivisme berkaitan dengan hasil penelitian
yang berdasarkan empiris pengamatan terhadap masyarakat (Turner, 2001). Fakta tentang empirisme
dijadikan sebuah ide seringkali diajarkan pada era enlightment, inilah yang membuat Auguste Comte mulai
memperkenalkan dan membawa gagasan positivisme. Comte mengatakan jika ia tidak setuju dengan konsep
kebenaran melalui versi teologi. Comte menjelaskana jika ada beberapa aspek dimana human dapat
menggali suatu ilmu pengetahuan. Menurutnya,metafisik tidak serta merta bisa digunakan untuk mengukur
suatu kebenaran karena tidak bisa dibuktikan dengan inderawi. Hal tersebutlah yang menjadi titik balik
lahirnya pemahaman positivisme ini (Turner, 2001). Positivisme memiliki perbedaan yang cukup besar dari
teori-teori sebelumnya yang banyak menekankan tentang teologi dalam memahami suatu fenomena yang
terjadi, positivisme lebih mengarah kepada kepercayaan bahwa manusia sendiri itu dapat mengkaji
fenomena-fenomena yang terjadi.
Perspektif positivisme memiliki beberapa karakter yang mendeskripsikan tentang pendekatan yang
ada dalam perspektif ini. Pertama adalah positivisme bersifat scientism, artinya adanya positivisme ini
merupakan suatu upaya yang dilakukan untuk menjaga pertumbuhan pengetahuan memberikan dampak
yang baik bagi manusia. Sama halnya dengan kajian perspektif ini yang percaya terhadap pengalaman
sehingga positivisme percaya akan pengetahuan yang digunakan untuk memverifikasi hipotesis yang dapat
menjamin kebenaran suatu fenomena. Kedua, positivisme mempunyai sifat empiris, yaitu pengalaman
sensorik manusia merupakan suatu pengetahuan yang sebenarnya dan bersifat faktual. Ketiga, positivisme
meiliki karakter naturalisme. Naturalisme sendiri sejatinya dipengaruhi oleh kaum behavioral, oleh sebab itu
071811233054_Ageng Hau Gumilang_Week 5_Positivisme
penerapan ilmu sosial akan dijumpai esensi ilmu alam di dalamnya seperti statistik dan pembuktian data
lainnya yang dapat menjelaskan fenomena sosial yang terjadi. Keempat, progresivisme yang berarti
positivisme mempunyai tujuan untuk terus pergerak secara progresif dan memberikan perbaikan dalam ilmu
pengetahuan yang bisa bermanfaat bagi umat manusia keseluruhan. Kemudian karakter positivisme yang
kelima adalah value-free, yaitu sifat dari positivisme tentang penekakanan adanya suatu pandangan bebas
nilai dari peneliti terhadap suatu objek tertentu yang diteliti (Halfpenny, 2001).
Positivisme memiliki asumsi-asumsi dasar yang mendasari munculnya teori tersebut. Asumsi
pertama adalah perspektif positivisme memandang bahwa metodologi yang ada di dunia ilmiah dapat pula
diaplikasikan dalam dunia non ilmiah. Artinya metodologi-metodologi yang biasanya digunakan dalam
pemecahan permasalahan ilmiah juga dapat pula digunakan untuk memecahkan permasalahan sosial seperti
menanggapi fenomena yang terjadi dalam kajian studi HI. Kedua ialah kaum positivisme berasumsi jika ada
suatu batas antara nilai dan fakta. Ini dapat dikatakan sebagai posisi objektivisme yanng melihat suatu
pengetahuan secara objektif, meskipun tidak mengesampingkan bahwa adanya pengamatan subjektif.
Perspektif positivisme menanggapi suatu fenomena alam dan fenomena sosial dari dua pandangan yaitu dari
segi nilai dan segi kualitas fenomena. Dalam dunia sosial politik dapat dijumpai jika setiap aktor dalam
hubungan internasional memiliki tujuan dan keinginan sendiri-sendiri. Oleh karena itu setiap hal yang
dilakukan oleh aktor memiliki motif tersendiri akan tetapi motif ini tidak jauh berbeda dengan fakta yang
mereka miliki seperti latar belakang aktor tersebut, dua hal tersebut dapat dijadikan patokan untuk mengukur
suatu fenomena yang terjadi dalam hubungan internasional oleh kaum postivisme. Asumsi yang ketiga yaitu
perspektif positivisme menganggap jika alam semesta dan kehidupan sosial mempunyai kesamaan yang
dapat diungkap melalui sebuah teori. Dalam kehidupan sehari-hari dapat dijumpai jika jika setiap hal
memiliki hukum dan ketetapan masing-masing. Terdapat teori scientific seperti teori relativitas dalam fisika.
Oleh karena hal tersebut kaum positivisme juga menganggap jika ilmu sosia juga dapat memakai teori-teori
seperti itu. Terbukti dengan mereka mengembangkan teori seperti teori normatif, asumtif dan lain
sebagainya (Smith, 1996). Menurut Cosmina Craciunescu, ketiga asumsi dasar tersebut banyak memberikan
pengaruh terhadap dunia internasional dan perkembangan perspektif dalam Hubungan Internasional
(Craciunescu, 2013).
Dari penjelasan yang telah diuraikan dapat dikatakan jika perspektif positivisme merupakan teori
yang cukup dominan dalam studi HI. Positivisme menjelaskan teori-teori HI secara epistemologi dan
membawa ranah sains ke dalam ranah sosial. Perspektif positivisme menjelaskan jika suatu fenomena sosial
juga dapat dikaji menggunakan pengalaman atau inderawi manusia, tidak hanya sekedar dikaji dengan
teologi saja yang belum tentu pasti dibuktikan kebenarannya. Postivisme sebagai perspektif dalam kajian HI
telah banyak menjelaskan isu atau fenomena dengan mengambil sudut pandang sains. Hal ini membuat
postivisme memberikan dampak yang besar bagi perkembangan studi HI dalam menaggapi suatu fenomena-
fenomena sosial yang terjadi.
Referensi :
071811233054_Ageng Hau Gumilang_Week 5_Positivisme
Craciunescu, Cosmina. 2013. Social Constructivism and Positivism: In the Context of International
Relations. Academia.edu. [Diakses tanggal 13 Maret 2019]
Halfpenny, Peter. 2001. Positivism in Twentieth Century, dalam Ritzer, George, & Barry Smart, (eds.),
“Handbook of Social Theory”. London: Sage Publication, pp. 371-385.
Smith, Steve, et. al. 1996. International Theory: Positivism & Beyond. Cambridge: Cambridge University
Press. pp. 11-44.
Turner, Jonathan. 2001. The Origins of Positivism: The Contributions of Auguste Comte and Herbert
Spencer, dalam : Ritzer, George, & Barry Smart, (eds.), “Handbook of Social Theory”. London:
Sage Publication, pp. 30-42.

Anda mungkin juga menyukai