Anda di halaman 1dari 4

1.

Jelaskan bagaimana August Comte menjelaskan perkembangan masyarakat, dan bagaimana


kaitannya dengan praksis pendidikan di Indonesia.
2. Bagaimana asumsi-asumsi paradigma positivistik dan implikasinya terhadap pilihan metode
pemebelajaran dan studi media pembelajaran.
3. Jelaskan asumsi-asumsi paradigma konstruktivistik dalam memahami realitas sosial, dan
bagaimana implikasinya terhadap pilihan metode pembelajaran, serta bagaimana implikasinya
terhadap studi media pembelajaran.
4. Jelaskan konsep masyarakat yang mengalami transformasi digital dan bagaimana implikasinya
terhadap praksis pembelajaran di Indonesia era pandemi.

Catatan: sebutkan sumber pustakanya, dan menggunakan rujukan buku akan berpeluang
mendapat nilai terbaik.

1. Auguste Comte menjelaskan tentang perkembangan masyarakat melalui 3 tahapan, yang


disebut dengan hukum tiga tahap. Hukum tiga tahap berisi penjelasan mengenai tahapan
perkembangan yang dialami oleh individu maupun masyarakat. Tahapan yang terdapat dalam
teori Auguste ini yaitu tahap teologis, tahap metafisis, dan tahap positif. Auguste Comte
menggambarkan hukum tiga tahap ini dalam suatu pola linear.

Tahap Teologis. Tahap ini merupakan periode paling lama dalam sejarah manusia dan disebut
sebagai masa kekanakan intelegensia manusia. Pada tahap ini manusia mempercayai adanya
kekuatan-kekuatan supranatural yang muncul dari kekuatan zat adikodrati atau jimat atau kekuatan
yang berasal dari luar diri manusia atau muncul dari kekuatan tokoh-tokoh agamis yang diteladani
oleh manusia.

Tahap Metafisik. Tahapan ini merupakan fase transisi antara tahap teologis menuju ke tahap
positfistik sehingga disebut dengan masa remaja intelegensia manusia. Tahap ini ditandai dengan
adanya satu kepercayaan manusia akan hukum-hukum alam secara abstrak yang diilustrasikan
dengan bentuk pemikiran yang bersifat filosofis, abstrak dan universal. Jadi, kepercayaannya bukan
lagi kepada kekuatan dewa-dewa yang spesifik akan tetapi pemikiran manusia terbelenggu oleh
konsep filosofis dan metafisis yang ditanamkan oleh filosof maupun orang agamawan secara abstrak
dan universal (agen-agen ghaib digantikan dengan kekuatan abstrak), seperti “Akal Sehat”nya Abad
Pencerahan.

Tahap Positif. Tahap ini merupakan tahap terakhir dalam pemikiran evolusionisme sosial
Auguste Comte dan dianggap sebagai masa dewasa intelegensia manusia. Pada tahap ini pikiran
manusia tidak lagi mencari ide-ide absolut yang asli, yang menakdirkan alam semesta dan menjadi
penyebab fenomena. akan tetapi pikiran manusia mulai mencari hukum-hukum yang menentukan
fenomena, atau menemukan rangkaian hubungan yang tidak berubah dan memiliki kesamaan
( tahap berfikir secara ilmiah). Tahap ini manusia mulai mempercayai data empiris sebagai sumber
pengetahuan terakhir namun bersifat sementara dan tidak mutlak. Namun, melalui analisis sosial
tersebut memungkinkan manusia dapat merumuskan hukum-hukum yang seragam, sehingga
manusia mulai maju dan berkembang di depan ilmu pengetahuan.

Masyarakat Indonesia pada saat ini berada pada tahap Positivisme yang dibuktikan dengan adanya
pendidikan yang berkembang di Indonesia. Hal ini sesuai dengan pernyataan August Comte terkait
dengan adanaya masyarakat yang telah mencapai tahap pengembangan keilmuan dan juga riset.
Positivisme tetap merupakan salah satu cara (metode) yang lebih akurat dalam menentukan
kebijakan-kebijakan pendidikan, yang terkandung di dalamnya orientasi, kurikulum, penelitian
pendidikan dan sebagainya. Sebab, dengan pendekatan ini semua sistem pendidikan akan dapat
dievaluasi dengan tepat. Dengan pendekatan ini pula, apa yang disebut dengan standardisasi yang
mencakup isi kurikulum, kualitas guru, manajamen dan kompetensi lulusan, akan terwujud secara
obyektif. Oleh karena hakikat pendidikan adalah nyata dalam praktek dan aplikasinya, maka
positivisme pada dataran metodologis akan menghasilkan teknologi pendidikan pada taraf sosial,
dan teknologi pendidikan pada era berikutnya dapat berfungsi determinasi sosial/pendidikan.

2. Paradigma positivistik mengambarkan tesisnya kepada asumsi bahwa ilmu adalah satu-satunya
pengetahuan yang valid dan bersifat empiris. Fakta sosial yang terjadi dalam praktis sosial
tentunya pada tindakan manusia akan menjadi sejalan dengan objek pengetahuan. Displin
dalam ilmu sosiologi menjabarkan bahwa paradigma positivistik berada pada analisis teori
Auguste Comte dan Johan Stuart Mill (ilmu filsafat)
. Asumsi ontologi, yang mempertanyakan kepada ilmuan mengenai; apa yang sebenarnya
hakikat sesuatu yang diketahui oleh kita? apa sebenarnya praktis sosial yang terjadi? Sehingga
pertanyaan yang dikemukakan adalah what is nature of reality? Pertanyaan yang diajukan
sebagai pertanyaan awal seseorang peneliti untuk memahami realitas sosial. Auguste Comte
mengasumsikan kepada pola pemikiran masyarakat yang mengalami namanya perubahan. 2.
Asumsi epistemologis, ini adalah asumsi yang sangat mendasar mengenai jawaban sebagai
ilmuan terkait dengan praktik sosial yang terjadi. Peran pertanyaan yang muncul adalah apa
sebenarnya hakikat antara pencari ilmu dan objek sebagai hasil lapangan? Ini mengambarkan
bahwa pertanyaa apa yang akan dikemukaan seorang peneliti untuk menelaah masalah sosial.
Auguste Comte mengasmsikan bahwa gejala sosial yang terjadi tentunya ada hubungan dengan
permasalahan yang lain. Apakah terkait dengan status sosial dalam masyarakat itu sendiri. 3.
Asumsi metodologi, para ilmuan menjadikan alat untuk menjawab persoalan yang terjadi.
Artinya metodologi terkait dengan alat apa yang digunakan untuk menjawab perosalan dalam
masyakat. Jika kita telusuri alat yang Comte melihat masyarakat yaitu observasi. Observasi yang
dilakukan oleh Comte dengan kreasi simultan observasi dengan hukum. Pemahaman ini
menekankan kepada proses fenomena sosial dihubungkan dengan variabel yang lain. Komperasi
tersebut mampu dihubungkan dengan displin ilmu sosial lainnya. 4. Asumsi aksiologi, terkait
dengan nilai apa yang dapat diharapkan dalam sebuah kajian. Sehingga membawa efek
terhadap perubahan masyarakat yang akan datang. Ilmu pengetahuan tersebut akan memberi
efek terhadap perubahan dan dampak menjadi masyarakat yang sejehtera. 5. Asumsi retorik,
peran aktif dalam mengkaji perosalan adalah bahasa yang tentunya sangat berpengaruh dalam
realitas kehidupan. Pemilihan bahasa terkait juga dengan bidang kajian yang ditekuni sebagai
ilmuan. Misalnya peneliti sangat komitmen untuk mengkaji fenoemna sosial dalam kajian
sosiologi ekonomi, sosiologi politik, sosiologi perubahan sosial dan sebagainya.

Paradigma positivistik pada semboyan Comte mengambarkan bahwa gagasan yang dikemukaan
adalah bersifat ilmiah. Semboyan yang terkenal Comte adalah “love is our principle order our
basis and progress our end”. Menurut Comte bahwa masyarakat perlu adanya pemikiran yang
ilmiah dan membentuk masyarakat ilmiah untuk menuju sebuah kemajuan. Asumsi tersebut
berperan aktif dalam ilmu pengetahuan dan nilai-nilai humanis dalam bermasyarakat dan
berbudaya. Pemikiran positivis adalah fakta sosial dan sesuatu yang perlu untuk melakukan
pembuktian.
Paradigma positivistik memberikan asumsi bahwa apa yang terjadi pada diri manusia terkait
dengan akal budi dan pengelihatan tentunya yang berperan aktif adalah hukum alam yang
bersifat universal pada tahapan yang sama.

Paradigma positivistik menganggap realitas sosial yang terjadi sebagai sesuatu yang bersifat
empirik dan dapat diobservasi secara nyata. Ketika melakukan penelitian, peneliti dan objek
yang akan diteliti bersifat dependen dan tidak melakukan tindakan dalam berintraksi secara
bebas

Oleh sebab itu, Paradigma positivistik sangat relevan pada kajian sosiologi pedesaan, artinya
fenoemena yang terjadi dalam kehidupan tidak terbatas dan untuk menyederhankan gejala
sosial yang terjadi maka diperlukan statistik sebagai landasan dalam menyimpulkan data yang
diperoleh dilapangan

Implikasi paradigma positivistik terhadap pilihan metode pembelajaran dan studi


media pembelajaran dapat dilihat dari fungsi paradigma positivistik itu sendiri. Paradigma
positivistik berguna sebagai alat generalisasi hal-hal yang bersifat abstrak dalam realita
sosial. Oleh karena itu, metode pembelajaran serta studi media yang digunakan dalam

paradigma positivistik harus dilakukan secara sistematis dengan berdasarkan data-data


empiris yang ada dalam masyarakat. Selain itu, paradigma positivistik bersifat objektivitas,
dimana hal tersebut akan memberikan keabsolutan terhadap objek yang diteliti, sehingga
dapat dijadikan acuan dalam mencari sumber informasi bagi para akademisi.
Pendekatan positivistik dipakai dalam metode pembelajaran dan studi pembelajaran
karena bersifat ilmiah. Dalam Permendikbud No. 65 Tahun 2013 tertulis hal mengenai
kriteria standar proses dalam proses pembelajaran yaitu materi didasarkan pada fakta serta
logika, tidak bersifat objektif, mengacu pada konsep, teori, serta data-data empiris. Hal ini
sesuai dengan asumsi paradigma positivistik yang telah dijelaskan diatas.

Anda mungkin juga menyukai